You're Reading a Free Preview
SEJARAH DAN DASAR HUKUM PERBURUHAN[1] Alghiffari Aqsa, S.H A. Sejarah Hukum Perburuhan Sejarah perburuhan Indonesia telah dimulai sejak Indonesia berada di dalam sistem perbudakan, jauh sebelum Indonesia merdeka. Upah yang mereka terima biasanya berwujud makanan, pakaian, dan perumahan. Mereka hampir tidak pernah menerima upah dalam bentuk uang. Orang atau badan hukum merupakan majikan yang berkuasa penuh dan mutlak atas nasib para budaknya, dan berkuasa atas hidup-mati mereka.[2] Pada 1877, misalnya ketika ada seorang raja di Sumba yang meninggal, seratus orang budak harus dibunuh dengan maksud agar sang raja di dunia baka nanti mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan pekerja.[3] Pada tahun 1817, pemerintah Hindia Belanda mengadakan larangan memasukkan budak ke pulau Jawa. Untuk meringankan beban para budak, pemerintah membuat peraturan perbudakan dan perdangan budak, yang pada pokoknya menetapkan bahwa setiap budak harus membatasi bertambahnya jumlah budak lain dari kelahiran; melarang perdagangan budak dan melarang mendatangkannya dari luar; menjaga agar anggota keluarga para budak bertempat tinggal secara bersama-sama.[4] Peraturan yang memungkinkan bagi seorang budak untuk merdeka. Sebagai contoh, budak yang pernah mengikuti tuannya ke benua lain, ia menjadi merdeka sepulangnya dari negeri tuannya. Budak yang menolong tuan atau anaknya dari bahaya maut juga dinyatakan merdeka. Selain itu terdapat peraturan untuk mengurus budak; budak harus diberi cukup makanan dan pakaian; jika mencapai usia sepuluh tahun, maka ia harus diberi upah berupa uang, sedikitnya dua rupiah; mengancam dengan pidana atas penganiayaan terhadap budak berupa denda antara Rp. 10 dan Rp. 500 dan pidana lain yang ditetapkan oleh pengadilan; mengatur kewajiban para budak, yaitu tidak boleh meninggalkan pekerjaan mereka, dan tidak boleh menolak pekerjaan yang layak.[5] Baru pada 1854, Regeringsreglement tahun 1854 (Pasal 115-117 yang kemudian menjadi pasal 169-171) dan Indische Staartsregeling tahun 1826 dengan tegas menghendaki penghapusan perbudakan. Paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia harus dihapuskan, namun tidak dalam prakteknya. Di luar Jawa, penghapusan perbudakan baru dimulai pada 1872 dan dilakukan secara bertahap. Pemerintah Hindia Belanda juga menghapuskan perbudakan dengan cara mengubah perbudakan menjadi perhambaan (pandelingschap) dengan menetapkan jumlah uang yang dipandang sebagai hutang (pinjaman) dari (mantan) budak kepada (mantan) pemiliknya, dengan pelunasan sekaligus atau berangsur-angsur menurut aturan tertentu. Menurut laporan koloni tahun 1922, Indonesia baru dapat dikatakan bebas dari perbudakan setelah 1922.[6] Setelah era perbudakan, kemudian Indonesia masuk kepada era kerja rodi dan kerja paksa. Pada 1 Februari 1938 kerja rodi dihapuskan, pemerintah Hindia-Belanda membuat peraturan (Koeli Ordonantie) yang bersifat kapitalistik. Contoh peraturannya antara lain:[7]
Begitupun pada tataran global, sejarah hukum perburuhan tidak bisa dilepaskan dari upaya mencegah perbudakan, bebas dari kerja paksa dan kerja wajib. ILO mengadopsi instrumen pertamanya, yaitu Konvensi tentang Kerja Pasaka (No.29) pada tahun 1930 yang bertujuan mengatasi masalah kerja paksa di koloni-koloni dan wilayah-wilayah terjajah.[8] Ideologi dari Negara Menentukan Hukum Perburuhan Munculnya peraturan perburuhan lebih banyak diwarnai oleh kecenderungan politik. Pada era Orde Lama muncul UU No. 12/ 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Produk dan visi undang-undang ini bersifat sosialis karena pemerintahan Soekarno memang memiliki kecenderungan mendukung sosialisme. Dalam undang-undang ini, buruh mendapat proteksi besar. Sebagai contoh, kalangan buruh perempuan diberi hak cuti haid. Akan tetapi, setelah itu muncul Orde Baru yang dipengaruhi globalisasi dan kapitalisme. Pada era ini, privilege buruh dicabut karena dianggap kontraproduktif. Tak pelak, pihak Depnaker pun akhirnya menghapuskan hak cuti haid bagi buruh perempuan.[9] Pada era reformasi muncul Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dianggap mencoba mencari titik tengah antara buruh dan pengusaha, namun nyatanya system outsourcing yang sangat merugikan buruh disahkan. Di sisi lain, pasal yang melindungi buruh enggan untuk dijalankan oleh pengusaha dan pemerintah. Selain itu muncul Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial yang membawa era baru kanalisasi permasalahan perburuhan/industrial, mengurangi peran Negara, dan melunturkan sifat publik hukum perburuhan. Watak pemerintahan yang neoliberal menjadikan buruh tetap berada dalam posisi inferior, permasalahan perburuhan diprivatisasi, buruh harus “bertarung” dengan pengusaha yang didukung oleh kebijakan pemerintah. B. Dasar Hukum Perburuhan Pengertian hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; atau keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis.[10] Imanuel Kant menyatakan bahwa hukum tidak dapat didefenisikan. Sedangkan Van Apeldoorn menyatakan hukum tidak dapat didefinisikan karena hukum mencakup aneka macam segi dan aspek, dank arena luasnya lingkup hukum. H.L.A Hart menyatakan tidak ada defenisi yang cukup singkat untuk bisa memberikan jawaban memuaskan mengenai defenisi hukum.[11] Hart berpandangan bahwa hukum tidak lebih dari salah satu spesies dari berbagai aturan masyarakat yang ada. Namun demikian, beberapa ahli mendefenisikan hukum sebagai berikut:
Banyak ahli menyatakan bahwa pemisahan hukum publik dan privat sudah tidak relevan dalam konteks hukum yang lebih kompleks dan modern. Persinggungan banyak terjadi sehingga batasan antara publik dan privat menjadi kabur. Walaupun demikian tetap penting untuk mengetahui pemisahan hukum publik dan privat tersebut. C.S.T Kansil berpendapat hukum privat (sipil) adalah hukum yang mengatur antara hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan hukum publik (hukum Negara) adalah hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara Negara dengan perseorangan (warga negara).[16] Van Apeldorn berpendapat apabila yang dilindungi oleh hukum adalah kepentingan umum, maka termasuk hukum publik, dan apabila yang dilindungi adalah kepentingan khusus maka termasuk hukum privat. Sedangkan Salmon, dengan Teori Residunya, berpendapat bahwa hukum publik adalah perhubungan hukum yang diperlukan/berlaku bagi Negara dalam hubungannya dengan warganya, sedangkan sisanya adalah hukum privat. Pemisahan hukum publik dan hukum privat merupakan bentuk dari pembagian peran Negara terhadap berbagai aspek kehidupan penduduknya. Tetap kepentingan individu dengan individu pun menjadi perhatian negara. Jika dalam hukum publik, Negara bersifat aktif, sedangkan di hukum privat Negara hanya bersifat pasif, mengawasi ataupun hanya memfasilitasi. Adapun ciri hukum publik dan hukum privat adalah sebagai berikut:
Iman Soepomo mengatakan setengah orang mengatakan bahwa hukum perburuhan sifatnya bukanlah lagi Privaatrechtelijk (soal perdata), melainkan Publiekrechtelijk (1983;9). Sebelum adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, banyak ahli berpendapat bahwa hukum perburuhan dapat bersifat privat dan publik.Hukum perburuhan dapat bersifat perdata karena Hukum Perburuhan mengatur hubungan antara orang perorangan dalam hal ini antara buruh dengan majikan dimana dalam hubungan kerja yang dilakukan membuat suatu perjanjian yang lazim disebut perjanjian kerja, sedangkan ketentuan mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata. Hukum perburuhan juga bersifat publik karena dalam hal tertentu pemerintah ikut campur tangan dalam menangani masalah-masalah perburuhan, misalnya dalam penyelesaian perselisihan perburuhan dan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yakni dengan dibentuknya P4D dan P4P, dan adanya sanksi pidana dalam setiap peraturan perundang-undangan perburuhan.[17] Pasca disahkannya UU No. 2 Tahun 2004, hukum perburuhan menjadi berubah; negara yang tadinya memiliki peran kuat untuk menyelesaikan kasus perburuhan hanya berperan sebagai mediator ataupun hanya penegak hukum pidana, sengketa perburuhan menjadi sengketa yang sifatnya privat semata. Penyelesaian kasus perburuhan pun jauh berubah, sengketa perburuhan yang sebelumnya diselesaikan melalui mediasi, putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D), Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), dan Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian diselesaikan melalui mediasi dan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (tanpa campur tangan pemerintah).[18]
Pemerintah+Buruh+Pengusaha Negara terlibat dalam melakukan mediasi. Pemerintah+Buruh+Pengusaha Pengadilan Pengusaha melawan keputusan pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara. (Putusan P4D/P4P). Buruh diwakili kepentingannya oleh pemerintah. Buruh berhadapan dengan pengusaha di Pengadilan Hubungan Industrial Lebih lanjut, untuk melihat corak hokum perburuhan di Indonesia saat ini kita dapat melihat kajian LBH Jakarta, yang dibuat oleh Asfinawati dan Nurkholis Hidayat, mengenai UU PPHI. LBH Jakarta berpendapat bahwa UU PPHI:[19] a. Menghilangkan Intervensi Negara Ekonomi neoliberal mensyaratkan suatu peran yang minimalis serta non intervensionis dari pemerintah. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. UU PPHI telah mengurangi dan menghilangkan otoritas negara untuk mengintervensi suatu sengketa perburuhan bilamana suatu sengketa mempunyai dampak serius terhadap stabilitas. UU PPHI telah menghilangkan konsep tripartit, sehingga negara tidak boleh lagi ikut campur sedikitpun dalam prose perselisihan hubungan industrial. b. Mengalihkan Hukum Publik Menjadi Hukum Privat UU PPHI telah membiaskan pelanggaran hak normatif dari konteks hukum pidana ke perselisihan perdata. Salah satu kewenangan PHI untuk mengadili perselisihan hak sama dengan mengatakan pelanggaran hak normatif ditolerir oleh negara. Karena pentoleriran itu, alih-alih pelakunya dipidanakan, justru pelanggaran tersebut dapat dinegosiasikan (ingat seluruh proses PHI harus melalui musyawarah dengan berbagai tingkatannya). Diaturnya perselisihan hak dalam UU PPHI telah mendorong perusahaan nakal untuk semakin berani melanggar hak normatif buruh. Dengan sumber daya yang dimiliki, perusahaan diuntungkan dan lebih siap untuk memperselisihkan pelanggaran yang dibuatnya di ruang pengadilan. c. Mengebiri Fungsi Pengawasan UU PPHI telah memotong kewenangan pegawai pengawas. Terkait dengan problem di atas, penyelewengan pidana dalam pelanggaran hak menjadi perselisihan perdata juga berimplikasi pada tugas dan kewajiban pegawai pengawas ketenagakerjaan. Pengusaha dapat dengan mudah menolak pengawasan yang dilakukan dengan alasan sedang diperselisihkan di PHI. Pembatasan waktu di PHI dibandingkan dengan kinerja pegawai pengawas yang lambat, juga dapat dipastikan membuat gugatan pengusaha atas perselisihan hak akan selesai lebih dulu dibandingkan dengan laporan buruh ke pegawai pengawas. UU PPHI telah tumpang tindih dan mengabaikan keberadaan ketentuan-ketentuan mengenai mekanisme pengawasan yangs selama ini terdapat dalam sejumlah peraturan dan hingga saat ini belum dicabut. Diantaranya PP No.8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Permenaker No.1 tahun 1999 Tentang Upah Minimum, Permenaker No. 72 Tahun 1984 tentang dasar Perhitungan Upah Lembur, Permenaker No. 3 Tahun 1987 tentang Upah dan Hari Libur Resmi, dan Permenaker No.4 Tahun 1999 tentang Tunjangan Hari Raya. Bahkan UU PPHI telah mengabaikan UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. d. Formalisme proses penyelesaian perselisihan Hampir seluruh ketentuan dalam Pengadilan Hubungan Industrial mensyaratkan adanya pendaftaran serta bukti-bukti. Bahkan saat proses masih berada di tingkat bipartit. Hal ini baik untuk sudut administratif tetapi harus diwaspadai oleh serikat buruh. Ketidakbiasaan bermain dengan dokumen-dokumen resmi dapat menjadi hambatan dalam memperoleh haknya, walaupun dari sudut substansi berada di pihak yang benar. Selain itu, formalisme ini dikaitkan dengan potensi pungli oleh panitera PHI, dapat menjadi penghalang serius bagi buruh yang ingin berjuang melalui PHI. e. Mengadu domba serikat buruh Undang-undang PPHI mempunyai hidden agenda untuk melemahkan gerakan serikat buruh/serikat pekerja. Hal ini dapat dilihat dari ruang lingkup sengketa yang diatur dalam UU PPHI. Salah satu sengketa yang dimaksud ialah sengketa antar serikat buruh. Aturan ini memberi peluang yang lebih besar bagi pengusaha untuk mengendalikan atau menkontrol aktivitas serikat buruh dengan memperalat serikat buruh untuk memerangi serikat buruh independen. Dalam konteks inilah serikat buruh dirugikan. Tugas-tugas utama serikat untuk mendidik dan mensejahterakan anggotanya terancam terabaikan karena disibukkan dengan permasalahan internal menghadapi konflik-konflik dengan sesama serikat buruh.
Seringkali kita melupakan bahwa masalah perburuhan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, berbagai ketentuan yang terkait dengan masalah perburuhan terdapat dalam instrument hak-hak asasi manusia. Adapun ketentuan tersebut antara lain (selengkapnya lihat lampiran):
Melihat peraturan di atas, sulit dibantah bahwa masalah perburuhan merupakan bagian dari kepentingan publik yang harus diatur oleh hukum publik oleh Negara. Pembiaran kepentingan publik diatur dalam ranah privat dapat mengganggu keberlangsungan Negara, bahkan cita-cita berdirinya suatu Negara. Menurut Krzystof, secara acak orang dapat mengelompokkan hak-hak yang terkait dengan kerja atas empat kelompok:[20]
Jam kerja, pembayaran cuti tahunan, istirahat, hak atas kondisi pekerjaan yang sehat dan nyaman, ha katas upah yang adil, hak atas latihan dan bimbingan kerja, hak perempuan dan orang muda atas perlindungan dalam pekerjaan, ha katas jaminan social, dan lain-lain.
Kebebasan dan hak atas kebebasan berkumpul, hak untuk berorganisasi, ha katas tawar menawar kolektif, hak untuk mogok dan kebebasan untuk migrasi pekerja. Juga hak yang memiliki hubungan tidak langsung termasuk kebebasan untuk berkumpul, hak untuk memiliki harta benda, kebebasan dan keamanan seseorang, hak untuk mendapatkan peradilan yang adil, kebebasan berekspresi, dan lain-lain. Memberikan atau menyediakan dasar tak dapat diabaikan bagi pelaksanaan dan membentuk kerangka kerja yang menguntungkan sehingga tanpa hak itu pelaksanaan hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan tak dapat dilakukan tanpa hambatan atau secara serius terhambat. Salah satu ciri yang menunjukkan bahwa hukum perburuhan adalah hukum publik yaitu pidana perburuhan. Berbagai peraturan perundang-undangan mengenai perburuhan tidak hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban kerja, tetapi juga mengatur mengenai tindak pidana yang diancam dengan denda, kurungan, atau penjara. Adapun ketentuan yang memiliki pasal pidana adalah sebagai berikut: UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 3/1992 tentang Jamsostek, UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU 2/2004 tentang PPHI, UU No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja & UU No. 7/1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Dalam kurun waktu tahun 2009-2012, LBH Jakarta melakukan advokasi terhadap 18 kasus pidana perburuhan, namun hanya satu kasus yang berujung ke persidangan dan putusan pengadilan, yaitu kasus upah yang tidak dibayar oleh PT. Istana Magnoliatama. Hal tersebut memperlihatkan meskipun tindak pidana perburuhan merupakan masalah publik yang sangat penting, karena menyangkut tujuan negara untuk mewujudkan keadilan sosial, tidak ada tindakan yang serius untuk mempraktekkannya. Berbagai hambatan yang ditemui antara lain:
Sebaliknya, laporan pidana (kriminalisasi) oleh perusahaan seringkali dijadikan strategi untuk memperlemah gerakan buruh. Lemahnya penegakan pidana perburuhan menyebabkan lemahnya pemenuhan hak-hak buruh. Oleh karenanya berbagai serikat buruh berusaha mendorong adanya desk perburuhan di kepolisian, sama halnya dengan desk khusus mengenai sumber daya lingkungan (sumdaling), industri dan perdagangan, tindak pidana korupsi, perbankan dan cyber, dll. Hingga saat ini dorongan tersebut belum terwujud. C. Perkembangan Hukum Perburuhan Selain dari berbagai teori dan peraturan perundang-undangan terkait perburuhan, perkembangan hukum perburuhan dapat diikuti dari:
Melihat perkembangan hukum perburuhan harus melihat bagaimana perkembangan instrument hukum internasional, baik melalui kovenan atau konvensi beserta komentar umum yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun melalui International Labour Organization (ILO). Organisasi internasional pun banyak mempengaruhi kebijakan hukum negara, seperti World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF), dan berbagai organisasi lainnya. ILO menjadi rujukan dalam perkembangan hukum perburuhan untuk diimplementasikan oleh setiap negara. Terdapat banyak konvensi yang memiliki perspektif lebih maju dan diratifikasi oleh negara-negara. Di sisi lain WTO dan IMF punya pengaruh yang kuat untuk mengubah kebijakan perburuhan suatu negara. Terhadap Indonesia hal tersebut dapat dilihat dari tiga paket undang-undang perburuhan yang dianggap melanggengkan pasar buruh flexible dan liberalisasi perburuhan di Indonesia.
Sejak adanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Banyak buruh dan teradapat juga pengusaha yang menjadikan MK sebagai salah satu saluran advokasi untuk memperjuangkan masing-masing hak ataupun kepentingannya. Cukup banyak pengujian terkait perburuhan, misalnya pengujian terkait pasal alih daya (outsourcing) di Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengujian mengenai hak buruh ketika diproses pidana, pengujian mengenai upah proses, dan berbagai pengujian lainnya.
Putusan dan pertimbangan pengadilan banyak mempengaruhi hukum perburuhan dalam praktek. Penelitian LBH Jakarta dan Mappi pada 2014 terhadap 2993 putusan Pengadilan Hubungan Industrial menemukan bahwa pengadilan seringkali tidak konsisten dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dan PHI belum menjadi saluran yang efektif menegakkan hak buruh.[21] Lebih lanjut perkembangan hukum perburuhan seringkali dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi dan ideologi dari negara atau pemerintahan yang berjalan. Di sisi lain gerakan buruh memiliki andil yang cukup besar untuk melakukan intervensi ataupun mendorong kebijakan yang dianggap pro buruh. Hukum perburuhan tidak bisa hanya diletakkan dalam kaca mata hukum semata. Lampiran:
[1] Tulisan ini merupakan perubahan dan pengembangan dari tulisan penulis sendiri yang sebelumnya berjudul Hukum Perburuhan: Privat atau Publik? [2] Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Djambatan, 1987, hlm. 10. [3] Ibid [4] Ibid, hal. 16. [5] Ibid. [6] Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: LKiS). Cet I, hal 38 [7] Ibid, hal. 41. [8] Krzysztof Drzewicki, Hak untuk Bekerja dan Hak dalam Pekerjaan, diterbitkan dalam Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Inggris: Raol Wallenberg Institute dan SIDA, 2001, hal. 243. [9] Jalil, Op. Cit, [10] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php [11] H.L.A. Hart, Konsep Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2009), Hal. 26. [12] Pranoto Iskandar, Memahami Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2011), hal. 10. [13] C.S.T Kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), Cet ketujuh, hal.36. [14] Ibid. [15] Ibid. [16] Ibid. Hal 75. [17] Zainal Asikin dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Maret 2010). Cet. Ke-8, hal. 5-7 [18] Pengadilan Hubungan Industrial diberi wewenang untuk menyelesaikan Perselisihan Hak; Perselisihan PHK; Perselisihan Kepentingan; dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan; [19] Asfinawati dkk, Buku Manual PPHI LBH Jakarta. Tidak diterbitkan. [20] Krzysztof Drzewicki, Op. Cit., hal. 241-242. [21] Muhammad Isnur dkk, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, Jakarta: LBH Jakarta dan Mappi, 2014, hal. V. Foto: Okezone. |