Ulama yang menyebarkan paham Aswaja adalah

Ulama yang menyebarkan paham Aswaja adalah
Umat Islam sejak dahulu hingga sekarang, mayoritas menganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah, dengan mengikuti madzhab Syafi’i dalam bidang fiqih. Dalam hal ini umat Islam mendapatkan faham tersebut dari ulama serta para dai yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkan agama Islam tidak menganut faham Aswaja, sementara yang diajak adalah penganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Di sisi lain, semua sepakat bahwa dai yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di Pulau Jawa, adalah Walisongo. Karena itu, maka dapat dikatakan bahwa Walisongo adalah penganut Aswaja. Kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan merubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu.

Terkait sunan, Prof. KH. Abdullah bin Nuh, mengatakan bahwa sunan adalah sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dai Islam di Jawa. Nasab mereka bersambung kepada Al-Imam Ahmad Al Muhajir. Dan berdasarkan apa yang diajarkan oleh mereka, dapat dipahami bahwa mereka semua adalah ulama pengikut Madzhab Syafi’i dan Sunni dalam dasar dan akidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Walisongo”. (Al Imam Al Muhajir, hal 174).

Ada beberapa bukti bahwa Walisongo termasuk golongan Aswaja. Selanjutnya Prof. KH. Abdullah Nuh menjelaskan:

“Jika kita mempelajari primbon, yakni kumpulan ilmu dan rahasia yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana kita akan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi referensi utama para dai sembilan. Berupa pendapat dan keyainan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan fiqih dengan susunan yang bagus sekali, dengan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Madzhab As Syafi’i. Dan dari sini, menjadi jelas bahwa para dai yang sangat terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Walisongo itu, termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.” (Al Imam Al Muhajir, hal 182)

Majalah Tebuireng

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986). Ia menjelaskan beberapa tokoh yang menyebarkan Madzhab Syafi’i di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Yaitu : Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis sejak abad ke-15 M. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui Ilmu dan pengembangan pendidikannya. (Sejarah Kebangkitan Islam, 286-287).

Bukti lain yang menegaskan bahwa Walisongo penganut faham Aswaja, adalah ritual kegamaan yang dilaksanankan secara turun temurun tanpa ada perubahan di masjid besar yang didirikan oleh Walisongo. Semisal Masjid Ampel Surabaya, Masjid Demak, dan sebagainya. Semua mencerminkan ritual ibadah yang dilaksanankan oleh golongan Aswaja. Misalnya adzan Jumat dikumandangkan dua kali. Pada Bulan Ramadan dilaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dua puluh rakaat sebulan penuh, kemudian di antara setiap dua rakaat diselingi pembacaan taradhdhi kepada khilafah empat. Selanjutnya sebelum Shubuh dibacakan tarhim sebagai persiapan melaksanakan sholat Shubuh. Tarhim adalah bacaan yang di dalamnya berisi doa-doa kepada semua umat Islam, termasuk juga taradhdhi kepada khilafah empat.

Sudah tentu hanya orang-orang yang memiliki faham Aswaja, yang melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Walisongo adalah penganut faham Aswaja.

(Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah Amaliah Tradisi)

Red: achmad syalaby

REPUBLIKA.CO.ID, PAMEKASAN -- Ulama se-Madura menggelar silaturrahim di Pondok Pesantren Al-Hamidy, Banyuanyar, Madura, Jawa Timur, Selasa (12/1). Silaturahim itu membahas pentingnya penguatan paham Ahlus Sunnah Wal-Jamaan sebagai paham kebanyakan umat Islam yang menyerukan perdamaian.

Silaturrahim yang digelar di aula pertemuan kampus Salafiah di pondok itu menghadirkan dua ulama asal Hadramaut, Yaman, yakni Habib Ali Bin Muhammad Al-Haddad dan Syekh Abdullah Bin Salim Sa'id Badaud. "Selain untuk bersilaturrahim, acara ini juga dalam rangka memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW," kata Pengasuh Pondok Pesantren Al Hamidy KH Mohammad Rofii.

Dalam orasinya, Habib Ali Bin Muhammad Al-Haddad menyatakan, penguatan paham Ahlus Sunnah Wal-Jamaah harus tetap dipelihara dan diperkuat sebagai akidah umat Islam. Menurutnya,  paham ini membawa pesan perdamaian, yakni menyebarkan ajaran Islam dengan cara damai dan menolak kekerasan.

"Kami minta pondok pesantren tidak hanya mengajarkan paham Ahlus Sunnah Wal-Jamaah ini tidak hanya pada santri saja, akan tetapi juga pada kalangan masyarakat umum," ucapnya.

Ulama ini juga meminta agar paham Ahlus Sunnah Wal-Jamaah  diajarkan dan menjadi kurikulim pendidikan formal, mulai  tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), hingga Perguruan Tinggi. Dalam kesempatan itu, Habib Ali menuturkan, peristiwa yang pernah terjadi di Yaman.

Menurutnya, kala itu, kalangan pondok pesantren dan ulama di Yaman hanya mengajarkan paham Ahlus Sunnah Wal-Jamah hanya di pesantren dan keluarga ulama saja, akan tetapi mengabaikan pendidikan pada masyarakat umum."Akibatnya, paham di luar Ahlus Sunnah Wal-Jamaah masuk dan cenderung merusak tatanan paham 'Aswaja' yang sudah bagus," ujarnya.

  • ulama
  • paham aswaja
  • ulama madura

Ulama yang menyebarkan paham Aswaja adalah

sumber : Antara

Ulama yang menyebarkan paham Aswaja adalah

Oleh : H. Noor Rohman FZ, B.Ed., M.A

(Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi)

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.

Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik.

Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah pengikut faham Mu’tazilah. Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW  berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan istilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi Aswaja secara lebih luas).

Secara ideologi politik penganut Aswaja juga sering disebut dengan “kaum Sunni”. Istilah ini sering diantonimkan dengan “kaum Syi’i”. Hal ini pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan pandangan di kalangan para sahabat Nabi mengenai  kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat politik. Dari ranah yang terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke dalam berbagai perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek teologi dan fiqih. Inilah realitas sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni) menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama Asia Tenggara bermazhab Syafi’i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi’i.

Telah disebut di atas bahwa secara teologis kaum Nahdliyyin (warga NU) adalah bermazhab Aswaja. Artinya, mereka adalah bagian dari kaum Sunni. Dengan demikian maka secara otomatis faham teologi mereka tidaklah bersifat ekstrim, akan tetapi bersifat moderat (tengah-tengah). Jadi tidak ada warga NU, misalnya, yang terlibat kegiatan melawan Pemerintah yang sah, seperti teroris. Melalui kecerdasan-kecerdasan intelektualitas dan spiritualitas para ulama NU, terumuskanlah beberapa nilai ajaran yang luhur yang diyakini dapat membawa umatnya – baik secara individual maupun komunal – ke jalan yang benar, sejahtera lahir dan batin, selamat di dunia dan di akherat serta diridloi Allah SWT, termasuk cara kebersamaan hidup  berbangsa dan bernegara yang diliputi dengan kedamaian. Di antara nilai-nilai penting yang diajarkan adalah sikap at-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun, at-tasamuh dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Kata at-tawassuth mempunyai arti mengambil posisi di pertengahan, kata al-i’tidal berarti tegak lurus, tidak memihak, karena kata ini berasal dari kata al-‘adl yang berarti keadilan, kata at-tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, yakni tidak melebihkan sesuatu dan tidak menguranginya dan kata at-tasamuh mempunyai arti toleransi, yakni menghormati perbedaan pendapat dan keyakinan.  Semuanya itu diintisarikan  dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah. Nilai-nilai tersebut diamalkan dalam pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar yang merupakan ruh kehidupan umat dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Inilah ciri-ciri penting yang melekat pada kehidupan kaum Sunni. Dan nilai-nilai inilah yang senantiasa disandang oleh para ulama NU semenjak kelahirannya hingga kini. Semua itu tiada lain adalah merupakan warisan para wali (pendakwah Islam) yang telah berjasa dalam penyebaran Islam di Tanah Air kita ini.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, pola pikir NU yang didasari dengan nilai-nilai tersebut dapat dinilai sebagai suatu cara yang paling efektif, feasible, akurat dan tepat. Hal ini dimaksudkan bahwa eksistensi NU, baik secara kelembagaan (jam’iyyah/organisasi), perkumpulan (jama’ah-jama’ah), ajaran (pemahaman keagamaan) maupun kultur keagamaan dan kemasyarakatannya dapat diterima bahkan didukung dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.   Hal ini terbukti dengan penilaian positif dari para pemimpin pemerintahan Republik Indonesia. Berita terakhir yang patut dikemukakan di sini adalah tawaran Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di saat kunjungan Rais Am dan Ketua Umum PBNU di Istana Negara, 2 Juni 2010, kepada PBNU untuk bekerjasama (MoU) dalam  5 bidang.  Pertama, adalah masalah penanggulangan gerakan radikalisasi. Menurut penilaian beliau pendekatan kultural dan keagamaan yang dilakukan NU sangatlah efektif. Kedua, adalah di bidang peningkatan ekonomi, terutama dalam peningkatan ketahanan pangan, pengembangan usaha ekonomi mikro dan ketahanan energi. Program ini perlu dilakukan secara luas agar bisa menjangkau lapisan rakyat yang paling bawah. Ketiga, kerjasama dalam bidang pendidikan, terutama dengan pendidikan moral dan penguatan character building. Dikatakan, agenda ini sangat penting mengingat saat ini pendidikan telah kehilangan aturan dan tata nilai. ”Kita bisa kembali menata moral bangsa dengan pendidikan moral dan dengan penguatan character building. ” Demikian kata Said Aqil, Ketua Umum PBNU. Keempat, adalah penanggulangan climate change. Peran ulama dalam masalah ini sangat penting. Sebab hal ini amat berkaitan dengan pembinaan moral bangsa. Dengan penanaman nilai-nilai moral yang luhur diharapkan masyarakat akan lebih bisa menghormati lingkungan dan menjaga kelestariannya. Kelima, adalah  pengembangan dialog peradaban untuk mewujudkan perdamaian dunia. Saat ini Indonesia dan NU diminta lebih aktif dalam forum internasional dan diharapkan menjadi leader dalam semua bidang.

Dari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa simpulan. Di antaranya (a) faham Aswaja adalah faham yang benar karena didasari dengan dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) dan ‘aqli, maka faham Aswaja wajib dipertahankan dan  dilestarikan, (b) at-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun dan at-tasamuh adalah nilai-nilai ajaran luhur yang ternyata sangat efektif dalam mendakwahkan Islam di mana saja, termasuk di Indonesia, maka kita kaum Nahdliyyin, terutama kaum mudanya, berkewajiban mengaplikasikannya dalam memperjuangkan faham Aswaja yang sebenarnya sehingga eksistensi NU dapat menjadi rahmatan lil-‘alamien, dan (c) penilaian positif dari Kepala Negara RI wajib direspon secara aktif, proaktif dan sungguh-sungguh sehingga cita-cita bangsa kita dalam masa yang tidak begitu lama dapat menjadi realita yang nyata.  .