Apa yang terjadi jika negara Indonesia melakukan kebijakan pelarangan impor

Apa yang terjadi jika negara Indonesia melakukan kebijakan pelarangan impor
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kondisi perekonomian Indonesia positif sampai dengan akhir Juli 2018 pada konferensi pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) edisi Agustus 2018 di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta pada Selasa (14/08).

15/08/2018 10:00:10

Jakarta, 15/08/2018 – Pemerintah Indonesia melakukan beberapa kebijakan antara lain pembatasan impor atas komoditas dan proyek-proyek tertentu yang komponennya bisa disediakan di dalam negeri. Hal ini guna mengantisipasi dampak tekanan perubahan lingkungan global seperti krisis ekonomi di Turki saat ini.

Hal ini disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (Kepala BKF) Suahasil Nazara, pada konferensi pers APBN KiTa Bulan Agustus 2018 di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (14/08).

“Belakangan kita mengalami pelebaran di current account mencapai 3% di PDB. Ketika ekonomi dunianya bergejolak, terutama dipicu belakangan ini di Turki. Mereka banyak yang keluar dari Turki sehingga Turki mata uangnya melemah. Ini kemudian berimbas pada negara lain, termasuk Indonesia melalui sentimen negatif. Kita akan melakukan upaya khususnya di current account deficit,” jelas Kepala BKF.

Menkeu menambahkan bahwa Pemerintah akan melakukan kebijakan pembatasan impor atas barang-barang yang dapat dibuat di dalam negeri baik pada proyek-proyek ber-content impor besar maupun impor-impor barang konsumsi dan bahan baku.  

“Untuk mengendalikan current account deficit ini, pertama kita akan melihat seluruh proyek-proyek yang memiliki content impor besar (terutama PLN dan Pertamina). Apakah mereka bisa diproduksi dalam negeri, urgent atau ditunda. Diharapkan impor bisa menurun. Kedua, kita akan melihat impor untuk bahan baku dan konsumsi. Kita akan membatasi (impor terutama yang bisa disediakan di dalam negeri) bisa melalui instrumen PPh impor dinaikan atau tarif ataukah dalam bentuk measure yang lain,” jelas Menkeu.

Namun, Menkeu mengatakan, hanya meembatasi terhadap komoditas yang memiliki multiplier (effect) paling kecil terhadap pertumbuhan. Dengan demikian, walaupun import ditekan, momentum pertumbuhan ekonomi akan tetap relatif terjaga. (btr/ind/nr) 

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah negara memberlakukan penutupan keran ekspor sementara. Tidak hanya gandum, tapi juga sayuran dan buah-buahan.

Aksi ini semakin menguat, terutama sejak perang antara Rusia dan Ukraina pecah. Tak ketinggalan, Indonesia pun ikut melakukan pelarangan ekspor minyak sawit. Salah satu minyak nabati yang banyak dikonsumsi di dunia.

International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam catatan yang diunggah April 2022 mengingatkan bahaya jika pelarangan atau pembatasan ekspor komoditas atau bahan pangan semakin marak.

Meski menguntungkan pasar domestik, namun merugikan negara-negara yang mengandalkan pasokan impor (net importer). Dimana, pengalaman masa lalu, aksi serupa menyebabkan mengetatnya ketersediaan pangan, memicu lonjakan harga, hingga mengancam ketahanan pangan terutama di negara miskin.

Sikap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pun dipertanyakan, karena dinilai lunak dalam menangani atau mendisiplinkan maraknya aksi proteksionisme.

Dari sekian produk yang hingga saat ini dikenakan larangan ekspor, gandum jadi produk yang mengkhawatirkan Indonesia.

Pasalnya, Indonesia mengandalkan pasokan gandum impor sepenuhnya.

Sedangkan untuk gula, Indonesia terpantau tidak mengimpor dari Aljazair. Juga untuk jagung dan minyak kedelai, Indonesia tidak mengimpor komoditas tersebut.

India adalah negara yang terbaru melakukan pelarangan ekspor pangan, yaitu gandum. Menyusul gelombang panas yang merusak tanaman gandum yang mendekati musim panen.

Setelah India mengumumkan rencananya menutup keran ekspor gandum pada 14 Mei 2022, harga langsung melonjak.

Di dalam negeri larangan itu diprediksi akan mendongkrak lonjakan biaya produksi. Akibatnya, harga makanan yang berbahan gandum seperti mi instan dan roti pun terancam mengalami kenaikan harga lagi.

"Yang pastinya karena berkurangnya suplai akibat larangan tersebut, ini akan meningkatkan harga di tingkat internasional, dan di dalam negeri bakal ada peningkatan impor. Akan meningkatkan input bagi industri yang berbahan baku gandum, mulai dari mi instan, roti," kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal kepada CNBC Indonesia, Selasa (17/5/22).

Seperti dilansir world-grain, selain India, negara yang menurut IFPRI melakukan larangan ekspor gandum adalah Rusia (hingga 30 Juni 2022). Kedua negara ini merupakan pemasok kebutuhan gandum Indonesia.

Selain ketiga negara tersebut, negara lain yang juga melarang ekspor gandum adalah Mesir, Serbia, Aljazair, Kazakhstan, dan Kosovo.

Namun, hingga saat ini, menurut Menurut Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), Indonesia tidak mengimpor gandum dari negara-negara tersebut.

Berikut fakta-fakta terkait meningkatnya proteksionisme dan pelarangan ekspor pangan oleh sejumlah negara:

1. Meningkat Sejak Perang Rusia-Ukraina

Hasil penelusuran IFPRI, sejak invasi Rusia pertama kali atas Ukraina pada 24 Februari 2022, jumlah negara yang memberlakukan pembatasan ekspor bertambah. Dari 3 menjadi 16 negara per awal April 2022. Yang mewakili 17% dari total kalori yang diperdagangan secara global, baik akibat penutupan maupun dengan persyaratan izin ekspor.

Dimana, pada 4 pekan pertama sejak merebaknya pandemi Covid-19, 21 negara tercatat melakukan pembatasan ekspor berbagai produk. Dan mencapai puncak di Mei dan Juni 2020, menyebabkan sekitar 8% sumber pasokan kalori terdampak. Baru kemudian di akhir musim panas, negara-negara mulai melonggarkan pelarangan.

2. Pelakunya Produsen Utama Dunia

Pembatasan dan pelarangan ekspor dilakukan oleh negara produsen utama dunia. Diawali untuk menjaga pasokan domestik, mengantisipasi konflik Rusia-Ukraina.

Negara pemasok utama dunia yang menutup keran ekspor adalah Indonesia, Argentina, Turki, hingga Kirgizstan dan Kazakhstan.

Di tengah lonjakan harga-harga pangan di seluruh dunia dan belum adanya tanda-tanda perang mereda, aksi proteksionisme diprediksi akan terus berlanjut. Dan semakin memicu memanasnya volatilitas harga-harga.

3. Lima Komoditas Paling Terdampak

Lima produk pertanian yang paling terkena dampak pembatasan atau pelarangan ekspor adalah:- gandum- minyak sawit- jagung- minyak bunga matahari

- minyak kedelai.

4. Negara Paling Dirugikan

Komoditas serealia (biji-bijian) dan minyak nabati adalah terbanyak kena pembatasan atau pelarangan ekspor. Karena itu, negara pengimpor gandum, jagung, dan minyak nabati adalah jadi negara paling terpengaruh pelarangan ekspor. Terutama yang mengandalkan pasokan dari Rusia dan Ukraina.

Karena itu, biasanya importir lebih memilih negara pemasok mengenakan tindakan menaikkan pajak ekspor atau biaya lain. Dibandingkan larangan atau pembatasan ekspor yang berdampak langsung pada berkurangnya stok tersedia.

5. Sikap ASEAN

Para menteri ekonomi ASEAN memutuskan meningkatkan kerja sama untuk menjaga ketahanan pangan di tengah sejumlah tantangan global. Langkah ini diyakini bisa strategis bisa mengurangi ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap dunia luar.

"Saya yakin dengan meningkatkan lagi perdagangan intra-ASEAN bisa meningkatkan kecukupan/ ketersediaan dan melebihi ekspektasi. Saat ini, kita ekspor lebih banyak ke luar. Dengan meningkatkan perdagangan di dalam ASEAN itu sendiri. Saya yakin bisa membuat kita semakin kuat," kata Menteri Perdagangan Kamboja Pan Sorasak saat Konferensi Pers Pertemuan Khusus Para Menteri Ekonomi ASEAN (AEM Special Meeting, 17-18 Mei 2022) di Bali ditayangkan akun Youtube Kementerian Perdagangan, Rabu (18/5/2022)

Menteri Pan yang juga Ketua AEM memberi pernyataan soal pertemuan para menteri, bersama Menteri Perdagangan (Mendag) RI Muhammad Lutfi dan Deputy Secretary-General for ASEAN Economic Community (AEC) Satvinder Singh.

Sementara itu, Mendag Lutfi menambahkan, meningkatnya proteksionisme merupakan isu yang dihadapi oleh semua pihak. Karena itu, ujarnya, komitmen dalam pertemuan kali ini adalah untuk memastikan terjaminnya pasokan di dalam ASEAN.

"Komitmen hari ini adalah bagaimana kita bisa saling bertukar surplus masing-masing, memastikan bahwa yang tidak memiliki bisa menjadi memiliki. Intinya, kami membahas isu ini. Ini adalah bagian dari ketahanan pangan, ketahanan pasokan. Kami juga membahas berbagai tindakan perdagangan dengan para mitra," kata Lutfi.

Lutfi mengatakan, pertemuan itu juga menyoroti sejumlah tantangan global, seperti sistem perdagangan multilateral yang kehilangan arah karena tidak berjalan sesuai keadaan di WTO.

6. Krisis Terulang

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, maraknya pelarangan atau pembatasan ekspor bukan tidak mungkin memicu krisis pangan seperti di tahun 2008 terulang. Dia mengatakan, aksi pelarangan ekspor bisa saja semakin meluas.

"Bahkan mungkin lebih parah. Krisis pangan di 2008, disebabkan beberapa negara secara unilateral melarang ekspor karena mereka takut supply domestik terganggu. Ini menyebabkan pasokan di pasar internasional terganggu. Tapi waktu itu tidak ada perang," kata Yose kepada CNBC Indonesia, Kamis (19/5/2022).

Saat ini, dia menambahkan, tanpa larangan ekspor, pasar internasional sudah terganggu. Akibat efek domino pandemi Covid-19 yang mengganggu rantai pasok barang dunia, ditambah perang Rusia-Ukraina.

Dimana Rusia dan Ukraina adalah juga pemasok utama dunia untuk sejumlah bahan pangan dan komoditas strategis lainnya.

"Ini ditambah lagi larangan ekspor," ujarnya.

Pemerintah, imbuh dia, harus mengambil langkah cepat mengamankan pasokan pangan untuk Indonesia.

"Harus cepat secure supply, terutama yang dari luar negeri. Jangan malah nggak mau impor, sementara orang rebutan mau impor," kata Yose.

7. Kondisi Global

Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memproyeksikan, produksi gandum dunia bakal susut 4 juta ton pada periode tahun 2022/2023 dibandingkan periode 2021/2022.

Penurunan terbesar akibat anjloknya produksi di Ukraina. Berkurangnya luas panen dengan hasil lebih rendah akibat perang dengan Rusia, diprediksi akan menekan produksi gandum Ukraina hingga sepertiga dari sebelumnya.

Menurut Bank Dunia, Rusia dan Ukraina memasok hingga 29% kebutuhan gandum dunnia.

"Dengan harga pangan yang sudah tinggi karena gangguan rantai pasokan akibat Covid-19 dan hasil yang berkurang akibat kekeringan tahun lalu, invasi Rusia memperburuk kondisi pasar pangan global," seperti dilansir CNBC International mengutip IFPRI, Selasa (17/5/2022).

Setelah India mengumumkan larangan ekspor gandum, harga internasional melonjak hingga 6% pada sesi perdagangan Senin (16/5/2022).

"Seiring perang yang berlanjut, ada kemungkinan terjadinya kurang pasokan pangan, terutama biji-bijian dan minyak sayur menjadi semakin akut, membuat lebih banyak negara beralih ke pembatasan perdagangan," tulis analis IFPRI Joseph Glauber, David Laborde dan Abdullah Mamun.

"Ekspor global diperkirakan mencapai rekor 205 juta ton karena permintaan impor yang kuat dan harga yang tinggi diharapkan dapat mengarahkan eksportir utama untuk memprioritaskan pasokan yang cukup untuk ekspor," demikian catatan USDA dalam laporan edisi Mei 2022.

Ketatnya pasokan akibat berbagai faktor, mulai dari efek domino pandemi, perang, hingga penurunan hasil panen, diprediksi akan semakin mendongkrak harga gandum dunia.


(dce/dce)