Siapa yang bertanggung jawab atas skimming?

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Semakin berkembangnya zaman dan teknologi, sektor perbankan sendiri membuat sebuah pelayanan baru, salah satu produk hasil teknologi di bidang perbankan yang dapat mempermudah kegiatan transaksi tanpa perlu mendatangi teller bank adalah mesin ATM. Berkembangnya sebuah teknologi selain berdampak positif dapat juga berdampak negatif, salah satunya adalah berkembangnya kejahatan di dunia maya atau biasa disebut dengan cybercrime. kejahatan pada ATM semakin banyak dilakukan dengan cara skimming yaitu dipahami sebagai metode “penyaringan” data pada kartu ATM nasabah. Dalam kasus skimming beban pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Jadi apabila uang nasabah hilang dikarenakan di skimming oleh orang yang tidak bertanggung jawab, maka sesuai pasal 4 huruf (H) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen nasabah berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas uangnya yang hilang tersebut. Bentuk penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui 2 cara yaitu melalui peradilan atau litigasi dan melalui luar peradilan atau non litigasi. berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, apabila terjadi sengketa keuangan dapat diselesaikan melalui LAPSPI. LAPSPI yang didirikan mulai beroperasi pada Januari 2016 didirikan atas kesepakatan bersama enam asosiasi di sektor perbankan.

Langkah ini untuk memperoleh solusi penyelesaian atas hilangnya simpanan nasabah akibat kejahatan tersebut.

Baca artikel sebelumnya: Kejahatan Skimming ATM, Begini Hukumnya

Dalam melakukan pengaduannya, nasabah dapat merujuk pada salah satu kewajiban hukum yang dibebankan kepada bank untuk menjaga setiap simpanan dana, data, dan/atau informasi nasabah.

Regulasi yang dapat dirujuk nasabah di antaranya UU No. 10 Tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Regulasi tersebut di antaranya mengatur tanggungjawab bank untuk menjamin keamanan dana nasabah yang disimpan pada bank yang bersangkutan.

Kewajiban bank tersebut ditegaskan di regulasi turunan, yakni PBI No. 22/20/PBI/2020.

Beleid tersebut mengatur bahwa setiap penyelenggara jasa keuangan yang diatur dan diawasi Bank Indonesia (BI), termasuk bank, wajib menjaga keamanan aset, data dan/atau informasi nasabah yang berada dalam tanggung jawab bank.

BI juga menegaskan bahwa untuk menjalankan kewajiban hukumnya tersebut, bank wajib membuat mekanisme dan prosedur perlindungan aset, data, dan/atau informasi nasabah.

Bank juga wajib memiliki sistem informasi yang andal untuk mendukung pelaksanaan perlindungan data dan/atau informasi nasabah.

Pengaturan serupa terdapat di POJK No. 1/POJK.07/2013. Otoritas Jasa Keuangan memberikan aturan yang tegas bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan, termasuk bank, untuk menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset nasabah yang berada dalam tanggung jawabnya.

Pengaduan yang dilakukan nasabah dapat merujuk pada mekanisme penyelesaian sengketa sektor jasa keuangan.

Nasabah terlebih dahulu menyampaikan pengaduan disertai data dan informasi yang relevan.

Apabila pengaduan tersebut tidak ditanggapi atau tidak tercapai kesepakatan, maka nasabah dapat menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan merujuk pada perjanjian antara bank dan nasabah.

Salah satu contoh kasus yang menggambarkan penjelasan di atas adalah perkara antara nasabah Bank Mandiri Cabang Balikpapan yang menggungat pihak bank ke pengadilan negeri karena mengalami kerugian akibat kejahatan skimming.

Perkara tersebut diputus PN Balikpapan dalam Putusan No. 106/Pdt.G/2018/PN.Bpp. tanggal 23 Agustus 2018 dan dikuatkan oleh PT Kalimantan Timur dalam Putusan No. 32/PDT/2020/PT.SMR. tanggal 10 Maret 2020.

Pada perkara tersebut, hakim menyatakan bahwa hilangnya dana nasabah akibat kejahatan skimming adalah tanggungjawab bank.

Hal ini karena dalam usaha jasa keuangan, bank berkewajiban menjaga sistem keamanan perbankan yang dimilikinya.

Bank seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melindungi dana nasabah.

Pengadilan menghukum bank untuk membayar kerugian nasabah, baik materiil maupun immaterial, total sebesar Rp 55.587.500.

Berdasarkan sistem informasi perkara PN Balikpapan, perkara tersebut saat ini dalam tahap permohonan eksekusi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka langkah hukum yang dapat ditempuh oleh nasabah untuk mengembalikan kerugian dialaminya adalah menempuh proses penyelesaian dengan bank.

Salah satu dasar argumentasi nasabah dapat merujuk pada kewajiban hukum bank untuk menjaga menjamin keamanan dana nasabah yang disimpan pada bank.

Namun perlu diingat, bahwa proses penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan sesuai mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau berdasarkan mekanisme yang disepakati dalam perjanjian antara bank dan nasabah.

Lalu, apa yang dapat dilakukan bank?

Bank adalah pihak yang sangat dirugikan akibat kejahatan skimming. Selain harus bertanggungjawab terhadap dana nasabah, bank juga harus melakukan perbaikan terhadap sistem keamanan simpanan, data dan informasi nasabah.

Menyikapi kejahatan tersebut, langkah yang patut dilakukan pihak bank adalah membuat laporan dugaan tindak pidana ke pihak kepolisian.

Pasalnya, di Indonesia telah diatur bahwa kejahatan skimming dikaulifikasikan sebagai bentuk tindak pidana sebagaimana terdapat di KUH Pidana dan UU ITE.

Pelaku kejahatan diancam pidana penjara dan bahkan denda.

Sebagai pihak yang dirugikan sekaligus pelapor, bank harus bersikap kooperatif dalam mengikuti proses pemeriksaan dugaan tindak pidana.

Bentuk sikap kooperatif tersebut di antaranya menyediakan saksi-saksi dan bukti surat yang relevan dan dibutuhkan oleh pihak kepolisian.

Di beberapa perkara, bukti surat yang dibutuhkan dari pihak bank untuk menjerat pelaku kejahatan skimming adalah bukti transaksi nasabah di mesin ATM dan mutasi rekening.

Sementara saksi adalah pihak yang mengetahui dan dapat menerangkan kepada penegak hukum tentang terjadinya kejahatan skimming.

Namun untuk dapat dipahami, proses pemidanaan tidak serta merta dapat mengembalikan kerugian yang dialami bank maupun nasabah.

Pengadilan pidana tidak dapat menghukum pelaku kejahatan untuk mengembalikan uang hasil kejahatan atau membayar kerugian yang dialami oleh bank maupun nasabah.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya lanjutan selain upaya pemidanaan tersebut, yakni tuntutan hukum secara keperdataan.

Menyikapi kondisi di atas, maka upaya yang paling strategis dilakukan bank adalah menggunakan putusan pidana sebagai dasar untuk menggugat ke pengadilan untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku kejahatan dan mengembalikan kerugian bank.

Gugatan keperdataan terhadap pelaku kejahatan yang merugikan bank mafhum dilakukan di beberapa perkara.

Salah satu contohnya adalah upaya yang pernah dilakukan oleh Bank BII menggugat pihak yang melakukan tindak pidana perbankan dan merugikan bank.

Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Putusan MA No. 1715 K/Pdt/2017 tanggal 31 Agustus 2017 yang menguatkan putusan PN Surakarta dan PT Jawa Tengah.

Putusan itu menyatakan pihak yang digugat oleh bank telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

Tergugat dihukum membayar ganti rugi kepada bank sebesar Rp 1,4 miliar ditambah keuntungan yang diharapkan sebesar 7 persen per tahun atau senilai Rp 98 juta karena memanfaatkan kerusakan sistem mesin ATM guna memperoleh keuntungan secara melawan hukum.

Perkara tersebut sebelumnya diputus oleh pengadilan pidana dalam Putusan PN Suratkarta No. 108/Pid.Sus/2014/PN.Skt. tanggal 20 Oktober 2014 karena melanggar UU No. 81 Tahun 2011 tentang Transfer Dana dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Merujuk pada penjelasan di atas, maka diketahui bahwa langkah hukum yang paling strategis untuk ditempuh oleh bank apabila menjadi korban kejahatan skimming adalah memuat laporan pidana di kepolisian dan menggugat pelaku secara perdata berdasarkan putusan pengadilan pidana.

Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian dialami bank akibat kejahatan tersebut (restitutio in integrum).

Anda punya pertanyaan terkait permasalah hukum? Ajukan pertanyaan Anda di laman ini: Form Konsultasi Hukum

Apa yang dilakukan bank jika terjadi skimming?

Lakukan pengecekan di bagian mutasi rekening dan perhatikan ke mana uang itu pergi. Jika skimming telanjur terjadi, langkah selanjutnya adalah menghubungi call center atau mendatangi bank terdekat untuk melakukan pelaporan.

Apakah pihak bank bertanggung jawab atas hilangnya uang nasabah?

Pihak Bank wajib bertanggungjawab pada nasabah penyimpan dalam hal kerugian nasabah disebabkan oleh pihak Bank. Penyelesaian sengketa kerugian nasabah dapat ditempuh melalui dua proses yaitu mekanisme persidangan(litigasi) dan mekanisme diluar persidangan (non litigasi).

Apa itu penipuan skimming?

Skimming adalah salah satu jenis penipuan yang masuk ke dalam metode phishing. Ketika nasabah memasukkan kartu ATM ke mesin, secara otomatis alat tersebut dapat menggandakan data dan menyalin pin nasabah. Kemudian pelaku menggunakan kartu palsu yang sudah disiapkan untuk mengambil uang nasabah dengan cepat.

Apakah uang aman di bank BRI?

Ya, bank ini aman karena telah terdaftar resmi di OJK dan LPS. Kami juga merekomendasikan bank ini. BRI sebagai salah satu bank milik negara terbaik dan ternama di Indonesia yang menawarkan produk keuangan bagi masyarakat Indonesia untuk memudahkan transaksi keuangan sehari-hari.