Bagaimana pendapat anda tentang pemalsuan hadis Apakah jika ada mengapa Brainly

Hadits dhaif (kalau merujuk pada ilmu Musthalah Hadits) merupakan tingkatan hadits paling rendah setelah hadits sahih dan hasan. Hadits ini dikatakan dhaif hanya karena penisbatannya yang tidak begitu meyakinkan kepada Rasulullah SAW.Sebabnya antara lain adalah silsilah sanadnya yang terputus, rawinya yang kurang kuat ingatannya, dan lain sebagainya. Namun apakah hadits ini bisa sama dengan hadits maudhu (palsu)? Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan sederhana ini.Syekh Khalil bin Ibrahim dalam sebuah karyanya Khuthuratu Musawatil haditsid Dhaif bil Maudhu menjelaskan secara panjang lebar terkait perbedaan itu. Ia mengecam sebagian kalangan yang menyamakan hadits dhaif dengan hadits palsu. Keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Menyamakan keduanya termasuk suatu kesalahan fatal dalam beragama.Syekh Khalil menjelaskan, di antara perbedaan hadits dhaif dan maudhu adalah sebagai berikut.

إن الحديث الضعيف هو في الأصل منسوب إلى النبي المصطفى الكريم صلى الله عليه وسلم بخلاف الموضوع، فهو مكذوب مختلق مصنوع.

Artinya, “Hadits dhaif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan hadits maudhu yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas nama Nabi SAW).Selain itu, penyebab dhaifnya sebuah hadits adalah keterputusan sanadnya, atau kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi dari para perawinya seperti lemahnya daya ingat, sering ragu ataupun tersalah dalam menyampaikan sesuatu. Sedangkan hadits maudhu adalah hadits yang tidak bersumber sama sekali dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian hadits dhaif boleh diriwayatkan secara ijmak, sedangkan hadits maudhu tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya.

Selanjutnya, hadits dhaif tetap diamalkan berdasarkan ijmak ulama dalam hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan (fadhail), anjuran kebaikan, dan larangan keburukan. Sedangkan hadits maudhu haram diamalkan. Serta hadits dhaif akan naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi ketika ada sanad lain yang memperkuat kebenarannya. Sedangkan hadits palsu tidak akan mengalami kenaikan status sekalipun mempunyai puluhan ataupun bahkan ratusan hadits pendukung dari jalur yang berbeda-beda.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Ad-Durrul Mandhud sebagaimana yang dikutip juga oleh Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza fi Sya’ban menyebutkan sebagai berikut.

وقد اتفق الأئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في الفضائل والترغيب والترهيب، لا في الأحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف.


Artinya, “Para imam dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih telah sepakat, sebagaimana yang disebutkan juga oleh Imam An-Nawawi dan lainnya, tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal fadhail (keutamaan-keutamaan), anjuran kebaikan dan ancaman keburukan. Tidak dalam perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah.”Melihat sejumlah perbedaan itu, maka sangat naif kalau ada seseorang yang begitu entengnya membuang hadits dhaif seolah-olah itu bukan (tidak tergolong) sebagai perkataan Nabi sama sekali. Sementara itu di sisi lain, tidak terhitung banyaknya ulama yang mengamalkan hadits-hadits dhaif selama kedhaifannya tidak terlalu parah dan tidak mempunyai hadits pendukung dari jalur atau sanad yang lain.

Berikut ini kutipan beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut. Pertama, Imam Nawawi dalam Fatawa-nya menyebutkan adanya konsensus (ijmak) di kalangan ulama terkait kebolehan mengamalkan hadits dhaif untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal dan haram.

Kedua, boleh mengamalkannya secara mutlak dalam persoalan hukum ketika tidak ditemukan lagi hadits sahih yang bisa dijadikan sebagai sandaran. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan Abu Daud. Selain itu Imam Abu Hanifah dan Ibnul Qayyimil Jauziyyah juga mengutip pendapat tersebut.

Ketiga, hadits dhaif boleh diamalkan jika ia tersebar secara luas dan masyarakat menerimanya secara umum tanpa adanya tolakan yang berarti (talaqqathul ummah bil qabul). Keempat, boleh mengamalkannya ketika hadits dhaif tersebut didukung oleh jalur periwayatan lain yang sama atau lebih kuat secara kualitas darinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At-Tirmidzi dalam karyanya. Wallahu a‘lam. (Yunal Isra)

MUHAMMADIYAH.OR.ID, PERLIS—Dalam sejarah perkembangan Islam, pemalsuan hadis merupakan suatu kenyataan. Di antara pakar hadis ada yang menyatakan bahwa pemalsuan hadis telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Hal ini berangkat dari riwayat ancaman Nabi Saw terhadap setiap orang yang berbohong dan melakukan pendustaan atas nama beliau, “Barang siapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, maka dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka”.

“Sebelum Hadis dikodifikasi, pemalsuan hadis telah terjadi. Ahmad Amin dalam kitab Fajr al-Islam menyatakan bahwa hadis palsu sudah muncul sejak Nabi SAW masih hidup. Karena ada hadis ancaman dari Rasulullah Saw ini mengindikasikan bahwa di zaman itu telah terjadi pemalsuan hadis,” Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam acara yang diselenggarakan Jabatan Mufti Negeri Perlis pada Senin (18/10).

Pada masa Nabi Saw, pemalsuan hadis hanya berkisar dalam pusaran kepentingan muamalah antar individu masyarakat. Setelah Nabi Saw meninggal, khususnya ketika Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah, banyak motif yang melatarbelakangi seseorang memalsukan hadis. Puncaknya saat Umat Islam terpecah menjadi pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib, pendukung Gubernur Mu’awiyah dan yang anti terhadap keduanya (khawarij).

Bila di zaman Nabi Saw pemalsuan hadis dilakukan untuk kepentingan muamalah-individu, maka pada peristiwa perang Shiffin tahun 37 Hijriyah dan fitnah kubra sekitar tahun 40 Hijriyah, pemalsuan hadis dilakukan untuk kepentingan politik-kolektif guna melegitimasi hawa nafsu mereka. Karenanya, pada saat itu sulit membedakan antara hadis maudhu (palsu) dengan hadis otentik (sahih).

“Pemalsuan hadis ini banyak dilakukan oleh orang-orang Khawarij. Tapi orang-orang yang pro terhadap Muawiyah maupun pro terhadap Ali bin Abi Thalib juga sama-sama melakukan pemalsuan hadis. Di samping itu juga memalsukan hadis dilakukan oleh orang-orang non-muslim,” ungkap Pria kelahiran Kulonprogo, 24 Januari 1968 ini.

Memasuki abad ke-3 Hijriyah, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik. Meski demikian, Agung menginginkan agar pemeriksaan terhadap otentisitas hadis tidak berhenti di kitab-kitab Mu’tabar melainkan harus terus diteliti guna menghindari hadis-hadis palsu atau riwayat-riwayat lain yang lemah.

Bagaimana pendapat anda tentang pemalsuan hadis Apakah jika ada mengapa Brainly

Hadits-hadits Maudhu yang banyak beredar pada zaman sekarang, tidaklah menyebar dengan sendirinya. Ada beberapa golongan yang sengaja membuat dan menyebarkannya.

Namun, para ulama berbeda pandangan tentang kapan awal munculnya hadis maudhu. Sebagain berpendapat pemalsuan hadits sudah terjadi pada masa Nabi masih hidup dan pendapat lainnya terjadi pada masa sahabat dan tabiin.

Ahmad Amin  (w. 1373 H/1954 m) dalam kitabnya Dhuha Al-Islam berargumen peristiwa pemalsuan hadits nabi sudah terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan merujuk pada hadits nabi yang diriwayatkan Imam Al-bukhari:

Baca Lainnya :

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. (HR. Al-Bukhâri, no. 1229).

Menurut Ahmad Amin, hadis tersebut memberikan gambaran bahwa kemungkinan besar telah terjadi pemalsuan hadis pada zaman Nabi SAW.

Pendapat lain munculnya hadits maudhu disebabkan terjadi pertikaian politik yang terjadi masa akhir pemerintahan khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 Hijriyah dan huru-hara politik pengakatan khalifah antara Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan di tahun 41 Hijriyah

Masing-masing kelompok Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan berusaha memperkuat kelompoknya dengan mengutip dalil dalil dari Alquran dan dan hadis, menafsirkan/men’ tawilkan Al Qur’an dan hadis menyimpang dari arti sebenarnya, sesuai dengan keinginan mereka. Jika mereka tidak dapat menemukan yang demikian itu maka membuat hadis dengan cara mengada-ada atau berbohong atas diri Rasulullah saw.

Hal ini juga dijelaskan oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam Al-Manhalul Lathif fi Ushulil Hadits As-Syarif.

ظهر الوضع في السنة 41 من الهجرة حين تفرق المسلمون سياسيا وافترقوا إلى شيعة وخوارج وجمهور. وظهرت البدع والأهواء، فكان أهل الأهواء يختلقون أحاديث لتأييد مذاهبهم وترويج مابتدعوا

Artinya, “Pemalsuan hadits tampak sejak tahun 41 H, ketika terjadi perpecahan kaum Muslimin menjadi beberapa golongan secara politik, yaitu Syiah, Khawarij, dan jumhur shingga muncul para ahli bidah dan orang yang mengikuti hawa nafsunya. Mereka membuat-buat beberapa hadits untuk mendukung golongan mereka serta untuk menyebarkan perbuatan bidah mereka,”

Kemudian, pemalsuan hadits makin marak pada akhir pemerintahan Khalifah Bani Umayyah baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri, maupunyang dibuat oleh orang diluar Islam. Menurut penyaksian Hammad bin Zayyad terdapat 14.000 hadis maudhu. Abdul Karim al Auja mengaku telah membuat 4.000 Hadis maudhu.

Adanya pemalsuan hadis merupakan salah satu pemicu Umar ibn Abdul Aziz (w. 101 H.)

Akhirnya untuk mengantisipasi terjadinya pemalsuan hadits, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H.) mengeluarkan perintah kepada beberapa ahli hadits untuk menuliskan hadits hadits yang terpercaya dan menyatukannya dalam bentuk buku.

Sebagaimana yang riwayatkan oleh Imam Al Bukhari bahwasanya Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berisi

“Perhatikanlah hadits hadits Rasulullah Saw., yang kau jumpai dan tulislah, karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya para ulama. Janga diterima selain hadits Rasul Saw., dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya … “

Selain itu, Khalifah pun mengirimkan permintaan yang sama kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhri. Persis dengan Abu Bakar bin Hazm, Imam az Zuhri pun menulis atas dasar perintah sang khalifah.

Faktor-Faktor Munculnya Hadits Maudhu

Banyak sebab-sebab yang dapat memunculkan Hadis Maudhu’, di antaranya adalah:

1) Sebab Politik

Yaitu seperti munculnya peristiwa terbunuhnya Ustman Ibn Affan sehingga timbullah perpecahan di kalangan ummat Islam. Perpecahan tersebut berlanjut dengan lahirnya kelompok-kelompok pendukung masing-masing pihak, seperti kelompok pendukung ‘Ali Ibn Abi Thalib, pendukung Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan, dan kelompok Khawarij, yang muncul setelah terjadinya Perang Shiffin, yaitu antara kelompok ‘Ali dan kelompok Mu’awiyah.

Perpecahan yang berkaitan politik ini mendorong masing-masing kelompok berusaha untuk memenangkan kelompoknya dan menjatuhkan kelompok lawan. Dalam upaya mendukung kelompok mereka masing-masing serta menarik perhatian ummat agar berpihak kepada mereka, maka mereka, dalam melakukan kampanye politik, mereka mencarilah argumen-argumen dari Alquran dan Hadis. Akan tetapi, jika mereka tidak menemukan argumen yang mereka butuhkan di dalam kedua sumber tersebut, maka mereka mulai menciptakan Hadis-Hadis maudhu yang kemudian disandarkan kepada Nabi SAW.

Perpecahan politik ini merupakan sebab utama (penyebab langsung) terjadinya pemalsuan Hadis. Dari tiga kelompok di atas, maka kelompok Syi’ahlah yang pertama melakukan pemalsuan Hadis.

Di antara Hadis-Hadis yang di buat oleh kelompok Syi’ah adalah:

يا علي إن الله غفرلك و لذريتك ولوالديك و لأهلك و لشيعتك و لمحبي شيعتك

“Hai Ali, sesungguhnya Allah telah mengampuni engkau, keturunan engkau, kedua orang tua engkau, para pengikutu engkau, dan orang-orang yang mencintai pengikut engkau.

Sebaliknya, kelompok yang mendukung Mu’awiyah, sebagai lawan dari kelompok Ali, dalam rangka memberikan dukungan dan untuk kepentingan politik Mu’awiyah, juga menciptakan Hadis-Hadis maudhu yang mereka sandarkan kepada Nabi SAW di antaranya pernyataannya sebagai berikut:

الأمناء عند الله ثلاثة: أنا وجبريل ومعاوية

“Orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu saya (Rasul), Jibril, dan Mu’awiyah.

2) Usaha dari Musuh Islam (Kaum Zindiq)

Kaum Zindik adalah kelompok yang membenci Islam, baik sebagai agama maupun sebagai kedaulatan atau pemerintahan. Menyadari akan ketidakmampuan mereka dalam berkonfrontasi dengan ummat Islam melalui tindakan merusak agama dan menyesat ummat dengan cara membuat Hadis-Hadis maudhu dalam bidang-bidang akidah, ibadah, hukum, dan sebagainya. Di antara mereka adalah Muhammad Ibn Sa’id al-Syami yang mati di salib karena terbukti sebagai zindik. Dia meriwayatkan Hadis, yang menurutnya berasal dari Anas dari Nabi SAW yang mengatakan:

أنا خاتم النبيين لا نبي بعدي إلا أن يشاء الله

“Saya adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudahku kecuali apabila dikehendaki Allah.

Diterangi oleh Al-Hakim, bahwa dia membuat pengecualian ini adalah untuk mengajak manusia mengakui kenabiannya. Tokoh pemalsu Hadis lain yang berasal dari kelompok Zindik adalah ‘Abd al-Karim ibn Abu al-‘Auja’. Dia mengakui sendiri perbuatannya memalsukan Hadis sebanyak 4.000 Hadis yang berhubungan dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Pengakuan tersebut diikrarkannya di hadapan Muhammad ibn Sulaiman, wali kota Basrah, ketika Ibn Abu al-Auja sudah berada di tiang gantung untuk dibunuh. Menurut Hammad Ibn Zaid, bahwa Hadis yang dimaudhukan oleh kaum Zindik berjumlah sekitar 12.000 Hadis. Dalam riwayat lain disebutkan berjumlah 14.000 Hadis.

3) Sikap Fanatik Buta terhadap Bangsa, Suku, Bahasa, Negeri, atau Pemimpin

Mereka yang fanatik terhadap bahasa Persia, membuat Hadis yang mendukung keutamaan bahasa Persia, dan sebaliknya, bagi mereka yang fanatik terhadap bahasa Arab

akan membuat Hadis yang menunjukkan keutamaan bahasa Arab dan mengutuk bahasa Persia. Di antaranya adalah:

Contohnya, para pendukung bahasa Persia menciptakan Hadis yang menyatakan kemulian bahasa Persia di antaranya adalah sebagai berikut:

إن كلام الذين حول العرش بالفارسية

“Sesungguhnya pembicaraan orang-orang di sekitar ‘arasy adalah dengan bahasa Persia”

Sementara dari pihak lawannya juga muncul Hadis maudhu yang sifatnya menantang dan menjatuhkan kelompok tadi di antaranya sebagai berikut:

أبغض الكلام إلى الله الفارسية

“Perkataan yang paling dibenci oleh Allah adalah bahasa Persia.

Demikian juga kefanatikan terhadap seorang imam akan mendorong mereka untuk memalsukan Hadis yang menyanjung imam tersebut dan menjelekkan imam yang lain, seperti:

يكون في أمتي رجل يقال له محمد ابن إدريس أضر على أمتي من إبليس, ويكون في أمتي رجل يقال له أبو حنيفة هو سراج أمتي

“Adalah di kalangan ummatku seorang laki-laki yang bernama Muhammad ibn Idris, dia lebih merusak terhadap ummatku dari pada iblis. Dan ada lagi dari kalangan ummatku seorang laki-laki bernama Abu Hanifah. Dia adalah pelita bagi ummatku.”

4) Pembuat Cerita atau Kisah-Kisah

Para pembuat cerita dan ahli kisah melakukan pamalsuan Hadis dalam rangka menarik simpati orang banyak, atau agar para pendengar kisahnya kagum terhadap kisah yang mereka sampaikan, ataupun juga dalam rangka untuk mendapatkan imbalan rizki. Umumnya Hadis-Hadis yang mereka ciptakan cenderung bersifat berlebihan atau tidak masuk akal. Di antara contohnya adalah mengenai balasan yang akan diterima seseoarang yang mengucapakan kalimat la ilaha illa Allah”, sebagaimana dinyatakan:

من قال لا إله إلا الله خلق الله طا ئرا له سبعون ألف لسان لكل لسان سبعون ألف لغة يستغفرون له

“Siapa yang mengucapkan la ilaha illa Allah, Allah akan menciptakan seekor burung yang mempunyai tujuh puluh ribu lidah, dan masing-masing lidah menguasai tujuh puluh ribu bahasa yang akan memintakan ampunan baginya.

5) Perbedaan Pendapat dalam Masalah Fiqh atau Ilmu Kalam

Perbuatan ini umumnya muncul dari para pengikut suatu mazhab, baik dalam bidang Fiqh atau Ilmu Kalam. Mereka menciptakan Hadis-Hadis maudhu dalam rangka mendukung atau menguatkan pendapat, hasil ijtihad dan pendirian para imam mereka. Di antaranya adalah Hadis-Hadis buatan yang mendukung pendirian mazhab tentang cara pelaksanaan ibadah shalat, seperti mengangkat tangan ketika ruku’, menyaringkan bacaan “bismillah”

ketika membaca Al-Fatihah dalam bidang fiqh, atau mengenai sifat makhluk bagi Alquran dalam bidang Ilmu Kalam, dan lain-lain. Umpamanya:

ألمضمضة والإستنشاق للجنب ثلا ثا فريضة – أمني جبريل عند الكعبة فجهّرب (بسم الله الرحمن الرحيم) – من قال:

القرآن مخلوق فقد كفر

“Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung masing-masing tiga kali, adalah wajib bagi orang yang berjunub.

“Jibril telah mengimaniku (ketika shalat) di Ka’bah, maka dia menjiharkan (membaca dengan keras), Bismillahirrahmanirrahim”. “Siapa yang mengatakan Alquran adalah makhluk, maka dia telah menjadi kafir.

6) Semangat yang Berlebihan dalam Beribadah tanpa didasari Ilmu Pengetahuan

Di kalangan orang-orang Zuhud atau para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa membuat Hadis-Hadis yang bersifat mendorong agar giat beribadah (targhib), atau yang bersifat mengancam agar tidak melakukan tindakan yang tidak benar (tarhib), dalam rangka bertaqarrub kepada Allah, adalah diperbolehkan. Mereka ini, apabila diperingatkan akan ancaman Rasulullah SAW bahwa tindakan berdusta atas nama Rasul akan menyebabkan pelakunya masuk neraka, maka mereka akan menjawab bahwa mereka berdusta bukan untuk keburukan, melainkan untuk kebaikan.

Atas dasar motivasi di atas, mereka banyak membuat Hadis-Hadis Mawdhu’, terutama yang berhubungan dengan keutamaan surat-surat yang terdapat di dalam Alquran. Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abi Maryam, salah seorang pemalsu Hadis dari kelompok ini, mengaku bahwa dia telah memalsukan Hadis dengan alasan untuk menarik minat ummat kembali kepada Alquran, karena dia melihat telah banyak orang yang berpaling dari Alquran, tetapi sebaliknya, mereka sibuk dengan Fiqh Abu Hanifah dan Maghazi Ibn Ishaq. Salah satu contoh Hadis Maudhu’ semacam ini adalah:

من قرأ يس في ليلة أصبح مغفورًا له و قرأ الدّخان ليلة اصبح مغفورًا له

“Siapa yang membaca suarat Yasin pada malam hari, maka pada pagi harinya dia telah diampuni dari segala dosanya; dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhkhan pada malam hari, pada subuhnya dia telah diampuni dari dosa-dosanya.

Kemudian contoh bunyi Hadis:

مَنْ عَيَّرَ أَخوهُ بِذَنْبٍ, لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ, لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ -

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Siapa yang mencela saudaranya atas suatu perbuatan dosa, maka ia akan melakukan perbuatan itu sebelum ia mati.

Status atau Kualitas Hadits:

رواه الترمذي وقال غريب ليس إسناده بالمتصل وأورده ابن الجوزي في الموضوع وقال أبو داود وغيره فيه محمد بن الحسن بن أبي يزيد كذاب (أسنى المطالب: 1/278)

Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, ia berkata: “Hadits gharib. Sanadnya tidak bersambung (hadits dha’if).

Imam Ibnu al-Jauzi memuat hadits ini dalam kitab al-Maudhu’at (kumpulan hadits maudhu).

Abu Daud dan lainnya berkata, “Dalam sanadnya ada Muhammad bin al-Hasan bin Abi Yazid, ia seorang pendusta”.

7) Mendekatkan diri Kepada Para Penguasa

Di antara pemalsu Hadis tersebut, ada yang sengaja membuat Hadis untuk mendapatkan simpati atau penghargaan dari pada Khalifah atau pejabat pemerintahan yang sedang berkuasa ketika itu. Umpamanya, adalah Ghayats ibn Ibrahim, yang ketika memasuki istana Khalifah Al-Mahdi, dilihatnya Al-Mahdi sedang melaga burung merpati, maka Ghayats berkata, Nabi bersabda:

لا سبق إلاّ في نصل أو خف أو حافر , فزاد فيه ( أو جناح)

“Tidak ada perlombaan kecuali dalam memanah, balapan unta, pacuan kuda, maka Ghayats menambahkan, (atau burung merpati).”

Dalam hal ini, Ghayats telah menambahkan kata janah terhadap Hadis yang datang dari Nabi SAW tersebut. Menyadari akan perbuatan Ghayats tersebut, Al-Mahdi akhirnya memerintahkan untuk menyembelih merpati tersebut, setelah terlebih dahulu memberi Ghayats hadiah sejumlah 10.000 dirham.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa ada di antara para pemalsu hadits tersebut yang dengan sengaja menciptakan hadits maudhu dengan keyakinan bahwa tindakannya itu diperbolehkan, dan ada pula yang tidak tahu tentang status pekerjaannya itu. Ada di antara mereka yang mempunyai tujuan negatif dan ada yang memandang tujuannya tersebut sebagai positif. 

Akan tetapi, apa pun alasan dan motif mereka, perbuatan memalsuka Hadis tersebut adalah tercela dan tidak dapat diterima, karena bertengtangan dengan sabda Rasul SAW yang mencela perbuatan bohong atas nama Nabi.