Apa kata mereka tentang sastra

Kadang kita penasaran dengan karya-karya sastra yang mendapat banyak pujian dari para kritikus, atau kawan, lalu kita mencoba pula membacanya. Sialnya, setelah membaca sendiri, kadang kita malah bertanya-tanya: di mana letak bagusnya, ya? Apa yang dimaksud pujian itu sebagai bagus? Bahkan, kadang kita malas menyelesaikan membaca buku yang disanjung sebagai “novel indah yang membuka cakrawala dan menguras emosi” di kover belakangnya.

Persoalan begini diam-diam membawa kita pada pertanyaan yang lebih jauh: kebagusan apa yang biasanya/harusnya ditemukan dalam karya sastra? Kebagusan di sini merupakan kata lain dari keindahan, atau kualitas yang memicu keterpesonaan dan kepuasan bagi jiwa. Dengan kata lain, kita dapat menyebutnya aspek estetika dalam sastra.

Sebelumnya, mari kita perjelas dulu bahwa karya sastra itu ada beberapa jenis. Secara umum ia biasanya dibedakan menjadi puisi, prosa, dan drama, dan masing-masing jenis tersebut dapat dirinci pula menjadi sejumlah jenis lagi. Nah, tentu masing-masing jenis sastra tersebut punya keindahan khasnya, yang membuatnya berbeda dari jenis-jenis sastra lainnya. Meski demikian, semua jenis tersebut, sebagai sesama karya sastra, tentu memiliki sifat keindahan yang mendasar, yang umum terdapat pada tiap-tiap jenis sastra yang bagus.

Semacam Asumsi Asal Usul Sastra

“Pertanggungjawaban sastra adalah estetika,” kata Budi Darma (2019: 1), sastrawan dan profesor sastra. Karena pertanggungjawabannya estetika, sastra meletakkan fokusnya pada kreativitas.

Untuk memahami kaitan erat antara sastra dan estetika, ada baiknya kita mencoba memahami kenapa sastra bisa ada dalam peradaban manusia dan tetap bertahan hingga sekarang–dan entah sampai kapan. Mari bayangkan ketika mula-mula manusia menemukan tradisi menulis; orang-orang menuangkan gagasannya ke media tulis dengan maksud untuk dibaca orang lain, supaya gagasannya tersebar. Gagasan itu bisa berwujud pesan-pesan atau sekadar ungkapan perasaan belaka, intinya untuk berkomunikasi secara tidak langsung–bahasa (lisan) mula-mulanya dan utamanya memang berfungsi sebagai sarana komunikasi. Awalnya tentu orang-orang menulis secara apa adanya. Namun, semakin lama tradisi menulis semakin berkembang. Semakin lama semakin banyak orang yang bisa (baca: pandai dan punya akses) menulis. Dengan kata lain, orang-orang semakin banyak ingin dibaca.

Dalam persaingan untuk ingin dibaca itu muncul kesadaran untuk lebih menarik perhatian, dan ujung-ujungnya adalah kelahiran kreativitas. Dengan kata lain, para penulis berlomba untuk membuat tulisannya menjadi lebih menarik melalui pemberdayaan kreativitas. Mula-mulanya kreativitas itu terjadi pada tataran bahasa–elemen paling dasar tulisan. Bahasa yang ditulis disusun secara elok, dengan gaya bahasa tertentu yang menyenangkan. Gaya bahasa inilah yang mula-mula menjadi ciri utama karya-karya tulis yang dikategorikan sebagai sastra. Maka, tidak heran jika karya-karya tulis masa lampau, yang umumnya bercerita tentang sejarah dan ajaran agama juga dikenal sebagai karya sastra. Karya-karya tersebut ditulis dengan gaya bahasa yang nyastra.

Dalam perkembangannya, persaingan tadi mendorong kreativitas penulis sastra ke ranah fiksi. Gagasan-gagasan tertentu ingin disampaikan secara tidak langsung–ciri khas lain dalam sastra. Dalam gaya bahasa tentu sudah lama dikenal majas kiasan dengan segala macam bentuknya. Prinsip kiasan tersebut kini naik ke tataran yang lebih luas, yaitu tulisan secara keseluruhan. Kita mengenalnya sebagai fiksi: kiasan kenyataan. Karena suatu kenyataan dapat dikiaskan dengan banyak cara, fiksi pada hakikatnya bekerja memanfaatkan sejumlah kemungkinan. Implikasinya, fiksi memberi kebebasan kepada penulis untuk mengeksplorasi kreativitas secara tanpa batas–licentia poetica.

Karena berhubungan dengan kebebasan (kreativitas) tanpa batas, fiksi kadang diidentikkan pula dengan kebohongan, atau cerita bohongan, atau cerita ngayal-ngayal. Benarkah fiksi adalah kebohongan? Ini tergantung apa yang dimaksud kebohongan. Jika kebohongan adalah sesuatu yang sengaja diklaim sebagai kebenaran, dan karena itu kita memercayainya, tapi sebenarnya jelas bukan kebenaran, sehingga kita kecewa karenanya, tentu fiksi tidak demikian. Dalam sastra, apakah si pengarang mengklaim bahwa unsur-unsur dalam cerita karangannya merupakan sesuatu yang benar-benar ada secara faktual? Maksudnya, yaitu tokoh-tokoh, adegan-adegan, serta mungkin juga tempat. Apakah Solzhenitsyn bermaksud membuat kita percaya bahwa tokoh Shukov dalam novel Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich memang benar-benar ada dalam kehidupan nyata? Kita semua tentu tahu bahwa jawabannya jelas tidak. Kalau begitu, apakah pembaca artinya dibohongi oleh Solzhenitsyn? Tentu juga tidak. Namun, apakah yang dialami Shukov dalam novel tersebut memang benar-benar ada dalam kehidupan nyata? Kalau kita baca sejarah, jawabannya adalah iya. Penderitaan Shukov di kamp tahanan itu merupakan pengalaman yang umum dialami oleh para tahanan Gulag dalam kehidupan nyata di Uni Soviet. Inilah kebenaran dalam sastra. Jadi, tokoh-tokoh dan detail-detail adegannya itu tidak dimaksudkan sebagai reportase kenyataan ketika seorang penulis ingin mengekspresikan gagasannya. Artinya, bisa saja tokoh itu dikasih nama lain, serta detail adegannya dibuat berbeda, tapi esensi gagasannya tetap sama. Tahanan Gulag dan penderitaannya. Penderitaan seperti yang umum dialami tahanan Gulag dalam kehidupan nyata. Adapun tokoh-tokoh serta detail-detail adegannya itu adalah wilayah untuk mengeksplorasi kreativitas, yang disediakan oleh fiksi, sehingga membuat tulisan tersebut lebih menarik untuk dibaca. Betapa banyak tokoh fiktif yang ditampilkan secara unik serta adegan-adegan yang didramatisir sedemikian rupa. Unsur-unsur tersebut hanyalah perangkat untuk menyampaikan secara efektif gagasan yang terkandung dalam sastra–kebenaran yang perlu direnungkan.

Baca juga:   Pergi Ke Masjid

Prinsip yang sama juga berlaku pada fiksi yang paling absurd sekalipun, misalnya fiksi fantastik yang menghadirkan monster raksasa berkekuatan super, atau fiksi sains yang menampilkan tokoh transparan, serta perjalanan ajaib menggunakan mesin waktu. Hal-hal semacam itu secara gamblang tak akan dipercaya sebagai kenyataan (faktual). Tapi, apakah ia tidak punya arti? Sekali lagi, unsur-unsur seperti itu dalam sastra adalah perangkat, alat, atau apalah sebutannya untuk membuat gagasan yang ingin disampaikan si penulis menjadi menarik untuk dibaca. Intinya, apakah perangkat-perangkat tersebut efektif sebagai pendukung gagasan yang ingin disampaikan atau tidak. Apakah orang mati yang bisa kembali hidup dalam novel Frankenstein karya Marry Shelley benar-benar ada atau mungkin ada dalam kenyataan? Hal itu tidak perlu dipertanyakan. Persoalan utamanya adalah apa yang ingin disampaikan Marry Shelley dengan menghadirkan keajaiban seperti itu. Bisa jadi fenomena absurd dalam suatu karya sastra merupakan ekspresi ekstrem si penulis terhadap suatu gagasan yang ingin disampaikannya, yang sengaja dibikin ekstrem untuk menarik perhatian atau membuat pembaca menjadi lebih tergugah, sehingga kemudian bisa menerimanya. Ini merupakan teknik bercerita. Ini seni.

Jadi, fiksi tidak bisa disejajarkan dengan kebohongan. Fiksi dikatakan bohong jika ia membawa gagasan yang sengaja memanipulasi kenyataan. Misalnya, novel yang bercerita tentang enaknya keseharian hidup sebagai pesakitan di kamp tahanan Gulag.

Sejauh ini dapat dilihat bahwa sastra identik dengan bahasa yang elok dan tulisan fiksi. Bahasa yang elok tampak paling gamblang pada puisi, sementara tulisan fiksi ditemukan paling sering pada prosa (novel dan cerpen) dan drama. Meski demikian, kehadiran fiksi dalam sastra tidaklah mutlak. Hal ini berbeda dengan kehadiran bahasa yang elok. Karena tampil dengan medium bahasa, segala keindahan pada unsur-unsur sastra sangat bergantung pada keindahan gaya bahasa yang digunakannya. Artinya, jika susunan bahasa yang merepresentasikannya jelek, keindahan unsur-unsur lainnya pun akan sulit dinikmati. Apalagi, kalau pembaca sudah menutup buku pada beberapa halaman awal, sebagus apa pun plotnya, segokil apa pun temanya, semenarik apa pun karakter tokoh-tokohnya, itu semua tidak akan berguna.

Dengan alasan yang sama, karya terjemahan yang gagal menerjemahkan kefasihan gaya bahasa karya aslinya, juga sering kali membuat karya yang sudah bereputasi bagus itu sulit dibaca dan kehilangan alasan kenapa ia dipuji sebagai karya bagus secara umum. Sekalipun plot, tema, dan tokoh-tokohnya jelas tetap sama seperti pada karya aslinya.

Determinasi gaya bahasa ini dalam sastra dapat membuat kita sedikit mengerti kenapa Swedish Academy pernah menganugerahi Hadiah Nobel Sastra kepada dua orang filsuf (Henri Bergson dan Bertrand Russell), seorang sejarawan (Winston Churcill), dan seorang jurnalis (Svetlana Alexievich). Meski mereka semua jelas-jelas bisa disebut penulis, mereka semua tidak dikenal sebagai sastrawan. Namun, jika kita melihat permasalahannya secara saksama, mereka sebenarnya diakui publik sebagai penulis-penulis yang memiliki gaya bahasa yang menarik, sekalipun  mereka tidak menulis fiksi. Mereka tidak dikenal sebagai sastrawan karena sastra modern sangat identik dengan fiksi.

Sebenarnya, jika kita perhatikan baik-baik, baik gaya bahasa maupun pemberdayaan fiksi, keduanya sama-sama berhubungan dengan teknik bercerita. Teknik bercerita inilah yang membuat tulisan menjadi menarik atau tidak. Tapi, apakah cukup itu saja?

Keseimbangan antara Isi dan Bentuk Sastra

Darma (2020: 87) mengatakan bahwa keindahan dalam sastra lahir karena “keberhasilan tulisan sastra tersebut mendekati kebenaran”. Ini berarti penekanan keindahan pada segi isi: aspek logika dan etika dalam sastra. Melalui argumen ini dapat dilihat pentingnya keseimbangan antara segi isi (logika dan etika) dan segi bentuk (estetika) dalam sastra. Mengenai keseimbangan ini, Darma (2019: 12) mengatakan, “Bentuk yang terlalu baik akan melahirkan karya sastra yang kosong, sedangkan isi yang baik tanpa diimbangi oleh bentuk yang tepat akan melahirkan karya sastra yang menggurui”.

Jadi, sastra yang baik adalah sastra yang sama-sama bagus dari segi bentuk dan isi, sehingga bisa memberi “gema kesan berkepanjangan dalam pikiran dan jiwa seseorang yang mampu menghayati karya seni itu dengan baik.” (Darma, 2019: 7) Dengan kata lain, sastra yang berhasil memenuhi tanggung jawab estetikanya adalah karya yang membekas di kesadaran, yang “mengganggu” pikiran kita, sehingga sering terngiang-ngiang di kepala, membuat kita senang merenungkannya.

Relativitas Estetika

Salah satu permasalahan dalam estetika yaitu relativitas kualitas estetik. Dalam estetika kita mengenal pembedaan antara objek estetik dan kualitas estetik (Ratna, 2011: 198). Objek estetik merupakan sesuatu yang berwujud/konkret dan dapat diindra, sementara kualitas estetik merupakan nilai; sesuatu yang abstrak dan hanya dapat dikenali oleh jiwa (pikiran dan perasaan). Nilai tidak bisa berdiri sendiri; ia selalu melekat pada objek yang konkret. Dengan kata lain, kualitas estetik selalu melekat pada objek estetik. Tanpa objek estetik, tidak ada kualitas estetik.

Baca juga:   Epiktetos di Hadapan Hidup yang Keos

Karena objek estetik bersifat konkret dan otonom; bisa memenuhi dirinya sendiri; tidak bergantung pada apa pun lainnya, ia jadi objektif. Sebaliknya, karena kualitas estetik bersifat abstrak dan membutuhkan subjek untuk mengenalinya (baca: merasakannya), ia jadi subjektif. Karena subjektif, kualitas estetik pun jadi relatif; bergantung pada siapa subjeknya. Karena subjek dibentuk/dipengaruhi oleh tempat dan zaman ia hidup, “kualitas estetik akan berubah sesuai dengan ruang dan waktu.” (Ratna, 2011: 205)

Jika objek estetik itu adalah karya sastra, maka kualitas estetik yang melekat padanya, yang dinilai indah di sini-sekarang, bisa jadi tidak indah di sini-dulu, atau di sana-sekarang, atau di sana-dulu. Contoh, syair-syair Hamzah Fansuri yang konon ditulis pada abad ke-16. Kata-kata yang digunakan Hamzah Fansuri dalam syair-syairnya sering kali sulit dipahami untuk ukuran zaman kini. Kalaupun ada kata-katanya yang masih dipakai hingga sekarang, boleh jadi sebagian kata-kata tersebut telah berbeda (baca: meluas/berganti) maknanya dengan zaman dulu. Singkat kata, kita sulit memahami kualitas estetik syair-syair Hamzah Fansuri yang bergantung pada ukuran zaman dulu. Sebagai objek estetik, syair-syair Hamzah Fansuri tidak berubah sejak lebih dari empat ratus tahun lalu; yang terus-menerus berubah adalah kemampuan subjek (masyarakat) dalam memahami kualitas estetiknya.

Pada titik ini kita bisa melihat bahwa peran penikmat sastra juga krusial dalam persoalan estetika sastra. Karya yang sama di hadapan penikmat-penikmat yang berbeda bisa menghasilkan penilaian estetik yang berbeda. Alasannya: sensuous apprehension dan imagery visual masing-masing orang tidak selalu sama. Sensuous apprehension berhubungan dengan “reaksi tertentu terhadap kata-kata tertentu”, sementara imagery visual berhubungan dengan “kemampuan untuk memvisualisasikan imagery [perumpamaan]” (Darma, 2019: 72 & 74).

Selain itu, penilaian estetika karya sastra juga bisa dipengaruhi oleh kondisi pribadi si penikmat. Karya sastra yang berbicara tentang hal-hal yang dekat dengan diri si penikmat pasti akan sangat mudah disukainya, misalnya novel yang berlatar tempat kampung halamannya, atau yang tokoh utamanya berprofesi sama dengan profesinya, dan sebagainya. Orang yang sedang patah hati juga lebih mudah memahami dan menangkap sisi indah puisi-puisi yang bertema patah hati, sementara orang-orang dengan cara beragama tertentu akan malas membaca novel-novel Eka Kurniawan yang mengandung hal-hal vulgar.

Lalu, opini yang berkembang di masyarakat juga bisa mempengaruhi penilaian seseorang terhadap karya sastra sebagai objek estetik. Penilaian ini sebenarnya semu, tapi daya sugestifnya tidak bisa diingkari. Secara sederhana, cara kerja penilaian ini mirip dengan kelatahan masyarakat terhadap tren-tren yang muncul di dunia tata busana. Penilaian otoritas tertentu–katakanlah desainer kondang atau selebritis–menentukan penilaian masyarakat umum tentang apa yang sebaiknya mereka pakai, apa yang kekinian, apa yang masih sopan, dan sebagainya.

Sampai di sini, dapat dilihat bahwa kualitas estetik karya sastra itu terletak pada karya itu sendiri dan kemampuan pembaca dalam menikmatinya. Sebagus apa pun karya sastra, kalau pembacanya bermasalah, kondisinya sama seperti kecantikan di hadapan mata yang rabun. Sebaliknya, jika intelektualitas pembaca baik, sementara karya sastranya bermasalah, bisa jadi karya itu dinilai bagus dalam alasan-alasan tertentu–toh tak ada yang sepenuhnya buruk sebagaimana tak ada yang sempurna. Terkait hal ini Ratna menjelaskan, “Sebuah novel apabila dinilai semata-mata atas dasar unsur-unsurnya akan menghasilkan nilai objektif, sebaliknya apabila dinilai atas dasar kompetensi pembacanya akan menghasilkan nilai subjektif. Penilaian pertama dominan dalam teori strukturalisme sedangkan penilaian yang kedua didominasi oleh teori resepsi dan postrukturalisme pada umumnya.” (2011: 202)

Semacam Tips Mencintai Sastra

Jika saya ditanya apakah saya menyukai musik, saya akan menjawab ya. Jika kemudian saya diperdengarkan musik metal yang berisik, yang vokalisnya teriak-teriak dengan artikulasi yang tidak jelas, saya akan risih. Nah, apakah sikap saya kontradiktif? Sekilas tampak begitu. Tapi jika urusannya dilihat secara saksama, tentu saya bisa katakan, saya suka musik yang tidak metal. Artinya, musik yang saya suka bergantung pada bagaimana musik tersebut dihadirkan. Saya menyukai musik, tapi tidak berarti saya menyukai semua jenis musik. Tentu banyak juga orang yang suka musik metal, tapi saya tidak, dan saya tetap bisa menyukai musik.

Suka sastra (atau tulisan apa pun secara umum) juga begitu. Orang yang menyukai sastra tidak berarti selalu bergairah ketika membaca karya sastra apa saja. Selalu ada preferensi. Pada dasarnya tentu sastra yang disukai adalah karya yang ditulis dengan bahasa yang menyenangkan. Setelah itu, semuanya bergantung pada preferensi masing-masing orang. Sekalipun suatu karya sudah ditulis dengan super asyik dan disukai banyak orang, jika secara keseluruhan tidak cocok dengan selera (baca: kecenderungan seni/estetik) orang-orang tertentu, ia tetap tidak akan menarik bagi orang-orang tersebut. Di sinilah masalahnya.

Baca juga:   Balada Retorika

Pada dasarnya semua orang menyukai cerita–bayangkan betapa kelabunya hidup kita jika tanpa cerita. Cerita merupakan bagian dari kemanusiaan. Tapi cerita tidak selalu tampil menarik di hadapan kita. Bisa jadi karena cerita itu disampaikan dengan cara yang membosankan; bisa jadi pula karena cerita itu tentang hal-hal yang tidak menarik perhatian kita; atau bisa jadi pula karena kita sedang tidak siap untuk menerima cerita (apa pun)–mungkin kita terlalu sibuk dan pikiran kita sedang tidak bisa fokus.

“Manusia itu sudah menulis buku sejak dua ribu tahun yang lalu. Pasti ada buku yang kamu suka. Cukup perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mari jatuh cinta,” kata Najwa Shihab, Duta Baca Indonesia 2016–2020.

Dalam konteks sastra, dapat dibilang bahwa dari sekian banyak karya sastra yang pernah ditulis umat manusia, pasti ada pula karya-karya yang cocok dengan kecenderungan jiwa seni kita. Yang gue banget. Yang bisa membuat kita jatuh cinta pada sastra. Masalahnya, karya yang mana? Apa judulnya?

Sebelumnya kita mesti akui dulu bahwa sering kali kita tidak punya banyak pilihan, atau bahkan tidak punya pilihan sama sekali. Ini masalah akses terhadap bacaan. Bukan rahasia jika salah satu sebab banyak orang tidak suka membaca adalah karena akses untuk membaca buku sulit, terutama di daerah-daerah yang jauh dari lingkungan perkotaan. Bahkan, di kota-kota pun kadang perpustakaan umumnya, dan perpustakaan di sekolah-sekolahnya, tidak dikelola dengan baik–tidak menjanjikan kenyamanan. Dengan cara yang sama, orang juga tidak suka membaca karena akses untuk membaca buku tidak ditemukan di rumah sendiri.

Apa yang disarankan Najwa Shihab di atas tentu mengandaikan kita telah punya banyak pilihan untuk membaca; punya akses yang mudah terhadap banyak buku. Oke, bayangkan saja kita hidup di lingkungan yang memberi siapa saja akses mudah untuk membaca buku–entah karena ada perpustakaan umum yang lengkap, atau perpustakaan pribadi orang tua yang besar. Di hadapan kita buku betapa banyaknya. Masalahnya, kita tak tahu buku mana yang cocok dengan kita. Yang bisa membuat kita jatuh cinta itu. Lalu, kita harus bagaimana? Kita harus mencarinya. Caranya? Baca satu-satu? Ya. Mulai dari mana? Bebas–tentu setelah kita berusaha mencari sedikit informasi melalui sampul buku, atau melalui ulasan, atau melalui rekomendasi seseorang yang dapat dipercaya, dan sumber lainnya. Kita harus mencari buku yang cocok itu. Melelahkan? Bisa jadi. Membaca buku tidak sesebentar mendengarkan lagu. Sebagian orang cukup beruntung karena dipertemukan dengan mudah dengan buku yang bisa membuatnya jatuh cinta. Sebagian orang lainnya tidak. Mereka harus lebih sabar dalam mencarinya.

Lalu, apa yang menggerakkan kita untuk terus mencari buku yang tepat itu–buku yang bisa membuat kita jatuh cinta pada membaca sastra? Kesadaran (kuat) akan pentingnya membaca sastra. Seolah tanpa sastra kita adalah anak-anak yang tak punya imajinasi menjadi Superman, atau Naruto, atau Cristiano Ronaldo, atau Cinderella; anak-anak yang tanpa mobil-mobilan, tanpa robot-robotan, tanpa pistol-pistolan, tanpa masak-masakan. Betapa kelabu.

Atau, seperti kata Charles Bukowski, “Tanpa sastra, kehidupan adalah neraka.”

Sastra sejatinya adalah media untuk mempelajari kehidupan manusia. Mengamati dari dekat kehidupan yang kompleks–aneka manusia dan berjuta permasalahannya. Mencintai sastra membuat kita belajar mencintai kehidupan itu sendiri, termasuk mencintai kesepian, kesedihan, kegagalan, kekonyolan, kejengkelan, kegilaan, dan berbagai masalah lainnya. Bukan karena kita mengharapkan masalah tersebut, tapi karena kita sadar bahwa kadang sering kali mau tak mau kita harus menanggungnya, atau menyaksikannya di depan mata; sebab hidup tak selalu berjalan sesuai keinginan–tapi semua akan baik-baik saja.

Sastra mengajarkan kita bagaimana memandang kehidupan secara menyenangkan. Sebab sastra adalah cerminan kehidupan. Sebab sastra adalah kesenangan.

N.B.

Bagian “Semacam Asumsi Asal Usul Sastra” dikembangkan dari pendapat Eka Kurniawan tentang apa itu sastra dalam kuliah umum bertema “Membayangkan Kembali (Kesusastraan) Indonesia dan Dunia” dan tayang di kanal Youtube Basabasi TV pada 8 Maret 2018 (https://www.youtube.com/watch?v=NqN6SBchroo)

REFERENSI

Darma, Budi. 2019. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Kompas.

Darma, Budi. 2020. Solilokui. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kemenkeulib. 2017. Buku Kesukaan Najwa Shihab. Youtube. Com. https://www.youtube.com/watch?v=rFOsGmDmIMU

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tentang penulis