Ulama yang berpendapat bahwa hukum khitan sunnah bagi laki-laki adalah

Ulama yang berpendapat bahwa hukum khitan sunnah bagi laki-laki adalah

Selasa, 11 Januari 2022 | 06:30 WIB


Page 2

"Dari Fatimah bahwa ia mengkhitan anaknya pada hari ketujuh," ucapan Abu Mundzir yang dinukil oleh Imam Nawawi. 

Hasan Al Basri dan Imam Malik menyatakan makruh berkhitan pada hari ketujuh. Hal tersebut dikarenakan untuk menyelisihi orang- orang Yahudi. 

Baca Juga: Tekan Harga, Dinas Perdagangan Kota Jogja Berencana Adakan Operasi Pasar Minyak Goreng

"Aku tidak mendengar apa pun tentang hal ini," dikutip dari perkataan Imam Hambal.

Menurut Al Laist bin Saad, khitan dilaksanakan pada hari ketujuh sampai kesepuluh. 

Demikianlah perndapat ulama dan hukum melaksanakan khitan bagi laki- laki dan perempuan.

Bagi lai- laki, khitan memiliki manfaat secara medis, yaitu mencegah terjadinya infeksi saluran kemih, membantu menjaga kesehatan dan kebersihan penis, dan mencegah terjadinya penyakit seksual menular. 


Page 3

Para ulama berbeda pendapat apakah Khitan untuk laki-laki juga wanita.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Islam, khitan berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Namun, para ulama berbeda pendapat soal ini. Hal ini karena perintah mengenai khitan tidak dijelaskan secara perinci dalam Alquran. Masalah khitan ini hanya dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW. Karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai syariat berkhitan ini, apakah hanya untuk laki-laki dan perempuan, atau hanya laki-laki.

Namun, sejumlah riwayat menyatakan, sesungguhnya berkhitan juga disyariatkan bagi perempuan. Sebab, kefitrahan yang dimaksudkan Rasul SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai khitan, berlaku untuk semua. Karena, dalil hadisnya bersifat umum. Apalagi, syariat (millah) berkhitan merupakan ajaran Nabi Ibrahim  AS. Oleh karena itu, ada ulama yang menyatakan, hukum berkhitan adalah wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Khitan laki-laki

Dalil atau landasan hukum yang dijadikan dasar oleh para ulama mengenai hukum berkhitan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abud Dawud dan Ahmad. Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah. Atas dasar ini, mayoritas ulama, seperti Imam Syafii, Hanbali, sebagian pengikut Imam Malik, dan Abdurrahman al-Auza'i (wafat 156 H) sepakat menetapkan hukumnya wajib bagi laki-laki.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menjelaskan bahwa khitan bagi laki-laki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan.

Pendapat ini dilandaskan kepada firman Allah SWT dalam Alquran surah An-Nisa [4] ayat 125, yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar mengikuti ajaran Nabi Ibrahim AS.

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.

Begitu juga, dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Bukhari, Baihaqi, dan Ahmad dari Abu Hurairah RA. Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur 80 tahun dengan menggunakan kapak. Nabi Ibrahim AS melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan, padahal beliau sudah berumur 80 tahun. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya perintah berkhitan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda: Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah. Perintah Rasulullah SAW ini menunjukkan kewajiban umatnya untuk berkhitan. Menurut riwayat populer dari Imam Malik, beliau mengatakan khitan hukumnya sunah. Begitu juga riwayat dari Imam Hanafi dan Hasan al-Basri (21-110 H) mengatakan sunah. Namun bagi Imam Malik, sunah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut mazhab Maliki sunah adalah antara fardhu dan nadb.

Dalil yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib adalah Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh untuk berkhitan. Pendapat ini juga didasarkan pada sabda Nabi SAW: Khitan hukumnya sunah bagi laki-laki dan kehormatan (makrumah) bagi perempuan. (HR Muslim).

Namun, tidak diketahui secara pasti, apakah Salman al-Farisi sudah berkhitan sejak sebelum masuk Islam. Sebab, Salman dikenal sebagai seorang pencari kebenaran yang sangat hebat. Ia menjalankan ajaran agama yang dianutnya dengan sepenuh hati. Bila berkaca pada ajaran-ajaran agama dan kepercayaan yang pernah dijalani, mungkin saja dahulunya Salman sudah berkhitan, sehingga tidak diperintahkan untuk melakukannya lagi.

Khitan perempuan

Sementara itu, hukum khitan bagi kaum perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian mengatakan itu sunah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan tidak ada yang mengatakan wajib. Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan tersebut disebabkan riwayat hadis seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya. Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan.

Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menegaskan, Semua hadis yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif atau lemah, tidak ada satu pun yang sahih.

Para ulama juga berpendapat bahwa khitan juga dilakukan oleh setiap orang yang baru masuk Islam atau mualaf, baik tua maupun muda. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis dari az-Zuhri yang menyatakan bahwa setiap orang yang masuk Islam hendaknya dikhitan meskipun usianya sudah tua. Khitan untuk para mualaf biasanya dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan ikrar pengislaman mereka.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

[otw_shortcode_dropcap label=”D” background_color_class=”otw-green-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]alam buku Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997, Vol 3 pada sub bab Khitan diterangkan sebagai berikut: Khitan (berasal dari akar bahasa Arab khatana-yakhtanu-khatnan, artinya memotong).

Secara terminologi pengertian khitan menurut Imam al-Mawardi, ulama fiqh Mazhab Syafi’i, khitan bagi laki-laki adalah memotong “Kulfah“, kulit yang membungkus bagian ujung dzakar, sehingga menjadi terbuka.

Hukum Berkhitan

Prof. Dr. Huzaemah Tahido menjelaskan perbedaan pendapat ulama mengenai hukum khitan, sebagai berikut:

Pertama. Ulama yang berpendapat bahwa berkhitan itu wajib dilakukan bagi anak laki-laki dan perempuan. Berkenaan dengan ayat Al-Qur’an, “.. hendaklah kamu mengikuti agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus).” Al-Qurthubi berkata, bahwa Qatadah pernah mengatakan, “(Ajaran Nabi Ibrahim dimaksud) adalah berkhitan.” Itu pula yang dipegang oleh sebagian ulama mazhab Maliki.

Para ulama lain yang berpendapat seperti itu juga adalah Imam Syafi‘i, dan segenap pengikut/ pendukungnya, demikian pula Imam Ahmad, menurut pendapat yang masyhur darinya. Itu pula yang menjadi inti pendapat Sahnun dari ulama mazhab Maliki.

Sedang Para ulama terdahulu yang berpendapat wajib khitan adalah ‘Atha’, yang mengatakan, “Jika ada orang yang sudah besar (tua) masuk Islam, maka tidak sempurna keislamannya kecuali jika ia berkhitan

Kedua, Mereka yang berpendapat bahwa khitan hukumnya sunah, baik bagi pria maupun wanita, adalah kebanyakan ahli ilmu (intelektual). Itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan sebagian pendukung/sahabat Imam Syafi‘i.

AlQurthubi berkata, “Menurut kebanyakan ulama kelompok ini, bahwa khitan termasuk sunah mu’akkadah, di samping merupakan fitrah Islam yang tidak leluasa bagi pria untuk meninggalkannya.”

Bahwa berkhitan hanya diwajibkan bagi kaum pria saja, sedangkan untuk kaum wanita hanya sunah dan makramah (kehormatan) saja. Pendapat ini dipegang oleh sebagian penganut dan pendukung ulama mazhab Syafi‘i.

Dalil Bagi Yang Mewajibkan Khitan

Mereka yang berpandangan bahwa hukum khitan itu wajib atas pria dan wanita; atau wajib bagi pria saja, berdalilkan:

Pertama, Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadis Kulaib kakek Utsaim bin Katsir, bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda kepadanya, “Lemparkanlah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.”

Kedua, Sesungguhnya qulfah (kuluf) adalah kulit yang menutupi hasyafah (pucuk zakar) itu dapat menahan najis di bawahnya, yang tentunya dapat menghalangi sahnya salat. Di samping akan menimbulkan bahaya secara medis, yakni kesehatan seseorang. Hal itu disebabkan bertumpuknya kotoran dan bakteri pada tempat (kuluf) tersebut.

Ketiga, Abu Hamid dan para pengikutnya, seperti alMawardy, berhujah, bahwa khitan adalah memotong salah satu anggota tubuh yang tidak dapat diganti dengan yang lain demi ta‘abbud (kepentingan beribadah semata) sehingga menjadi wajib hukumnya seperti wajibnya potong tangan dalam pencurian.

Keempat, Al-Mawardy mengatakan, “Khitan itu mengandung rasa sakit yang besar bagi diri seseorang. Yang seperti itu tidak disyariatkan kecuali pada salah satu dari tiga kepentingan berikut ini: (a) Demi kemaslahatan tertentu, (b) Atau sebagai siksaan, (c) Atau sebagai kewajiban (kemestian) Berkenaan dengan khitan, kedua poin pertama tidak dapat diterapkan, maka tinggallah yang ketiga, yakni, ditetapkannya khitan adalah sebagai suatu kewajiban.

Kelima, Al-Khaththaby yang juga berhujah bagi kewajiban berkhitan, mengatakan bahwa khitan termasuk syi‘ar (simbol kemuliaan) agama. Dengannya diketahuilah perbedaan Muslim dari kafir. Seperti itu pula yang pernah ditegaskan oleh Ibn Qudamah, yang mengatakan bahwa sesungguhnya khitan itu termasuk syi‘ar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib sebagaimana syi‘ar-syi‘ar yang lainnya.

Keenam, Diperkenankannya melihat aurat yang dikhitan dan bolehnya yang mengkhitan melihat aurat tersebut— padahal keduanya haram—menunjukkan, bahwa jika khitan tidak wajib, maka hal yang haram tersebut tidak diperkenankan.

Ibn Qudamah mengatakan, “Sesungguhnya menutup aurat itu hukumnya wajib. Seandainya berkhitan itu tidak wajib, maka tidak akan diperbolehkan merusak/menodai kemuliaan orang yang dikhitan dengan cara melihat auratnya.”

Al-Qadhy Ibn al-‘Araby mengatakan, “Sesungguhnya khitan itu menuntut untuk dibukanya aurat, padahal menutup aurat itu fardhu/wajib. Jika bukan merupakan suatu kefardhuan/kewajiban, maka tidak akan dirusak/dinodai aurat itu hanya demi menunaikan sesuatu yang sunah.”

Ketujuh, Al-Baihaqy mengatakan, “Yang terbaik adalah berhujjah dengan menggunakan hadis Abu Hurairah ra yang terdapat dalam Shahihayn secara marfu`, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Nabi Ibrahim as berkhitan ketika usianya mencapai delapan puluh tahun dengan qudum (kapak). Allah SWT berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.”

Ada riwayat yang sahih dari Ibn Abbas ra bahwa kalimat yang menjadi bahan ujian Allah terhadap Nabi Ibrahim as yang dijawabnya dengan sempurna adalah khishal al-fithrah, yakni, beberapa tanda kefitrahan atau kesucian, yang di antaranya adalah khitan.

Dalil Mereka Yang Tidak Mewajibkan Khitan

Para ulama yang berpendapat bahwa khitan itu tidak wajib, tetapi hanya sunah saja, baik untuk pria maupun wanita, atau sunah untuk wanita, berargumentasi dengan dalil-dalil berikut ini:

(1) Sabda Rasulullah Saw., “Khitan itu sunah bagi pria dan makramah (kehormatan/kemuliaan) bagi wanita.” Hadis ini, meskipun dari riwayat al-Hajjaj bin Arthah, tetapi masih ada syahid (penguat)nya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Musnad asy-Syamiyyin melalui riwayat Sa`id bin Basyir dari Qatadah, dari Jabir bin Zaid, dari Ibn Abbas r.a. Hadis tersebut pun diriwayatkan oleh Abu Syekh dan Imam Baihaki dari sanad lain, dari Ibn Abbas r.a. Di samping itu, Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits tersebut dari hadis Abu Ayyub.

(2) Kelompok ini juga berhujah untuk mengakui ketidakwajiban khitan dengan alasan bahwa beberapa karakter atau perbuatan yang tersusun bersama dengan khitan itu bukan perbuatan yang wajib. Maka, khitan pun tidak wajib.

Semua pendapat tersebut telah diungkapkan oleh Ibn Hajar dalam kitabnya, Fath al-Bary.

Cholil Nafis, “Fikih Keluarga Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah Keluarga Sehat, Sejahtera, dan Berkualitas”