Pertanyaan tentang pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa, dan menjadi cermin kepribadian masyarakatnya. Dalam konteks ini Mohammad Noer Syam dalam bukunya Filsafat Pendidikan, mengemukakan bahwa:

“Hubungan masyarakat dengan pendidikan menampakkan hubungan korelasi positif. Artinya, pendidikan yang maju dan modern akan menghasilkan masyarakat yang maju dan modern pula. Sebaliknya pendidikan yang maju dan modern hanya ditemukan dan diselenggarakan oleh masyarakat maju dan modern.”

Memang bangsa yang maju selalu diawali dengan keberhasilan di bidang pendidikannya, sebab pendidikanlah yang mencetak sumber daya manusia (SDM) yang pada prinsipnya sebagai penggerak roda pemerintahan. Kalau demikian, mustahil negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman dan Perancis maju tanpa dimulai dengan keberhasilan di bidang pendidikan.

Dunia pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya, kadang-kadang memang mempunyai persamaan dan kadang-kadang mempunyai perbedaan. Persamaan akan timbul karena sama-sama berangkat dari dua arah pendidikan yakni dari diri manusia sendiri yang memang fitrahnya untuk melakukan proses pendidikan, kemudian adalah dari budaya yakni masyarakat yang memang menginginkan usaha warisan nilai, maka semuanya memerlukan pendidikan.

Mengenai pendidikan agama itu sendiri (Islam) pada dasarnya cukup mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, apalagi bila dilihat dari dimensi historis, sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat yang sekuler, diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang ada di Indonesia, dan hal ini berlangsung berabad-abad lamanya. Karena itulah dalam perjalanan dan perkembangan berikutnya pendidikan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kendatipun dalam operasionalnya senantiasa mengalami pasang surut dengan segala dinamikanya. Tetapi yang jelas pendidikan agama merupakan mata pelajaran pokok atau wajib dari saruan pendidikan yag diajarkan mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi.

Pendidikan nasional menggalakkan potensi individu secara menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelektual, rohani dan iman, berdasarkan kepada kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memang adanya penekanan di bidang pembentukan manusia seutuhnya baik jasmani maupun rohani dalam sistem pendidikan nasioanl merupakan ciri pendidikan Islam. Karena itu, dalam kurikulum pendidikan, pendidikan keagamaan merupakan bagian terpadu yang dimuat dalam kurikulum pendidikan maupun yang melekat pada setiap mata pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai.

Oleh sebab itu, nilai-nilai agama akan selalu memberikan corak dan warna kepada pendidikan nasional di Indonesia.

1.2    Rumusan Masalah

1.    Apakah pengertian dari pendidikan Islam?

2.    Bagaimana pengembangan pendidikan Islam?

3.    Bagaimana pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?

4.    Apakah fungsi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional?

1.3    Tujuan

1.    Untuk mengetahui pengertian pendidikan Islam.

2.    Untuk mengetahui pengembangan pendidikan Islam.

3.    Untuk mengetahui pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.

4.    Untuk mengetahui fungsi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan Islam menurut Zarkowi Soejoeti terbagi dalam tiga pengertian. Pertama, “Pendidikan Islam” adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk menjewantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai  bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai ilmu yang lain. ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan.

Ciri khas pendidikan Islam itu ada dua macam : (1) Tujuannya : Membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi menurut ukuran Allah. (2) Isi pendidikannya : ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam Al Qur’an yang pelaksanaannya dalam praktek hidup sehari-hari dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah SAW.

Teori-teori pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia secara umum mendefinisikan pendidikan Islam dalam dua tataran : idealis dan pragmatis. Pada tataran idealis, pendidikan Islam diandaikan sebagai suatu sistem yang independen (eksklusif) dengan sejumlah kriterianya yang serba Islam. Definisi ini secara kuat dipengaruhi oleh literatur Arab yang masuk ke Indonesia baik dalam bentuk teks asli, terjemahan, maupun sadurannya. Sedangkan pada tataran pragmatis, pendidikan Islam ditempatkan sebagai identitas (ciri khusus) yang tetap berada dalam konteks pendidikan nasional. Perkembangan-perkembangan aktual di Indonesia khususnya selama tiga dekade terakhir sangat mempengaruhi munculnya definisi pragmatis ini.

Penulis-penulis Indonesia kontemporer berusaha menjelaskan definisi pendidikan Islam dengan melihat tiga kemungkinan hubungan antara konsep pendidikan dan konsep Islam. Dilihat dari sudut pandang kita tentang Islam yang berbeda-beda, istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami sebagai :

1.    Pendidikan (menurut) Islam,

2.    Pendidikan (dalam) Islam,

3.    Pendidikan (agama) Islam.

Dalam hubungan yang pertama, pendidikan Islam bersifat normatif, sedang dalam hubungan yang kedua, pendidikan Islam lebih bersifat sosio-historis. Adapun dalam hubungan yang ketiga, pendidikan Islam lebih bersifat proses-operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam. Dalam kerangka akademik, pengertian yang pertama merupakan lahan filsafat pendidikan Islam, dan pengertian yang ketiga merupakan kawasan ilmu pendidikan Islam teoritis.

2.2.       Pengembangan Pendidikan Islam

Kajian-kajian historis menunjukkan bahwa sampai abad ke-19, pendidikan Islam, dalam bentuk masjid dan pesantren, masih menjadi lembaga pendidikan yang dominan bagi masyarakat Indonesia. Pergeseran mulai terjadi pada masa penjajahan. Sekitar tahun 1865 masyarakat pribumi, khususnya di Jawa, disediakan model pendidikan yang dirancang berdasarkan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Kebijakan ini pada awalnya untuk mempersiapkan kalangan pribumi menjadi pegawai gubernurmen (kantor-kantor pemerintah Hindia-Belanda). Pola pendidikan yang dijalankan pemerintah Hindia-Belanda untuk kepentingan ini sama sekali bukan merupakan penyesuaian-penyesuaian terhadap sistem pendidikan Islam pada masa itu, tetapi malah lebih menyerupai sekolah-sekolah zending yang berkembang di wilayah Minahasa dan Maluku.

Menurut Karel A. Steenbrink sebagaimana yang ditulis M. Ali Hasan-Mukti Ali Alasan-alasan tidak dipakainya sistem pendidikan Islam oleh pemerintah Hindia-Belanda itu semata-mata karena pertimbangan aspek didaktis-metodiknya yang tidak baik.

Terlepas dari alasan itu, sangat boleh jadi penyebab utama diasingkannya sistem pendidikan Islam karena kemungkinan konsekuensinya tidak menguntungkan kepentingan politik Hindia-Belanda, karena dalam prakteknya pendidikan Islam lebih menekankan kepada aspek keimanan dan keyakinan dalam beragama. Praktek pendidikan seperti ini memberi rangsangan dan motivasi untuk melawan penjajah dan pemerintahan kafir.

Pemberlakuan pendidikan pribumi oleh pemerintah Hindia-Belanda dapat dianggap awal dari dualisme sistem pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan Islam tetap berjalan sesuai dengan karakternya dan secara tradisional menjadi andalan masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslimin. Sementara sistem pendidikan pribumi ala Belanda terus berkembang dan menjadi pusat pengajaran dan pelatihan bagi kaum elit pribumi yang mempunyai hubungan dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dan dalam perkembangannya, dualisme pendidikan ini membawa orientasi  wawasan masyarakat Indonesia yang terbelah sesuai dengan karakter masing-masing pendidikan yang ditempuhnya. Namun demikian, orientasi kaum terpelajar yang berlatar pendidikan ala Belanda secara politis lebih siap menangani masalah-masalah kenegaraaan, karena pola pendidikannya sejak awal mempersiapkan mereka untuk menjadi tenaga-tenaga pemerintah.

Kesadaran perlunya mengembangkan orientasi pendidikan Islam yang menyangkut masalah-masalah sosial politik dan ekonomi (keduniawian) akhirnya muncul di kalangan kaum muslimin. Hal ini kemudian mendorong dilakukan penyesuaian pendidikan Islam, kurikulum, kelembagaan dan sistem pengajarannya.

Upaya penyesuaian pendidikan Islam tersebut terbukti dengan perkembangan modern secara luas dilakukukan baik di Minangkabau maupun di Jawa seperti oleh Muhammadiyah, dan Jam’iat Khair di Jakarta.

Masalah pendidikan Islam baru muncul pada segi lingkup sejauh mana pendidikan Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada pendidikan Islam dalam pengertian agama secara murni, atau pendidikan Islam dalam pengertian sistem yang mengajarkan berbagai aspek kehidupan yang berdasarkan agama. Hal ini menjadi serius karena akan sangat menentukan pola dan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Kalangan Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin, sementara kalangan non-Islam membatasinya dalam lingkup pengajaran agama. Namun demikian, akhirnya ketentuan-ketentuan yang lebih tegas tentang pendidikan agama dalam pendidikan nasional telah direkomendasikan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP), antara lain :

1.         Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.

2.         Para guru dibayar oleh pemerintah.

3.         Pada sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.

4.         Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu.

5.         Para guru diangkat oleh Departemen Agama.

6.         Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.

7.         Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama.

8.         Diadakan latihan bagi guru agama.

9.         Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.

10.     Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.

Berdasarkan rekomendasi itu, pendidikan Islam berarti sangat terbatas pada pengajaran agama di sekolah mulai kelas IV, waktunya pun seminggu sekali, dan tidak termasuk pelajaran bahasa Arab. Dalam rekomendasi itu, pendidikan Islam dalam pengertian lembaga seperti pesantren dan madrasah tidak mendapat perhatian khusus, kecuali kalimat nomor 9 : kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.

2.3.       Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pendidikan Islam di Indonesia sebagai subsistem pendidikan nasional, secara emplisit akan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat kita pahami dari hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Dalam hal ini Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

Dengan melihat kedua tujuan pendidikan di atas, baik tujuan pendidikan nasional maupun tujuan pendidikan Islam, tampaknya ada dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan, yaitu:

a.         Dimensi transendental (lebih dari hanya sekedar ukhrawi) yang berupa ketakwaan, keimanan dan keikhlasan.

b.         Dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarananya, seperti pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, keintelektualan dan sebagainya.

Dengan demikian keberhasilan pendidikan Islam akan membantu terhadap keberhasilan pendidikan nasional. Juga sebaliknya keberhasilan pendidikan nasional secara makro turut membantu pencapaian tujuan pendidikan Islam. Sebab itu keberadaan lembaga pendidikan Islam oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Melalui proses penyusunannya sejak tahun 1945, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya sampai tahun 1989, tampaknya undang-undang tersebut juga merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional, sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yang selama ini masih berjalan. Karenanya, masalah-masalah pendidikan terutama yang menyangkut kurikulum pendidikan, maka semuanya di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dengan demikian berarti UU No. 2 Tahun 1989 tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalan sistem pendidikan nasional dan dengan adanya wadah tersebut, pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus berkembang.

Adanya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal, seperti berikut ini:

1.         Di dalam pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kenyataannya tidak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan Islam baik sebagai sistem maupun kelembagaannya, merupakan warisan budaya bangsa, yang berurat akar pada masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan Islam akan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.

2.         Pada pasal 4 diungkapkan tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Apa yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional tersebut terutama yang menyangkut nilai-nilai dan aspek-aspeknya, sepenuhnya adalah nilai-nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam.

Oleh karena itu, perkembangan pendidikan Islam akan mempunyai peran strategis dan menentukan dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.

3.         Selanjutnya pada pasal 10 dinyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.

Menurut ajaran Islam, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama, yang berperan besar dalam upaya pembentukan kepribadian anak.

Dengan masuknya lembaga pendidikan keluarga menjadi bagian dasar sistem pendidikan nasional, maka pendidikan keluarga muslim pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional yang berlaku.

4.         Pada pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional.

Yang dimaksud dengan pendidikan agama sebagaimana yang dijelaskan pada ayat tersebut adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.

Kita mengetahui bahwa setiap orang Islam berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, moral dan sosial budayanya. Oleh karenanya, pendidikan Islam dengan lembaga-lembaganya, tidak bisa dipisahkan dari sisten pendidikan nasional.

5.         Sementara itu pada pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis dan jalur serta jenjang pendidikan, wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.

Berkenaan dengan ini, dijelaskan bahwa pendidikan agama (termasuk pendidikan agama Islam) merupakan bagian dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional, dan dengan demikian pendidikan agama Islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasional.

Kenyataan tersebut pada dasarnya cukup menguntungkaan bagi pendidikan Islam, sebab posisinya akan tambah kuat. Kalau selama ini mungkin pendidikan agama merasa tersisih, dengan UU Nomor 2 tahun 1989 ini status pendidikan agama adalah sama kuatnya.

6.         Kemudian pasal 47, terutama ayat 2 dinyatakan bahwa ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. Dengan pasal ini, satuan-satuan pendidikan Islam baik yang berada pada jalur sekolah maupun pada jalur luar sekolah akan tetap tumbuh dan berkembang secara terarah dan terpadu dalam sistem pendidikan nasional.

Sehubungan dengan satuan pendidikan yang berciri khas ini, pada Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1990, tentang Pendidikan Dasar, pasal 4 ayat 3 ditegaskan bahwa SD dan SLTP yang berciri khas Agama Islam, yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan demikian madrasah diakui sama dengan sekolah umum, dan merupakan satuan pendidikan yang terintegarasi dalam sisteeem pendidikan nasional.

Demikianlah bagaimana posisi pendidikan Islam dalam kerangka Sistem Pendidikan Nasional. Dalam konteks ini yang mungkin jadi pertanyaan adalah mengapa sistem pendidikan Islam diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional. Secara konsepsional, sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945, adalah sejalan atau paling tidak, tidak ada pertentangannya dengan konsep dasar pendidikan Islam.

2.4.       Fungsi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional

Secara eksplisit  fungsi pendidikan agama telah dituangkan dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1989, yang menyebutkan “pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iaman dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

Dari rumusan tersebut, tampaknya terdapat konsistensi dan keterkaitan langsung antara rumusan fungsi pendidikan agama dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang pada pasal 4 UU Nomor 2 tahun 1989 yaitu: “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa…”

Dalam upaya membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa, maka pendidikan agama memiliki peranan yang sangat penting. Untuk itulah maka pendidikan agama wajib diberikan pada semua satuan, jenjang dan jenis pendidikan, baik melalui jalur sekolah maupun jalur luar sekolah.

Gambaran tentang peranan madrasah dan pondok pesantren adalah sebagai berikut:

1.         Madrasah dan pondok pesantren telah menunjukan kemampuanya untuk tumbuh dan berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, serta kemampuanya untuk memasuki pelosok daerah terpencil disamping kemampuanya untuk tetap tumbuh dan berkembang di daerah perkotaan yang modern dan sangat maju.

2.         Madrasah dan pondok pesantren sebagian besar adalah perguruan swasta yang berkemampuan tinggi untuk berswakarsa dan berswakarya dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan kata lain, madrasah dan pondok pesantren telah menunjukan kemampuanya untuk tumbuh dan berkembang diatas kemampuan kekuatan sendiri, dengan memobilisasi sumber daya yang tersedia di masyarakat pendukungnya.

3.         Madrasah dan pondok pesantren yang memiliki ciri khas sebagai pusat pendidikan, pengembangan dari penyebaran agama Islam, diharapkan dan telah membuktikan diri dapat menghasilkan keluaran atau out put yang berkualitas dan potensial untuk menjadi pendidik, khususnya di bidang pendidikan agama Islam.

4.         Madrasah dan pondok pesantren memiliki potensi yang cukup besar untuk bersama-sama satuan pendidikan lainnya di dalam system pendidikan nasional untuk menuntaskan wajib belajar tingkat SLTP dan pelaksana pendidikan dasar 9 tahun. Dan atas dasar inilah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah merupakan lembaga pendidikan dasar.

Adapun madrasah umumnya didirikan atas inisiatif masyarakat Islam yang tujuan umumnya adalah untuk mendidik para peserta didik memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Dengan dikeluarkanya PP Nomor 28 tahun 1990 dimana pada pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa SD dan SLTP yang berciri khas agama Islam yang dikelola oleh Departemen Agama disebut Madrasah Ibtidaiah dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan kenyataan ini, tugas dan fungsi MI dan MTs menjadi ganda, yaitu:

1.         Sebagai sekolah pendidikan Islam

2.         Sebagai sekolah pendidikan dasar.

Karenanya, keberdayaan fungsi Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah makin kuat dan penting.

Dengan keadaan yang demikian, orang tidak bisa lagi menomor duakan lembaga-lembaga pendidikan agama, terlebih-lebih bila lembaga pendidikan agama terutama madrasah mampu memacu diri dengan berupaya maksimal meningkatkan kualitas dalam berbagai aspeknya, tidak mustahil madrasah nantinya akan menjadi alternative pertama, pilihan masyarakat untuk memasukan anak-anaknya. Sebab bagaimanapun disaat globalisasi melanda dunia seperti sekarang ini, nilai-nilai etik dan moral sudah mulai luntur dan bergeser. Dalam konteks ini madrasah sangat strategis untuk membendung arus demoralisasi yang sangat merugikan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pendidikan Islam terbagi dalam tiga pengertian. Pertama“Pendidikan Islam” sebagai sumber nilai adalah jenis pendidikan yang pendirian dan  penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Kedua, “Pendidikan Islam” sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai ilmu yang lain adalah jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan.

Pengembangan Pendidikan Islam lebih menekankan kepada aspek keimanan dan keyakinan dalam beragama dan selanjutnya mengembangkan orientasi pendidikan Islam yang menyangkut masalah-masalah sosial politik dan ekonomi (keduniawian) yang kemudian mendorong dilakukan penyesuaian pendidikan Islam, kurikulum, kelembagaan dan sistem pengajarannya.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalan sistem pendidikan nasional dan dengan adanya wadah tersebut, pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus berkembang.

Fungsi pendidikan agama telah dituangkan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 1989, yang menyebutkan “pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iaman dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

D. Marimba, Ahmad. 1986. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : PT. Al-Ma’arif.

Departemen Agama RI. 1992. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Dirjen. Binbaga Islam.

Hasbullah. 2001. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


Page 2