Penyebab perbedaan persepsi masyarakat dalam menyikapi masalah kesehatan

ISSN 2477-1686

Vol.2. No.5.Maret 2016

Pandangan Konsep Sehat & Sakit Pada Masyarakat 

Budi Sarasati

Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara

Perilaku Sehat dan Perilaku Sakit Masyarakat

Salah satu pendekatan dalam ilmu sosiologi adalah teori Evolusi, dimana manusia berkembang membutuhkan waktu yang sangat lama. Tetapi perkembangan dalam satu bidang belum tentu diiringi dengan perkembangan bidang yang lain. Contoh perkembangan di bidang ilmu kesehatan dan kedokteran belum tentu diimbangi dengan perilaku sehat dan perilaku sakit masyarakat. Seseorang yang menderita sakit infeksi saluran napas atas ( ISPA ) belum tentu mau berobat ke dokter dan meminum obat paten yang diresepkan oleh dokter, karena ia tidak tau kegawatan penyakitnya dan seberapa besar dia membutuhkan pertolongan medis. Pola pencarian pengobatan setiap orang bisa berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya tentang bidang kesehatan dan pengobatan.

Cara seseorang bereaksi terhadap gejala-gejala penyakit dinamakan sebagai           “perilaku sakit “ ( illness behavior ). Perilaku ini dipengaruhi oleh keyakinan masyarakat terhadap gejala penyakit tersebut dan keyakinan terhadap cara pengobatan yang akan ditempuh mereka. Perilaku ini merupakan manifestasi dari sebuah konsep pikir manusia tentang arti sehat dan sakit. Setiap orang mempunyai konsep sendiri-sendiri tentang apa yang disebut sebagai sakit. Konsep sehat dan sakit yang dimiliki oleh orang per orang akan terlihat pada cara mereka mencari pengobatan ( health seeking ) untuk menyembuhkan penyakit tersebut.

Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit

Konsep sehat menurut WHO secara garis besar adalah suatu keadaan seseorang yang terbebas dari gangguan fisik, mental, sosial, spiritual serta tidak mengalami kecacatan. Menurut pandangan para ahli sosiologi, yang disebut sehat sangatlah bersifat subyektif, bukan obyektif. Persepsi masyarakat tentang sehat/sakit ini dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya. Jika individu merasa bahwa penyakitnya disebabkan oleh makhluk halus, maka dia akan memilih untuk berobat kepada “ orang pandai “ yang dianggap mampu mengusir makhluk halus tersebut dari tubuhnya sehingga penyakitnya akan hilang ( Jordan, 1985; Sudarti, 1988; dalam Solita, 1997).

Para ahli medis sepakat bahwa penyakit ( disease ) itu diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme. Sedangkan sakit ( illness ) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit, ditandai dengan perasaan tidak enak badan. Mungkin saja terjadi bahwa secara obyektif individu terserang penyakit dan salah satu organ tubuhnya terganggu fungsinya, namun dia tidak merasa sakit dan tetap menjalankan tugasnya sehari-hari. Sebaliknya seseorang mungkin merasa sakit tetapi dari pemeriksaan medis tidak diperoleh bukti bahwa dia sakit.

Etiologi Penyakit Personalistik dan Naturalistik

Foster dan Anderson (1978) membagi etiologi penyakit menjadi dua yaitu : etiologi personalistik dan etiologi naturalistik. Dalam etiologi personalistik keadaan sakit dipandang sebagai sebab adanya campur tangan agen seperti makhluk halus, jin, hantu dan roh tertentu. Seseorang jatuh sakit akibat usaha orang lain ( dukun ) yang menjadikan dirinya sebagai sasaran agen tersebut. Konsep etiologi naturalistik berpandangan bahwa sakit adalah akibat gangguan sistem dalam tubuh manusia atau antara tubuh manusia dengan lingkungannya.

Teori Suchman memberikan batasan perilaku sakit sebagai tindakan untuk menghilangkan rasa tidak enak ( discomfort ) atau rasa sakit sebagai dari timbulnya gejala tertentu. Suchman melihat pola perilaku sakit dipandang dari dua sisi yaitu dari sisi pasien dan petugas kesehatan. Menurut Suchman terdapat lima macam reaksi dalam proses mencari pengobatan, yaitu Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan. Fragmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama. Procrastination adalah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan. Self medication adalah pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat yagn dinilainya tepat baginya. Discontinuity adalah penghentian proses pengobatan.

Ahli antropologi kesehatan melihat bahwa perilaku sakit seseorang mengacu pada etiologi atau sebab dari penyakit itu sendiri. Masyarakat yang relatif lebih sederhana seperti di pedesaan Indonesia, orang cenderung menganut etiologi personalistik, sehingga masyarakat akan pergi ke dukun/orang pintar. Sedang di daerah perkotaan sebaliknya, terdapat kecenderungan terhadap etiologi naturalistik. Bila masyarakat meyakini bahwa mereka terserang suatu penyakit akibat virus atau kuman maka dia akan pergi ke dokter. Dalam berbagai laporan penelitian antropologi, yang ditulis oleh Sinuraya( 1988 ) dapat ditemukan bahwa etiologi penyakit yang personalistik dan naturalistik dapat berlaku dalam masyarakat urban ( perkotaan ) dan rural ( pedesaan ) sekaligus.

Koentjaraningrat ( 1984  ) menyatakan bahwa pada masyarakat Jawa ada beberapa teori tradisional mengenai penyakit yang diyakini mereka disebabkan oleh faktor personalistik dan sekaligus naturalistik ( Sianipar, Alwisol dan Yusuf, 1992 ), sehingga yang tampak  pertama-tama masyarakat akan pergi ke dokter. Bila penyakitnya tidak berkurang juga maka dia akan pergi ke dukun. 

Etiologi penyakit naturalistik dan personalistik selamanya akan tetap hidup di masyarakat baik perkotaan maupun pedesaan. Tidak ada lagi pembeda bahwa makin modern masyarakat akan lebih memandang penyakit sebagai naturalistik saja. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Sianipar ( 1986 ) yang membuktikan bahwa di daerah Sumatera Utara, dukun banyak tinggal di daerah perkotaan, karena pasiennya kebanyakan berasal dari kota dibandingkan dari desa.Seseorang yang telah memilih sistim pengobatan tertentu terhadap penyakit yang dideritanya akan menerima seluruh proses pengobatan secara penuh.

Referensi:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ( 1990 ), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.

Foster, G.M., & Anderson, B. G., ( 2006 ), Antropologi Kesehatan, ( Priyanti P. S., & Meutia F. H. S, Trans ), Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.

Lumenta, Benyamin, ( 1989 ), Penyakit, Citra, Alam dan Budaya ; Tinjauan Fenomena Sosial, Yogyakarata, Penerbit Kanisius.

Markamah, Sunanda, A., & P., Harun Joko, ( 2001 ), Ilmu Budaya Dasar, Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Muzaham, Fauzi, ( Eds ). ( 1995 ), Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.

Sarwono, Solita, ( 1993 ), Sosiologi Kesehatan, ; Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Sianipar, T., Alwisol, & Yusuf, Munawir, ( 1992 ), Dukun, Mantra dan Kepercayaan Masyarakat, Grafikatama Jaya.

Sobur, Alex, ( 2003 ), Psikologi Umum Dalam Lintasan Sejarah, Bandung, CV. Pustaka Setia.

Soekanto, Soerjono, ( 1990 ), Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Pers.


Page 2

Penyebab perbedaan persepsi masyarakat dalam menyikapi masalah kesehatan

Psychology Village adalah acara tahunan yang di adakan oleh fakultas psikologi UPH sejak 2009. Acara ini diadakan guna membangun kerjasama dengan berbagai institusi lain dalam skala nasional, menciptakan tali persaudaraan sehingga tercipta hubungan yang dapat saling membangun antar mahasiswa psikologi di Indonesia. Biasanya, acara ini terdiri dari lomba-lomba seperti futsal, debat, dan cerdas cermat, dan juga seminar. namun pada Psychology Village 7 ini, kami mengadakan lomba baru yang bernama PsyEdu, yaitu lomba untuk membuat iklan layanan masyarakat.Oleh karena itu, kami mengundang teman-teman sekalian yang menyukai berbagai aktivitas diatas, bisa mendaftarkan diri beserta tim nya :) untuk info lebih lanjut, silahkam hubungi:

PsyCompetition (futsal):

• Alyssa Nikita: 081285326043

• Christine: 08111895572

PsychoDebate (debat)

• Janet: 081337376199

• Tiffany: 081808816610

PsychoSmart (cerdas cermat)

• Imelda: 081281266597 / imeldaong (line id)

• Winnie: 081929258080 /  winniehakim (line id)

Seminar

• Cindy: 081317774361 / cindykhomeiliani (line id)

• Veronica: 08176304050

PsyEdu

• Brigitha: 08981558578 / brigitha.tanzil (line id) #Regrann


Page 3

ISSN 2477-1686

Vol.2. No.5.Maret 2016

Peran Classical Conditioning dalam Iklan

Devi Jatmika

Fakultas Psikologi, Universitas Bunda Mulia

Classical conditioning merupakah salah satu teori dalam behaviorisme seringkali digunakan di dalam penerapannya di bidang psikologi klinis dan pendidikan. Teori Classical conditioning ini pertama kali dikemukakan oleh Psikolog asal Rusia, akan tetapi, teori terkenal yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov seiring perkembangan juga digunakan dalam dunia marketing dan periklanan. Di awal tahun 1970-an, teori classical conditioning muncul di dalam dunia marketing untuk menjelaskan proses iklan, (Gorn; Nord & Peter dalam Chen & Jiang, 2013) berpendapat teori classical conditioning dapat mengubah preferensi konsumen  terhadap iklan TV.

Tiga Tahap Conditioning

Dalam teori classical conditioning, merupakan teori belajar yang melibatkan proses asosiasi. Pada dasarnya terbagi menjadi tiga tahap conditioning (McLeod, 2008):

1.   Sebelum Pengkondisian

Pada tahap ini unconditioned stimulus (UCS), yaitu stimulus tak berkondisi yang belum diasosiasikan dengan stimulus lain dan secara otomatis akan menghasilkan unconditioned response (UCR), respons/ perilaku yang muncul tanpa pembelajaran.

Pernahkah Anda membayangkan sedang berada di pantai dan ditemani musik-musik dan sekelompok orang yang menari dan tersenyum, tentunya ini adalah gambaran yang memberikan perasaan senang dan rileks. Gambaran inilah yang digunakan dalam iklan sebagai UCR.

Selebriti yang tampan dan cantik, pemandangan yang indah, musik, gambar-gambar yang lucu berwarna-warniseringkali digunakan dalam iklan. Stimulus-stimulus inilah yang berperan  sebagai UCS bagi penonton yang menggambarkan figur-figur yang menarik menghasilkan respons yang menyenangkan, gembira, lucu (UCS).

Pada tahap pengkondisian juga melibatkan neutral stimulus (NS)/ stimulus netral yang bisa berupa objek, orang, tempat dan lain-lain.  Stimulus netral tidak menghasilkan respon apapun hingga diasosiasikan dengan UCS.

2.    Tahap Pengkondisian

Dalam tahap ini stimulus netral  diasosiasikan dengan UCS sehingga menjadi conditioned stimulus/ stimulus yang berkondisi (CS).

Sebagai contoh, saya ingin menjual produk minuman jeruk nipis botol “Uenak”. Minuman jeruk nipis dengan kemasan botol cap “Uenak” ini tidak memberikan respons apa-apa kepada konsumen, suatu minuman biasa yang mungkin tidak dikenal. Minuman ini bertindak sebagai stimulus netral. Hingga saya membuat iklan dengan menempatkan minuman botol jeruk nipis ini bersama dengan seorang perempuan yang sedang minum di tepi pantai beserta ombak dan pemandangan yang indah. Dalam tahap ini minuman botol telah menjadi conditioned stimulus.

Minuman botol jeruk nipis “Uenak” (CS) + pemandangan indah (UCS) à perasaan fresh dan senang (UCR)

Pengkondisian ini terus dilakukan berulang-ulang di setiap waktu agar terjadi pembelajaran kepada konsumen. Akan tetapi, Pearce dan Hall (dalam Janiszewski & Warlop, 1993) menyebutkan bahwa prosedur pengkondisian paling efektif ketika subjek berada saat CS dan UCS dipasangkan. Selama beberapa kali pengkondisian, perhatian subjek akan menurun karena telah mempelajari  dan memprediksi bahwa CS menghasilkan CR. Sehingga, apabila kita melihat dalam konteks konsumen, sebuah iklan akan lebih berhasil menarik perhatian jika asosiasi CS dan UCS diperbarui atau dibuat dalam konteks yang belum pernah diketahui.

3.    Setelah Pengkondisian

Setelah minuman “Uenak” (CS) dipasangkan dengan UCS dan terjadi pembelajaran. Maka setelah pengkondisian, konsumen akan mengasosiasikan minuman jeruk nipis menghasilkan suatu respons fresh dan menyenangkan (conditioned response/ CR). Conditioned response (CR) adalah respons yang dipelajari pada stimulus netral yang telah berkondisi.

Dari paparan di atas, penerapan classical conditioning memberikan manfaat yang mungkin dapat pula digunakan untuk promosi dan marketing suatu produk, jasa dan merek tertentu. 

Referensi:

Chen, Y. F., & Jiang, J. H. (2013). Effects of classical and operant conditioning on online consumer purchase and repurchase intention. Proceedingss of 8th Asian Business research Conference 1-2 April 2013, Bangkok, Thailand.

Janiszewski, C., & Warlop, L. (1993). The influence of classical conditioning procedures on subsequent attention to the conditioned brand. Journal of Consumer Research, 20(2), pp. 171- 189.

McLeod, S. (2008). Classical Conditioning. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/classical-conditioning.html.


Page 4

 ISSN 2477-1686

Vol.2. No.4.Februari 2016

Soulmate: Mitos Atau Kenyataan 

Yonathan Aditya Goei

Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan

Bermula dari Kisah Plato

Dengan semakin tingginya angka perceraian dan semakin rendahnya kepuasan pernikahan pasangan yang masih menikah, banyak orang merindukan pasangan yang dapat membuat mereka berbahagia. Tidak mengherankan konsep soulmate semakin populer. Soulmate merupakan konsep yang pertama kali dikemukakan oleh Plato. Plato mengatakan pada jaman dahulu kala ada makhluk androgini, yaitu mahluk yang merupakan kesatuan dari pria dan wanita dalam satu tubuh. Mahluk ini sangat kuat dan berusaha melawan kekuasaan para dewa sehingga para dewa ketakutan. Oleh karena itu Zeus lalu memotong mereka menjadi dua, sehingga dalam satu tubuh hanya ada satu jenis kelamin. Mahluk yang terpisah ini menjadi lemah dan tidak akan tenang sampai menemukan pasangannya. Begitu mereka menemukan pasangan mereka, mereka akan merasa senang tetapi mereka juga tidak mau berpisah lagi  yang akan membawa mereka menuju kematian.

Apa itu Soulmate?

Konsep Plato tentang soulmate ini terus berkembang hingga saat ini. Soulmate ini mempunyai arti yang beragam, tapi intinya soulmate menggambarkan seseorang yang dapat membuat hidup  menjadi lengkap, dapat mencintai lebih dari siapapun dan bisa menerima dalam kondisi apapun. Bach (2016) mendefinisikan soulmate sebagai seseorang yang mempunyai kunci yang cocok dengan anak kunci kita dan anak kunci yang cocok dengan kunci yang kita miliki. Pendek kata soulmate adalah seseorang yang membuat kita merasa nyaman sehingga  kita berani menampilkan diri apa adanya dan mengembangkan potensi yang kita miliki.

Gambaran soulmate diatas tentu saja merupakan representasi  pasangan hidup yang didambakan oleh hampir semua orang dan memang seseorang yang bisa memenuhi kriteria soulmate diatas akan menjadi pasangan hidup yang ideal. Hanya saja yang perlu ditanyakan adalah apakah konsep soulmate ini realistis. Untuk bisa menjawab hal ini, adalah penting  untuk meneliti asumsi dibalik konsep soulmate ini.

Soulmate antara Perasaan dan Logika

Konsep soulmate ini menganggap ada satu orang diluar sana yang diciptakan untuk menjadi pasangan hidup dan oleh karena itu pasti cocok. Sekalipun terdengar baik tapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain sarana apa yang dipakai untuk menilai apakah seseorang yang dijumpai itu soulmate dan kecenderungan untuk mempunyai harapan yang tidak realistis mengenai pernikahan.

Mereka yang percaya pada soulmate tentu harus mempunyai alat yang dipakai untuk menentukan apakah orang yang mereka sukai itu soulmate atau tidak. Kalau sarana yang dipakai untuk menilai dapat Dipertangungjawabkan, misalnya melalui pertimbangan rasional, resiko untuk salah menilai dapat dikurangi. Sayangnya sebagian besar mereka yang percaya pada konsep ini lebih banyak menggunakan perasaan untuk menilai. Padahal perasaan bukanlah alat ukur yang bisa dipercaya. Hal ini khususnya terjadi pada mereka yang mempunyai pola attachment yang tidak sehat, latar belakang keluarga yang bermasalah, atau pengalaman traumatis yang lain.

Selain itu, mereka yang percaya pada konsep soulmate mengharapkan  pernikahan mereka akan lancar. Mereka sudah menikah dengan orang yang memang diciptakan untuk mereka, oleh karena itu sudah seharusnya pernikahan mereka mulus. Padahal tidak ada pernikahan yang tanpa masalah. Dua orang yang berasal dari keluarga berbeda, jenis kelamin yang berbeda, kepribadian yang tidak sama, kebiasaan yang berbeda, tidak mungkin tidak mengalami konflik. Begitu mengalami konflik mereka akan mulai meragukan apakah benar pasangan yang dinikahi itu soulmate. Mereka kemudian mulai berpikir mungkin mereka salah pilih, yang berarti pula soulmate merka masih ada diluar sana dan harus segera dicari. Tidak heran jika mereka bisa mengakhiri hubungan mereka guna menemukan soulmate yang sesungguhnya.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa konsep soulmate ini bisa membawa akibat yang cukup fatal jika tidak diterapkan dengan berhati-hati. Sekalipun tidak berarti konsep ini tidak mempunyai aspek positip. Konsep bahwa Tuhan sudah menyiapkan pasangan bisa membuat seseorang lebih tenang karena merasa Tuhan tidak meninggalkan mereka dalam usaha pencarian pencarian teman hidup ini. Tentu saja jika diterapkan dengan bijaksana.

Tiga Kriteria dalam memilih Soulmate

Kembali ke pertanyaan awal, apakah sebenarnya konsep soulmate ini mitos atau realita. Terlebih lagi, beberapa agama sepertinya mempunyai konsep yang mirip dengan konsep soulmate ini. Menurut penulis yang lebih penting bukanlah menjawab pertanyaan ini tapi bagaimana menyikapi konsep ini dengan baik. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menghilangkan/ mengurangi efek negatip dari soulmate seperti yang disebutkan diatas, yaitu kriteria yang dipakai untuk menentukan siapa yang menjadi soulmate dan harapan tentang pernikahan.

Alat  yang dipakai untuk menentukan apakah seseorang adalah soulmate atau tidak sangat penting. Menggunakan alat yang salah dalam menentukan keputusan penting ini dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Perasaan jelaslah bukanlah alat yang baik untuk dipakai karena perasaan tidak sepenuhnya dapat dipercaya apalagi perasaan mereka yang sedang jatuh cinta. Oleh karena itu pikiran/rasio haruslah dipakai sebagai penentu. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang harus dipertimbangkan dalam penentuan soulmate ini. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk penentuan ini yaitu: tujuan pernikahan, pengenalan terhadap diri sendiri, dan pengenalan pasangan.

Tujuan pernikahan memegang peranan penting dalam menentukan apakah seseorang adalah soulmate atau tidak. Tujuan pernikahan ini tidak selalu sama untuk semua orang. Dilain pihak tujuan pernikahan ini banyak menentukan penilaian apakah seseorang cocok atau  tidak. Tujuan pernikahan yang berbeda tentu membutuhkan kriteria pasangan hidup yang berbeda pula. Misalnya seseorang yang menikah untuk menjalankan misi Tuhan dalam hidupnya tentu membutuhkan pasangan yang berbeda dengan orang yang menikah untuk membuatnya menjadi kaya.

Setelah seseorang tahu tujuan pernikahannya mereka perlu mengenal diri mereka dengan baik. Mereka perlu tahu siapa diri mereka sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangan mereka, bahasa kasih, trait, pola attachment, dan sebagainya. Dengan mengenal diri mereka dengan baik mereka bisa memilih pasangan yang cocok dengan lebih baik. Yang dimaksud dengan pasangan yang cocok disini adalah pasangan yang dapat membantu mereka memenuhi tujuan pernikahan.

Poin terakhir yang perlu diperhatikan adalah pengenalan pasangan dengan baik. Pengenalan yang baik ini diperlukan untuk menilai apakah pasangan mereka merupakan orang yang kompatibel dan dapat membantu mencapai tujuan pernikahan.

Mari Temukan Soulmate yang Tepat

Seseorang yang menggunakan tiga poin diatas dalam pemilihan pasangan diatas kemungkinan dapat menemukan pasangan dengan lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang memilih hanya berdasarkan perasaan. Hal ini karena pemilihan merka lebih rasional sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu tidak peduli apakah seseorang percaya atau tidak percaya pada konsep soulmate kemungkinan besar mereka akan dapat menemukan pasangan yang tepat jika mereka memperhatikan tiga poin diatas.

Referensi 

Bach, R. (1989). The bridge across forever: A true love story. New York, NY: Dell Publishing

Cloud,H., & Townsend, J. (1995). Safe people. Grand Rapids, MI: Zondervan.

Franiuk, R., Cohen, D., & Pomerantz, E. M. (2002). Implicit theories of relationships: Implications for relationship satisfaction and longevity. Personal Relationships, 9, 345-367.

Franiuk, R., Shain, E. A., Bieritz, L., & Murray, C. (2012). Relationship theories and relationship violence: Is it beneficial to believe in soulmates? Journal of Social and Personal Relationships, 29, 820-838.

Miller, S.R. (2015). Intimate Relationships 7th ed, New York, NY: McGraw-Hill.

Whitfield, C.L. (2012). Wisdom to know the difference: Core issues in relationships, recovery, and living. Philadelphia, PA: Muse House Press.


Page 5

Details Written by Subhan El Hafiz Category: Arsip Artikel Published: 17 February 2016

Penyebab perbedaan persepsi masyarakat dalam menyikapi masalah kesehatan

Berikut informasi call for abstract yang akan diadakan di UHAMKA, kegiatan ini didukung oleh KPIN dan KPIN juga akan memberikan workshop pra konferensi. Informasi lebih detail dapat mengakses konferensi.psikologi.uhamka.ac.id