Mengapa pada zaman upanishad mulai muncul Sakha sampradaya

Pada abad ke-6 sebelum masehi, ajaran agama Brahmana ditandai dengan munculnya penafsiran terhadap kitab suci Catur Veda yang melahirkan kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan upanizad. Namun demikian, penafsiran ini hanya dilakukan oleh para Rshi yang memiliki otoritas untuk dan berlangsung dalam tradisi perguruan (Guru Parampara) yang kuat dan kepercayaannya yang kuat. Meskipun upanizad berisi pemikiran filosofis dan spekulasi metafisis, tetapi ini merupakan ajaran rahasia yang berlangsung antara guru dan murid. Ini ditegaskan dengan kata “Upanisad” yang berarti “kedudukan dekat dengan guru” untuk menerima ahjaran-ajaran mengenai rahasia ke-Tuhan-an (Brahma rahasyam). Pada Zaman ini, kitab catur veda dipelajari dan ditafsirkan dengan bebas oleh siapapun. Kebebasan ini menyebabkan timbulnya beberapa ajaran dan aliran yang berbeda-beda. Dan beberpa kalangan tidak mengakui sebagai otoritas veda sebagai kitab suci. Pada zaman itu ditentang oleh aliran Budha, Jaina, Charwaka, Ajiwika, Prawrajika, Nirgata dan lainnya.  Mereka menolak otoritas dan kekuasaan kitab suci weda, juga seluruh upakara ritual yang bersumber dari kitab suci weda, sebaliknya mereka mendukung, mengajurkan etika (moralitas), mengagungkan nilai-nilai kehidupan, ahimsa, tapa brata yang keras, dan penebusan dosa dengan jalan yang luarbiasa untuk mencapai moksa. Ditekankan pada ajaran hidup yang tertinggi adalah kebebasan atman dari keterikatan duniawi yang sebagai penyebab penderitaan (dhuka). Hanya dengan mengetahui jalan duka dan mengatasi penyebabnya orang akan mencapai kebebasan dari kelahiran dan kematian yang disebut nirwana. Menentang kebenaran veda, mengutuk adanya korban binatang, menentang upakara ritual, menentang catur warna(kasta) dan menentang kekuasaan para pendeta. Ajaran ini mampu menarik simpati masyarakat luas di India, karena caranya sangat sederhana. Ajaran Budha menyebar begitu cepat keseluruh India sehingga sebagian besar penduduk yang beragama Hindu (Brahmana) beralih agama ke agama Budha, sehingga orang yang masih taat ajaran Brahmana, hanya kaum bangsawan  dan aristokrat yang masih bertahan.  Zaman ini merupakan zaman keemasan agama Budha (the Golden age of Budhism) di India. Akibatnya agama di India pecah menjadi dua golongan yaitu golongan Ortodoks/Smarta/Karma Kandi (mereka yang masih menganut agama Brahmana) dan golongan rasionalis  (golongan Bhuda, Jaina, dan sebagainya), dengan meluasnya ajaran aliran rasionalis ini maka agama Brahmana mengalami kemunduran yang luar biasa sehingga disebut zaman kemunduran agama Hindu. Hanya orang-orang Hindu yang masih taat saja yang tetap beragama Hindu dan sebagain besar hanya golongan Brahmana, golongan bangsawan dan aristocrat.  Pada zaman rasionalis ini, dinyatakan bahwa Nirwana tidak dapat dicapai melalui yadnya, tapa brata ataupun Brahma widya, melainkan hanya dapat dicapai dengan melalui jalan spiritualitas, etika dan perbuatan baik. Aliran rasionalis mennetang kebenaran veda, menentang upakara yadnya yang banyak dan rumit, menentang agama yang bersifat aristocrat, menentang dengan adanya system warna (kasta), menentang penggunaan bahasa Sangsekerta, menentang pembunuhan binatang untuk pelaksanaan upakara yadnya namun menekankan ajaran ahimsa secara ketat serta menentang kekuasaan Brahmana dalam mengatur keperluaan spiritual masyarakat. Dan dari segi politik di zaman ini dipimpin oleh sorang raja beraliran Budha. Agama Budha ditetapkan sebagai agama negara, sehingga para raja-raja yang ada melarang melakukan ritual yadnya yang menggunakan kurban binatang.  Pada saat itu dengan rajanya yang kuat yaitu kerajaan Magadha.  Dan sampai-sampai kuil-kuil Brahmana diancurkan.

Zaman Kebangkitan  Agama Hindu (± 200 SM-300 M)

Hari semakin hari berlalu,  kaum Brahmana bangkit, mulai mengadakan pembrontakan melawan pemerintah kerajaan  Magadha yang beragama Budha. Dari kalangan Brahmana dipimpin oleh Pushyamitra (Mahajan), dia adalah seorang Brahmana yang menjabat sebagai senapati dikerajaan Magadha.Pusyamitra berasil membunuh raja terakhir dari Dinasty Maurya yang bernama Brihadratha pada tahun 184 SM. Dalam kitab Harshacaritadisebutkan bahwa saat raja Brihadratha sedang mengadakan pemeriksaan pasukan dalam sebuah parade, saat itulah ia dibunuh oleh Pushyamitra. Setelah itu Pushyamitra mampu merampas kerajaan Maurya, kemudian mendirikan dinasty Brahmana yang disebut Sungga. Pada zaman pemerintahan Pusyamitra ini melarang masyarakat mengikuti aliran budha, bahkan pengikutnya tidak segan-segan dibunuh termasuk Bhiksu dan kuil-kuil budha (wihara) diancurkan. Pushyamitra adalah seorang raja Brahmana yang pantang mundur untuk melindungi, mempertahankan dan menyebarkan agama Brahmana. Dia menobrak dan mengancurkan penyebar agama Budha di India. Dia membangkitkan kembali ritual yadnya seperti upakara Aswamedhayadnya, yaitu suatu upakara yang terbesar agama Brahmana. Pada zaman ini masyarakat memuja Dewa Wasudewa disamakan kedudukannya seperti Dewa Wisnu dalam kitab veda. Para penganutnya memuja Lingga, yang merupakan warisan dari pemujaan di lembah Sungai Shindu. Pada zaman veda pemujaan lingga hanya dilakukan oleh orang-orang Dravida namun kemudian meluas pada orang-orang Arya. Ajaran ritual mulai berkembang (Karma kanda) yang bersumber dari kitab suci veda dan juga berdasarkan kitab-kitab Brahmana. Dewa Siwa diakui sebagi Dewa tertinggi yang kedudukannya disamakan dengan Dewa Ludra dalam kitab veda.  Namun pada zaman ini bahwa nama-nama dewa yang disebutkan dalam kitab Veda seperti Dewa Indra, Waruna, Agni dan Aswin tidak dianggap sebagai dewa yang terpenting lagi yang digeser kedudukannya oleh umat Hindu di India, namun dewa lainnya yang zaman veda tidak penting seperti Dewa Wisnu, Shiwa dan lain-lainnya mendapat kedudukan cukup penting di zaman Pushyamitra ini. Pada zaman ini untuk mengindari salah penafsiran kitab suci veda seperti pada zaman upanisad sebelumnya, maka dilarang masyarakat umum mempelajari kitab veda. Sehingga bermunculan penulisan sastra-satra suci oleh kaum Pendeta Brahmana yang disebut dengan nama Pancama Veda, seperti kitab-kitab itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Bhagavad Gita, Shwetaswatara, kitab-kitab purana, dan sebagainya. Kitab pancama veda ini boleh dibaca oleh masyarakat umum dan dikatakan kesuciannya sama dengan kitab suci veda.  Pada zaman ini berkembang juga sistem filsafat Hindu yang bersumber dari kitab-kitab Upanisad.  Seperti kitab-kitab Sutra yang menjadi sumber ajaran dari filsafat Hindu (Sad Dharsana yaitu Nyayasutra(Nyaya), Waisesika, Samkhya, Yoga(yoga sutra), Mimamsasutra dan Vedanthasutra). Isi dari sistem filsafat ini tentang uraian alam semesta, pencipta dan ciptaan-Nya, dan pertanyaan tentang hidup dan mati secara logis-filosofis. Para pendeta Brahmana menyusun kembali tentang ajaran ritual yadnya agar mudah ditafsirkan, dengan kalimat-kalimat yang pendek-pendek sehingga disebut kitab Sutra.  Seperti kitab kalpasutra yang terdiri dari Srautasutra yang berisikan mengenai upakara umum, Grihyasutra yang berisikan mengenai upakara dirumah tangga, Dharmasutra sulbasutra.  Pada zaman ini terjadi pengakuan terhadap semua adat istiadat di daerah.  Bahkan hukum sosial sudah dipakai sebagai hukum agama, sehingga siapa yang melanggar adat dianggap melanggar hukum agama. Pada zaman iniDharmasastra menjadi kitab hukum Hindu yang juga menjadi sumber hukum sosial India pada zaman itu. Berdasarkan uraian ditas dapat disimpulkan bahwa ciri penting pada zaman kebangkitan agama Hindu atau agama Brahmana ortodoks adalah: Kitab suci Catur Veda tidak boleh dibaca untuk umum, sebagai penggantinya ditulislah kitab-kitab pancama Veda, Itihasa (Ramayana dan Mahabaratha) dan kitab-kitab Purana; Munculnya pemujaan kepada Trimurti (Brahma, Wisnu, Shiwa) ; munculnya ajaran Sad Dharsana; semua adat-istiadat harus tetap jalan; munculnya perhitungan Yuga.  Ajaran Brahmana Ortodoks (Brahmanisme) yang datang ke Indonesia sekitar abad pertama Masehi. Kemudian ajaran ini menyebar luas ke pulau jawa abad ke -5 Masehi, dan akhirnya berkembang ke Bali sampai sekarang, dengan dibuktikan oleh berbagai peninggalan arkeologis dan kesusastraan Hindu di Indonesia.

Zaman Purana

ZAMAN KEMASAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU (±300 Masehi - 700 Masehi) …………………………………………………………………………………………….. Pada akhir zaman brahmana (zaman kebangkitan agama hindu), kehormatan agama hindu, yang sempat hilang karena menguatnya pengaruh agama Buddha di india dapat di raih kembali. India kembali di perintah oleh raja-raja beragama hindu dari keturunan dinasti gupta. Perkembangan agama hindu (brahmanisme) pada zaman ini mendapatkan dukungan penuh dari raja dan seluruh apiratur kerajaan (tripathi, 1999 :255). Mereka semua aktif mengembangkan dan mengagungkan agama hindu. Upacara yang dahulu sudah tidak di laksanakan lagi, sekarang di laksanakan kembali dengan tertib dan khidmat (macmillan (ed), 2001 : 72). Dengan diperintahnya kembali  India oleh raja-raja yang beragama Hindu maka agama dan kebudayaan Hindu tumbuh subur dan berkembang. Walaupun demikian, agama dan kebudayaan hindu yang berkembang pada zaman ini  merupakan kelanjutan dari zaman brahmán akhir  (200 SM – 300M ). Salah satu cirri  terpenting dari zaman brahmanan akhir (Revial of hindusim) adalah munculnya mazhab –mazhab dalam agama hindu. Secara teologis. Kemunculan mazab-mazab ini (testic religios) telah menggeser dewa-dewa yang semula  di puja dalam kitab suci weda dan digantikan dengan dewa-dewa lain yang diyakini sebagai tuhan oleh mazhab tersebut (mahajan,2002:375;majumdar, 1998:171). Dari sekian mazhab yang ada, mazhab waishnawa dan mazhab shiwa sangat terkenal pada zaman ini. Mazhab waishnawa mengagungkan  dewa wasudewa yang disamakan dengan Dewa Wishnu dalam weda, sedangkan mazhab shiwa mengagungkan Dewa Shiwa yang disamakan dengan Dewa Rudra dalam weda (thapar,1979:161). Selain itu, juga muncul mazhab besar lainnya, yaitu shakta (pemujaan shakti), ganapatya (pemuja ganesha), dan sora (pemuja surya) (majumdar, 1998:171). Kelima mazhab disebut Panca Sakha atau Panca Upasakha, atau Panca Yatanapuja. Walaupun demikian, tidak ada perbedaan yang tegas antara kelima mazhab tersebut (Panca Sakha)  Oleh karena itu lebih tepat disebut sebagai lima bentuk pemujaan kepada ista dewata. Ini penting dipahami untuk membedakan dengan mazhab-mazhab yang lahir pada zaman purana (historical tradition) (thapar, 1979:163). Dalam hal kesusasteraan Hindu, zaman Brahmána akhir juga di tandai dengan ditulisnya kitab-kitab Pancama Weda. Kitab ini sebagai pengganti kitab suci Catur Weda yang pada masa itu tidak boleh dibaca masyaeakat umum. Ini menyebabkan setiap mazhab menulis dan mengagungkan satu atau beberapa Panca Weda, sebagai kitab yang paling disucikan dalam mazhabnya. Malahan, kesuciannya diyakini sama dengan kitab CaturWeda (mahajan, 2002:566; sulivan, 1998:5). Penulisan kitab-kitab ini terus berlanjut seiring dengan semakin berkembangnya mazhab-mazhab (pancha upasakha ) dalam agama Hindu. Kesusasteraan Hindu yang penting pada zaman ini adalah kitab-kitab Purana. Secara tradisi, diyakini bahwa kitab Purana di tulis oleh Maharsi Wyasa dan umumnya disebut  Pancama Weda (shastri, 1973:v) ada 18 (delapan belas) kitab purana mayor (mahapurana) dan 18 (delapan belas)  kitab purana minor seperti misalnya, Shiwa Purana adalah salah satu kitab suci dari mazhab shiwa: brahmanda purana adalah kitab suci dari mazhab shakta : bhagawatam puranam adalah salh satu kitab suci dari mazhab waishnawa, dan lain-lain (mahajan,2002:376;majumbar ,1998:438; mani, 1984:617) Bermunculannya kitab-kitab  purana (Histirical Tradition) seiring dengan tumbuh-suburnya mazhab-mazhab dalam agama hindu sehingga zaman ini disebut zaman purana, zaman ini berlangsung dari tahun 300 masehi  hingga 700 masehi (Kundra, 1968 : 187). Adapun agama hindu pada zamn itu disebut agama purana (Puranic religión) (Sharma, 2001 : 101 ; Luninya, 2002 : 190). Berbeda dengan agama Brahmana (Brahmanismeotodiks)  yang menitik beratkan pada pelaksanaan upacara yajna dan persembahan kurban binatang,  agama purana justru bersifat sektarian. Artinya, pada zaman ini muncul banyak sakte (mazhab) yang secara tegas berbeda antara sekte  yang satu dengan sakte yang lain. Setiap sakte ini memiliki kekayakinan dan tata caranya sendiri ; adapun karateristik sebuah mazhab atau sekte, antara lain: memiliki nama Tuhan sendiri; memiliki kitab suci sendiri; memiliki sadhanasendiri; doktrin ajaran sendiri; memiliki ritual pemujaan yang khas; memiliki kosmologi dan kosmogoni sendiri; memiliki ajaran yoga-nya sendiri; memiliki kepercayaan moksa sendiri; dan memiliki sisitem filsafat sendiri (Rejeev, 1990). Sebagai kelanjutan dari zaman Brahmana akhir, Mazhab Waishnawa dan shiwa juga semakin berkembang pada zaman purana ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran dari mazhab waishnawa mengalami banyak perubahan Di bandingkan dengan ajaran awal pada zaman kemunculannya sekitar abad ke kedua sebelum masehi.  Perubahan dalam mazhab waishnawa ini terutama karena di pengaruhi oleh agama budha. Ajaran-ajaran yang berasal dari agama budha seperti, ahimsa,vegetarian (Majumdar, 1998 : 431 ; Luniya, 2001 : 196),  pemujaan patung, penolakan terhadap sistem kasta, dan pembangun kuil-kuil, pada akhirnya menjadi bagian dari ajaran mazhab waishnawa (Kundra, 1968 : 177; Luniya, 2001: 208).  Pada zaman ini juga sapi mulai di sucikan, bahkan di puja terutama oleh penganut waishnawa, sedangkan lembu di sucikan oleh penganut shaiwa. Perkembangan mazhab bhagawata waishnawa semakin pesat.  Ini di tandai dengan munculnya sub-sub sekte yang intinya memuja dewa whisnu. Ajaran mengenai awatara yang muncul dalam kitab-kitab purana mulai di yakini oleh penganutnya (Sharma, 2001 : 101). Akhirnya muncul pemujaan kepada awatara dewa wishnu seperti , rama,khrisna, narasinga,dan lain-lain. Demikian pula pemujaan kepada dewa laksmi, radha,hanuman, dan garuda mulai berkembang dan mengakar dalam masyarakat (Tripathi, 1999:268-269). Mazhab Waishnawa menekankan  tiga macam jalan untuk mencapai moksa, yaitu: pertama, melalui karmamarga (perbuatan), kedua, melalui jnanamarga (jalan ilmu pengetahuan) dan ketiga, melalui bhaktimarga (jalan berbakti). Dalam pelaksanaan karmamarga, cara-cara pelaksanaan upacara keagamaan secara tepat dan benar harus di lakukan (Macmillan (ed), 2001 : 78-79; Rajeev, 1990:21). Sebaliknya, mazhab shiwa tetap menjalankan ajaran ritual berdasarkan ajaran kitab-kitab brahmana.  Mereka tetap melaksanakan upacara yajna, korban suci binatang, dan hidup non-vegetarian (boleh memakan daging) (Sharma, 2001:68) Dengan adanya perbedaan ajaran yang mendasarkan dari kedua mazab ini, maka agama hindu pecah untuk kedua kalinya. Mazhab waishnawa disebut golongan rasionalisme atau golongan Jnana kandhi yang menerima kebenaran filsafat, rasio, dan logika. Mazhab ini menentang upacara kurban seperti yang disebutkan dalam kitab suci weda, menolak perbedaan warna,dan kekuasaan pendeta. Golongan rasionalis ini di sebut juga dengan nama golongan Wedantis (Sharma, 2001 : 68). Sebaliknya , mazhab Shiwa disebut golongan ortodoks atau golongan krama-kandi atau golongan mimamsaka atau umumnya disebut golongan tradisi. Mazhab shiwa ini mendasarkan pemikirannya pada pentingnya ritual, serta tetap mempertahankan tradisi seperti yang di ajarkan dalam kitab suci weda dan penjelasannya berdasarkan kitab-kitab brahmana. Mereka tetap mempertahankan dan melaksanakan upacara yajna sebagai  dasar ajaran yang terpenting dan umumnya  mereka tidak vegetarian (Sharma, 2004 : 68). Mazhab waishnawa dan shiwa saling bertentangan untuk mempertaruhkan prinsip-prinsip kepercayaan masing-masing. Pada zaman ini pula muncul mazhab lain sebagai penengah yang di sebut mazhab brahmana atau mazhab smarta atau mazhab yang berdasarkan tradisi. Mazhab brhamana-smarta ini muncul pada abad pertama sebelum masehi. Mazhab ini mengajarkan penyembahan pada dewa trimurti, yaitu brahma, wishnu dan rudra ( Majumdar, 1998 : 177 ; Rajeev, 1990:21). Selain mazhab waishnawa dan shiwa seperti yang tersebut di atas, masih banyak lagi mazhab dan sub-sub mazhab seperti, shiwa shakti,Ardhanareshwari, Harihara, dan lain-lain. Demikian pula, pemujaan ganesha, surya (sora), dan shakti tumbuh dengan pesatnya di kalangan masyarakat (Tripathi, 1999:269; Khanna, 1967 : 132; Rajeev, 1990:22-25). Pada zaman ini juga, mazhab trimurti yang sudah muncul sejak abad pertama sebelum masehi berkembang luas di kalangan masyarakat (Mahajan, 2002:375). Mazhab yang menyembah trimurti (brahma-wishnu-shiwa) ini ikut menyebar ke indonesia bersama dengan mazhab shiwagama dan waishnawagama. Zaman  purana ini memang tepat disebut zaman keemasan agama hindu (The Golden Age Of Hindusm) (Kundra, 1968 : 168). Mengingat agama hindu sudah mulai tersebar ke seluruh India, Bahkan juga tersebar keluar negara india termasuk ke Asia Tenggara dan indonesia, bahkan sejak abad pertama masehi (Kundra, 1968 : 187 ; Luniya, 202:189). Perkembangan agama Hindu di India dan penyebarannya ke luar india, tiak dapat dilepaskan dari semakin berkembangnya ajaran tantrayana atau tantrisme pada abad ke-5 mashi (Thapara, 1979:16). Kitab-kitab tantrayana yang umum di sebut kitab agama atau kitab tantra. Banyak di tulis pada zaman ini. Kitab tantrayana ini di bagi menjadi dua , yaitu kitab daksinagama dan wamagama. Setiap mazhab dalam Tantrayana memiliki kitab-kitab sendiri, Shiwagama, shaktagama, Waishnawagama, dan lain-lain (Banerjee, 1988:367-468). Kitab  Waishnawagama berisi tentang teologi, atribut-atribut para dewa, mantra, cara mengucapkannya, cara meditasi, dan lain-lain. Hal-hal ini diuraikan secara panjang lebar dalam kitab tersebut. Kitab Waishnawa gama ada dua macam, yakni Pancharatra dan Waikanagama (Gupta, 2000:xv-xviii). Sementara itu,kitab Shiwa gama jumlahnya sebanyak 208 buah. Paling terkenal dari kitab Shiwa gama adalah Pasupata Sutra, Tattwa Sanggraha, Moksa Karika, dan lain-lain. Sedangkan kitab Saktagama berjumlah 64 buah dan yang terpenting adalah Sarada Tilaka, Mantra Maharnawa, dan lain-lain (Rao, 1999:168). Pada zaman purana ini, mazhab shiwa juga berkembang pesat dan menyebar luas ke seluruh India. Mazhab shiwa pertama kali muncul pada abad pertama sebelum masehi. Pada zaman ini, mazhab shiwa memiliki banyak sub-sekte seperti misalnya, mazhab pasupata, kapalika, kalamuka,linggayat, dan lain-lain (Mahajan, 2002:532-538; Majumdar,1998:432-433). Menurut ajaran mazhab shiwa, moksa hanya dapat dicapai dengan jalan bhakti melalui samskara dan sadhana pancamakara (lima macam persembahan), dengan jalan yoga, dan setelah mendapat anugerah dari shiwa. Ajaran dan filsafat semacam ini disebut filsafat shiwa siddhanta (Law, 2000:1-17). Sementaraitu, mazhab shiwa-bhairawa, kalamukha, dan kapalika, melakukan ritual pemujaan dengan persembahan berupa sadhana pancamakrama  ( biji-bijian, daging, ikan, dan lain-lain) (Dutt, 1997:xx). Mazhab shiwa umumnya masih mempertahankan ajaran-ajaran upacara kurban sebagaimana diajarkan dalam kitab suci weda dan kitab-kitab brahmana (Thapar, 1979:160). Tantrayana berpengaruh sangat kuat dalam masyarakat, bahkan mampu mempengaruhi seluruh mazhab yang ada dalam agama hindu (Sharma, 2001:328;nLuniya,2002:204). Tanpa kecuali juga mempengaruhi mazhab shiwa dan mazhab waishnawa, sehingga muncul mazhab shiwatantra atau shiwagama dan waishnawatantra atau waishnawagama. Mazhab tantrayana ini memusatkan pemujaan kepada shakti atau istri  dari dewa-dewa. Seperti pemujaan kepada durga, prawati, sakti atau bhairawi sebagai shakti dari dewa shiwa. Demikian juga pemujaan kepada mahalaksmi sebagai shakti dewa wishnu, dan mahasaraswati sebagai shakti dewa brahma. Demikianlah pemujaan kepada shakti (istri dewa ) menjadi ciri penting ajaran tantrayana. Mazhab ini muncul dan berkembang pesat sekitar abad ke-5 masehi, tetapi bibit-bibit ajarannya sudah dapat di rujuk dalam agama dravida atau lembah sungai sindhu (Gupta, 2000: xviii-xix; Sharma, 2001:328). Munculnya ajaran Tantrayana menjadi ciri penting pada zaman purana ini. Oleh karena itu perlu dijelaskan secara singkat ciri-ciri ajaran tantra. Menurut ajaran tantra, moksa dapat dicapai dengan sadhana(disiplin rohani)mempersembahkan semua pancatattwa, yaitu persembahan biji-bijian ( mudra), daging ( mamsa ), ikan ( matsya), minuman keras (mada), dan simbol-simbol lingga-yoni ( maithuna ) melalui bhakti yogatantra dan dengan mendapatkan anugerah shiwa (Dutt, 1997:81; Mahajan, 2002:668). Selain itu, ajaran tantrayana juga menganjurkan persembahan binatang kurban seperti kerbau, kambing,burung, dan lain-lain. Dalam ajaran tantra juga diajarkan tentang persembahan darah (bali : nyambleh). Pusat perkembangan ajaran tantrayana dan shakta trutama adalah di wilayah assam, india timur. Apabila diamati lebih jauh bahwa hakikat ajaran tantrayana memiliki keserupaan dengan praktik agama hindu di indonesia. Ini dapat dibenarkan karena agama hindu yang datang ke indonesia sejak abad pertama masehi adalah semua mazhab yang muncul pada zaham purana terutama adalah mazhab shiwagama atau shiwatantra dan waishnawagama atau waishnawatantra. Kedua mazhab ini menekankan ajaran untuk melaksanakan yajna (korban binatang) dan panca tattwa sebagai salah satu sarana dan sadhana mencapai moksa. Lain dari pada itu bahwa agama hindu di indonesi juga mewarisi filsafat shiwa sidhanta yang berkembang di india selatan. Ciri penting lainnya dari zaman ini adalah munculnya pemujaan pancayatana puja (bali : pengider-ider). Setiap mazhab bahkan memiliki pancayatana puja-nya masing-masing, seperti pancanana, shiwapancha, pancayatana, pancabrahma (shiwa); pancaratra, pancawyuha (waishnawa) pancaboddha,pancatatagatha (Buddha), Dig Palaka (Agama Purana) dan Panca Bedha (Tantra) (Gupta, 2000:xviii-xix; Sharma, 2001:328; Macmillan (ed), 2001 : 194). Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan ciri-ciri penting dalam agama purana (puranic religion) dan kebudayaan india pada zaman ini. Akan tetapi, beberapa ciri ini sudah mulai muncul sejak zaman brahmana akhir (Macmillan (ed), 2001:192-194; Mahajan, 2002:375-377), sebagai berikut

  1. Munculnya banyak sekte,dan kadangkala saling bertentangan;
  2. Golongan waishnawa mengambil-alih ajaran budha;
  3. Berkembangnya ajaran tantrayana;
  4. Kitab-kitab purana diakui sebagai pancama weda;
  5. Mulai munculnya tempat- tempat pemujaan (kuil);
  6. Mulai melakukan pemujaan patung (arcanam);
  7. Pertentangan atnara kelompok vegetariandan non-vegetarian;
  8. Catur warna semakin kuat di pahami sebagai warisan atau keturunan;
  9. Munculnya kasta pariah di India;
  10. Ajaran catur asrama mulai dilaksanakan secara disiplin;
  11. Upacara-upacara besar dilaksanakan;
  12. Munculnya perhitungan tentang zaman (yuga);
  13. Munculnya pemujaan kepada awatara wishnu (termasuk buddha);
  14. Pemujaan dewa-dewa sebanyak 33.000.000 (33 lakh);
  15. Muncul perayaan hari raya agama hindu;
  16. Pemujaan pancayatana;
  17. Pendeta mendapatkan kedudukan penting;
  18. Hukum adat disamakan dengan hukum agama (Mahajan,2002:362-363;       ,    2002:299-302; tripathi, 1999:269).

Sumber-sumber materi dari Sumber:

  1. Guru Besar Program Pascasarjana (S2) Ilmu Agama Hindu dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Prof. Dr. Litt, Dr. I Gusti Putu Phalgunadi MA, MBA,
  2. Buku Sejarah Evolusi Agama Hindu.

Evolusi Budaya dan Agama Hindu (Periode sekitar 1000 SM sampai sekarang). Evolusi ini terdiri dari beberapa zaman: * Zaman Kejayaan Agama Hindu (sekitar 1000 SM-600 SM) * Zaman Kemunduran Agama Hindu (sekitar 600 SM-200 SM) * Zaman Kebangkitan Agama Hindu (sekitar 200 SM-300 M) * Zaman Purana /Zaman Keemasan Hindu (sekitar 300 M-700 M * Zaman Hindu baru (700 M-1200 M) * Zaman Gerakan Bhakti Hindu (1200 M–1800 M) * Zaman Gerakan Hindu Modern (1800 M-1947) * Zaman Hindu sampai sekarang

ZAMAN REFORMASI HINDU (ZAMAN SANGKARACHARYA) (700 M – 1.200 M)

Zaman purana menandai terjadinya evolusi aga Himdu di India, yaitu munculnya berbagai macam mazhab atau sekte. Meskipun demikian agama Purana (Puranic religion) mesih mewarisi konsep-konsep keagamaan dari zaman Brahmana. Keduanya sama-sama menekankan praktik agama yang penuh dengan upakara dan upacara yajna (Majumdar, 1998:455). Agama Brahmana dan agama Purana mementingkan upacara yajna sebagai jalan untuk mencapai moksa. Hal ini diuraikan secara teliti dan mendalam dalam kitab Mimamsasutra (Mahajan, 2002:11-12; Sharma, 2001:226-328). Ajaran yang mengajarkan pentingnya kedudukan yajna (Karma kandha) dalam agama Hindu ini dikembangkan dan diajarkan oleh para rshi pada zaman ini. Dengan pelopor-pelopornya antara lain, Rshi Prabhakaran, Rshi Kumarila Batta, dan masih banyak lagi. Ajaran ini rupanya mendapat sambutan yang luas di kalangan umat Hindu (Luniya, 2002:301). Agama Hindu yang berdasarkan yajna, sebagaimana muncul sejak zaman Weda, Brahmana, dan Purana ini umumnya disebut Hindu ortodoks atau agama Brahmana-Smarta (Kundra, 1968:220). Ajaran inilah yang menjadi agama rakyat India hingga akhir zaman Purana (sekitar 700 Masehi). Akhir zaman Purana ditandai dengan terjadinya kekacauan di antara umat Hindu, akibat pertentangan yang hebat antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya. Setiap mazhab membenarkan prinsip-prinsip kepercayaan dan ajaran dari mazhab mereka sendiri dan menyalahkan kebenaran dari mazhab yang lain. Hal-hal yang dipertentangkan terutama mengenai ajaran Ahimsa (Mahajan, 2002:375). Di samping itu, juga mengenai upacara yajna, kurban binatang, vegetarian dan non-vegetarian, dan hal-hal prinsip lainnya. Pertentangan itu semakn memanas dan memuncak pada akhir zaman Purana. Selain itu, pertentangan antara pemeluk agama Hindu dan agama Buddha juga terus berlangsung (Kundra, 1968:220-221). Sebagai catatan bahwa meskipun raja-raja yang beragama Buddha sudah dapat dihancurkan oleh golongan Brahmana (Pusyamitra pada tahun 184 SM), tetapi pengaruh ajaran Buddha masih cukup kuat di India. Pertentangan yeng terjadi pada zaman itu tidak terlepas dari semakin berkembangnya tradisi filsafat di India (darsana). Salah satu system filsafat yang penting pada zaman ini adalah Mimamsa. Inti dari filsafat Mimamsa atau Purwamimamsa adalah pengukuhan kesucian Weda bagian Brahmana yang menekankan pada upacara agama (Karma Kandha) (Rajeev, 1990:29). Ajaran filsafat ini bersumber dari kitab Mimamsa yang ditulis oleh Maharsi Jaimini. Kemudian dalam perkembangannya muncullah komentar terhadap Mimamsasutra oleh Sabaraswamin. Komentar ini diterangkan dengan cara berbeda oleh Rshi Kumarila Bhatta dan Rshi Prabhakaran sehingga akan muncul dua aliran (Sects), yaitu aliran pengikut Kumarila Bhatta dan aliran pengikut Prabhakaran. Meskipun demikian kedua aliran ini tidak memiliki perbedaan secara prinsip, kecuali pada ajaran-ajaran yang tidak begitu penting (Chaterjee dan Datta, 1954; Macmillan (ed), 2001:198). Ajaran Mimamsa mengatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai sorga atau moksa adalah upacara yajna (Karma Kandha) dan  persembahan kurban. Rshi Kumarila Bhatta (750 M) menyebarluaskan ajaran ini dan berusaha mempengaruhi Raja-raja Dinasti Gupta untuk  membangkitkan upacara-upacara yajna yang ada di dalam Weda. Propaganda ini berhasil dilakukan sehingga Raja-raja Dinasti Gupta sudah melaksanakan upacara Aswamedhayajna lebih dari dua kali selama masa pemerintahannya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Dengan berkembangnya filsafat Mimamsa ini maka pelaksanaan agama Hindu di India diwarnai dengan berbagai upacara yajna dank urban suci. Malahan, upacara-upacara besar kembali dilaksanakan terutama oleh raja-raja pada zaman itu. Pada masa ini, ritualisme menjadi agama nasional (Rajeev, 1990:29). Hampir bersamaan dengan zaman ini, muncul aliran filsafat lain yang disebut Uttaramimamsa atau Wedanta. Berbeda dengan Mimamsa (Purwamimamsa), Sistem filsafat ini mendasarkan ajarannya pada kitab Upanisad. Filsafat Wedanta secara sistematis disusun dalam kitab Wedantasutra yang ditulis oleh Maharsi Badarayana. Dalam perkembangannya, kitab Wedantasutra ini mendapatkan komentar dari beberapa ahli yang kemudian menjadi pemimpin atau tokoh aliran Wedanta. Tokoh-tokoh itu antara lain, Sangkaracharya, Ramanuja, Madhwa, Wallabha, Nimbarka, dan banyak lagi yang lainnya. Semua tokoh ini memiliki cara pandang masing-masing sehingga aliran yang dilahirkan juga memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat prinsipil (Chaterjee dan Datta 1954). Kehadiran golongan Wedantis telah menyebabkan pembaharuan besar dalam keagamaan Hindu (Reformation of Hinduism) di India pada zaman itu (Rajeev, 1990:29). Golongan ini membuat gerakan untuk mensistematisasikan ajaran agama Hindu, secara rasional dan radikal. Dengan demikian kitab suci menjadi lebih mudah dipahami dan dapat diterima oleh msyarakat umum. Salah satu pelopor gerakan ini adalah seorang Brahmana asal Keladi Kerala, India Selatan yang bernama Sangkaracharya (788 M – 820 M). Dia memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam biadang ajaran Shiwa Paksa. Sangkaracharya juga orang yang pintar dalam berdebat tentang filsafat dan ajaran-ajaran weda. Malahan, diyakini bahwa Sangkaracharya sudah berhasil menguasai ajaran  Catur Weda dan susastra-susastra Hindu lainnya, ketika masih berusia lima tahun. Kecerdasan ini mampu mengalahkan pemimpin-pemimpin suatu aliran dalm diskusi-diskusi spiritual. Ini menyebabkan Sangkaracharya memiliki pengikut yang luar biasa di India pada zaman itu (Kundra, 1968:221). Sangkaracharya juga berhasil memenangkan perdebatan dengan Bhiksu-bhisu Buddha. Melalui penjelasan tentang agama Hindu yang lebih sederhana, rasional, dan filosofis, Sangkaracharya berhasil melenyapkan agama Buddha di India (Thapar, 1979:185). Sangkaracharya menjadi pelopor berdirinya aliran filsafat Adwaita atau monisme-absolut. Dia juga menentang system-sistem, ajaran-ajaran, dan filsafat ritual dan upacara yajna yang dilakukan oleh umat Hindu (Rajeev, 1990:29). Kemudian menggantikannya dengan ajaran Wedanta. Sangkaracharya juga, menentang Rshi Kumarila Bhatta dan Prabhakara yang mengajarkan ritual dan korban yajna (Karma Kandha). Sangkaracharya juga berhasil menghilangkan semua upacara yajna yang memakai Pancatattwa seperti yang dilakukan mazhab Tantrayana, yajna yang dilakukan oleh golongan Brahmana-Smarta untuk pemujaan pada Dewa Shiwa, Dewi Shakti (Durga), dan lain-lain (Sharma, 2001:328; Rajeev, 1990:29). Pancatattwa adalah lima macam unsur persembahan yang terdiri atas:Mada (arak berem), Matsya (Ikan), Mamsa (daging), Mudra (Biji-bijian dan buah-buahan), dan Maithuna (Mahajan, 2002:668) (Simbol Shiwa-Shakti, di Bali digantikan dengan porosan). Dengan semakin berkembangnya ajaran Sangkaracharya maka pada zaman ini agama Hindu mengalami perpecahan untuk ketiga kalinya. Agama Hindu pecah menjadi dua golonga besar (Thapar, 1979:261), sebagai berikut.

  1. Golongan Wedanta (Waidika-Dharma) yang dipimpin oleh Sangkaracharya dari mazhab Shaiwa dan Ramanuja dari mazhab Waishnawa. Golongan ini mendasarkan ajarannya kepada kitab Brahmasutra, Bhagawadgita, dan Upanisad (Wedanta). Ketiga kitab ini disebut Prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107; Macmillan(ed), 2001:196). Golongan ini disebut juga golongan rasionalis (Wedantis).
  2. Golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma) Atau golongan ritual yang dipimpin oleh Rsi Prabhakara, Rsi Madhana Misra, Rsi Kumarila Bhatta dari Mazhab Shiwa tantra dan Waishnawa tantra. Golongan mendasarkan ajarannya pada upacara atau ritual yang filosofisnya diambil dari kitab-kitab Brahmana, Mimamsasutra, dan kitab-kitab Tantra (Agama). Ajaran ini digunakan sebagai alat untuk melawan penganut agama Buddha dan juga untuk menghadapi golongan penganut ajaran Wedanta (Waidika-Dharma) atau golongan Wedantis (Kundra, 1968:220; Klostermaier, 1998:107). Golongan ini juga sering disebut golongan Hindu Ortodoks (Brahmanisme).

Sejak zaman ini terjadilah pertentangan yang hebat antara golongan  Wedanta (Waidika-Dharma) dengan golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma), bahkan sampai sekarang. Namun demikian gerakan yang dilakukan oleh Sangkaracharya dan pengikut Wedantis lainnya, tampak begitu gencar untuk mereformasi agama Hindu. Ini menyebabkan ajaran Wedanta tampak begitu menonjol pada zaman ini sehingga para ahli sejarah menyebut zaman ini sebagai zaman Reformasi Hindu atau zaman Sangkaracharya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2001). Mula-mula, gerakan reformasi yang dilakukan Sangkaracharya adalah menentang ajaran agama Buddha. Sangkaracharya mengalahkan para pemimpin dan penganut agama Buddha melalui perdebatan filsafat. Setelah itu, dia menarik kembali para pengikut agam Buddha tersebut untuk kembali ke agama Hindu. Sejak saat itu agama Buddha perlahan-lahan lenyap dari tanah kelahirannya, India. Sisanya yang kebanyakan adalah penganut agamaBuddha Tantra (Wajrayana) lari menyelamatkan diri ke Tibet (Klostermaier, 1988:107). Setelah Sangkaracharya mengalahkan agana Buddha maka mulailah ia melawan golongan penganut ajaran Shiwatantra yaitu para pengikut kumarila Bhatta. Sangkaracharya ingin menghilangkan semua sistim ritual dan upacara yajna yang dilakukan oleh mzhab Shiwatantra dan Waishnawatantra, kemudian menggantinya dengan ajran Wedanta, khususnya Adwaita Wedanta. Ajaran filsafat Adwaita Wedanta mengajarkan monisme-absolut. Sistem filsafat ini mengajarkan bahwa hanya ada satu Realitas Tertinggi, yaitu Nirguna-Ishwara atau Brahman. Hanya Nirguna-Ishwara (Brahman) yang nyata (sat), sedangkan yang lain hanyalah ilusi (maya) (Klostermanier, 1988:108; Luniya,2002:337). Keberhasilan Sangkaracharya mengalahkan pemimpin-pemimpin agama Buddha dan rsi-rsi dari golongan Tantrayana menjadikannya sebagai pemimpin keagamaan yang sangat disegani di India. Selanjutnya, ia mengelompokkan semua mazhab dalam agama Hindu menjadi lima kelompok (Panca Paksa) yang disebut Pancopasana. Adapun lima macam keyakinan (Pancopasana ) itu adlah Shaiwa Paksa, Waishnawa Paksa Shakta Paksa, Ganapatya Paksa dan Saura Paksa. Sementara itu, Sangkaracharya sendiri menjadi pemimpin mazhab Shiwa Wedanta. Untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran ini maka ia mendirikan pusat pendidikan (Pitha/Matha) di lima penjuru India. Kelima pusat pendidikan ini adalah Saradha-Pitha di Shringeri, India Selatan; Jyoti-Matha di Badrinath India Utara; Kalika-Pitha di Dwarka, India Barat;Wimala-Pitha di Puri, India Timur; dan Rameswaram di India Selatan. Pitha/Matha ini menjadi pusat unruk mempelajari dan menyebarkan ajaran Shaiwa Wedanta dari India ke seluruh dunia sampai sekarang. Sampai sekarang, Pitha-Pitha tersebut melanjutka garis perguruan Sangkaracharya dan pemimpinnya juga dipanggil Sangkaracharya. Tujuannya untuk meneruskan dan menyebarluaskannya ajaran Shaiwa Adwaita Wedanta (Mahajan, 2001:566; Kundra, 1968:221). Dalam kurun waktu berikutnya ajaran Adwaita-Wedanta yang diajarkan Sangkaracharya ditentang oleh pemimpin-pemimpin golongan Wedantis (Waishnawa Movement) dari mazhab Waishnawa (Thapar, 1979:217; Macmillan (ed), 2001:198). Penentangan ini dilakukan oleh Ramanuja. Ramanuja diperkirakan hidup pada tahun 1.050 Masehi sampai dengan 1.137 Masehi. Ajaran-ajaran Ramanuja sesungguhnya juga berdasarkan pada ajaran filsafat Wedanta. Akan tetapi, ia adalah golongan Wedantis dari mazhab Waishnawa dan mengajarkan filsafat Wisistadwaita. Ramanuja menentang ajaran-ajaran dari golongan Shiwa dan filsafat Awaita yang diajarkan oleh Sangkaracharya (Luniya, 2002:337). Perbedaan prinsip dari kedua system filsafat ini adalah pendangannya tentang Brahman, jiwa, dan alam semesta. Menurut Ramanuja, alam semesta bersumber dari Brahman dan benar-benar nyata (Luniya, 2002:337), bukan maya seperti pandangan Sangkaracarya. Alam semesta adalah Prakrti yang mengalami perubahan secara nyata (Parinamawada). Sebaliknya, Sangkaracharya meyakini bahwa perubahan itu hanya ilusi atau kelihatannya saja berubah (Wiwartawada), karena Brahman sebagai Realitas Tertinggi tidak pernah berubah (Charterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978). Kemudian, filsafat Wisistadwaita juga ditentang oleh pemimpin golongan Waishnawa-wedanta lainnya yang bernama Madhwa. Madhwa menyalahkan ajaran monisme Sangkaracarya dengan filsafat Adwaita-nya dan filsafat Wisistadwaita yang didirikan oleh Ramanuja. Madhwa membangun system filsafat dualismenya sendiri yang disebut Dwaita-wedanta, berdasarkan atas kitab Bhagavatam Puranam. Menurut Madhwa, Realitas Tertinggi bukanlah Brahmanyang nirguna (tanpa sifat), tetapi tuhan yang Berpribadi dan memiliki sifat-sifat yang banyak sekali (Saguna). Jnana (pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan) akan menuntun orang menuju bhakti. Melalui Bhakti manusia akan mencapai tujuan akhir, yaitu melihat langsung Maha Wishnu atau Hari yang akan menuntun menuju moksa, kebahagiaan abadi (Chaterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978; Luniya, 2002:337). Filsafat Dwaita-Wedanta ini juga ditentang oleh golongan mazhab Waishnawa-Wedanta lainnya, yaitu Nimbarka. Dia menyalahkan filsafat Dwaita dari Madhwa dan cabang filsafat Wedanta lainnya, serta membangun ajaran filsafat sendiri yang disebut Dwaitadwaita. Nimbarka mengajarkan pentingnya penyerahan diri secara tulus ikhlas (self surrender) dan pemujaan kepada Krishna dan Radha. Menurut ajaran dari mazhab Nimbarka, Krishna adalah Tuhan tertinggi (supreme lord) dari alam semesta (Luniya,2002:337). Akhirnya, Wallabha seorang dari golongan Waishnawa Wedanta tidak mau menerima ajaran filsafat dari Nimbarka dan majaran filsafat yang lain disebut Suddhadwaita (Pure non-Duality). Walabha mengajarkan penebusan dosa, tapa-brata yang sangat keras, meninggalkan keduniawian, dan penyatuan yang sempurna antara Atman dengan Paraatman (Krishna). Di samping itu juga mengajarkan bhakti secara tulus ikhlas kepada Krishna dengan menyerahkan segalanya (badan, pikiran, dan kekayaan) pada Krishna (Rajeev, 1990:31; Luniya, 2002:396). Dengan demikian terjadilah perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip filsafat dan perpecahan pun terjadi dalam golongan Waishnawa-Wedanta. Masing-masing golongan ini membangun garis perguruan yang disebut Sampradaya, dan memujaKrishna sebagai Tuhan (Mahajan, 2003:373). Mazhab Waishnawa-Wedanta memiliki empat Sampradaya, yaitu Sampradaya Shri- Waishnawa (mengikuti ajaran filsafat dari Waishnawa Ramanuja), Sampradaya Brahma (mengikuti ajaran filsafat Waishnawa Madhwa), Sampradaya Kumara (mengikuti ajaran filsafat dari Waishnawa Nimbarka) dan Sampradaya Rudra (mengikuti filsafat dari Waishnawa Wallabha) (Klostermaier, 1988:65; Luniya, 2002:300). Walaupun aliran ini menggunakan nama-nama seperti, Brahma, Kumara, dan Rudra, tetapi namanama tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan Shiwa. Sementara itu, ajaran Tantrayana yang telah begitu kuat mempengaruhi mazhab Waishnawa, Shiwa, dan Buddha, akhirnya juga sedikit terpengaruh oleh ajaranWedanta (Thapar, 1979:261). Mazhab Shaiwa yang kena pengaruh ajaran Tantrayana (Shaiwatantra atau Shaiwagama), juga mendasarkan ajaran filsfatnya pada filsafat Adwaita (monisme-absolut). Dengan persatuan kedua ajaran ini maka muncullah beberapa variasi filsafat Shaiwa Siddhanta, antara lain: Shiwa Siddhata dari Tamil (India Selatan); Shaiwa Siddhanta dari Deccan dan Maysor (disebut Wira Shaiwa); Shaiwa Siddhanta dari Kashmir (India Uttara) (Singh, 1991:xv; Hariharan, 1987:493). Demikian juga dengan Shaiwa-Siddhanta dari Indonesia (Bali) juga menjadi varian dari perkembangan filsafat ini. Semua cabang dari ajaran Shaiwa ini mengakui kesucian kitab suci Weda dan meyakini tidak ada yang lebih tinggi dari Weda. Dari ajaran filsafat Siddhanta ini kemudian, muncullahajaran Shaiwa Bhairawa. Berdasarkan Uraian di atas maka cirri-ciri terpenting dari zaman Reformasi Hindu atau zaman Sangkaracharya adalah sebagai berikut.

  1. Munculnya kelompok Wedanta yang mendasarkan diri pada Prasthana Traya (Brahmasutra, Bhagavadgita, dan Upanisad/ Wedanta). Ini merupakan system filsafat Wedanta baru (New System of Vedanta) karena sebelumnya Wedanta hanya mendasarkan diri pada kitab-kitab Upanisad.
  2. Munculnya perselisihan antara aliran filsafat, baik antara Mimamsa dengan Wedanta, maupun dalam aliran Wedanta itu sendiri.
  3. Munculnya Sampradaya Waishnawa.

Sumber-sumber materi dari Sumber:

  1. Guru Besar Program Pascasarjana (S2) Ilmu Agama Hindu dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Prof. Dr. Litt, Dr. I Gusti Putu Phalgunadi MA, MBA,
  2. Buku Sejarah Evolusi Agama Hindu.

Evolusi Budaya dan Agama Hindu (Periode sekitar 1000 SM sampai sekarang). Evolusi ini terdiri dari beberapa zaman: * Zaman Kejayaan Agama Hindu (sekitar 1000 SM-600 SM) * Zaman Kemunduran Agama Hindu (sekitar 600 SM-200 SM) * Zaman Kebangkitan Agama Hindu (sekitar 200 SM-300 M) * Zaman Purana /Zaman Keemasan Hindu (sekitar 300 M-700 M * Zaman Hindu baru (700 M-1200 M) * Zaman Gerakan Bhakti Hindu (1200 M–1800 M) * Zaman Gerakan Hindu Modern (1800 M-1947) * Zaman Hindu sampai sekarang

ZAMAN GERAKAN BHAKTI (BHAKTI MOVEMENT) (1.200 M – 1.800 M)

Sejak tarikh awal masehi, India sudah dikunjungi oleh orang-orang asing yang beragama non-Hindu. Orang-orang Kristen sudah memasuki India sejak abad pertama masehi dan aktif menyebarkan agamanya. Kemidian, disusul dengan kedatangan orang-orang Islam. Sejak abad ke-8 Masehi, India sudah mulai ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab. Secara bergelombang, mereka masuk dari pantai Malabar wilayah kerajaan Chera (di India Selatan bagian barat). Orang-orang Arab itu mulai bertempat tinggal dan menetap di daerah-daerah pantai India Selatan. Mereka sangat disenangi oleh raja-raja Hindu di India Selatan karena mereka bertingkah laku ramah, baik, dan sopan. Oleh karena itu, banyak pedagang-pedagang dari Arab yang diberikan tanah-tanah kosong untuk tempat mereka  berdagang. Selain berdagang, mereka juga diperkenankan untuk menjalankan ibadah agama mereka, yakni Islam. Pada waktu itu, orang-orang Arab tidak aktif menyebarkan agama Islam sehingga mereka hidup aman dan damai dengan penduduk Hindu di sana (Thapar, 1979:172; Luniya, 2002:304). Berbeda dengan masuknya orang-orang Islam ke India Selatan, orang-orang Islam ternyata juga melakukan penyerangan ke India Barat. Pada tahun 712 M, seorang gubernur Arab Basra (Irak) yang bernama Muhamad Bin Qasim menyerbu daerah Sind di India Barat. Dengan kekuatan 6.000 tentara, 4.000 pasukan unta, dan 100 tentara cadangan, mereka berhasil menaklukkan dan menguasai daerah Sind dan meng-Islam-ka penduduk di sana (Mahajan, 2003:16; Luniya, 2002:305). Kemudian, dari tahun 1.000 M sampai 1.026 M, Sultan Mahmud Gazni dan tentara dari Turkhis (Turki) menyerbu India sebanyak 17 kali. Mereka menghancurkan kuil-kuil, merampas kekayaan kuil, dan menghancurkan kuil Krishna di Mathura dan di Dwarka, Gujarat (Mahajan, 2003:43-50).Selanjutnya, dari tahun 1.175 M – 1.205 M, Muhammad Ghori dari Iran-Afganistan menyerang India dan mendirikan pusat pemerintahan di Delhi (Luniya, 2002:306; Mahaan, 2003:65-85). Selama pemerintahan sultan-sulatan Islam, India mengalami masa paling suram pada masa pemerintahan Sultan Aurangzeb (1.658 M – 1.707 M). Pada masa pemerintahannya, orang-orang Hindu di India dijadikan penduduk nomor dua (secondary citizen) karena dianggap berdosa memberikan kedudukan yang sama antara orang Hindu dengan orang Islam. Untuk itu, Aurangzeb ingin secepat mungkin mengkonversi umat Hindu dan menjadikan India sebagai Negara Islam (Islamic State) (Mahajan, 2003:305). Untuk mempercepat proses peng-Islam-an India, maka Aurangzeb melakukan gerakan politik diskriminatif dan intoleran. Orang-orang Islam dilarang menggunakan nama-nama dan istilah-istilah Hindu; dilarang ikut merayakan hari raya Hindu; umat Hindu dilarang membangun kuil baru (Mahajan, 2003:306-307); kuil-kuil yang baru dihancurkan; memerintahkan menghancurkan kuil-kuil besar seperti, Mathura, Jagatnath, dan diganti dengan Masjid; ribuan kuil Hindu (tahun 1669 M) dihancurkan terutama yang berada di kota-kota suci, sepeti Haridwar, Badrinath, Benares, dan Mathura; ketika melakukan perjalanan kenegaraan (royal tour) maka seluruh kuil yang dilewati harus dihancurkan; umat Hindu harus membayar pajak jika mengunjungi tempat-tempat suci (tirthayatra); anti kaum Brahmana kerena sering melawan sultan; melarang umat Hindu membuang abu jenazah di sungai-sungai besar; orang Islam bebas bayar pajak; orang Hindu juga dibebaskan bayar pajak, jika mau masuk Islam (Mahajan, 2003:166-181; Luniya, 2002:376; Khana, 1976:258). Akibat kebijakan politik Aurangzeb inilah, hamper seluruh kuil kuno di India Utara dihancurkan dan juga sebagian kecil kuil-kuil di India Selatan. Ini menyebabkan kuil-kuil yang ada sekarang di India Utara khususnya, lebih banyak adalah kuil yang baru dibangun belakang. Penjajahan sultan-sultan Islam di India baru berakhir pada akhir abad ke-19 masehi (Kundra, 1968:189). Dengan dikuasai dan dijajahnya India oleh sultan-sultan Islam hamper enam ratus tahun lebih namanya memerintah dari Delhi (1.200 – 1.857 Masehi), sehingga mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam perkembangan agama dan kebudayaan Hindu di India. Banyak orang Hindu yang masuk Islam untuk menghindari pembayaran Jizyah (pajak) yang berat dan agar mendapatkan pekerjaan. Perempuan Hindu juga ikut-ikutan menjalankan system purdah (Jilbab) (Khanna, 1976:309; Luniya, 2002:325; Mahajan, 2003). Budaya ini masih dapat ditemukan sampai sekarang, yakni wanita India yang memakai ujung sari sebagai kerudung (di India Utara). Kemudian juga, mulai terjadi perkawinan usia dini di kalangan masyarakat Hindu. Orang-orang Hindu menggunakan bahasa Hindi, sedangkan orang Islam menggunakan bahasa Urdu dan Parsi. Dalam bidang seni dan arsitektur juga muncul perpaduan (assimilation and synthesis) kebudayaan Hindu-Islam yang disebut Indo-Saracenic atau Indo-Islam (Luniya, 2002:332). Dalam bidang keagamaan, prinsip-prinsip dan ide-ide dari ajaran Islam begitu kuat mempengaruhi pemimpin-pemimpin Hindu, baik secara langsung maupun tidak. Ide-ide ajaran Islam mendorong tumbunya gerakan liberal dari pemimpin-pemimpin dan orang-orang suci (santa) yang beragama Hindu (Luniya, 2002:329-333). Gerakan keagamaan Hindu terutama adalah munculnya ajaran-ajaran yang sederhana, seperti ajaran tentang monoteisme (percaya kepada satu Tuhan), anti terhadap penyembahan patung, dan semua orang adalah saudara dengan hak-hak yang sama (bahasa bali:Manusa Pada) (Mahajan, 2001:368; Mahajan, 2003:166; Luniya, 2002:327-333). Di samping itu, ajaran-ajaran dan ide-ide dari golongan sifi juga mempengaruhi agama Hindu. Kebanyakan penganut ajaran-ajaran Sufi ini hidup dengan jalan mengasingkan diri, mengabdikan diri, dan mempersiapkan diri mereka untuk merealisasikan Tuhan dengan jalan Samadhi (Kundra, 1968:391; Mahajan, 2001:388; Luniya, 2002:328). Meskipun demikian, tidak seluruhnya dari ide-ide dan ajaran-ajaran agama Islam diterima oleh pemimpin Hindu. Ajaran yang diterima, utamanya adalah prinsip-prinsip demokrasi dari ajaran Islam yang diterapkan dalam kehidupan social dan system agama Hindu (Mahajan, 2003:184; Luniya, 2002:329). Prinsip penting lainnya adalah ajaran Islam yang sangat sederhana, mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat banyak. Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran pemimpin Hindu untuk diterapkan dalan agama Hindu. Ciri agama yang demokratis dalam Hindu ditandai dengan munculnya gerakan menentang system kasta dan ajaran mengenai manusa pada (Universal Brotherhood), yaitu manusia  sama kedudukannya di hadapan Tuhan. Sementara itu, cirri ajaran agama Hindu yang sederhana dan mudah dilaksanakan adalah percaya satu Tuhan (monoteisme), tidak menyembah patung, dan mengutamakan bhakti sehingga upacara-upacara yajnayang rumit tidak dilakukan lagi (Luniya, 2002:328-334; Mahajan, 2003:184). Pengaruh islam lainnya adalah ajaran yang dianut oleh golongan Sufi (penganut mistisisme Islam). Golongan Sufi menekankan kepasrahan yang total kepada Tuhan. Penyerahan diri secara tulus ikhlas inilah yang disebut Bhakti. Bhakti yang sesungguhnya adalah kerelaan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ini dilakukan dengan menyebut berulang-ulang nama Tuhan (Whorship of the name) (dzikir) dan tafakur (meditasi). Untuk melakukan ini semua diperlukan tuntunan dari seorang “Satya-Pir” (guru spiritual/the true saint). Sufi adalah ajaran melihat ke dalam diri (self-realization) sehingga ia menolak pengikatan pada dogma agama secara berlebihan (Zaechner, 1994:7-8; Luniya, 2002:329). Ajaran Sufi ini begitu kuat pengaruhnya terhadap ajaran bhakti (Bhakti cult) yang muncul pada zaman ini. Ini menyebabkan perpecahan dari golongan Waishnawa-wedanta yang melakukan gerakan bhakti. Sejak zaman ini, Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) umumnya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: pertama, gerakan yang semata-mata hanya berdasarkan pada ajaran agama Hindu dan social seperti yang dipimpin oleh Ramanuja, Ramananda, Basawa, Nimbarka, Wallabha, Chaitanya, Tulsidas dan lain (Luniya, 2002:334); dan kedua, adalah gerakan yang mendasarkan pada ajaran agama yang terkena pengaruh Islam misalnya, gerakan yang dipimpin oleh Nam Dev, Guru Nanak, Kabir, dan lain-lain (Mahajan, 2001:368; Mahajan, 2003:209). Gerakan Bhakti (bhakti movement) yang muncul pada zaman ini menekankan ajaraan mereka pada keamanan hak dan kedudukan dalam masyarakat (Manusa Pada) dan memegang teguh  keyakinan bahwa martabat manusia tergantung pada tindakan mereka, bukan karena kelahirannya (Macmillan (ed), 2001:79: Luniya, 2002:334). Pada kelompok Waishnawa golongan pertama, prinsip utamanya adalah percaya Tuhan Monoteis yang diterima sebagai Tuhan yang berpribadi, yaitu Wishnu, Hari, atau Krishna. Bhakti mendalam kepada Wishnu, Hari, Rama, atau Krishna (Tuhan) diwujudkan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang (kirtanam). Demikian juga dengan mempersembahkan pikiran, perbuatan, dan kekayaan hanya kepada Tuhan tersebut. Kedudukan seorang Guru, Swami, atau Baba juga sangat penting untuk menggantikan pendeta, sekaligus sebagai penghubung manusia dengan Tuhan. Sebaliknya kelompok Waishnawa yang terkena pengaruh Islam menolak kewajiban beryajna atau kurban persembahan karena dianggap sebagai tradisi agama yang palsu. Mereka juga menentang ajaran thirta yatra karena meyakini bahwa Tuhan dapat dicari dalam diri (Macmillan (ed), 2001396-397; Luniya, 2002:334). Gerakan Bhakti yang hanya bergerak dalam bidang agama Hindu dan social terutama dilakukan oleh golongan Waishnawa-wedanta. Salah satu pemimpin Waishnawa dan reformasi yang paling terkenal adalah Chaitanya (1.458 – 1.513 masehi). Chaitanya menyebarkan ajaran cinta kasih dari Krishna bersama dua orang muridnya, yaitu Nityananda dan Adwaitananda (Luniya, 2002:338). Ajarannya adalah menyembah Krishna. Bhakti mendalam kepada Krishna diwujudkan dengan menyerahkan badan, pikiran, dan kekayaan secara tulus kepada Krishna. Golongan ini meyakini Bhagawad Gita dan Bhagawatam Puranam sebagai kitab suci. Keadaan moksa (sorga) menurut Chaitanya adalah berada dekat dengan Krishna di alam rohani yang disebut Waikuntha. Sorga ini dapat dicapai hanya melalui bhakti, yaitu menyebut nama Krishna teru-menerus (Kirtanam), serta menyanyikan lagu dan menarikan tarian rohani (Sangkirtan). Setelah meninggal, Chaitanya dipuja sebagi Awatara dari Krishna, sedangkan kedua muridnya dianggap sebagai Angsa-awatara dari Krishna. Ketiganya diakuai sebagai Tritunggal. Chaitanya disebut juga Mahaprabhu, sedangkan guru-guru yang masih hidup dan meneruskan ajaran-ajarannya diberi gelar Goswami, Prabhu atau Acharya. Mereka kedudukan yang tertinggi dalam mazhab chaitanya, bahkan dianggap sedikit lebih rendah dari para Dewa. Mereka dipuja sebagai guru karena diyakini menjadi perantara antara manusia dan Krishna (Mahajan, 2001:396-397). Gerakan Bhakti juga dilakukan oleh golongan Waishmnawa-Wedanta lainnya yang dipelopori oleh Tulsi Das. Tulasi Das adalah pendiri dari mazhab penyembah Rama (Religion of the Charit Manas). Ia menulis kitab suci untuk mazhabnya yang disebut Ramayana yang disebut Tulsi Das (Ramcharit Manas) (Luniya, 2002:392). Kitab ini menggunakan bahasa Hindi (bahasa nasionalIndia sekarang). Tulsi Das mengajarkan bahwa Rama adalah Tuhan yang tertinggi. Rama adalah Tuhan pencipta alam semesta dan juga memelihara alam semesta ini. Untuk menyelamatkan pengikutnya ia menjelma (awatara) sebagai Rama (Mahajan, 2001:399-400). Di samping mazhab Waishnawa-Wedanta, kemudian juga muncul mazhab Gaudiya Waishnawa-wedanta. Menurut mazhab ini, Krishna adalah Tuhan Tertinggi. Mazhab ini meyakini bahwa Krishna berwujud Brahma untuk menciptakan alam semesta. Kemudian, Krishna mengajarkan ajaran-ajarannya kepada Narada. Narada mengajarkan kepada Wyasa mengenai kitab suci Catur Weda. Kemudian kitab suci ini diajarkan kepada Rsi Madhwa. Mazhab Gaudiya Waishnawa ini akan dilanjutkan oleh Thakur Bhakti Vinobha yang menghadirkan Gaudiya Waishnawa Mission yang melanjutkan ajaran dari Chaitanya Mahaprabhu. Murid yang terkenal dari Thakur Bhakti Vinobha adalah Swami Bhakti Siddhanta yang juga guru dari Swami Prabhupada Bhaktivedanta. Swami Prabhupada kemudian mendirikan Internasional Society for Krishna Consciousness (ISKCON) (kesadaran masyarakat Krishna internasional) di New York, Amerika Serikat. Mazhab ini menyebar dari Amerika ke seluruh dunia termasuk ke India dan ke Indonesia (Klostermaier, 1998:154-156). Di Indonesia mazhab ini disebut Hare Rama Hare Krishna atau Krishna Balaram, atau kesadaran Krishna. Sementara itu, Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) yang bergerak dalam bidang agama dan sosial yang terkena pengaruh Islam dipelopori oleh Guru Nanak dan Kabir. Guru Nanak (1.469 M) adalah seorang reformis dan pendiri agama Sikh dari mazhab Waishnawa. Ia mengajarkan ajaran Waishnawa yang bebas dari praktek penyembahan patung, bebas dari kasta (caste system), dan bebas dari segala takhayul. Guru Nanak mendirikan agama Sikh yang bertujuan untuk mempersatukan ajaran Islam dengan ajaran Hindu, sekaligus untuk mempersatukan kedua umat beragama itu (Mahajan, 2001:397 – 398; Luniya, 2002:339). Reformasi terkenal lainnya adalah Kabir. Ia mengajarkan ajaran agama berdasarkan cinta kasih dengan tujuan untuk mengembangkan persatuan antara semua kasta dan agama. Ia menentang Praktik penyembahan patung, upacara agama dan yajna (kurban suci), dan menekankan ajaran kesamaan hak di antara manusia (manusapada) (Macmillan (ed), 200: 397-398). Selain nama-nama yang disebutkan di atas, masih banyak lagi tersapat cabang dari mazhab Waishnawa yang lain seperti, Aaul, Kartha Bhaja, Giri Waishnawa, Radha Ballabhi, Satnamis, Swami Narayana, dan Churadhari. Kelompok Waishnawa mengalami evolusi yang sangat signifikan dalam periode ini (Luniya, 2002:395-396; Tattwananda, tt. 54- 82).  Oleh karena itu, zaman ini juga disebut zaman Neo Waishnawa. Tokoh-tokoh Neo Waishnawa yang lain adalah Mirabai, Surdas, Malukdas, dadu Dayal, Sunderdas, Raidas, Birban, Sangkardev, Jnaneshwara, Namdev, Ekanath, Tukaram, Ramdas, Bahina Bai, Chandidas, Vidyapathi (Luniya, 2002:340-401). Adapun inti ajaran Waishnawa yang menjadi ciri zaman ini secara umum dapat diuraikan sebagai berikut.

  1. Kitab suci yang digunakan adalah Bhagavad Gita dan Bhagawatam Puranam.
  2. Semua sekte Waishnawa memuja pir atau Guru (pengganti pendeta).
  3. Semua pengikut Waishnawa melakukan diksa (Inisiasi) dengan mantra tertentu.
  4. Anak-anak usia 4 (empat) tahun memakai kalung Tulsi (Kanti) sebanyak 108 biji dan tasbih digunakan untuk mengucapkan mantra-mantra tertentu berkali-kali
  5. Vegetarian murni (lacto vegetarian, tidak makan daging dan telor)
  6. Harus memakai Urdhwa Pundra (Bhasma), di bawahnya berbentuk “U” atau “Garpu” (simbol tahta Dewa Wishnu atau Krishna)
  7. Memakai tatoo berbentuk Sangka atau Cakra.
  8. Sorganya disebut Waikuntha atau Goloka (tempatnya Krishna).
  9. Sekte Wallaba harus mengucapkan sumpah, diberi benang suci, dan mantra.
  10. Menurut Madhwa bahwa atman tidak akan pernah bersatu dengan Krishna. Sekali keluar dari tuhan Krishna, atman akan tetap menjadi atman (tat twam dasi, artinya aku adalah pelayanmu).

Pada hari kiamat (pralaya) hanya Krishna yang abadi dan semuanya lebur (Luniya, 2002:323-341). Gerakan Waisnawa memang mendominasikan evolusi agama Hindu di India pada zaman ini. Namun demikian, secara umum dapat disimpulkan beberapa ciri penting ajaran Bhakti Movement, sebagai berikut. Percaya kepada Tuhan Yang Esa dan hanya kepadanya orang harus memuja;

  1. Moksa dicapai melalui bhakti
  2. Hanya Guru yang sejati yang dapat memberikan tuntunan untuk mencapi moksa;
  3. Mengutamakan pemujaan kepada Rama (Rama cult) atau Krishna (krishna cult);
  4. Semua manusia adalah sama (Brotherhood of Mankind);
  5. Menghilangkan kepercayaan yang membabi-buta (blind faith);
  6. menentang pelaksanaan upacara yang tidak berguna, ritual, dan persembahan yang bersifat pamer (showy) (Kundra, 1968:394-395).

GERAKAN HINDU MODERN (MODERN HINDU MOVEMENT) (1.800 M – 1.947 M)


Mengapa pada zaman upanishad mulai muncul Sakha sampradaya

Lihat Humaniora Selengkapnya