Mengapa ketika bertemu dengan tetangga maka kita harus menampakkan wajah yang berseri-seri

قال اللَّه تعالى: { واعبدوا اللَّه ولا تشركوا به شيئاً، وبالوالدين إحساناً وبذي القربى، واليتامى، والمساكين، والجار ذي القربى، والجار الجنب، والصاحب بالجنب، وابن السبيل، وما ملكت أيمانكم } .

Allah Ta’ala berfirman: “Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman seperjalanan -teman sepekerjaan, sesekolahan dan lain-lain-, orang yang dalam perjalanan -yang kehabisan bekal- dan hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu.” (an-Nisa’: 36)

وعن ابنِ عمرَ وعائشةَ رضي اللَّه عنهما قَالا : قال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: « مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالجارِ حتَّى ظَنَنتُ أَنَّهُ سيُوَرِّثُهُ » متفقٌ عليه

304. Dari Ibnu Umar dan Aisyah radhiallahu ‘anhuma, keduanya berkata: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, sehingga saya menyangka seolah-olah Jibril akan memasukkan tetangga sebagai ahli waris -yakni dapat menjadi ahli waris dan tetangganya.” (Muttafaq ‘alaih)

وعن أبي ذرٍّ رضي اللَّه عنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « يَا أَبَا ذرّ إِذا طَبَخْتَ مَرَقَةً ، فَأَكْثِرْ مَاءَها ، وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ » رواه مسلم

305. Dari Abu Zar radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu -untuk saling memberi-.” (Riwayat Muslim)

وفي رواية له عن أبي ذرّ قال : إن خليلي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم أَوْصَانِي : « إِذا طبخْتَ مَرَقاً فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرانِكَ ، فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعْرُوفٍ »

Dalam riwayat Imam Muslim lainnya, juga dari Abu Zar, katanya: “Kekasihku shalallahu alaihi wasalam berwasiat padaku demikian: “Jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyakkanlah airnya, kemudian lihatlah keluarga dari tetangga-tetanggamu, lalu berilah mereka itu dengan baik-baik.”

وعن أبي هريرة رضي اللَّه عنه أَن النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « واللَّهِ لا يُؤْمِنُ ، واللَّهِ لا يُؤْمِنُ ، » قِيلَ : منْ يا رسولَ اللَّهِ ؟ قال : « الَّذي : لا يأْمنُ جارُهُ بَوَائِقَهُ،» متفق عليه.

306. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!” Beliau shalallahu alaihi wasalam ditanya: “Siapakah, ya Rasulullah.” Beliau shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya.” (Muttafaq ‘alaih)

وفي رواية لمسلمٍ : « لا يَدْخُلُ الجنَّة مَنْ لا يأْمنُ جارُهُ بوَائِقهُ » . « الْبَوائِقُ » الْغَوَائِل وَالشُّرُّورُ .

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Tidak akan masuk syurga orang yang tetangganya itu tidak aman akan kejahatannya.” Bawaiq, artinya berbagai macam tipu daya serta kejahatan, baik yang dilakukan dengan tangan, lisan dan lain-lain.

وعنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « يَا نِسَاءَ المُسلِمَاتِ لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لجارتِهَا وَلَوْ فِرْسَنَ شَاةٍ » متفقٌ عليه

307. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu pula, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Hai wanita-wanita muslimat, janganlah seorang tetangga itu menghinakan kepada tetangganya yang lain, sekalipun yang dihadiahkan itu berupa kaki kambing.” [32] (Muttafaq ‘alaih)

وعنه أَن رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : لا يَمْنَعْ جارٌ جارَهُ أَنْ يغْرِزَ خَشَبَةً في جِدارِهِ » ثُمَّ يَقُولُ أَبو هريرة : مَالي أَرَاكُمْ عنْهَا معْرِضِينَ ، واللَّهِ لأرمينَّ بها بيْنَ أَكْتَافِكُمْ . متفقٌ عليه. رُوى « خَشَبهُ » بالإِضَافَةِ والجمْعِ ، ورُوِي « خَشبَةً » بالتَّنْوِينَ عَلَى الإِفْرَادِ . وقوله: مالي أَرَاكُمْ عنْهَا مُعْرِضِينَ : يعني عنْ هذِهِ السُّنَّةِ .

308. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu pula bahwasannya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Janganlah seorang tetangga itu melarang tetangganya yang lain untuk menancapkan kayu di dindingnya -untuk pengokoh atap dan lain-lain-.” Abu Hurairah radhiyallahu anhu lalu berkata: “Mengapa engkau semua saya lihat tampaknya menentang dari sunnah -peraturan Nabi shalallahu alaihi wasalam- ini? Demi Allah, sesungguhnya akan saya lemparkan sunnah itu antara bahu-bahumu -maksudnya: Saya paksakan untuk diterimanya, sekalipun tampaknya berat dilakukan-.” (Muttafaq ‘alaih) Diriwayatkan dengan kata: Khusyubahu dan idhafah dan jama’, tetapi diriwayatkan pula dengan kata: Khasyabatan dengan tanwin atas ifrad (yakni dalam bentuk mufrad).

وعنه أَن رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلا يُؤْذِ جَارَهُ ، وَمَنْ كَان يُؤْمِنُ بِاللَّهِ والْيَوْمِ الآخرِ ، فَلْيكرِمْ ضَيْفهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمنُ بِاللَّهِ وَالْيومِ الآخِرِ ، فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَسْكُتْ » متفقٌ عليه .

309. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu pula bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya -baik dengan kata-kata atau perbuatan. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau -kalau tidak dapat berkata baik- maka hendaklah berdiam saja -yakni jangan malahan berkata yang tidak baik.” (Muttafaq ‘alaih)

وعن أبي شُريْح الخُزاعيِّ رضي اللَّه عنه أَن النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : «مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللَّهِ والْيوْمِ الآخِرِ ، فَلْيُحسِنْ إلِى جارِهِ ، ومنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ واليومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفهُ، ومنْ كانَ يؤمنُ باللَّهِ واليومِ الآخرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيسْكُتْ » رواه مسلم بهذا اللفظ، وروى البخاري بعضه .

Dari Abu Syuraih al-Khuza’i radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau hendaklah berdiam saja.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafaz seperti di atas ini dan Imam Bukhari meriwayatkan sebagiannya.

Keterangan:

Hadis di atas, juga yang ada di bawahnya itu, mengandung pengertian bahwa jika kita ingin dianggap sebagai seorang mu’min yang benar-benar sempurna keimanannya, maka tiga hal ini wajib kita laksanakan dengan baik.

a. Jangan menyakiti tetangga, tetapi hendaknya berbuat baik kepadanya, termasuk didalamnya tetangga yang dekat atau yang jauh, ada hubungan kekeluargaan atau tidak, juga tanpa pandang apakah ia seorang Muslim atau kafir. Ringkasnya semua diperlakukan sama dalam soal ketetanggaan.

b. Memuliakan tamu, baik yang kaya ataupun yang miskin, yang sudah kenal atau belum, kenalnya sudah lama atau baru saja bertemu dan berkenalan, seagama ataupun tidak dan lain-lain, bahkan musuhpun kalau datang ke tempat kita, wajib pula kita muliakan sebagai tamu. Cara memuliakannya ialah dengan jalan menampakkan wajah yang manis, berseri-seri dimukanya, berbicara dengan sopan, menyatakan gembira atas kedatangannya dan segera memberikan jamuan sepatutnya bilamana ada, tanpa memaksa-maksakan diri atau mengada-adakan, sehingga berhutang dan lain-lain.

c. Kalau dapat mengeluarkan kata-kata yang baik, itulah yang sebagus-bagusnya untuk dijadikan bahan percakapan. Tetapi jika tidak dapat berbuat sedemikian, lebih baik berdiam diri saja.

Dalam mengulas sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang terakhir ini. Imam as-Syafi’i radhiyallahu anhu berkata: “Jadi hendaknya difikirkan sebelumnya perihal apa yang hendak dikatakan itu. Manakala memang baik untuk dikatakan, maka yang terbagus sekali ialah berkata-kata yang baik tersebut. Maksudnya kata-kata yang baik ialah yang tidak akan menyebabkan timbulnya kerusakan atau permusuhan, serta tidak pula akan menjurus ke arah pembicaraan yang diharamkan oleh syariat ataupun dimakruhkan. Inilah yang dianggap sebagai kata-kata yang memang betul-betul baik. Tetapi sekiranya akan membuat keonaran, permusuhan dan kekacauan atau akan menjurus kepada pembicaraan yang keruh, apalagi yang haram, maka di situlah tempatnya kita tidak boleh berbicara dan lebih baik berdiam diri saja.”

وعن عائشة رضي اللَّه عنها قالت : قلت : يا رسول اللَّه إِنَّ لي جَارَيْنِ ، فَإِلى أَيِّهما أُهْدِى؟ قال : « إلى أَقْربهمِا مِنْك باباً » رواه البخاري .

310. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Saya berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya itu mempunyai dua orang tetangga, maka kepada yang manakah diantara keduanya itu yang saya beri hadiah? “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Kepada yang terdekat pintunya denganmu.” (Riwayat Bukhari)

وعن عبدِ اللَّه بن عمر رضي اللَّه عنهما قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: « خَيْرُ الأَصحاب عِنْدَ اللَّهِ تعالى خَيْرُهُمْ لصـاحِبِهِ ، وخَيْرُ الجيران عِنْدَ اللَّه تعالى خيْرُهُمْ لجارِهِ » رواه الترمذي وقال : حديث حسن

311. Dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, katanya: ”Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sebaik-baiknya kawan di sisi Allah Ta’ala ialah yang terbaik hubungannya dengan kawannya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah Ta’ala ialah yang terbaik pergaulannya dengan tetangganya.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
——————————————————————————–

Catatan Kaki:

[32] Harap diperiksa kererangan hadits di atas dalam hadits no.124. Di situ diuraikan secara panjang lebar perihal adanya dua pendapat dalam menafsirkannya. Namun demikian tidak ada pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Jadi sama-sama boleh diterapkan dan dipakai.