Kenapa sisa-sisa makanan yang terbuang dan menjadi sampah dapat menyebabkan pemanasan global

Dalam hidup manusia, makanan menjadi kebutuhan pokok dalam pemenuhan kebutuhan energi untuk beraktivitas. Bentuk dan jenis makanan menjadi tolok ukur bahwa seseorang mampu memilah dan memilih antara makanan baik dan bergizi bagi tubuh atau hanya sekadar mengganjal rasa lapar. Pemilihan kebutuhan pangan termasuk ke dalam hal yang sangat krusial, tetapi dapat dilihat pula bahwa pemilihan makanan harus ditinjau berdasarkan kualitas dari makanan itu sendiri. Makanan yang berkualitas tinggi biasanya menjadi sebuah produk yang layak dikonsumsi dan akan terus diputar daur produksinya. Namun, dalam dunia produksi makanan, terutama dalam bidang pertanian, pastinya terdapat penyaringan hasil produk panen yang memiliki kualitas yang baik dan buruk. Pada umumnya, produk yang memiliki kualitas buruk akan dibuang secara sia-sia tanpa pengolahan limbah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya sebuah istilah fenomena food waste atau perilaku seseorang terhadap pembuangan sampah makanan.

Kasus food waste, tidak hanya terjadi dalam lingkungan produksi, tetapi juga terjadi dalam lingkup konsumsi masyarakat. Badan lingkupan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengurusi terkait bahan pangan Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan pada tahun 2009 terjadi sekitar 32% dari makanan yang diproduksi terbuang sia-sia (Parfitt, et al., 2010). Hal ini terjadi karena pembelian secara berlebihan, baik makanan yang sudah jadi ataupun bahan setengah jadi. Dapat dikatakan pula bahwa tidak maksimalnya pemanfaatan bahan makanan juga mengakibatkan kebusukan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Menanggapi hal tersebut, masyarakat tidak berpikir panjang sehingga akan segera untuk membuang makanan basi tersebut secara sia-sia. Fenomena food waste sebenarnya telah menjadi sebuah isu global yang cukup lama dan sering muncul hingga memberikan sebuah dampak yang serius. Berdasarkan penelitian yang diadakan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2017, food waste menjadi permasalahan yang sangat besar bagi negara karena di Indonesia sendiri termasuk ke dalam penyumbang terbesar kedua setelah Arab Saudi, yaitu sekitar 300 kg tiap individu (CIMSA UI, 2020). Hal tersebut dapat didukung pada gambar infografik jumlah food waste sebagai berikut:

Di Indonesia, sampah makanan belum mendapatkan perhatian khusus, meskipun potensi yang dimiliki sangat besar untuk dikelola menjadi lebih baik. Food waste menjadi sebuah limbah rumah tangga yang cukup besar dengan dampak yang dihasilkan baik dari sisi lingkungan, ekonomi, ataupun secara sudut pandang sosial. Fenomena food waste bagi lingkungan menyebabkan sebuah malapetaka pencemaran, terutama dalam pencemaran air dan emisi gas buang sehingga dapat menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global. Dampak lain yang ditimbulkan dari food waste juga merambah dalam aspek ekonomi, antara lain dapat mengurangi pendapatan petani dan peningkatan pengeluaran terhadap konsumen. Selain itu, jika ditinjau dari segi sosial, food waste menjadi sebuah penyebab terbesar dalam derita kelaparan yang terjadi di beberapa negara. Hal ini dapat menjadi sebuah ketimpangan sosial yang mana semakin kaya masyarakatnya, maka akan semakin menjadi-jadi, sedangkan masyarakat miskin akan semakin menderita karena penyaluran makanan yang kurang merata dan efek food waste itu sendiri.

Indonesia telah memiliki peraturan dalam pengelolaan sampah makanan yang tertera dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 yang disebutkan bahwa pengelolaan sampah terdiri dari pengurangan sampah dan penanganan sampah. Ada beberapa langkah dalam mengatasi food waste terutama yang terjadi di Indonesia, yaitu dapat memberikan sebuah edukasi terhadap masyarakat mengenai sikap bijak dalam berbelanja. Masyarakat dapat berbelanja sesuai apa yang dibutuhkan saja sehingga dapat membantu dalam hal keuangan dan pengurangan sampah makanan yang terbuang sia-sia. Langkah yang kedua, yaitu menyimpan makanan dengan baik agar makanan yang mudah busuk (seperti sayuran) dapat tetap higienis dan sanitasinya bagus. Penerapan langkah nyata yang terakhir, yaitu menjadikan sebuah makanan yang telah busuk atau tidak dapat dikonsumsi lagi (sisa-sisa makanan) tidak dibuang begitu saja, melainkan dijadikan pupuk kompos yang baik bagi tanaman atau mendaur ulang dari makanan tersebut agar lebih bermanfaat untuk ke depannya. Sampah organik menjadi dominan dari komposisi sampah pada sebagian besar sampah kota di Indonesia (Damanhuri & Padmi, 2010). Pernyataan tersebut menimbulkan asumsi bahwa sampah di Indonesia lebih banyak peluangnya untuk dimanfaatkan dan diolah kembali (terbarukan).

Oleh: Zulfina Arinda Putri

Referensi

CIMSA UI. 2020. Food Waste dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Dalam Food Waste dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan — CIMSA UI. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2021 pukul 18.30 WIB.

Damanhuri, E. & Padmi, T. 2010. Pengelolaan sampah. Diktat Pengelolaan Sampah, Teknik Lingkungan ITB: Bandung.

Parfitt, J. & M. Barthel, S. M. 2010. Food waste within food supply chains: quantification and potential for change to 2050. Philosophical Transactions of The Royal Society B, 365: Page 3065 — Page 3081.

Apa hubungan sisa makanan dengan perubahan iklim? Sekelompok mahasiswa mengampanyekan makan sampai habis dan makan secukupnya sebagai solusi pribadi pada penyelamatan bumi.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana, Denpasar, Lia Rinikah menyebut dari hasil survei 443 responden di Kota Denpasar dan Badung yang didominasi mahasiswa, setengahnya pernah tidak menghabiskan makanannya. Lokasi makan di rumah, restoran, dan kantin.

Alasannya menurutnya lucu, otak menolak menghabiskan. Karena rasa makanan, ambil kebanyakan, dan sudah kenyang. “Kalau kenyang kenapa makan banyak?” ia memaparkan observasi timnya.

Para responden berusia 16-40 tahun menyebut jenis makanan yang disisakan paling banyak adalah nasi, sayur, dan sayur lalapan. Disisakan karena tak sesuai selera, sedang diet, dan saat makan prasmanan. “Kalau prasmanan seperti ada hukum harus dicoba semua,” lanjut Lia.

baca : Leluhur Kita Telah Ajarkan Makanan Sehat dan Ramah Lingkungan. Kenapa Kita Melupakannya?

Kenapa sisa-sisa makanan yang terbuang dan menjadi sampah dapat menyebabkan pemanasan global
Suasana acara kampanye tentang makan secukupnya bertajuk ‘Ruang Makan’, pada Minggu (01/07/2018) di Bokashi Farm, Denpasar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Solusi untuk mengurangi membuang makanan ini menurutnya makan secukupnya dan makan sampai habis. Kata kunci yang digunakan dalam serangkaian kampanye yang dilakukan mahasiswa FISIP angkatan tahun 2015 bersama Yayasan Wisnu melalui media sosial dan puncaknya dalam perayaan bertajuk Ruang Makan, Minggu (01/07/2018) di Bokashi Farm, Denpasar.

Sisa makanan tak hanya terjadi saat makan. Namun dimulai sejak distribusi bahan makanan sampai proses pengolahan. Lia merangkum sejumlah pendapat ahli jika bahan makanan mulai terbuang ketika melewati proses transportasi, ada yang rusak dan terseleksi sebelum diletakkan di ruang pajangan toko. Kemudian terbuang saat proses pengolahan, seperti salah potong dan seleksi lagi. Puncaknya saat makan.

Ia mengutip riset organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada 2011, jumlah sisa makanan dalam setahun terbuang sekitar 3 ton dan ini bisa bantu warga yang krisis pangan. “Bayangkan kalau krisis pangan bisa terjadi 2050. Cari makan susah bisa tawuran dulu,” sebutnya.

Catur Yudha Hariani, pegiat pengelolaan sampah dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengingatkan jejak ekologi dari apa yang kita makan. Semua bahan baku memerlukan sumber daya alam seperti air, matahari, dan energi lain untuk mendistribusikannya. Perjalanan panjang ekologi ini berakhir di meja makan dan ironis jika terbuang percuma.

baca : Nikmatnya Masakan dari Hutan Papua Ala The Jungle Chef

Kenapa sisa-sisa makanan yang terbuang dan menjadi sampah dapat menyebabkan pemanasan global
Penjual sedang membungkus seblak menggunakan styrofoam di Jalan Tamansari, Kota Bandung. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Selain itu, sampah organik mengeluarkan gas metan ke atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, rata-rata tiap hari menghasilkan sampah 0,7 kg/hari/rumah, jadi ada sekitar 164 juta ton/tahun. Ini sampah organik dari bahan baku dan sisa makanan.

Diperkirakan 1 ton sampah organik menghasilkan 50 kg gas metan. Jika ada 3000 ton sampah di Denpasar, 60% di antaranya organik maka menghasilkan 90 ton gas metan yang berkontribusi pada perubahan iklim. “Salah satunya karena gas metan, dan efeknya 21 kali lebih besar dari CO2. Atmosfer rusak karena kita,” urainya. Komposting bisa menekan gas metan naik ke atmosfer. Juga bisa diolah jadi biogas sehingga sisa makanan jadi energi terbarukan.

Salah satu bencana penumpukan sampah yang tak terolah serta penyebaran gas metan terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat yang menjadi pusat pembuangan sampah Kota Bandung pada 21 Februari 2005. Lebih dari 140 warga meninggal dan puluhan rumah tertimbun sampah. Ini yang menjadi momentum peringatan Hari Peduli Sampah Nasional tiap 21 Februari. “Pengelolaan sampah belum mengakar ke kehidupan sehari-hari. Makanan masih banyak dibuang sementara banyak yang kelaparan,” ingat Catur.

Selain itu sumber daya alam juga cepat habis jika perilaku personal selalu menyisakan makanan. Catur mengapresiasi kebijakan denda Jeman bagi warganya kalau menyisakan makan di restoran. Secara global hal ini menjadi komitmen global dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin 12 yakni memastikan konsumsi dan produksi berkelanjutan.

Kebiasaan hidup berkelanjutan muncul di masa lalu saat sisa makanan diberi ke ternak seperti di Bali dijadikan pakan babi. Namun saat ini tak banyak yang memelihara ternak, dan sisa makanan terbuang ke tong sampah tanpa diolah. Menambah timbunan sampah, sulit diolah jika dicampur tanpa dipilah antara sampah organik dan anorganik.

baca : Menantang Diri Belanja Tanpa Plastik di Pasar

Kenapa sisa-sisa makanan yang terbuang dan menjadi sampah dapat menyebabkan pemanasan global
Membuat perencanaan belanja, menu hidangan dan strategi menu hidangan merupakan tips-tips yang mesti diperhatikan agar makanan tak berlebih. Foto: Sapariah Saturi

Nanda Widhi, seorang koki muda yang bekerja di sebuah hotel membagi pengalamannya terkait tabiat makan di industri pariwisata. Ia juga menyebut yang paling banyak tersisa di menu prasmanan adalah nasi dan sayur. Sementara pihak hotel sudah punya hitungan, takaran nasi per orang adalah 100 gram.

Sementara selain prasmanan yang banyak tersisa adalah buah terutama yang rasanya tidak manis. Alasannya, tak suka bahan makanannya, porsi kebanyakan, alergi dengan salah satu bahan, dan kekenyangan. Ini bisa dicegah jika tamu membaca keterangan di menu dan mengambil sedikit demi sedikit.

Nanda mengajak anak muda untuk belajar berkreasi mengolah sisa makanan. Misal pinggiran roti sering dibuang dan bisa jadi pudding atau banana bread. Saat masak, bagian tulang sering dibuang padahal memiliki gizi kalsium tinggi dan dasar pembuatan kaldu. Selain bergizi juga memunculkan aroma. Kepala udang juga sering dibuang padahal menurutnya mengandung antioksidan dan bermanfaat meningkatkan imun. Kepala udang segar ini menjadi shrimp base untuk kuah Tomyang.

Di Bali, banyak sisa pangan usai upacara agama seperti buah. Menurutnya bisa diolah jadi aneka makanan agar tak lekas busuk.

Kenapa sisa-sisa makanan yang terbuang dan menjadi sampah dapat menyebabkan pemanasan global
Musisi dan aktivis Robi Navicula tampil dalam acara kampanye tentang makan secukupnya bertajuk ‘Ruang Makan’, pada Minggu (01/07/2018) di Bokashi Farm, Denpasar, Bali. Dia memberi pesan dan agitasi melalui sudut pandangnya dan lagu-lagu terkait krisis pangan dan lingkungan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Gede Robi Supriyanto atau Robi Navicula, frontman band Navicula menambahkan sudut pandang pada persoalan pangan dan lingkungan ini. Ia menilai sumber pangan masih cukup banyak namun pendistribusiannya kurang merata. Makan tak sesuai kebutuhan atau berlebihan hanya karena memilih lebih banyak modal untuk beli.

Dampak lain, eksploitasi. “Terlalu banyak yang kita ambil, termasuk sumber daya alam. Ikan, pohon, apa yang kita beri pada hutan dan lautan? Sampah, asap,” sebutnya dalam pertunjukan di kampanye Ruang Makan ini. Ia menyampaikan sebuah memo dan berorasi melalui sejumlah lagu. Ia mengajak saat makan selalu mengingat apa yang kita bisa beri untuk pertiwi karena makanan dari tanah dan air. Salah satunya kompos hasil olahan limbah organik.