Kedatangan Sunan Ampel di kerajaan Majapahit disambut sukacita oleh

Raden Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel yang makamnya terletak di kampung Ampel, kota Surabaya adalah anggota dewan Wali Songo tertua yang memiliki peranan besar dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara. Dalam historiografi lokal dituturkan bahwa Raden Rahmat datang ke Jawa bersama saudara tuannya yang bernama Ali Musada (Ali Murtadho) da saudara sepupunya yang bernama Raden Burereh (Abu Hurairah). Menurut Lembaga Riset Islam Pesantren Sunan Giri Malang dalam Sejarah Dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri (1975), imam Rahmatullah bersama ayahnya datang ke Jawa dengan tujuan dakwah Islamiyah disertai saudaranya yang bernama Ali Murtadho dan kawannya bernama Abu Hurairah putra Raja Champa. Mereka mendarat di Tuban.

Setelah tinggal di Tuban beberapa lama sampai ayahandanya wafat, imam Rahmatullah berangkat ke Majapahit menemui bibinya yang dikawin Raja Majapahit yang beragama Buddha. Sementara itu, menurut Djajadiningrat dalam Sejarah Banten (1983) dikisahkan bahwa Raden Rahmat ketika dewasa mendengar tentang peperangan di Jawa. Dengan tiga orang pandhita muda (ulama muda) lainnya, Burereh, Seh Salim, dan saudaranya yang tidak disebut namanya, Raden Rahmat berangkat ke Jawa. Setelah keempat orang tadi berangkat ke Jawa, Champa diruntuhkan oleh seorang kafir dari Sanggora.

Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang mengatakan bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah ke Palembang. Menurut Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya Damar selama dua bulan, dan dia berusaha memperkenalkan Islam kepada raja muda Palembang itu. Arya Damar yang sudah tertarik kepada Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun, karena tidak berani menanggung risiko menghadapi tindakan rakyatnya yang masih terikat pada kepercayaan lama, ia tidak menyatakan keislamannya di hadapan umum. Menurut cerita setempat, setelah memeluk Islam, Arya Damar memakai nama Ario Abdillah.

Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J.Edel (1938) menjelaskan bahwa pada waktu Kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukin di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum tahun 1446 Masehi, yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan Vietnam. Hal itu sejalan dengan sumber dari Serat Walisana yang menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit mencegah Raden Rahmat kembali ke Champa karena Champa sudah rusak akibat kalah perang dengan Kerajaan Koci. Penempatan Raden Rahmat di Surabaya dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik di Champa, sehingga dua saudara tersebut ditempatkan di Surabaya dan Gresik dan dinikahkan dengan perempuan setempat.

Babad Ngampeldenta menuturkan bahwa pengangkatan resmi Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dengan gelar sunan dan kedudukan wali di Ngampeldenta dilakukan oleh Raja Majapahit. Dengan demikian, Raden Rahmat lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ngampel. Menurut sumber legenda Islam Raden Rahmat diangkat menjadi imam Masjid Surabaya oleh pejabat Pecat Tandha di Terung yang bernama Arya Sena. Pemempatan Sunan Ampel di Surabaya, selain dilakukan secara resmi oleh Pecat Tandha di Terung juga disertai oleh keluarga-keluarga yang dipercayakan Kerajaan Majapahit untuk dipimpinnya. Menurut Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang (1975), karena hubungan baik dengan Raja Majapahit, Raden Rahmat diberi izin tinggal di Ampel disertai keluarga-keluarga yang diserahkan oleh Raja Majapahit.

Dalam perjalanan menuju Ampel, dikisahkan Raden Rahmat melewati daerah Pari, Kriyan, Wonokromo, dan Kembang Kuning yang berupa hutan. Di tempat itu, Raden Rahmat bertemu dengan Ki Wiryo Saroyo yang dikenal sebagai Ki Bang Kuning yang kemudian menjadi pengikut Raden Rahmat. Sementara menurut Babad Tanah Jawi, sewaktu tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat menikah dengan putri Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahan itu lahir dua orang putri: Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah. Selama tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat dikisahkan membangun masjid dan menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat sekitar.

Menurut Serat Walisana, Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampeldenta, melainkan menyerahkannya kepada Adipati Surabaya bawahan Majapahit bernama Arya Lembusura, yang beragama Islam. Arya Lembusura menempatkan Raden Santri Ali menjadi imam di Gresik dengan gelar Raja Pendhita Agung dengan nama Ali Murtala (Ali Murtadho). Setelah itu, Arya Lembusura menempatkan Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya, berkediaman di Ampeldenta dengan gelar Sunan Ampeldenta. Dengan nama Pangeran Katib.

Sumber: Atlas Wali Songo

Penuslis: Rahmi Rahmatussalamah

Beberapa jam sebelum memulai Haji Jalan Darat, 5 Agustus 2011, kru redaksi JP menggelar doa bersama, selamatan dengan mengundang seorang pemimpin ponpes di Surabaya. Semua awak redaksi hadir saat potong tumpeng. Jumat (5/8/2011) dinihari sekitar pukul 03.55 WIB tiga mobil ditumpangi rombongan Jawa Pos dari Graha Pena menuju makam Wali Songo Sunan Ampel untuk salat berjamaah Subuh sekaligus melepas penulis mengawali perjalanan Haji Nekat Lewat Jalur Darat.

Suasana kompleks makam pagi itu lumayan ramai. Sepagi itu para pedagang yang memadati gang, lorong jalan menuju komplek masjid tetap membuka kiosnya menjual aneka pernik bernuansa Islami. Peci, sajadah, sarung, tasbih sampai buah khas Timur Tengah mulai kurma sampai kacang Arab. ‘’Di sini pedagang buka nonstop 24 jam,” kata Subkhan, staf Masjid Sunan Ampel.
Ratusan jamaah tampak memenuhi masjid. Sambil membaca Alquran mereka bersiap menunggu salat Subuh berjamaah. Sebagian terlihat tiduran di teras masjid.

Usai salat disambung ziarah ke makam Sunan Ampel, letaknya persis di belakang masjid. Meski bulan puasa, peziarah makam Sunan Ampel tergolong banyak. Mereka berdoa khusuk di sekitar makam.

Siapa sebenarnya Sunan Ampel, salah satu Mufti atau pimpinan Wali Songo. Dari berbagai sumber menyebutkan, asal muasal kakek buyut Sunan Ampel datang dari negeri Bukhara, terletak di Samarkand– dikenal daerah Islam ysng banyak melahirkan ulama besar seperti, Imam Bukhari sebagai pewaris hadist shahih.

Di Samakand ada ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermazhab Syafi’i. Beliau mempunyai putera bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarkand, maka Ibrahim mendapat tambahan nama Samarqandi. Orang Jawa kesulitan menyebut Samarqandi. Untuk gampangnya mereka menyebut Syekh Ibrahim Asmarakandi.

Syekh Ibrahim Asmarakandi diperintah ayahnya Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra berdakwah ke Asia. Syekh Ibrahim Asmarakandi diambil menantu Raja Champa, lalu dijodohkan puterinya Dewi Candrawulan.

Negeri Champa menurut ahli sejarah, terletak di Kamboja sekarang. Dari perkawinan Dewi Candrawulan dengan Syekh Ibrahim Asmarakandi dikarunia dua orang putera; Sayyid Ali Rahmatullah, nama asli Sunan Ampel dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan bernama Dewi Dwarawati diperisteri Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Dengan demikian keduanya keponakan Ratu Majapahit dan pangeran kerajaan yang mendapat gelar raden.

Prabu Brawijaya Raja Majapahit sangat senang mendapat isteri negeri Champa nan jelita dengan kepribadiannya memikat hati. Sehingga Prabu Brawijaya menceraikan istri-istrinya yang lain. Lalu, diberikan para adipatinya tersebar di seluruh Nusantara. Salah satunya, Dewi Kian, puteri Cina diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.

Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar, saat itu hamil tiga bulan. Ario Damar tidak menggauli puteri Cina itu sampai si jabang bayi lahir. Bayi Dewi Kian bernama Raden Hasan atau dikenal Raden Patah, salah satu murid Sunan Ampel yang kelak menjadi Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro.

Kerajaan Majapahit pasca meninggalkanya Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk terpecah belah dan berkecamuk perang saudara. Para adipati tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yakni Prabu Brawijaya Kertabumi.

Pajak tidak sampai Istana Majapahit, tapi dinikmati para adipati. Para bangsawan suka berpesta dan main judi, serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sedih. Ratu Dwarawati, isteri Prabu Brawijaya dari Champa memberanikan mengajukan usul ke suaminya. Saya mempunyai keponakan ahli mendidik mengatasi kemerosotan budi pekerti, kata Ratu Dwarawati.

Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putera kanda Dewi Candrawulan di negeri Champa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Champa mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit. Prabu Brawijaya mengirim utusan ke Raja Champa agar bersedia mengirim cucunya ke Majapahit. Perminataan diluluskan.

Keberangkatan Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Sunan Ampel ke tanah Jawa ditemani ayah dan kakaknya. Yakni, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya Sayyid Ali Murtadho.

Sayyid Murtadho ke Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri. Beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sedangkan Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.

Kedatangannya disambut suka cita Prabu Brawijaya dan bibinya, Ratu Dwarawati. Raja Majapahit Prabu Brawijaya memberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Ampeldenta Surabaya. Di sanalah Raden Rahmat akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.
Sayyid Ali Rahmatullah beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dari salah satu puteri Raja Majapahit bernama Dewi Condrowati atau Nyai Ageng Manila. Setelah itu berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Surabaya, tepatnya ke Ampeldenta.

Saat melewati Kembang Kuning, Raden Rahmat berdakwah dengan membuat kerajinan berbentuk kipas dari akar tumbuh-tumbuhan. Kipas dibagikan gratis ke warga. Penduduk cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat sebagai tanda masuk Islam.

Raden Rahmat bertemu tokoh masyarakat Ki Wiryo Sarojo atau Ki Bang Kuning, seorang prajurit Majapahit yang ditugaskan menjaga wilayah perbatasan. Ki Bang Kuning masuk Islam dan menjadi murid Raden Rahmat. Mereka lalu mendirikan langgar beratap welit yang kini menjadi Masjid Rahmat nan megah.

Setelah itu Raden Rahmat menuju Ampeldento. Tapi, sebelum sampai kawasan Ampel, Raden Rahmat singgah di mulut Kali Mas, tepatnya di kawasan Kampung Peneleh lalu mendirikan langgar yang kini menjadi Masjid Jami’ Peneleh di Jalan Peneleh V Surabaya.

Setelah itu Raden Rahmat ke Ampeldento yang sekarang kawasan Ampel mendirikan masjid yang sekarang terkenal dengan Masjid Sunan Ampel. Makam mufti Wali Songo juga terletak di sekitar masjid.

Ajaran Sunan Ampel yang terkenal falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu, Moh Main atau tidak mau berjudi, Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan, Moh Maling atau tidak mau mencuri, Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja, dll, Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan bukan isterinya.

Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat mengumumkan ajarannya agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak marah. Hanya ketika Prabu diajak memeluk Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi raja Buddha terakhir di Majapahit.

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Murid-murid Sunan Ampel banyak sekali. Mulai kalangan bangsawan para pangeran Majapahit sampai rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo murid beliau sendiri.

Tapi, ada dua murid Sunan Ampel yang punya keistimewaan yakni Mbah Soleh dan Mbah Bolong. Mbah Soleh mempunyai karomah atau keistimewaan luar biasa karena dikubur hingga sembilan kali. Buktinya, di sebelah timur masjid Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang, tapi kuburan satu orang; Mbah Soleh.

Kisahnya, Mbah Soleh dikenal tukang sapu Masjid Ampel di masa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai sangat bersih, sehingga orang sujud tanpa sajadah tidak merasa ada debunya. Ketika Mbah Soleh wafat, beliau dikubur di depan mesjid. Ternyata tidak ada santri sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh menyapu lantai masjid hingga bersih.

Sejak ditinggal Mbah Soleh, masjid kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel, bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid menjadi bersih. Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantai menjadi bersih lagi. Orang-orang terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.

Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur di samping kuburannya dulu. Mesjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali, sehingga kuburannya ada delapan kuburan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan, Sunan Ampel meninggal. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung sebelah timur.

Satu lagi murid Sunan Ampel yang punya keistimewaan Mbah Sonhaji biasa disebut Mbah Bolongkonon mempunyai kharomah luar biasa. Kisahnya, waktu pembangunan Masjid Agung Ampel, Mbah Sonhaji ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Mbah Sonhaji bekerja tekun, penuh perhitungan. Jangan sampai letak pengimaman masjid tidak menghadap kiblat. Tapi setelah pembangunan pengimaman jadi banyak orang meragukan keakuratannya.

‘’Apa betul pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?’’ tanya jamaah meragukan pekerjaan Mbah Sonhaji. Mbah Sonhaji tak menjawab, tapi melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,’’ Lihatlah ke lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?’’ tanya Mbah Bolong

Orang-orang segera melihat ke lubang dibuat Mbah Sonhaji. Ternyata di dalam lubang itu mereka dapat melihat Kakbah di Makkah. Orang-orang pun melongo, takjub. Mereka pun kapok meremehkan Mbah Sonhaji lagi dan menjulukinya Mbah Bolong.

Kembali ke rombongan JP, pengantar penulis. Setelah foto bersama, rombongan melepas penulis. ‘’Bismillah, sukses,’’ kata Pimped Jawa Pos Leak Kustiya memberi semangat. Rombongan pun berpisah. Koodinator Liputan (KL) JP saat itu Baehaqi dan fotografer Boy Slamet menemani penulis melakukan ziarah ke makam wali songo lainnya, ke Gresik, Lamongan, Tuban, Kudus, sampai Demak. (laz/bersambung)