Jelaskan nilai kedisiplinan yang terdapat dalam pelaksanaan salat Jumat

Tertib dalam shalat mengajarkan disiplin dan keteraturan.

Republika/Mardiah

Ilustrasi Shalat

Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Gafur

Ibadah ritual dalam Islam sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan kepribadian Muslimin. Shalat adalah salah satunya. Banyak efek positif shalat yang berguna untuk pengembangan kepribadian, salah satunya adalah kedisiplinan atau keteraturan.

Baca Juga

  • Shalat Jumat di Markas PBB
  • Shalat yang Khusyuk
  • Sudahkah Kita Shalat?

Hikmah kedisiplinan dalam konsep shalat telah banyak dikemukakan oleh para pemikir dan ulama Islam. Shalat fardhu yang wajib dilaksanakan oleh seorang Muslim dalam sehari semalam ada lima kali. Waktunya pun sudah terjadwal dengan rapi.

''Sesungguhnya shalat bagi orang-orang Mukmin adalah kewajiban yang waktunya ditentukan (terjadwal).'' (QS An-Nisaa': 103). Penentuan waktu shalat ini jelas menunjukkan ajaran kedisiplinan yang berperan penting dalam kesuksesan seseorang.

Kita bisa melihat dan membaca kisah kesuksesan orang karena aktivitas yang mereka lakukan setiap harinya terjadwal dengan baik. Orang yang jarang membuat jadwal kegiatan cenderung melalaikan suatu kegiatan yang seharusnya dikerjakan pada waktu itu.

Ternyata konsep shalat sejak jauh hari telah mengenalkan konsep penjadwalan sebelum kemunculan konsep-konsep manajeman dan self development modern. Kita juga bisa mengambil pelajaran disiplin dari tata cara shalat. Mulai dari bersuci sampai pelaksanaan shalat, dan bahkan setelah shalat.

Konsep tertib dalam aktivitas shalat mengajarkan kedisiplinan dan keteraturan. Seseorang tidak dibenarkan mendahulukan suatu rukun shalat yang seharusnya diakhirkan. Kalau dia tetap melakukannya, jelas shalatnya tidak sah secara syariah.

Tahapan-tahapan yang dilalui secara berurutan dalam shalat akan membentuk karakter seseorang untuk bertindak cermat dan tidak terburu-buru dalam menentukan dan melakukan sesuatu dalam kehidupannya. Rasulullah SAW menekankan kepada kita agar melakukan shalat berjamaah.

Beliau menyatakan bahwa orang yang shalat berjamaah akan memperoleh derajat yang berlipat ganda dibandingkan dengan orang yang shalat sendirian. ''Shalat jamaah itu lebih afdhal (unggul/memiliki nilai lebih) sebanyak 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian.'' (hadis syarif).

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa dalam aktivitas jamaah terdapat unsur-unsur disiplin yang tidak terdapat dalam shalat sendirian. Shalat berjamaah minimal mengandung nilai tepat waktu, keteraturan dalam kelompok. Ajaran tepat waktu bisa dipahami mengingat shalat jamaah biasanya dilakukan di masjid dan ketika waktu shalat baru masuk.

Sedangkan keteraturan dalam kelompok tecermin lewat hubungan imam-makmum. Seorang makmum tidak dibenarkan mendahului aktivitas imamnya dalam setiap rukun shalat. Dia baru bisa berpindah dari satu rukun ke rukun yang lain setelah adanya komando dari imam.

  • shalat
  • hikmah
  • nasihat
  • islam

Jelaskan nilai kedisiplinan yang terdapat dalam pelaksanaan salat Jumat

sumber : Pusat Data Republika

Umat muslim melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Almarkazul Islamic, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (19/6/2020). Foto: Rahmad/ ANTARA FOTO

Salat, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bagian pertama, memiliki banyak hikmah yang penting untuk dijadikan pelajaran. Selain mengajak manusia untuk berbuat menjaga kebersihan, menjaga persatuan, dan kedisiplinan, salat juga mengajarkan kepada kita untuk bersikap egaliter. Dalam salat, semua manusia di hadapan Tuhan sama.

Mau pejabat atau rakyat biasa. Mau orang kaya atau orang tak berpunya. Mau pedagang sukses atau pedagang kaki lima. Mau dosen atau mahasiswa. Mau guru atau murid. Mau orang tua atau anak. Semua manusia di hadapan-Nya bernilai sama. Yang membedakan hanya takwanya (Qs al-Hujurat ayat 13).

Salat mengajarkan kepada kita, agar tidak silau dengan pangkat, kekayaan, pedagang sukses, dosen, guru serta yang lainnya, bahwa salat tidak melihat hal itu. Salat tidak membutuhkan profesi yang bersifat fana. Salat hanya melihat sampai seberapa jauh ibadahnya mampu memberikan pengaruh kepada kehidupan sehari-hari.

Ilustrasi salat bersama anak dan keluarga di rumah Foto: Shutterstock

Salat tidak tunduk dengan bintang yang bergerombol di pundak. Salat tidak juga sentimen atas perolehan manusia yang sukses dengan kerja kerasnya. Salat juga mengajarkan tidak ada yang perlu dilebihkan. Salat hanya butuh manusia-manusia yang mensejajarkan dirinya dengan orang-orang yang tidak berpunya.

Bersanding dengan orang tidak berpunya, ia mampu merasakan dirinya sebagai orang yang tidak berpunya. Sehingga, kekayaanya banyak disedekahkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya. Orang berpunya sadar bahwa hartanya, bukan sekedar dimiliki tetapi jauh dari itu, harta yang ia miliki ada hak yang harus diberikan kepada orang lain.

Ada harta yang tidak boleh dimakan semua oleh dirinya, melainkan ada bagian yang harus diberikan kepada yang berhak . Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang rasa persaudaraan luntur lantaran saudaranya sudah menjadi orang berada.

Melihat saudaranya tidak berpunya dijauhi. Melihat saudaranya berpunya didekati. Itulah sebagian manusia terkadang ada yang bersikap seperti itu. Begitupun dalam pergaulan antar individu dengan kelompok tertentu, banyak yang tidak sadar bahwa ia telah mengucilkan karena terbesit dalam pikirannya bahwa ia tidak sederajat dengannya dalam hal pikiran, pendidikan, kedudukan, kekayaan bahkan pakaian yang dikenakan.

Dari sini, salat menekankan pentingnya rasa sederajat dengan sesama. Begitupun di luar salat. Tidak ada ceritanya dalam salat mengosongkan barisan depan, hanya karena ada orang terpandang salat di mesjid itu. Atau siapa pun yang mau salat di mesjid, tidak membeda-bedakannya. Siapa pun yang datang ke mesjid lebih awal, maka ia berhak mengisi barisan paling depan.

Semoga kita menjadi hamba yang mampu mengisi makna salat di luar salat. Karena tidak sedikit, orang sehabis salat justru lidahnya makin tajam. Sikapnya makin menyinggung perasaan orang lain. Perhatiannya kepada yang tak berpunya makin acuh tak acuh.

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang