Hasil perjanjian Roem Royen : Show a. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan kegiatan gerilya b. Pemerintah Republik Indonesia akan mengjadiri Konferensi Meja Bundar c. Pemerintah Republik indonesia dikembalikan ke Jogjakarta d. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan tawanan perang e. Kedaulatan akan diserahkan pada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai Perjanjian Renville f. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak g. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia Jawabannya : C
Lihat Foto KOMPAS.com - Perjuangan Indonesia untuk membebaskan diri dari Belanda di awal kemerdekaan, ditempuh lewat berbagai upaya diplomasi. Salah satu upaya diplomasi yang dilakukan yakni perjanjian Roem-Royen. Perjanjian Roem-Royen adalah perundingan yang dibuat Indonesia dengan Belanda pada 7 Mei 1949 untuk menyelesaikan konflik di awal kemerdekaan. Latar belakang Perundingan Roem-RoyenSebelum perjanjian Roem-Royen, ada perjanjian Linggarjati pada 1946 dan perjanjian Renville pada 1948. Dikutip dari Sejarah Diplomasi di Indonesia (2018), perjanjian Renville merugikan Indonesia. Baca juga: Perjanjian Renville: Latar Belakang, Isi, dan Kerugian bagi Indonesia Wilayah kedaulatan Indonesia semakin kecil. Belanda yang diuntungkan lewat perjanjian itu sendiri, pada akhirnya melanggar janji. Pada 1 Desember 1948, Belanda secara sepihak tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville. Buntutnya, pada 19 Desember, Belanda menyerang Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta. Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Belanda juga menangkap dan menawan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Moh Hatta. Langkah Belanda dikecam dunia. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 4 Januari 1949 memerintahkan Belanda dan Indonesia menghentikan masing-masing operasi militernya.
United Nations Commission for Indonesia (UNCI) membawa perwakilan kedua negara ke meja perundingan pada 17 April 1949. Baca juga: Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya Delegasi Indonesia diketuai Mohammad Roem. Sementara Belanda diwakili Herman van Roijen (Royen). Lihat Foto Pekan Buku Indonesia 1954 Mohammad Roem Isi perundingan Roem-RoyenSetelah melalui perundingan berlarut-larut, akhirnya pada 7 Mei 1949 dicapai persetujuan. Persetujuan itu dikenal sebagai "Roem-Royen Statements" atau Perundingan Roem-Royen. Berikut isi Perjanjian Roem-Royen bagi Indonesia:
Perjanjian Roem-Royen untuk Belanda yakni:
Baca juga: Konferensi Meja Bundar, Belanda Akui Kedaulatan Indonesia Dampak Perjanjian Roem-RoyenUntuk menindaklanjuti perjanjian Roem-Royen, pada 22 Juni 1949, diadakan perundingan formal antara Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) di bawah pengawasan Critchley (Australia). Perundingan itu menghasilkan keputusan:
Soekarno dan Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta Jenderal Sudirman yang sakit dan berjuang lewat gerilya selama hampir tujuh bulan, baru kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Setelah pemerintahan pulih, pada 13 Juli 1949 diadakan sidang kabinet RI yang pertama. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Perjanjian Roem-Roijen (juga dieja Roem-Roeyen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 17 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.
Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikapnya terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).[1]
Pada perjanjian ini delegasi Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem. Sementara delegasi Belanda diwakili Herman van Roijen.[2] Isi dari perjanjian ini sebenarnya lebih merupakan pernyataan kesediaan berdamai antara kedua belah pihak. Dalam perjanjian itu, pihak delegasi Republik Indonesia menyatakan kesediaannya untuk:[3]
Sedangkan pihak delegasi Pemerintah Belanda saat itu menyatakan kesediaannya untuk:[3]
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibu kota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.[5] Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatra (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.[6]
|