Berapa lama masa jabatan kepala daerah

Diunggah pada : 5 Agustus 2020 16:20:39 627

Berapa lama masa jabatan kepala daerah

Jatim Newsroom – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur, Choirul Anam menyatakan, masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada serentak 2020 hanya tiga tahun bukan lima tahun. Mengingat, pada 2024 mendatang Pilkada serentak akan kembali digelar. UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 mengatur mekanisme tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU Jatim, Choirul Anam dikonfirmasi di kantor KPU Jatim, Rabu (5/8)

"Sebagai konsekuensinya, masa jabatan kepala daerah terpilih di 2020 bukan lima tahun namun sekitar tiga tahun. Setelah dipilih di 2020, Kepala daerah terpilih baru dilantik di 2021," katanya.

Pelaksanaan pilkada serentak 2024 berjalan seiring dengan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Hal ini juga selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta penerapan keserentakan dalam pemilu.

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, pemilu serentak dalam praktik sistem pemerintahan presidensial tetap konstitusional. Hal itu tercantum dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019.

MK dalam putusan yang menolak uji materi terkait keserentakan pileg dan pilpres itu juga memberikan lima alternatif pilihan keserentakan dalam pilkada. Satu di antaranya, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden /Wakil Presiden.

Beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur. Kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Wali Kota.

"Di antara lima opsi keserentakan yang diperbolehkan MK, belum diturunkan ke dalam perundangan. Namun, putusan MK memastikan pilkada serentak akan berlangsung 2024 dan tinggal menentukan teknis keserentakannya," kata Anam.

Seperti diketahui pada 2020, sebanyak 19 daerah dari total 38 kabupaten/kota di Jawa Timur akan menyelenggarakan Pilkada serentak. Usai pemungutan suara pada 9 Desember mendatang, para kepala daerah terpilih akan dilantik pada awal tahun 2021.

Mengingat, 17 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 17 Februari 2021, termasuk Wali Kota Surabaya. Sedangkan dua daerah lainnya akan habis pada 4 April 2021 (Pacitan) dan 20 Juni 2021 (Tuban). (pca)

Oleh : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H

(Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare)

OPINI— Salah satu implikasi hukum pelaksanaan Pilkada secara serentak nasional pada tahun 2024 adalah polemik penunjukan jabatan Pj kepala daerah.  Praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan dalam pengisian Pj kepala daerah sulit dihindari. Hal tersebut dapat dilihat dari penunjukkan lima  Pj kepala daerah yang telah dilantik secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.  Kelima Pj gubernur tersebut, antara lain Provinsi Papua Barat, Provinsi Banten, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Gorontalo.

Mekanisme penunjukan Pj kepala daerah di atas patut dipertanyakan dan kental  tendensi politiknya, pasalnya beberapa diantaranya tidak mempunyai pengalaman dalam pemerintahan sipil. Misalnya, Pj Gubernur Provinsi Papua Barat berasal dari jenderal polisi yang baru pensiun, kemudian  Pj Gubernur Bangka Belitung berasal dari Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian SDM dan Pj Gubernur Banten berasal dari Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga. Padahal stok pegawai ASN Kementerian Dalam Negeri dengan status  JPT Madya sangat bersyarat untuk diangkat menjadi Pj kepala daerah tanpa harus mengambil ASN yang berstatus TNI Polri.

Selain itu, mekanisme penunjukan Pj kepala daerah di atas mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022 dan ketentuan UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menggariskan jabatan struktural ASN yang dapat diisi Anggota TNI/Polri hanya berlaku di sepuluh kementerian/Lembaga, tidak termasuk Pemerintah Daerah. Putusan MK sejatinya menjadi pedoman dasar bagi pemerintah dalam merumuskan aturan teknis pengisian Pj kepala daerah. Salah satu hal yang harus dimasukkan sebagi persyaratan  adalah pengalaman dalam pemeritahan sipil minimal lima tahun, serta penguasaan wilayah administrasi daerah tempat bertugas. Apalagi Pj kepala daerah nantinya akan menjalankan tugas selama dua sampai tiga tahun, sehingga tentu memerlukan hubungan koordinasi dan konsultasi dengan DPRD setempat. Utamanya terkait Pembahasan dan Penetapan Perda tentang APBD, RKPD, dan beberapa Rancangan Perda yang telah menjadi prioritas proglegda daerah.

Polemik  juga terjadi dalam penunjukan Pj Bupati Kabupaten Muna Barat dan Buton Selatan, dimana Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi menolak melantik tiga penjabat kepala daerah di wilayahnya karena Kemendagri mengabaikan nama yang diusulkan dari Gubernur. Penolakan tersebut tentunya wajar karena dalam menjalankan roda pemerintahan,  Pj bupati juga harus  menjalankan program kerja gubernur yang telah dimasukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Provinsi sehingga gubernur tentu berharap Pj kepala daerah yang diusulkannya dapat  disetujui dan dilantik agar dapat membantu mewujudkan visi misi serta program kerja pemerintah provinsi, baik yang termuat dalam RPJMD maupun dalam RKP tahunan.

Oleh karena itu, kegaduhan pengangkatan Pj kepala daerah harus diselesaikan melalui regulasi yang solutif. Penting untuk dipikirkan oleh pemerintah agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah dengan mempertimbangkan Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021, UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan tentunya memperbaiki aturan lama pengangkatan Pj kepala daerah yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan rezim pilkada serentak nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 74 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan rezim pilkada serentak nasional. Selain tidak transparan dan tidak partisipatif, regulasi tersebut di atas sangat tidak memadai karena hanya melibatkan gubernur, menteri dalam negeri, dan presiden tanpa mempertimbangkan beberapa Putusan MK yang dalam pertimbangan hukumnya menggariskan pengisian Pj kepala daerah harus transparan dan tidak mengesampingkan nilai-nilai demokratis agar terhindar dari Mal Administrasi dalam proses pengangkatan Pj kepala daerah.

Di samping itu pengaturan kewenangan Pj kepala daerah perlu diatur secara tegas, khususnya terkait kebijakan strategis yang berdampak pada daerah, mutasi pegawai, serta tindakan-tindakan yang berpotensi mendapatkan gugatan dari masyarakat. Karena Pj kepala daerah menjabat dalam waktu yang lama, bahkan ada yang menjabat sampai tiga tahun lima bulan, sehingga perlu diatur kewenangan apa saja yang dapat dijalankan, jika tidak potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa saja dilakukan Pj kepala daerah apabila kewenangannya tidak dibatasi. Masa jabatan dua sampai tiga Tahun sangat berpotensi disalahgunakan sehingga aturan pelaksanaan dan pengawasannya juga harus diatur secara tegas dan jelas. Oleh karena itu, menurut hemat penulis Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah harus segera diwujudkan sebagai tindak lanjut  Pasal 201 UU 10/2016 yang mengatur soal syarat, kewenangan, dan pengawasan Pj kepala daerah. Agar pengisian Pj kepala daerah terhindar dari tendensi politik oknum tertentu yang punya kepentingan besar dalam suksesi pemilu 2024, baik Pilpres maupun Pilkada.

Penulis berharap sebelum pelantikan Pj kepala daerah berikutnya dilaksanakan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah yang baru, jika Peraturan Pemerintah tersebut belum selesai dirumuskan dan terdapat jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, maka sebaikya Sekretaris Daerah ditunjuk sebagai Plh kepala daerah sambil menunggu terbitnya aturan teknis penunjukan Pj kepala daerah yang baru.

Penunjukkan Pj Kepala daerah sangat berpotensi menjadi celah oknum tertentu menitipkan kepentingan politiknya. Politisasi ASN Pemda dan Politisasi Bantuan Sosial kepada masyarakat sudah menjadi rahasia umum di setiap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Oleh karena itu pelibatan Pj kepala daerah dalam proses mutasi pegawai dan Penyaluran Bansos mesti dibatasi dan diawasi. Keberadaan Bawaslu beserta jajarannya tidak cukup untuk mengatasi politisasi birokrasi karena di Sekretariat Bawaslu juga ada ASN yang tunduk dan diatur oleh atasan. Semoga saja Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah yang baru dapat menjadi regulasi yang responsif dan solutif.

Oleh:

kemendagri.go.id Ilustrasi

Kabar24.com, JAKARTA — Periode jabatan kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, dan walikota, acap kali memunculkan multitafsir saat ada kepala daerah yang harus berurusan dengan hukum.

Ketika kepala daerah yang berurusan dengan hukum dicopot, wakil kepala daerah melanjutkan jabatan hingga berakhir. Periode kepemimpinan kepala daerah yang melanjutkan jabatan sering membingungkan apabila sang pejabat akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan bahwa masa jabatan kepala daerah berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Masa jabatan kepala daerah adalah 5  tahun, namun penjabaran satu periode masa jabatan adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan.

“Masa jabatan KDH [Kepala Daerah] adalah 5  tahun. Namun, yang dimaksud 1 periode masa jabatan adalah apabila masa jabatan telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan,” ujarnya dalam keterangan resminya, Jumat (5/7/2019).

Dengan demikian, seorang kepala daerah dinyatakan telah menghabiskan masa jabatan satu periode, apabila telah menjalani setengah masa jabatan minimal 2,5 tahun atau lebih dari itu.

“Bila seorang wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah di tengah jalan maka perlu dihitung berapa lama sisa masa jabatan yang akan dilaluinya. Bila sisa masa jabatannya masih 2,5 tahun atau lebih maka wakil kepala daerah itu telah dihitung satu periode menjabat sebagai kepala daerah. Bila sisa masa jabatan yang dilaluinya kurang dari 2,5 tahun maka tidak dihitung sebagai satu periode,”kata Bahtiar.

Hal tersebut terkait dengan gugatan pada Pasal 58 huruf o UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas menyatakan bahwa masa jabatan kepala maksimal hanya dua periode.

Akan tetapi, di lapangan terjadi persoalan karena adanya tafsir dari pejabat yang ingin melanjutkan jabatannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini : kepala daerah, masa jabatan

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Editor: Stefanus Arief Setiaji