Mengapa secara ekonomi afrika disebut terjajah

Dilihat 19,428 pengunjung

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dunia mengalami ketegangan emosional dan psikologis. Meskipun perang telah berakhir, permasalahan belum selesai. Dunia terpecah menjadi dua bagian, yaitu Blok Barat dan Blok Timur.

Blok Barat terdiri dari negara-negara berpaham liberalis, sedangkan Blok Timur yang beranggotakan negara-negara komunis. Kedua blok saling berebut pengaruh terhadap bangsa-bangsa lain. 

Selain terpecahnya dunia menjadi dua paham, kolonialisme dan imperialisme masih menjadi permasalahan bagi berbagai bangsa di dunia. Masih banyak bangsa dan negara yang masih terkekang penjajahan dan mendambakan kemerdekaan.

Melihat tidak stabilnya kondisi dunia, Indonesia sebagai negara yang antipenjajahan dan berkomitmen sebagai negara netral memprakarsai kegiatan penting dalam sejarah dunia, yaitu Konferensi Asia-Afrika (KAA). Sebelumnya apakah Sobat SMP pernah mendengar mengenai KAA?

Konferensi Asia-Afrika adalah konferensi perdamaian dunia yang dilaksanakan pada tanggal 18-25 April 1955, bertempat di Gedung Merdeka, Bandung. Ketua penyelenggara konferensi adalah P.M. Ali Sastroamijoyo dan dibuka oleh Presiden Sukarno. Dalam konferensi tersebut diundang 30 negara yang berada di kawasan Asia-Afrika, namun hanya dihadiri 29 negara karena Afrika Tengah (Rhodesia) tidak bisa datang akibat kondisi negara yang belum stabil.

Diawali dari Konferensi Colombo pada 28 April 1954, Indonesia melontarkan gagasan mengenai pertemuan negara-negara Asia-Afrika. Peserta konferensi yang awalnya ragu pada akhirnya menyetujui ide tersebut.

Latar belakang diadakannya konferensi ini adalah kesamaan nasib negara-negara di Asia-Afrika pasca-Perang Dunia II. Selain itu, perjuangan bangsa-bangsa terjajah untuk memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia II terus meningkat. Negara-negara berkembang yang melihat suasana tersebut terdorong untuk mencari jalan keluar membantu meredakan ketegangan dan menciptakan perdamaian dunia.

Pertemuan yang berlangsung selama 8 hari itu menghasilkan beberapa keputusan yang cukup penting, seperti memajukan kerja sama negara-negara Asia-Afrika di bidang sosial, ekonomi, dan budaya, membantu perjuangan melawan imperialisme, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan ikut aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.

Selain keputusan-keputusan penting, KAA juga melahirkan sepuluh prinsip yang tercantum ke dalam “Declaration on The Promotion of World Peace and Coorporation” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Dasasila Bandung”.

Berhasilnya KAA di Bandung mendongkrak nama Indonesia yang baru berusia 10 tahun ke kancah dunia. Tidak hanya itu, KAA membawa banyak sekali dampak positif bagi Indonesia, negara-negara Asia-Afrika, dan juga dunia.

Negara-negara Asia-Afrika turut mendukung Indonesia dalam rangka pembebasan Irian Barat. Konferensi juga memperkuat hubungan kerja sama negara-negara dari kedua benua tersebut. Selain itu, dunia pun ikut terdampak seperti berkurangnya ketegangan dunia, negara kolonialis-imperialis mulai melepaskan daerah jajahannya, dan penghapusan politik diskriminasi rasial. 

Pada intinya, KAA telah menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara biasa. Indonesia telah turut berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Ketegangan dunia pun mulai berkurang akibat lahirnya paham dunia ketiga (non-aligned), dan itu berkat peran dari Indonesia.

Jika Sobat SMP tertarik untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai peristiwa KAA dan sejarah Indonesia lainnya, kalian bisa mengunduh modul pembelajaran jarak jauh mata pelajaran IPS di situs Direktorat SMP.

Baca Juga  Tim RBI Direktorat SMP Susun Rencana Tindak Agen Perubahan

Referensi:

Modul Pembelajaran Jarak Jauh IPS Kelas IX Semester Genap Terbitan Direktorat SMP tahun 2020

https://kniu.kemdikbud.go.id/?p=4152 diakses pada 16 April 2021

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Rep: c38 Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum memahami kolonialisme bangsa-bangsa Eropa di Afrika, kita dihadapkan pada pertanyaan kunci. Mengapa orang Eropa begitu tertarik untuk menancapkan kekuasaan di Afrika?

Motif Eropa terhadap Afrika dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu politik, budaya, dan ekonomi. Motivasi politik didorong oleh politik persaingan antarnegara-negara Eropa untuk mendominasi dunia pada abad ke-18. Setiap negara berusaha meningkatkan gengsi dengan memperluas tanah jajahan. Semakin luas wilayah jajahan, semakin tinggi prestise bangsa tersebut di mata internasional.

(Baca: Dahulu Bangsa Afrika Lebih Superior Ketimbang Eropa)

Sementara, alasan budaya pada kolonisasi berakar dalam etnosentrisme dan arogansi orang-orang Eropa, yang menganggap budaya suku Afrika lebih rendah. Dengan sejenis kesombongan tertentu, orang-orang Eropa merasa memiliki tugas untuk 'membudayakan' dan 'memperadabkan' orang-orang Afrika. Keyakinan ini dilakukan melalui pengiriman para misionaris ke pelosok-pelosok Afrika.

Faktor ketiga adalah yang paling signifikan. Sumber daya alam Afrika merupakan komponen penting yang memotivasi kolonialisme Eropa. Pada awal 1800-an, perdagangan budak antara Afrika, Amerika, dan Eropa telah mengeksploitasi penduduk Afrika. Para budak ini dipekerjakan di lahan-lahan milik Eropa, dijadikan tentara, atau mengurusi hal-hal domestik.

Setelah perdagangan budak perlahan dihapus, eksploitasi SDA menjadi target berikutnya. Jutawan pertambangan Cecil Rhodes, misalnya, mengeksploitasi tambang emas dan berlian di Afrika Selatan, serta memainkan peran penting dalam mengamankan kekuasaan Inggris atas Zimbabwe. Penguasaan Eropa atas wilayah-wilayah strategis di Afrika berguna untuk mempertahankan kontrol internasional.

Bagi Inggris, Afrika Selatan menyediakan pelabuhan penting bagi pelayaran kapal-kapal mereka dalam perjalanan ke India. Mulai 1869, Terusan Suez di Mesir juga menciptakan rute yang lebih pendek antara Inggris dan koloninya, serta membentuk rute ke ladang minyak di Timur Tengah.

(Baca Juga: Eropa Sebarkan Gagasan Afrika 'Benua Gelap')

Vladimir Illich Lenin dalam Imperialism: The Highest State of Capitalism telah mengartikulasikan alasan ekonomi untuk perpanjangan kekuasaan di negara-negara dunia ketiga. Lenin berpendapat, negara-negara Eropa berusaha menjajah Afrika untuk menanggapi tuntutan yang melekat dari sistem ekonomi kapitalis.

Masyarakat setempat didorong menanam tanaman yang laku keras di pasar Eropa, seperti kapas. Kelaparan terjadi di tanah tempat petani menanam tanaman ekspor untuk negara-negara imperialis, alih-alih mencukupi kebutuhan pangan mereka. Lagi-lagi, sistem kapitalis tidak hanya menuntut eksploitasi SDA yang dibutuhkan sebagai bahan baku utama revolusi industri di negara mereka, tetapi juga eksploitasi tenaga kerja murah yang berlimpah.

  • peradaban islam afrika
  • peradaban afrika

Mengapa secara ekonomi afrika disebut terjajah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Benua Asia dan Afrika merupakan dua benua yang pernah menjadi daerah jajahan negara-negara Eropa. Meski sama-sama menjadi kawasan yang pernah terjajah, kedua kawasan ini mengalami kolonialisme dengan cara dan motif yang berbeda. Hal ini disampaikan oleh dua orang dosen program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Mohamad Rezky Utama, M.Si dan Wahyu Arif Raharjo, M.Int.Rel dalam talk show bertajuk NGALIR LIVE TALK dengan teman The Rise and Fall of Asia and Africa, Rabu (12/1).

Utama menjelaskan bahwa di Asia sendiri terdapat motif kolonialisme berbeda yang diusung oleh bangsa Eropa. Ia mencontohkan Spanyol dan Portugis pada awalnya mengusung misi gold, glory, dan gospel yang diubah menjadi misi untuk menjadikan negara jajahannya mengadopsi budaya kedua negara tersebut. Sebagai contohnya Filipina yang mengalami kristenisasi secara massal, dan diwajibkan menggunakan bahasa Spanyol.

Gaya yang berbeda diusung oleh Belanda, Prancis, dan Inggris yang lebih mengedepankan motif keuntungan ekonomi melalui perdagangan. Hal ini dilakukan oleh kedua negara tersebut melalui perusahaan dagang seperti Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) milik Belanda dan East India Company milik Inggris.

Hal berbeda diterapkan dalam penjajahan di benua Afrika yang dilatar belakangi oleh motif mentalitas superior bangsa-bangsa Eropa. Praktik penjualan budak yang sering kali terjadi pada orang Afrika pada saat itu membuktikannya. Arif menjelaskan bahwa dalih lain yang digunakan oleh negara-negara Eropa dalam menjajah Afrika adalah rasisme saintifik yang mencoba untuk mengklasifikasikan kecerdasan setiap bangsa berdasarkan ras seseorang.

Hal ini membuat dogma seolah bangsa Eropa yang berkulit putih jauh lebih cerdas dibandingkan bangsa Afrika kulit hitam. “Ini jadi sebuah motivasi seolah Eropa harus menyelamatkan orang Afrika melalui penjajahan.” Ujar Arif. Motivasi tersebut kemudian menuntun negara-negara Afrika untuk melaksanakan Berlin Conference yang membagi wilayah penjajahan di Afrika  dengan mengusung misi mencerdaskan bangsa Afrika dan mengolah sumber daya yang dimiliki.

Berjuang Keluar dari Kolonialisme

Perbedaan penjajahan di Asia dan Afrika juga terletak pada proses kebangkitan penduduk lokal dalam melawan penjajah. Di Asia, perlawanan terhadap penjajah semula terhalang oleh konsep Nation State yang mampu membuat sekat antar penduduk lokal terkait perbedaan bangsa dan budaya. Namun konsep tersebut mampu dilawan dengan menghadirkan konsep Nation Building.

Konsep ini mampu menyatukan beragam suku dan bangsa dalam usaha melawan penjajahan seperti yang terjadi di India, Filipina, dan Indonesia dengan menyatukan suku bangsa di ketiga negara tersebut. “Hadirnya kebangkitan nasional 1908 dan sumpah pemuda 1928 tidak terlepas dari konsep Nation Building ini.” Ujar Utama.

Sistem yang sama tidak mampu diadopsi di Afrika karena kawasan ini menggunakan sistem pemerintahan suatu wilayah tanpa perbatasan yang jelas. “Konteks lain yang perlu dipahami adalah kehancuran mentalitas Afrika diperparah dengan hadirnya penjajah yang memecah belah suku-suku di Afrika.” Ucap Arif.

Pencerahan datang dari orang-orang Afrika yang telah memahami konsep negara bangsa karena ikut militer asing maupun kuliah di negara lain. Aktivitas mereka kemudian melahirkan gerakan Pan Afrika. (AP/ESP)