Bagaimana relasi antara pendidikan Pancasila dan Program Studi Akuntansi?

MEMBAWA PANCASILA DALAM SUATU DEFINISI AKUNTANSI Jordan Hotman Ekklesia Sitorus Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145 Surel: http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6021 Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 6 Nomor 2 Halaman 175-340 Malang, Agustus 2015 ISSN 2086-7603 e-issn 2089-5879 Tanggal masuk: 3 Juni 2015 Tanggal revisi: 8 Juli 2015 Tanggal diterima: 14 Juli 2015 Abstrak: Membawa Pancasila dalam Suatu Definisi Akuntansi Tujuan dari penelitian ini adalah membuat definisi akuntansi baru berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Adapun dalam membuat definisi penulis menggunakan metode kualitatif yang bersandar pada paradigma posmodernisme dalam sudut pandang Pancasila. Penelitian ini menghasilkan konsep definisi akuntansi berdasarkan masing-masing sila Pancasila dan diformulasikan menjadi satu definisi baru. Adapun definisi akuntansi berdasarkan perspektif Pancasila adalah pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan melalui pemanusiaan manusia, semangat persaudaraan, pengangkatan derajat rakyat, serta penyeimbangan kebutuhan jasmani dan rohani manusia dalam hal aktivitas keuangan. Abstract: Carrying Pancasila in a Accounting Definition The purpose of this research is to create a new definition of accounting based on Pancasila values. The author uses a qualitative method which relies on the postmodernism method in the point of view of Pancasila to make a new definition. The result of this research is a new accounting definition based on each sila and the result is being formulated into a new definition. The accounting definition in Pancasila perspective is the human accountability to God by humanizing the human, spirit of brotherhood, uplifting the degree of society, and balancing the physical and spiritual needs of human in financial activity. Kata Kunci: Definisi Akuntansi, Pancasila, Posmodernisme, Budaya, Masyarakat, Aktivitas keuangan. Definisi merupakan dasar bagi manusia dalam berperilaku. Dalam kaitannya dalam bidang akuntansi, definisi merupakan hal yang sangat penting untuk memberikan dasar pemikiran serta pandangan tentang arah dan kebijakan dari akuntansi itu sendiri baik dari segi pembuat standar ataupun dari segi penggunanya (Sawarjuwono, 2012:21). Dasar dari akuntansi merupakan cerminan dari kondisi masyarakat suatu wilayah. Jika masyarakat memiliki budaya yang bercorak dengan unsur kapitalisme, maka dengan sendirinya akuntansi akan bersifat kapitalisme pula. Hal ini digambarkan dalam Harahap (2013:384) dalam konsep berikut: Penggambaran konsep akuntansi tersebut mengasumsikan adanya pemikiran hubungan searah antara kondisi dalam masyarakat dengan penerapannya dalam bidang akuntansi. Tampaknya hal ini tidak berlaku bagi kondisi akuntansi di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia memiliki sebuah ideologi yang disebut dengan Pancasila, jauh dari nilai-nilai kapitalisme (Mubyarto 1987:54, Gunadi 1995:173). Anehnya, pada tingkat sistem ekonomi dan 254

Sitorus, Membawa Pancasila Dalam Suatu Definisi Akuntansi 255 Gambar 1 Proses Terjadinya Praktek Akuntansi Kapitalis Sumber: Harahap (2013:384) khususnya dalam dunia akuntansi sendiri corak kapitalisme sangat kental, baik dalam tingkat teori maupun tingkat praktis. Kamayanti (2012) dalam dalam percakapan dialogis dengan mahasiswa juga mengatakan bahwa akuntansi saat ini sudah jauh dari nilai-nilai etis bangsa Indonesia. Pengadopsian akuntansi yang berdasarkan dengan unsur kapitalisme sa ngat menekankan pada unsur pemeliharaan kekuasaan. Harahap (2013:4) menggambarkan akuntansi ala kapitalisme sebagai alat untuk mengumpulkan harta dan memeliharanya agar proses akumulasi kekayaan berjalan lancar dan penguasaannya tetap di tangan kapitalis. Implikasinya, manusia terjebak dalam kuasa yang utilitarian-hedonis karena perhatian yang besar pada aspek materi dalam kapitalisme akuntansi (Triyuwono 2012:24). Hal ini juga digambarkan dalam definisi akuntansi menurut beberapa lembaga yang dijadikan patokan dalam pembuatan standar akuntansi, khususnya di Indonesia (Harahap 2013:5): Akuntansi adalah proses mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi ekonomi sebagai bahan informasi dalam mempertimbangkan berbagai alternatif dalam mengambil kesimpulan oleh para pemakainya (A Statement Of Basic Accounting Theory/ASOBAT). Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan, dan pengikhitisaran dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi, dan kejadian-kejadian yang umumnya bersifat keuangan dan termasuk menafsirkan hasil-hasilnya (American Institute Of Certified Public Accounting/ AICPA). Akuntansi adalah suatu kegiatan jasa. Fungsinya adalah memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang, mengenai suatu badan ekonomi yang dimaksudkan untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi sebagai dasar memilih di antara beberapa alternatif (Accounting Principle Board/APB Statement No. 4). Beberapa definisi di atas menggambarkan akuntansi sebagai bidang yang memfokuskan diri pada nilai-nilai moneter yang digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomi. Tidak ada unsur Ketuhanan dan hal-hal yang bersifat humanis dalam definisi tersebut. Hal ini sekaligus menggambarkan akuntansi hanyalah sebagai bahasa bisnis sehingga segala pemikiran tentang prinsipprinsip di dalamnya hanya berfokus pada unsur materi. Akibatnya, akuntansi penuh dengan unsur-unsur yang bersifat rasional

256 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 254-271 demi pengembangan bisnis semata. De ngan demikian akuntansi yang berbasis pada pengaruh kapitalisme penuh dengan unsur maskulinitas. Unsur maskulinitas dalam definisi tersebut, yang merupakan ciri khas dari paradigma Positivisme (Syafe ie 2000:43), membuat dunia akuntansi terkukung dalam sifat-sifat yang bersifat meterialistik. Pada akhirnya, manusia yang menjadi pelaku utama dalam dunia akuntansi terjebak dalam penjara dosa. Achsin (2006:47) menggambarkan bahwa dosa yang membuat manusia terpenjara melalui sifat positivisme akuntansi adalah sikap hidup individual dan gaya hidup hedonistik serta materialistik. Sifat dosa demikian tentunya membuat hubungan manusia hanya sebatas pada hal-hal duniawi semata dan melupakan keberadaan Tuhan dalam hidup. Menarik untuk dicermati apakah tujuan dari akuntansi hanya untuk kepentingan investasi semata? Melihat pernyataan dari Mulawarman (2008a:59) yang menyatakan bahwa akuntabilitas bukan hanya untuk kepentingan pemilik dan kreditor namun juga kepada masyarakat dan lingkungan, menimbulkan konsekuensi bahwa fokus dari pemikiran akuntansi bukan hanya kepada konsep keuntungan namun juga pertanggungjawaban kepada unsur-unsur sosial (Sukoharsono 2010). Dalam tataran yang lebih luas, akuntansi juga harus memiliki pertanggungjawaban kepada Tuhan. Melalui penggambaran definisi akuntansi berdasarkan perspektif Pancasila, diharapkan setiap entitas tidak akan memiliki pola pikir untuk mencari keuntungan sebesar-sebesarnya yang diukur dari aspek moneter. Dalam konteks yang lebih luas, pendefinisian akuntansi berdasarkan perspektif Pancasila juga akan membantu setiap entitas memenuhi aspek pertanggungjawaban berdasarkan unsur humanis. Masingmasing sila memiliki unsur-unsur yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini tentu saja berbeda dengan unsur maskulinitas dalam definisi akuntansi yang berbasis pada kapitalisme yang masih berfokus pada konsep laba dan kapitalisasi modal. METODE Suatu penelitian tidaklah mungkin terjadi tanpa ada metode yang menyertainya. Metode penelitian menurut Triyuwono (2006a:280) merupakan cara seorang peneliti (dari pengumpulan data sampai pada analisis data) dalam upaya memberikan jawaban atas permasalahan teoritis atau praksis yang sedang dihadapinya. Pemilihan metodologi penelitian merupakan bagian yang vital dalam suatu proses riset, sebab ia memengaruhi kualitas ilmu pengetahuan yang akan diproduksi (Salampessy 2011:35). Secara umum terdapat dua jenis metode yang digunakan dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Indriantoro dan Supomo (2002:12) memberikan gambaran metode kuantitatif sebagai penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Sedangkan Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2004:3) mengemukakan bahwa metodologi penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian kualitatif yang berdasar pada studi dokumen/teks. Penelitian ini meneliti dan menelaah pemikiran para ahli, yang pikiran-pikiran mereka tersebar dalam beberapa buku, artikel, dokumen dan lainlain, tentang falsafah Pancasila yang relevan dalam kajian akuntansi. Karakteristik penulisan kualitatif yang dapat diartikan dengan penulisan menggunakan perspektif posmodernisme memberikan bantuan gambaran penulis untuk dapat meletakkan dirinya diluar paradigma modern dalam arti bahwa ia menilai modernisme bukan dari kriteria modernitas, tetapi melihatnya dengan cara kontemplasi dan dekonstruksi (Hadiwinata dalam Triyuwono 2006a:120). Mulawarman (2013:151) menganggap bahwa paradigma modern (positivisme) saat ini memandang kekuatan di luar manusia tidak lagi berperan pada diri manusia secara signifikan, tetapi manusia adalah pusat dari segala sesuatu. Implikasinya adalah positivisme secara semena-mena dan tidak beradab telah memerangkap manusia pada dunia materi (Achsin 2006:37). Paradigma posmodernisme muncul untuk mengatasi kelemahan paradigma positivisme dengan mencoba memahami realitas secara lebih utuh dan lengkap (Triyuwono 2006a:219). Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma posmodernisme se bagai perspektif pemikiran. Adapun alasan dari

Sitorus, Membawa Pancasila Dalam Suatu Definisi Akuntansi 257 penggunaan paradigma posmoder nisme adalah adanya keinginan penulis untuk tidak hanya melakukan kritik terhadap suatu makna, namun juga memasukkan nilai-nilai baru dalam makna tersebut. Selain itu, menurut Triyuwono (2012:372-374) sangat sulit memasukkan unsur baru de ngan menggunakan paradigma positivis dan intepretatif karena paradigma positivis menjadi dasar bagi akuntansi modern dan paradigma intepretatif menekankan pada makna dari sebuah simbol. Salah satu tokoh yang terkenal dengan pemikiran posmodernisme ialah Jacques Derrida. Ia adalah seorang anak keturunan dari bapak-ibu Yahudi yang lahir di El-Biar pada tahun 1930. Beberapa karya terkenal Derrida yang masih dapat dilacak hingga antara lain, seperti : L ecriture et la Diffe rence (Tulisan dan Perbedaan), De la Grammatologie (Tentang Grammatologi), dan Marges de la Philosohie (Pinggiran-pinggiran Filsafat) (Parikesit 2012:14). Derrida se perti yang dikutip dalam Santoso (2007:252) menginginkan kebenaran itu tidak harus dibatasi dalam kebenaran tunggal, umum, dan universal, karena dalam kenyataannya kebenaran itu bersifat plural, particular, dan relative. Untuk merealisasikan gagasannya sekaligus kritiknya atas modernitas, Derrida mengungkapkannya dalam metode dekonstruksi dan uraian tentang difference (O Donnel 2009:56-57). Adapun pengertian dari dekonstruksi menurut Triyuwono (2012:139) adalah upaya menghadirkan aspek-aspek lain yang berada di luar narasi besar (logosentrisme, dalam hal ini pemikiran sistem ekonomi dan akuntansi modern). Gayatri Spivak seperti yang dikutip dalam Sarup (2008:74) menggambarkan dekonstruksi sebagai upaya untuk menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat diganti; membongkar agar dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis. Hal ini juga senada dengan pernyataan O Donnell (2009:63) yang berpendapat bahwa dekonstruksi membuka tabir kemungkinan makna yang begitu banyak, agenda terselubung dan aspek yang tidak disadari dari teks. Dengan demikian dekonstruksi digunakan sebagai strategi baru untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur yang terbentuk dan senantiasa dimapankan batas-batasnya serta ditunggalkan pengertiannya. Hal-hal terkait batas-batas penunggalan inilah yang hendak disubversi Derrida dengan strategi dekonstruksi. Melihat pengertian dekonstruksi di atas, dapat diambil suatu makna bahwa penulis tidak menghilangkan makna bangunan lama yang sudah ada (dalam hal ini penulis tidak meniadakan unsur kapitalisme dalam akuntansi), namun menyeimbangkan dengan nilai-nilai baru. Hal ini juga sejalan dengan keyakinan dari Derridra yang memandang bahwa ada begitu banyak kebenaran dalam suatu teks serta menolaknya untuk membuat suatu kebenaran tunggal (O Donnel 2009:59). Begitu juga dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh Triyuwono (2012:139-140) serta Riduwan, et all. (2010:38-60) yang memosisikan diri sebagai pencari sudut pandang alternatif. Meskpun demiian, dekonstruksi yang dilakukan oleh Derrida memiliki sejumlah kelemahan terkait dengan arah pengembangan penelitiannya. Mulawarman (2013:157) menyebutkan bahwa dekonstruksi yang dilakukan oleh Derrida tidak pernah mengarahkan kepada kepastian kebenaran dan hanya memberikan jalan bagi dekonstruksi selanjutnya. Sedangkan O Donnell (2009:62) memandang bahwa dekonstruksi yang dilakukan oleh Derridra selalu menghadirkan makna yang begitu banyak sehingga akan terdapat berbagai kemungkinan yang ditimbulkan dalam penafsiran suatu teks. Hal ini tentunya akan membuat suatu kerancuan dalam melakukan penafsiran data. Selain itu, seperti yang digambarkan sebelumnya bahwa dalam posmoderinisme modern suatu cerita hanya dapat memiliki nilai yang bersifat lokal semata, hal ini tentu saja mengundang keterbatasan bagi penulis untuk melakukan dekonstruksi yang dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang bersifat universal. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk melakukan dekonstruksi yang berpatokan kepada nilai-nilai Pancasila. Penggunaan Pancasila sebagai paradigma dekonstruksi pada dasarnya digunakan untuk menemukan makna yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Salampessy (2012:37) berpendapat bahwa Pancasila mengajarkan bangsa Indonesia untuk menjadi manusia yang tidak mengutamakan dirinya sendiri, namun selalu memerhatikan rangsangan sosial dan moral. Sedangkan Mulawarman (2013:161) mengungkapkan dalam Pancasila terdapat pe-

258 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 254-271 nyatuan antara sains dan agama serta kesatuan yang nyata antara kepentingan obyektifitas dan subyektivitas, materialitas diri, sosial dan masyarakat sekaligus batiniah spiritualitas diri sosial dan masyarakat yang memiliki nilai Ketuhanan. Hal inilah yang kemudian dapat mengangkat nilai kepribadian bangsa Indonesia dalam diri akuntansi. Dapat dikatakan bahwa posmodernisme yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian itu bukanlah posmodernisme barat, namun posmodernisme yang berdasarkan kearifan dan kepribadian masyarakat Indonesia, yaitu Pancasila. PEMBAHASAN Definisi akuntansi berdasarkan sila Ketuhanan yang Maha Esa Sebagai sebuah alat, akuntansi tidak lepas dari suatu perkembangan peradaban. Akuntansi tidak hanya memiliki nilai yang statis, namun mengalami perubahan yang bersifat dinamis mengikuti perkembangan jaman. Berkaca dari pendapat Mulawarman (2013:153) yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi, tanah, pangan dan energi yang berujung pada terbentuknya nilai kapitalisme, disadari atau tidak secara langsung akuntansi terbawa dalam arus peradaban manusia. Inilah yang menjadi realitas dari akuntansi saat ini, yang lebih memfokuskan diri kepada unsur fisik semata daripada nilai Ketuhanan. Konsep akuntansi modern yang dibuat oleh Luca Pacioli sebenarnya sudah mencerminkan adanya keterkaitan antara akuntansi dengan agama. Penggunaan kalimat In The Name Of God sebagai pembuka pada laoran keuangan yang digagas olehnya (Kamayanti, 2012) menunjukkan adanya nilai Ketuhanan dalam Rahim akuntansi. Dalam perspektif lain, profesi Luca Pacioli sebagai seorang biarawan (Kamayanti 2012; Harahap 2012:32; Sukoharsono 2012:459) menunjukkan adanya keinginan untuk menggabungkan pemikiran antara akuntansi itu sendiri dengan pertanggungjawaban Kepada Tuhan agama. Memang, terdapat juga pihak yang meragukan kehadiran Luca Pacioli sebagai pelopor terbentuknya akuntansi modern. Hal ini terdapat dalam pernyataan Harahap (2012:37-41) dan Kamayanti (2012) yang mengklaim bahwa akuntansi yang dibawakan oleh Pacioli sudah dipraktekkan oleh bangsa Arab mulai abad 9 M. Sedangkan Triyuwono (2012:22-23) berpendapat bahwa teknik akuntansi modern berasal dari kebudayaan Spanyol yang pada waktu itu merupakan negara Muslim dan pusat perkembangan teknologi di Eropa. Terlepas dari adanya perbedaan perspektif pelopor, bagi penulis terdapat kesamaan nilai yang dibawakan yaitu kandungan agama dalam diri akuntansi itu sendiri. Adapun untuk mewujudkan akuntansi yang mendekatkan hubungan manusia kepada Tuhan, maka Triyuwono (2006b) mengusulkan konsep akuntansi yang berbasis kepada semangat manunggaling Kawulo-Gusti. Pemahaman ini terinsipirasi dari ajaran Syekh Siti Jenar yang beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, seperti yang diungkapkan oleh Djaya dalam Triyuwono (2012:368) dalam kutipan berikut ini: Ajaran sangkan paraning dumadi yang berarti pangkal atau mula dan arah tujuan semua kejadian, menggambarkan suatu (filsafat) proses, kesinambungan awalakhir, bagaimana permulaannya dan juga kesudahannya. Hal itu menumbuhkan pemahaman manunggaling Kawulo-Gusti. Konsep manunggaling Kawulo-Gusti sendiri sebenarnya bukan hanya diajarkan oleh satu agama semata. Dalam Al-quran terdapat ayat innaa Iilahi wa inna ilahi raajiuum (Surah Al-Baqarah ayat 156) yang memiliki pengertian bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan akan kembali kepada Tuhan. Sedangkan dalam Alkitab terdapat ayat debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya (Pengkhotbah 12:7) yang memiliki makna bahwa hakekat manusia sebenarnya berasal dari Tuhan. Sedangkan masyarakat India mengenal istilah Yoga untuk memberikan pengertian yang sama (Triyuwono 2006b). Ini menandakan dalam agama apapun tujuan konsep manusia sebagai ciptaan Tuhan pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan untuk bersatu dengan-nya. Berkaca dalam proses manunggaling Kawulo-Gusti dalam akuntansi, kerendahan hati manusia tentunya sangat diperlukan untuk dapat menyatu dengan Tuhan. Tidak lah mungkin manusia dapat menyatu de ngan Tuhan jika masih menggunakan pemikiran yang bersifat egois dan rasional. Sikap kerendahan hati inilah yang memungkinkan manusia untuk membuka cakrawala pemikiran yang bersifat irasional dan

Sitorus, Membawa Pancasila Dalam Suatu Definisi Akuntansi 259 spiritual. Akuntansi spiritual hadir sebagai sarana untuk mewujudkan sikap kerendahan hati manusia. Melalui akuntansi yang berbasis pada nilai spiritual, manusia diajarkan untuk semakin menyadari bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa dalam kehidupan. Namun, pemaknaan akuntansi yang berbasis kepada nilai spiritual juga harus mengalami perubahan terlebih dahulu. Jika akuntansi spiritual dimaknai dalam sudut pandang filosofis, kesadaran tersebut akan muncul dengan sendirinya. Sebaliknya, jika akuntansi spiritual hanya dimaknai dalam sudut pandang pragmatis, maka tetap saja manusia akan berorientasikan pada unsur-unsur materi. Dengan demikian, definisi akuntansi berdasarkan sila Ketuhanan yang Maha Esa adalah proses mempertanggungjawabkan aktivitas keuangan kepada Tuhan. Definisi akuntansi berdasarkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Aspek manusia menjadi sangat penting dalam konsep akuntansi mengingat manusia merupakan pihak pembuat sekaligus pelaksana dari konsep akuntansi. Tanpa adanya manusia, akuntansi tidaklah mungkin bisa dipikirkan, dilaksanakan, dan dikembangkan. Manusia juga merupakan faktor utama dalam penentuan arah berkembangnya akuntansi. Penggunaan perspektif entitas bisnis pada pemikiran akuntansi saat ini menunjukkan adanya pihak yang diistimewakan dalam suatu kegiatan ekonomi. Pemilik, kreditor, serta investor merupakan pihak utama yang mendapatkan prioritas keuntungan dari hasil kegiatan usaha. Implikasinya, pihak-pihak lain yang turut serta dalam kegiatan perusahaan dipandang tidak perlu mendapatkan bagian dari hasil kegiatan usaha. Disadari atau tidak penggunaan perspektif entitas bisnis dalam akuntansi terdorong oleh rasa serakah manusia untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini merupakan bagian dalam pemikiran kapitalisme yang mengutamakan kepentingan dan kebebasan individual semata. Marx dalam Suseno (2013:22) mengungkapkan bahwa laba yang diapropriasi oleh kapitalisme selama ini merupakan curian dari hasil kerja buruh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laba yang dihasilkan oleh perusahaan selama ini seharusnya bukan ditujukan untuk kepentingan pemilik serta investor semata, namun juga kepada manusia lain yang selama ini sudah bekerja demi kepentingan perusahaan. Pemikiran akuntansi modern yang dapat menimbulkan adanya kelas sosial disadari atau tidak memiliki pertentangan dengan nilai Pancasila. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan menandakan bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sederajat. Demikian pula dengan paradigma akuntansi juga harus menganggap bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama tanpa melihat kedudukan dan jabatan yang diemban. Penggunaan enterprise theory sebagai dasar pemikiran akuntansi dapat dikatakan sudah memenuhi unsur kemanusiaan yang diamanatkan dalam Pancasila untuk saat ini. Perspektif usaha bersama yang menyamakan posisi pemilik dengan karyawan dan sumber daya manusia lainnya sebagai komponen penerima laba menunjukkan adanya persamaan derajat manusia dalam akuntansi. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat karyawan termotivasi dalam bekerja untuk meningkatkan keuntungan serta mengembangkan jalannya perusahaan karena merasa menjadi bagian dari kepemilikan perusahaan. Adapun penggunaan konsep enterprise theory dalam kehidupan sehari-hari tidaklah sulit untuk dilaksanakan. Penelitian dari Hanif, et all. (2013) menunjukkan adanya penerapan teori ini dalam sebuah rumah makan Padang di Jakarta. Dalam wawancaranya, pemilik restoran menggunakan sistem bagi hasil yang perhitungannya diketahui oleh para karyawan. Para karyawan juga tidak mendapatkan gaji rutin, namun mendapat bagian dari keuntungan perusahaan setiap 100 hari. Sedangkan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, manusia sering terjebak dalam paradigma materialisme. Kebutuhan hisup manusia sering dikonotasikan dalam bentuk fisik, seperti uang, harta, makanan, dan hal lainnya. Sedangkan kebutuhan hidup lain yang tidak memiliki wujud fisik, seperti ibadah, pertemanan, dan hal lainnya, seringkali tidak dianggap dalam kehidupan. Hal inilah dalam jangka panjang akan memacu manusia untuk mengejar hal-hal yang berbentuk fisik semata tanpa memedulikan unsur-unsur rohaninya.

260 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 254-271 Paradigma berpikir demikian juga tercermin dalam konsep akuntansi modern dewasa ini. Akuntansi sering dimaknai sebagai suatu kegiatan pencatatan yang memuat suatu satuan moneter sebagai basis utama pengukuran (Parikesit 2012:71). Satuan uang menjadi alat ukur utama dalam penentuan suatu keberhasilan perusahaan dalam menjalani kegiatan operasionalnya. Akibatnya, akuntansi menjadi terbatas sebagai alat pengukur kekayaan semata (Triyuwono 2012:382-383). Dengan memahami sila kedua Pancasila sebaga sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka sejatinya akuntansi dituntun untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang tidak sekedar unsur materi semata. Akuntansi dituntut untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk monopluralis. Maka dari itu, akuntansi tidak boleh memandang satuan uang sebagai alat ukur utama, namun akuntansi juga harus memperimbangkan satuan tidak terukur yang pada hakekatnya bertujuan untuk membentuk pribadi menjadi manusia humanis. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sukoharsono (2010) yang menyatakan bahwa suatu organisasi tidak harus dijalankan dengan iming-iming uang, namun cinta dan kasih sayang yang tulus akan lebih mampu menggerakkan organisasi ke arah yang lebih dahsyat. Berdasarkan penggambaran di atas, dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa akuntansi merupakan proses memanusiakan manusia. Adapun memanusiakan manusia dimaknai sebagai proses mengembalikan hakekat penciptaan manusia sebagai makhluk humanis, yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadinya semata, namun juga kepentingan bersama. Memang, manusia terlahir sebagai seorang individu. Namun, manusia juga harus menyadari bahwa sejak proses kelahiran hingga menjalani upacara kematiannya, manusia pasti membutuhkan pertolongan sesama. Hal inilah yang menjadi latar belakang dibentuknya akuntansi humanis. Proses memanusiakan manusia merupakan suatu upaya mengembalikan nilai yang hilang dalam pemikiran akuntansi modern saat ini. Dalam akuntansi konvensional, manusia dididik untuk mengutamakan dirinya sendiri tanpa memedulikan kepentingan orang lain. Akuntansi hanya membentuk manusia mengejar hal-hal yang berbau materi dan melupakan kebutuhan non materi yang sejatinya merupakan hal utama yang dibawa oleh manusia ketika ia mati. Akuntansi konvensional juga menciptakan suatu kelas sosial yang dapat mempengaruhi perusahaan untuk menindas kaum lemah dan memanjakan kaum pemilik beserta investor. Nilai yang hilang dalam akuntansi konvensional mengakibatkan manusia menjadi mengutamakan harta serta kepentingannya sendiri. Manusia menjadi lupa bahwa mulai dari hidup hingga terkubur ia selalu membutuhkan bantuan orang lain. Manusia juga lupa bahwa dalam kehidupan kesalehan merupakan hal yang juga turut dikejar se bagai bentuk pertanggungjawaban di akhirat. Hal inilah yang mendasari perlunya proses memanusiakan manusia dalam akuntansi. Dengan demikian, definisi akuntansi berdasarkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah proses memanusiakan manusia melalui suatu aktivitas keuangan. Definisi akuntansi berdasarkan sila Persatuan Indonesia Konsep akuntansi modern saat ini sangat kental dengan nuansa EGOMAU, yang menekankan pada pertimbangan angka serta pencapaian laba perusahaan. Triyuwono (2006b) menyebutkan bahwa konsep EGOMAU dalam akuntansi menyebabkan timbulnya dehumanisasi bagi manusia. Sedangkan Latif (2012:564-565) mendeskripsikan adanya perjuangan kepada kepentingan sendiri (self-interested individuals) dalam sistem kapitalisme yang merupakan basis dari akuntansi modern. Konsep EGOMAU dalam akuntansi memusatkan manusia sebagai sebuah individual yang berorientasi pada laba. Konsep ini tidak mengenal rasa berbagi antar umat manusia, bahkan nilai Ketuhanan sekalipun. Akuntansi tanpa EGOMAU merupakan hal mendasar yang menjadi tujuan dibentuknya definisi akuntansi dalam perspektif sila ketiga Pancasila. Hal ini berangkat dari suatu kondisi pemikiran akuntansi modern yang selama ini berpatokan terhadap kepuasan pemilik semata sehingga menimbulkan suatu kesan bahwa akuntansi hanya diciptakan bagi kepentingan pemilik semata. Sifat egoisme tersebut tentu saja bertentangan dengan semangat Pancasila yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dalam suatu kegiatan ekonomi. Dalam lingkup yang lebih luas, sesunguhnya konsep EGOMAU yang menjadi

Sitorus, Membawa Pancasila Dalam Suatu Definisi Akuntansi 261 ciri khas dalam akuntansi modern dapat menimbulkan perpecahan dalam kegiatan perekonomian. Timbulnya kesenjangan sosial dan pengistimewaan kelas pemilik dan investor mengakibatkan terpisahnya jarak hubungan antar golongan yang berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian. Pemilik dan investor merasa bahwa dirinya berhak atas laba yang telah dimiliki sehingga mereka ingin meminimalisir komponen lain (termasuk sumber daya manusia) yang dapat menimbulkan suatu biaya bagi mereka demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Di sisi lain meraka seolah-olah melupakan bahwa kegiatan perekonomian tidak hanya dilakukan oleh satu golongan saja, namun juga berbagai macam golongan, termasuk di dalamnya unsur karyawan. Oleh karena itu, bagi penulis wajar apabila banyak sekali terjadi demo-demo buruh yang menuntut pe ningkatan kesejahteraan karena pola pemikiran pemilik dan investor sudah teracuni oleh konsep akuntansi modern. Berdasarkan penggambaran di atas maka sudah seharusnya konsep EGOMAU digantikan oleh semangat gotong royong yang menjadi dasar bagi sila ketiga Pancasila. Pemilik dan investor tidak boleh lagi merasa bahwa hanya mereka saja yang termasuk dalam golongan penerima keuntungan perusahaan. Sebaliknya, karyawan serta komponen lain sudah seharusnya ditempatkan sebagai penerima keuntungan bahkan turut serta dalam pengambilan keputusan karena justru dari mereka kegiatan operasional perusahaan dapat berjalan. Dapat dikatakan bahwa semua pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan perekonomian perusahaan harus dipikirkan dalam akuntansi. Perubahan dasar pemikiran akuntansi dari EGOMAU menuju gotong royong pada dasarnya merupakan suatu upaya mengembalikan semangat perekonomian Pancasila yang sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Memang, dalam perspektif harafiah pasal tersebut memiliki makna bahwa perekonomomian suatu bangsa dikuasai oleh pemerintah. Namun, dalam perspektif lain dikuasai oleh negara memiliki pengertian bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk mencegah adanya penindasan ekonomi oleh kaum korporat (Hatta 1977:28). Asas gotong royong yang menjadi dasar dalam membangun akuntansi berdasarkan sila ketiga Pancasila tidaklah lengkap jika tidak ada semangat kebhinekaan di dalamnya. Tanpa adanya semangat kebhinekaan, asas kekeluargaan yang menjadi roh dalam akuntansi sila ketiga hanyalah sekedar formalitas semata dan tidak mampu diaplikasikan dengan baik. Terlebih, jika dalam suatu perusahaan masing-masing pihak memiliki berbagai macam kepentingan yang semuanya harus ditaati. Pastilah sangat sulit untuk membentuk suatu keluarga dalam perusahaan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas berbagai macam wilayah, pekerjaan, suku, ras, dan agama. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya keberagaman pada masyarakat Indonesia, termasuk dalam kaitannya dengan akuntansi. Standar akuntansi modern yang memiliki nilai materialitas yang tinggi sangat tidak mungkin diaplikasikan terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut. Kalaupun dipaksakan, maka hal ini akan mempeng aruhi menurunkan nasionalisme suatu bangsa serta akan terjadi pemasalahan dalam kegiatan perekonomian yang kondisi lingkungannya tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh standar (Kusuma 2007). Semangat Bhineka Tunggal Ika yang diajarkan oleh Mpu Tantular (Salampessy 2012:127) pada dasarnya mengajarkan manusia untuk tidak mengutamakan kepentingannya sendiri. Manusia terdiri atas berbagai macam sifat dan karakter sehingga sangat sulit untuk memadukan berbagai macam karakter tersebut masing-masing pihak memiliki kepentingan dan argumen masing-masing. Begitu juga halnya dalam suatu perusahaan yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, tentunya dibutuhkan penyatuan tujuan serta arah kebijakan yang sama untuk memermudah jalannya kegiatan operasional. Dapat dikatakan bahwa akuntansi haruslah mampu menyatukan berbagai macam kepentingan dan tujuan untuk membentuk perusahaan yang berbasis kekeluargaan. Dalam lingkup yang lebih luas, akuntansi harus memersatukan berbagai macam kepentingan bangsa untuk membentuk akuntansi humanis, tidak hanya sekedar kepentingan bisnis semata. Persaudaraan berdasarkan sila ketiga Pancasila dapat diibaratkan sebagai sebuah keluarga yang utuh. Memang dalam suatu keluarga terdapat beberapa golongan, seperti orang tua, anak, bahkan juga kerabat lain atau pembantu sekalipun. Namun, meskipun terdapat berbagai macam golongan, mereka semua bersama-sama membangun suatu kesadaran tersendiri untuk hidup

262 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 254-271 bersama-sama dalam satu lingkungan. Satu golongan saja mengutamakan sifat egoisnya, maka dapat terjadi suatu perpecahan dalam keluarga tersebut. Bagaikan anak yang melawan orang tua atau suami dan istri yang saling bertengkar, keharmonisan dalam suatu keluarga akan sulit terwujud. Persaudaraan yang merupakan hakekat akuntansi berdasarkan sila ketiga Pancasila memiliki tujuan untuk merekatkan hubungan antar komponen perusahaan atau aktivitas ekonomi. Jika dalam konsep akuntansi modern terdapat hubungan yang memisahkan antara pemilik dengan karyawan serta investor dengan masyarakat, maka dalam sifat persaudaraan hubungan tersebut dihilangkan. Selain itu, menurut Mubyarto (1994:120) melalui semangat persaudaraan dalam Pancasila tidak ada istilah boss dan karyawan, sehingga hanya terdapat satu golongan saja dalam aktivitas perekonomian, yaitu golongan keluarga. Sifat persaudaraan dalam akuntansi juga menimbulkan rasa saling memiliki antar seluruh komponen perekonomian, baik dari segi lingkungan perusahaan maupun segi aktivitas perekonomian nasional. Pemilik tidak merasa bahwa hanya dirinyalah yang berhak atas laba yang telah dihasilkan, sebaliknya karyawan tidak lagi merasa bahwa mereka hanya menjadi alat bagi berjalannya kegiatan perusahaan. Dalam konteks yang lebih luas, investor dan masyarakat dapat dikategorikan sebagai pemilik dan keduanya harus mendapat prioritas yang sama dalam hal pemikiran akuntansi. Melalui semangat persaudaraan, maka dengan sendirinya kesejahteraan bangsa dan negara dalam bidang perekonomian dapat terwujud. Seperti yang diungkapkan oleh Gunadi (1981:93) bahwa perwujudan usaha yang berlandaskan kekeluargaan melahirkan rukun bangsa. Melalui rukun bangsa inilah kepentingan bersama menjadi prioritas dalam melakukan pembangunan. Hal ini berimbas pada adanya semangat bekerja sama antar perusahaan untuk membangun kesejahteraan bersama. Perusahaan tidak lagi memikirkan persaingan demi mengejar keuntungan semata, namun bersama-sama untuk menghidupi masyarakat. Melihat falsafah dari koperasi se bagai badan usaha, semangat persaudaraan merupakan hal yang tidak mustahil untuk diterapkan dalam konsep akuntansi. Melalui koperasi, masyarakat Indonesia belajar untuk semakin menahan rasa egoisme dalam dirinya (Hatta, 1987:6). Rasa egoisme tersebut kemudian diubah menjadi semangat persaudaraan melalui asas kekeluargaan yang menjadi landasan utama dalam koperasi di Indonesia. Jika falsafah koperasi ini terus dikembangkan dalam memba ngun konsep akuntansi, maka bukanlah hal yang tidak mungkin jika akuntansi dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang penuh dengan keberagaman. Akuntansi yang selama ini penuh dengan unsur individualitas, berubah dengan adanya falsafah koperasi sebagai manifestasi dari pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Penerapan semangat persaudaraan dalam akuntansi tentunya dibutuhkan suatu rasa kebanggaan terhadap perusahaan atau negara. Tanpa adanya rasa kebanggaan tersebut tidaklah mungkin timbul cinta dan kasih yang tulus untuk bersamasama mengembangkan suatu kesejahteraan bersama. Perusahaan dan karyawan harus memiliki kebanggaan turut beraktivitas dalam operasionalnya, demikian juga masyarakat harus memiliki kebanggaan terhadap bangsa dan negaranya demi terciptanya keinginan untuk membangun peradaban bangsa dengan hati yang tulus. Hal inilah yang harus dipikirkan dalam perumusan instrumen dan konsep akuntansi agar tercipta suatu kebanggaan terhadap perusahaan ataupun bangsa dan negara. Dengan demikian, definisi akuntansi berdasarkan sila Persatuan Indonesia adalah proses menciptakan persaudaraan dalam kaitannya dengan kegiatan aktivitas keuangan. Definisi akuntansi berdasarkan Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan Sila Keempat Pancasila menekankan bahwa rakyat harus menjadi tujuan utama. Demikian juga dengan akuntansi yang tidak boleh dibuat dengan tujuan mengistimewakan kelas tertentu. Akuntansi harus dibuat dengan berorientasikan kesejahteraan bersama. Hal ini juga memiliki hubungan terkait dengan dekonstruksi definisi akuntansi yang telah digambarkan oleh penulis berdasarkan sila ketiga. Sehingga dapat dikatakan bahwa mewujudkan akuntansi untuk rakyat merupakan suatu keharusan dalam pembuatan suatu standar. Akuntansi tidak bisa hanya dibuat demi tujuan kepentingan bisnis semata tanpa memedulikan nasib dan kepentingan rakyat sebagai salah satu unsur terbentuknya suatu

Sitorus, Membawa Pancasila Dalam Suatu Definisi Akuntansi 263 negara. Dengan pengertian lain, akuntansi tidak boleh hanya memfokuskan diri pada perusahaan besar semata, namun juga bekonsentrasi pada usaha kecil dan menengah yang sesuai dengan paradigma Pancasila (Ludigdo 2012). Mencermati pandangan Abdulgani (1964:67) yang menyatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan kebudayaan orientasi kedaulatan haruslah di tangan rakyat, demikian pula dengan akuntansi. Nilai kedaulatan rakyat merupakan harga mutlak yang harus dijunjung tinggi dalam konsep akuntansi. Sangat ironis sekali jika melihat kondisi akuntansi modern yang hanya mengakomodir kepentingan golongan tertentu dan melupakan kalangan lain yang justru merupakan bagian utama dari keberadaan akuntansi. Sebagai pelaku utama dari sebuah kegiatan usaha, seharusnya rakyat menjadi poros utama dalam pemikiran akuntansi, bukan kepada pemilik ataupun investor semata. Pemilik ataupun investor hanya memiliki pertanggungjawaban sebatas modal yang disetor, sementara rakyat menjadi penentu dari kemajuan berhasil atau tidaknya sebuah aktivitas ekonomi. Nyatanya, melihat akuntansi modern yang hanya dibuat dengan perspektif kalangan pemodal semata, maka hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam akuntansi saat ini. Akuntansi modern yang saat ini dibuat demi kepentingan segelintir golongan juga membuat adanya perpecahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Hal ini didukung oleh pendapat Abdulgani (1964:66-67) yang menyatakan bahwa dalam masyarakat yang masih berupa unsur feodal orang yang memegang kekuasaan adalah masyarakat kelas atas semata. Demikian pula dalam akuntansi modern saat ini yang penuh dengan konsep kapitalisme, maka sampai kapanpun kaum kelas atas menjadi prioritas utama sedangkan masyarakat menengah ke bawah akan menjadi termarjinalkan. Dalam jangka panjang jika hal ini tidak dirubah dengan prinsip berkedaulatan rakyat maka akan menimbulkan suatu perselihan yang oleh Karl Marx disebut sebagai perselisihan revisonisme (Suseno 2013:24), perselisihan antara masyarakat kelas bawah dengan kaum pemilik modal. Konsep kerakyatan yang diusung dalam sila keempat Pancasila menyertakan mus yawarah sebagai suatu bentuk kebersamaan. Berbeda dengan konsep akuntansi modern yang menggunakan pertimbangan angka (kuantitatif) sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, musyawarah merupakan jalan utama yang harus ditempuh, baik dalam hal pengambilan keputusan ekonomi perusahaan maupun dalam hal pembuatan standar akuntansi. Masing-masing pihak yang memiliki keterkaitan dalam akuntansi, baik secara langsung maupun tidak langsung tentunya harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Perwujudan akuntansi untuk rakyat tidak dapat dimaknai secara harafiah se bagai bentuk memberikan kebebasan seluasluasnya bagi individu untuk mengekspresikan bentuk akuntansi dengan menonjolkan kepentingannya masing-masing. Menurut Parikesit (2012:94-95) memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk kepentingan individu tertentu dalam akuntansi akan mengakibatkan timbulnya suatu moral hazard, seperti tax planning atau perekayasaan laba (earning management). Oleh karena itu, dengan memberikan kebebasan seluasluasnya bagi individu dalam mengekspresikan bentuk akuntansi justru menunjukkan bahwa rakyat semakin tidak terpinggirkan. Sebaliknya, dengan memaknai sila keempat Pancasila serta ketiga sila lain yang saling memiliki keterkaitan, kepentingan individual sangat ditekan demi mewujudkan suatu konsep akuntansi yang berbasis kepada kesepakatan bersama. Tidaklah mungkin nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, serta kerakyatan dapat terwujud dalam akuntansi karena sesungguhnya nilai-nilai tersebut sangat kontras dengan kebebasan individual yang menjadi konsep utama dalam akuntansi modern. Adapun sebagai sarana dalam pengambilan keputusan, bangsa Indonesia sejatinya telah memiliki cara tersendiri. Bangsa Indonesia menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat sebagai sarana untuk mengambil keputusan yang dapat diterima oleh semua kalangan. Musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan suatu tradisi yang dibawa oleh masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu (Tan Malaka seperti yang dikutip dalam Latif 2012:387). Konsep musyawarah untuk mencapai mufakat sendiri sejatinya merupakan bentuk kebebasan yang berlandaskan kepada semangat kerakyatan. Berbeda dengan konsep kebebasan seluas-luasnya bagi kepentingan individual, dalam musyawarah kebebasan yang diberikan adalah demi kepentingan bersama. Proses musyawarah untuk

264 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 254-271 mencapai mufakat dapat menghilangkan sifat egoisme yang melekat dalam diri akuntansi. Pengambilan keputusan yang berpatokan pada angka semata berubah menjadi suatu bentuk pengambilan keputusan yang mengutamakan kebersamaan. Semua pihak yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan akuntansi, baik dalam hal jalannya kegiatan perekonomian suatu perusahaan maupun proses pembuatan suatu standar akuntansi menahan egonya masing-masing untuk bersama-sama membangun suatu kerangka baru yang digunakan untuk tujuan kesejahteraan bersama. Tanpa adanya rasa menahan kepentingan diri tersebut, tidaklah mungkin suatu keputusan yang berdasarkan kepada nilai-nilai bersama dapat terwujud. Akhirnya, dengan menempatkan rakyat sebagai pilihan utama dalam akuntansi, secara langsung atau tidak perusahaan maupun badan pembuat standar telah menerapkan seluruh komponen ekonomi dalam pembangunan yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama yang dimaksud adalah mensejahterakan rakyat dari berbagai golongan kelas dengan melibatkan seluruh unsur tersebut dalam suatu paradigma pembangunan bersama. Kesejahteraan suatu bangsa tidak dapat dilihat dari bertambahnya jumlah masyarakat kelas atas, namun juga dilihat dari adanya pemerataan distribusi keuntungan dari aktivitas perekonomian. Di sinilah akuntansi dituntut untuk tidak sekedar mensejahterakan golongan tertentu semata, namun juga memfokuskan diri bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, mengacu pada praktek akuntansi berbasis kerakyatan yang telah dipraktekkan oleh kerajan berbasis agama di Indonesia sebelumnya, dapat dikatakan bahwa kejayaan suatu bangsa ditentukan dari seberapa besar rakyat diutamakan dalam perekonomian, khususnya dalam kaitannya dengan akuntansi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi akuntansi berdasarkan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah proses mengangkat derajat rakyat dalam segi aktivitas keuangan. Definisi akuntansi berdasarkan Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia Akuntansi berkeadilan dapat dipandang sebagai sebuah keseimbangan hubungan aktivitas keuangan antara manusia dengan Tuhan dan sesama. Demikian pula halnya dengan akuntansi, yang juga harus mencakup nilai Ketuhanan dan kemanusiaan. Terlebih pada penjelasan definisi berdasarkan sila pertama dan kedua, terdapat nilai Ketuhanan dan kemanusiaan yang sama-sama harus diwujudkan dalam sistem akuntansi. Adapun mewujudkan akuntansi yang berkeadilan bagi Tuhan dan sesama merupakan sebuah keharusan demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera. Akuntansi tidak bisa hanya memokuskan diri kepada manusia atau Tuhan semata. Sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia, manusia haruslah memiliki rasa saling menghormati satu sama lain. Demikian pula dengan mengacu pola pemikiran yang sama, sudah sepantasnya manusia menghormati Tuhan sebagai Sang Pemberi Hidup. Hal inilah yang harus menjadi cerminan dalam membangun paradigma akuntansi yang menjunjung tinggi nilai humanitas, sebab dalam konsep akuntansi modern manusia dapat diibaratkan sebagai sebuah binatang ekonomi (Triyuwono 2006b) yang selalu berorientasikan kepada keuntungan semata. Akuntansi yang menyeimbangkan hubungan manusia kepada Tuhan dan sesama pada dasarnya merupakan dua sisi mata yang saling mendukung satu sama lain. Melalui pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan dalam aktivitas keuangan, manusia diajarkan untuk selalu bersyukur atas berkat yang diberikan olehnya. Demikian pula sebaliknya melalui pertanggungjawaban kepada sesama, manusia tidak hanya diajarkan untuk mengutamakan kepentingan dirinya semata, namun juga bertanggungjawab terhadap kepentingan bersama. Mengacu pula pada dekonstruksi definisi akuntansi pada keempat sila sebelumnya, tidaklah mungkin nilai-nilai yang termanifestasi tersebut dapat terlaksana satu sama lain jika manusia masih mengutamakan salah satu nilai. Tidaklah mungkin sila kedua hingga keempat dapat terwujud jika manusia melupakan nilai Ketuhanan yang menjadi dasar bagi terbentuknya sila-sila lainnya. Sebaliknya, merupakan sebuah kemustahilan bagi manusia untuk dapat membangun konsep akuntansi yang berdasarkan pada sila pertama jika manusia tidak mengutamakan kepentingan bersama yang justru merupakan bagian dari ajaran agama. Akuntansi berkeadilan juga dapat dipandang sebagai suatu keseimbangan antara unsur materi dengan unsur holistik.

Sitorus, Membawa Pancasila Dalam Suatu Definisi Akuntansi 265 Akuntansi modern yang saat ini sangat penuh dengan unsur materi sangat perlu diseimbangkan dengan unsur holistik untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dengan kebutuhan batiniah dalam diri manusia. Dapat dikatakan bahwa konsep materi (berupa uang dan satuan terkukur lainnya) yang dijadikan haluan utama dalam pengukuran akuntansi harus diimbangkan dengan konsep holistik yang tidak dapat diukur dengan pendekatan kuantitatif semata (Subyantoro dan Triyuwono 2004:203). Mencermati pandangan sila kelima sebagai bentuk keadilan sosial, sangatlah ironis apabila bentuk akuntansi hanya mengakomodasi unsur-unsur materi semata. Keadilan sosial yang dimaksud dalam Pancasila tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan fisik semata, namun juga melihat kebutuhan non materi yang menjadikan manusia hidup dalam kerangka holistik. Terlebih pada pembahasan sebelumnya akuntansi yang berkeadilan tidak hanya diibaratkan sebagai keseimbangan antara manusia dengan dirinya sendiri, namun juga menyangkut unsur hubungan manusia kepada Tuhan dan sesama yang di dalamnya terkandung unsur-unsur holistik agar tercipta hubungan keseimbangan tersebut. Oleh karena itu, jika melihat konsep akuntansi modern yang penuh dengan pengukuran materi, dapat disimpulkan bahwa unsur keadilan masih belum terpenuhi. Konsep akuntansi modern yang penuh dengan unsur materi perlu diseimbangkan dengan unsur holistik untuk menghindari pembentukan karakter manusia yang kapitalistik. Dengan konsep materi tersebut, manusia perlahan-lahan menjadi suatu pribadi yang hanya mengutamakan kebutuhan jasmani semata. Seperti yang diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, akuntansi yang mengutamakan unsur-unsur jasmani pada akhirnya hanya membentuk pribadi manusia menjadi EGOMAU (Triyuwono 2006), yang sangat jauh dari nilai-nilai humanis. Hal ini tentu saja menjadi suatu kontradiksi dengan budaya Indonesia yang sangat menghindari sifat EGOMAU dalam diri manusia. Keseimbangan konsep akuntansi dengan unsur holistik juga memberikan perhatian bagi manusia untuk selalu memokuskan diri untuk selalu memberi daripada menerima keuntungan hasil aktivitas ekonomi. Dengan mengaplikasikan prinsip bersyukur dan keikhlasan pada akuntansi, maka pada dasarnya manusia diajarkan untuk saling berbagai kepada sesama daripada hanya sekedar menerima keuntungan. Hal ini dalam panjang akan membuat para pelaku akuntansi untuk tidak sekedar melihat keuntungan materi yang diraih oleh perusahaan, namun juga mempertimbangkan berapa besar kontribusi perusahaan kepada masyarakat dalam kaitannya dengan suatu aktivitas perekonomian. Akuntansi berkeadilan dalam perspektif lain juga dapat dipahami sebagai sarana untuk mempersatukan masyarakat. Tidak seperti akuntansi modern yang penuh dengan unsur individualitas para pelaku ekonomi, paradigma akuntansi juga menekankan adanya semangat persaudaraan antar golongan masyarakat dalam roh akuntansi. Melalui akuntansi berkeadilan, masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar mengenal akuntansi sebagai pendistribusian keuntungan semata, namun juga melihat bahwa melalui prinsip berkeadilan tersebut persaudaraan antar komponen masyarakat dapat terpelihara. Hal ini juga sejalan dengan semangat gotong royong yang menjadi landasan dalam membangun akuntansi berdasarkan pada sila Persatuan Indonesia. Dengan demikian, dalam mendesain akuntansi berbasis kepada nilai keadilan, faktor persaudaraan merupakan hal terpenting yang juga harus dipertimbangkan. Akuntansi berkeadilan pada hakekatnya merupakan perwujudan utama dalam sistem ekonomi Pancasila. Disadari atau tidak, dengan menerapkan sudut pandang berkeadilan dalam paradigma akuntansi, maka secara langsung ataupun tidak langsung kita diarahkan untuk berorientasi kepada pemerataan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari fungsi keadilan sebagai suatu sarana untuk menjaga stabilitas kehidupan perekonomian masyarakat (Gunadi 1981:142). Sedangkan Latif (2012:597-598) berpendapat bahwa orinetasi ekonomi yang berpatokan kepada semangat keadilan sosial merupakan visi dan misi bagi kesejahteraan Indonesia. Adapun Swasono (2013) menekankan sila keadilan sosial sebagai suatu tuntutan rakyat untuk membangun suatu perekonomian berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu Bertens (2000:107) juga berpendapat bahwa unsur keadilan menjadi sorotan dalam sistem ekonomi karena menyangkut tentang menjalin relasi-relasi ekonomi.

266 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 254-271 Melihat pembangunan ekonomi global dewasa ini, sangat sulit sekali menemukan pemikiran akuntansi yang berkeadilan dalam kehidupan masyarakat. Terlebih pada era dasawarsa terakhir ini, pemerintah Indonesia membuka keran seluas-luasnya bagi perdagangan bebas untuk meningkatkan pendapatan domestik bruto. Standar akuntansi juga mengalami dampak dalam regulasi ini, di mana tejadi penyesuaian dengan organisasi akuntansi internasional dan semakin membuka diri bagi para investor. Swasono (2013) menyebutkan bahwa pemahaman ekonomi di Indonesia saat ini telah terjerumus dalam pemikiran barat, yang berorientasi pada pasar, dengan membanggakan pencapaian pendapatan domestik bruto yang tinggi, namun melupakan kehidupan kemanusiaan masyarakat. Hal ini tentu bertentangan dengan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 di mana pengertian ayat ini menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama, tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri atas kehendak pasar (Swasono 2013) dan berimplikasi terhadap terjadinya marginalitas sosial dalam lingkungan masyarakat. Adapun dalam merumuskan konsep akuntansi berkeadilan untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat, perlu diadakan suatu musyawarah untuk mengakomodasi kepentingan semua golongan masyarakat. Semua kalangan pelaku ekonomi, baik dari kalangan kelas atas ataupun kelas menengah ke bawah harus duduk bersamasama memikirkan bagaimana konsep akuntansi yang dapat mengakomodasi kepentingan seluruh unsur masyarakat. Penggunaan musyawarah sebagai dasar pembentukan paradigma akuntansi menjadi sangat penting mengingat keberagaman masyarakat Indonesia yang tentu sja menimbulkan banyak segi pemikiran. Perumusan paradigma akuntansi tidak dapat hanya menggunakan dasar suara terbanyak ataupun pemaksaan atas suatu konsep karena hal ini menandakan tidak adanya rasa hormat dan saling mengakomodasi antar golongan masyarakat. Jika konsep akuntansi berkeadilan ini dapat terselenggarkan dalam kehidupan bangsa, maka pada masa depan nanti kesejahteraan bersama bukanlah hal yang mustahil untuk dapat terwujud. Indonesia tidak lagi bergantung kepada negara asing sebagai investor namun menjadikan mereka sebagai rekan dalam membangun suatu perekonomian yang lebih baik. Memang di satu sisi, suatu negara tidak mungkin menjalankan suatu aktivitas perekonomiannya jika ia mengisolasi diri dari negara lain. Namun, di sisi lain jangan sampai hak yang harus diterima oleh masyarakat tergadaikan oleh banyaknya jumlah uang yang diberikan oleh investor asing. Sampai kapanpun rakyat adalah terutama dari terbentuknya suatu negara, sehingga apabila akuntansi tidak memihak kepada rakyat dapat dikatakan jiwa dari negara tergadaikan semi unsur materi semata. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi akuntansi berdasarkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah proses menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani manusia dalam hal aktivitas keuangan untuk membangun perekonomian berkerakyatan. Definisi akuntansi berdasarkan perspektif Pancasila Setelah melakukan dekonstruksi definisi akuntansi terhadap masingmasing sila, maka penulis dapat menyimpulkan masing-masing definisi dalam tabel berikut ini: Tabel 1 Definisi Akuntansi Berdasarkan Masing-Masing Sila Pancasila Sila I II III IV V Dekonstruksi Definisi Akuntansi Proses mempertanggungjawabkan aktivitas keuangan kepada Tuhan Proses memanusiakan manusia melalui suatu aktivitas keuangan Proses menciptakan persaudaraan dalam kaitannya dengan kegiatan aktivitas keuangan Proses mengangkat derajat rakyat dalam segi aktivitas keuangan Proses menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani manusia dalam hal aktivitas keuangan untuk membangun perekonomian berkerakyatan