Banda Aceh, 24-7-2015 | Humas Aceh Dalam rangka menyikapi perkembangan yang terjadi terkait dengan insiden pembakaran Rumah Ibadah di Tolikara, Papua, pria yang akrab disapa Doto Zaini tersebut menyampaikan empat langkah yang harus diambil guna mengantisipasi kemungkinan munculnya kejadian serupa di Aceh. Berikut ini adalah empat langkah antisipatif yang disampaikan oleh Gubewrnur Aceh dalam kegiatan Silaturrahmi tersebut:
Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Aceh, dr H Zaini Abdullah, pada kegiatan Silaturrahmi pangdam Iskandar Muda dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, yang digelar di Balai Teuku Umar, Markas Kodam Iskandar Muda, (Kamis, 23/7/2015). Kegiatan yang digagas oleh Kodam Iskandar Muda dan Pemerintah Aceh melalui Badan Kesbangpolinmas Aceh ini turut dihadiri oleh Paduka Yang Mulia Wali nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar, Kapolda Aceh, Irjen Pol Drs Husein Hamidi, Wakil Ketua DPRA, Dalimi, SE, perwakilan Kajati Aceh. Beberapa tokoh Aceh juga terlihat hadir, diantaranya Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Aceh, Prof Hasbi Aminuddin, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Prof Yusni Sabi, Buya Imam Syuja’I, serta beberapa tokoh Aceh lainnya. Sementara itu dari para anggota Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) juga terlihat hadir, diantaranya, Ketua FKUB Aceh, Zainuddin Ahmad, Pemuka Agama Budha, Yuswar, Pemuka Agama Protestan, Pdt, Drh Idaman Sembiring, Pemuka Agama Katholik, Pastor Hermanus, Pemuka Agama Hindu, Paini. Beberapa ormas dan organisasi kepemudaan juga terlihat hadir pada acara tersebut, diantaranya KNPI, BKPRMI, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Pancasila, dan beberapa organisasi lainnya.
Agama dan Perubahan Sosial Seperti diketahui, persoalan agama merupakan hal yang sensitif, karena menyangkut hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Agama menyangkut kesadaran religius, yang tersembunyi dalam setiap individu. Jadi keimanan beragama merupakan suatu hal yang tidak dapat dipaksakan. Setiap usaha memaksa, dengan cara mewajibkan atau melarang agama tertentu merupakan pelanggaran serius terhadap hak pribadi (Siagian, 1987). Oleh karena itu penghinaan atau penghujatan terhadap suatu agama tertentu menjadi persoalan serius yang sulit untuk diatasi, apalagi hanya memandang dari perspektif hokum positif. Berdasarkan sejarah masa lalu sebenarnya, menurut Parsen (dalam Koentjaraningrat, 1982) Indonesia merupakan tempat pertemuan agama-agama di dunia. Keaneka-ragaman agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan tidak menimbulkan permasalahan atau pertentangan, namun justru menunjukkan adanya saling toleransi, kerjasama dan saling menghormati. Lebih lanjut Parsen (Adisubroto, 1993/1994) menjelaskan pula bahwa hanya Indonesia yang mempunyai rasa keagamaan monoteisme yang demikian menyatu secara alamiah dengan masyarakatnya. Hal itu tercermin dalam cara hidup di desa-desa yang tidak lepas dari dasar-dasar religius, seperti misalnya adanya berbagai bentuk selamatan. Ada beberapa tempat yang masih menghormati hewan yang disakralkan oleh agama tertentu. Jadi pada dasarnya umat beragama yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai dasar untuk mampu hidup rukun dan berdampingan bersama. Namun demikian searah dengan perubahan yang terjadi di masyarakat menyebabkan perubahan pula dalam hubungan kehidupan keagamaan, antara lain ada banyak kasus kerusuhan besar yang disulut oleh faktor perbedaan agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan yang mendorong terjadinya perubahan sosial yang mendasar dan bermacam-macam. Perubahan tersebut searah dengan semakin majunya masyarakat menuju era modernisasi dan globalisasi dalam segenap bidang kehidupan. Modernisasi dalam masyarakat adalah suatu proses transformasi; suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya (Schoorl, 1991). Perubahan-perubahan tersebut antara lain meliputi : 1. Bidang politik; dari sistem-sistem yang menganut kekuasaan kepala adat / desa yang sederhana digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, perwakilan, dan birokrasi. Selain itu persoalan keagamaan "dilarikan" menjadi persoalan politik, karena dukungan politik sangat diperlukan untuk membesarkan suatu kelompok / sekte agama tertentu. Akhirnya persoalan agama menjadi kendaraan politik bagi pemimpinnya.2. Bidang teknologi; masyarakat yang sedang berkembang mengalami perubahan dari penggunaan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional ke arah penggunaan teknologi hasil pengetahuan ilmiah. Perangkat tehnologi komunikasi yang semakin canggih akan mengurangi sensitivitas dan keterdekatan secara social antara satu individu dengan individu lainnya. Akhirnya akan mempermudah pada keberpihakan pada kepentingan individual daripada menuntaskan kepentingan bersama.3. Bidang pendidikan ; masyarakat sekarang berusaha keras meningkatkan kemampuan baca tulis dan mengurangi buta huruf untuk menambah pengetahuan dalam berbagai hal/bidang kegiatan. Namun demikian berpengaruh pula dalam penafsiran akan Firman Allah yang mulai menggunakan rasio (logika). Hal inipun menjadi bibit persoalan internal kelompok beragama maupun antara umat berlainan agama. Padahal kemampuan akal dalam melakukan interpretasi terhadap sebuah teks selalu banyak mengalami kelemahan (Jamuin, 1999), apalagi menyalahi ketentuan Agama (Mudzakarah dalam Almuslimun, 1998). 4. Bidang sosial ; adanya mobilitas geografis dan sosial cenderung merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah ada. Anggota masyarakat yang sebelumnya mempunyai sikap kebersamaan dan keterikatan yang tinggi pada desa/adat istiadatnya serta kepatuhan pada tetua adat atau sesepuh, sekarang sikap tersebut menjadi semakin berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Selain penyelesaian persoalan yang bisa dilakukan secara adat/ budaya berubah menjadi penyelesaian secara hukum. Padahal sebagaimana diketahui penyelesaian hukum tidak akan efektif karena akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan berbelit-belit. Masih banyak lagi perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya pengaruh sosial dari kekuatan sosial yang bermacam-macam bentuknya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses modernisasi dan globalisasi ini lambat laun tentu akan terjadi pada setiap bangsa / masyarakat di dunia ini. Pada penelitian Chen (dalam Brouwer,1989) tentang proses modernisasi di Singapura menemukan bahwa banyak terjadi perubahan-perubahan akibat adanya modernisasi di segala bidang kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan relasi paternalistis dalam perusahaan, relasi antara anak dan orang tua yang semakin mengendor, gotong royong dan hidup bersama menjadi berkurang serta relasi persaudaraan yang longgar. Kemajuan teknologi dari negara-negara Barat mau tidak mau akan terus merambah deras ke negara-negara lain di dunia ini, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Masyarakat dunia akan menganggap bahwa modernisasi sangat diperlukan untuk memajukan kehidupan. Hal ini karena modernisasi di segala bidang kehidupan dianggap mempunyai pengaruh positif. Masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pekerjaannya (Matulessy, 1992). Namun demikian seperti dua sisi mata uang, dampak negatif dari adanya perubahan sosial menyertai hubungan sosial atau keberagamaan. Faktor Penyebab Pertentangan Antar Umat Beragama Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan/ pertentangan antar umat beragama, antara lain: 1. Adanya prasangka sosial 2.Fanatisme yang berlebihan dan keliru dalam kehidupan beragama 3.Kurangnya komunikasi 4. Pencampur adukan kepentingan agama dengan kepentingan social, politik, ekonomi a. Hubungan pertentangan, agama menantang penguasa dan negara yang dianggap sebagai golongan yang jahat. Dalam hal ini agama tidak mau tahu tentang persoalan politik, tujuannya hanyalah mengatur keselamatan penganutnya.b. Hubungan kebersamaan, agama dianggap identik dengan pejabat tinggi/ politik atau penguasa politikc. Hubungan dominasi, antara tokoh agama dan politik saling menguasai secara politik.d. Hubungan pemisahan, agama lepas sama sekali dari negara dan tidak mau campur tangan dalam masalah pemerintahan. e. Hubungan dialogis, agama berusaha mempengaruhi negara tanpa menguasainya dan negara mengharapkan dukungan dari agama. Biasanya di Indonesia terjadi situasi seperti ini ada kesan "malu-malu" dari tokoh agama untuk masuk ke panggung politik, begitu juga para penguasa pemerintahan sulit bergerak bila tidak mendapatkan dukungan dari tokoh agama, namun tidak ingin mereka terlalu berkuasa di pemerintahan. 5. Kurangnya wawasan akan ilmu keagamaan 6.Terakumulasinya permasalahan sosial ekonomi, seperti kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan tidak stabilnya harga kebutuhan pokok, yang tidak terselesaikan dapat pula menjadi pemicu dasar kerusuhan, apalagi bila dikaitkan dengan persoalan agama. Agama bisa menjadi precipitating factor / event yang ampuh dalam memunculkan kerusuhan. Apalagi ada provokator yang mampu me"manage" isu sehingga mudah membakar massa yang sudah frustasi dengan seabreg ketidakpuasan. Menggalang Toleransi sebagai Solusi Efektif dalam Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama 1. Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana diketahui ketidakpuasan (subjective dissatisfaction) menjadi faktor utama munculnya gerakan sosial (Matulessy, 1997). Selama masih banyak persoalan tentang ketidakadilan, pengangguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau dijadikan dasar munculnya konflik antar umat beragama.2. Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada pemicu kerusuhan. Selama ini ada kesan pelaku kerusuhan tidak pernah mendapatkan law enforcement yang sepadan, karena adanya kendala bukti dan saksi dalam kegiatan massa sulit didapatkan serta dukungan dari tokoh agama dan anggota kelompok agamanya membuat polisi sulit untuk memberikan punishment kepada mereka.3. Meningkatkan komunikasi di antara umat beragama untuk mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan. Komunikasi ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan untuk membangun kesadaran sebagai bagian dari masyarakat plural; kegiatan bersama untuk membangun rasa percaya di antara umat beragama, serta refleksi & renungan keagamaan untuk mensikapi perbedaan visi keagamaan.4. Kesadaran dari para pemuka agama untuk tidak menjadikan agama sebagai alat politik Hal ini memang tidak mudah, karena politik berarti kekuasaan, dan agama merupakan kendaraan politik yang paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal sebagian besar pemeluk agama tergolong pada masyarakat level bawah, yang mengedepankan emosi pada para pemimpin agamanya (politik), ditambah dengan kekurangmampuan mengulas konflik dengan lebih bijaksana dalam tataran wacana, sehingga mudah sekali digiring pada aksi brutal untuk mempertahankan agamanya (pemimpin). Oleh karena itu pemimpin keagamaan diharapkan mengurangi perannya dalam politik atau tidak memunculkan pendapat yang sudah dirasuki oleh kepentingan politik. Selain itu menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme yang keliru. Dari berbagai model solusi di atas, sebenarnya penyelesaian yang terfokus pada peningkatan kesadaran kelompok keagamaan merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan konflik antar agama. Pembinaan pada pemeluk agama diarahkan pada peningkatan kualitas akan nilai-nilai kebenaran dan menumbuhkan sikap toleransi adalah sesuatu yang paling efektif daripada mengkonsentrasikan pada penambahan jumlah pengikutnya. Namun demikian pada kehidupan social yang semakin penuh dengan kompetisi, maka penghayatan akan toleransi masih merupakan wacana yang sulit untuk diimplementasikan pada tingkatan realitas. Sekali lagi orang masih melakukan proses heuristics atau mental short-cut dalam mempersepsikan segala hal yang terkait dengan orang lain. Ada prototype di dalam struktur kognitif seseorang yang dibangun dari sebuah proses interaksi dan internalisasi dengan lingkungan sosialnya, dalam arti kultur, agama, etnis atau lingkungan keluarga. Prototype tsb tidak selalu benar, banyak distorsi kognitif yang menyulitkan munculnya toleransi pada orang lain. Selain itu egoisme pribadi yang menetapkan diri pribadi atau kelompoknya menjadi tolok ukur dalam menilai orang lain pun akan meyulitkan seseorang untuk bertoleransi dengan orang atau kelompok lain. Di dalam kehidupan bermasyarakat ada kecenderungan orang masih berfikir “senang melihat orang lain sakit, atau sakit hati bila melihat orang lain senang”. Padahal toleransi harus didasari oleh kebutuhan kita untuk share/ saling berbagi persoalan dengan yang lain tanpa saling menghalangi; mampu berempati atau mampu merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain, kemampuan empati seperti ini memang tidak mudah untuk dilakukan selama tidak ada keterbukaan hati dan pikiran kita akan keberadaan orang lain; simpati pada apa yang dilakukan orang lain, selalu melihat bahwa apa yang dilakukan orang lainpun patut kita hargai; menghormati pendapat, pandangan, keyakinan, customs, perilaku, agama, suku dan segala atribut orang atau kelompok lain, kondisi seperti ini bisa tercapai apabila kita terbiasa untuk berkomunikasi dengan berbagai typical orang yang berbeda, fanatisme menggumpal karena jarang ada interaksi dan komunikasi dengan orang atau kelompok lain; tidak selalu menilai orang lain berdasarkan subjektifitas dirinya, bahaya menggunakan subjetivitas adalah semakin menyulitkan kita untuk menerima kehadiran dan perubahan yang terjadi pada orang lain, karena setiap orang mau tidak mau akan selalu berubah, sehingga pandangan kitapun harus berubah, selain itu objektivitas muncul apabila kita mampu berinteraksi; mengedepankan consensus daripada konflik dengan individu lain, selama ini penyelesaian dengan berkonflik dianggap lebih sesuai dalam mencapai tujuan diri dan kelompok, padahal sekali konflik muncul akan semakin sulit kita mengendalikan untuk tidak berkonflik atau akan muncul jenis konlik lain yang semakin parah; menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang segala persoalan yang terjadi pada orang lain, memahami orang lain tidaklah mudah, karena harus didasari oleh kebersihan nurani untuk melihat segala persoalan dengan lebih hati-hati dan jernih; tidak ada keinginan untuk mengalahkan orang lain, dalam arti tidak selalu melihat kelompok lain sebagai musuh namun lebih menekankan pada kemenangan semua pihak, karena semua pihak adalah mitra dalam kehidupan sehari-hari; serta menetapkan bahwa kerjasama adalah modal social yang paling utama dalam membangun interaksi bersama. Tanpa adanya toleransi antar kelompok agama, maka jangan harap segala capaian atau keinginan akan perubahan pada masa depan negara ini akan tercapai. |