Apa yang dimaksud pembagian waris dengan cara Aul dan Radd?

Oleh: M. Badrut Tamam

Fiqh Mawaris, PPS S2 IAIN Walisongo, Semarang, 2008

Para ahli ilmu faraidh mendefinisikan ilmu faraidh sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan harta peninggalan (harta warisan), cara menghitung pembagiannya dan bagian masing-masing ahli warisnya.[1] Tata aturan pembagian warisan adalah manifestasi dari adanya pengakuan hak milik perorangan, baik terhadap harta bergerak, maupun terhadap harta yang tidak bergerak, dan suatu manifestasi pula bahwa harta seseorang setelah mati, berpindah kepada ahli warisnya dan harus dibagi secara adil, baik lelaki maupun perempuan, baik anak-anak maupun dewasa apabila telah terpenuhi syarat-syarat menerima warisan.[2]

Penerima warisan memiliki beberapa kategori yang didasarkan pada aturan-aturan dan tata urutan yang telah ditentukan. Apabila dalam suatu kasus pembagian warian, ahli warisnya hanya terdiri dari ashab al-furudh saja. Menurut Prof. Ahmad Rofiq,[3] ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu:

  1. Terjadi kekurangan harta, yaitu apabila ahli waris banyak dalam furudh al-muqaddarah dilaksanakan apa adanya. Oleh karena itu, cara penyelesaiannya adalah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dikurangi secara proporsional menurut besar kecilnya bagian yang mereka terima. Ini disebut dengan Aul.
  2. Terjadi kelebhan harta, karena ahli waris ashab al-furudh hanya sedikit. Dalam kasus ini, sebagian pendapat mengatakan bahwa kelebihan harta warisan itu dikembalikan kepada ahli waris. Pendapat lain mengehendaki agar sisa harta yang ada diserahkan kepada baitul mal. Pendapat yang lain lagi engatakan agar sisa harta dikembaikan kepada ahli waris, tetapi khusus shli waris selain suami atau isteri, yakni ahli waris nasabiyah yang memiliki hubungan darah dengan si mati. Pengembalian harta tersebut dinaakan dengan radd.
  3. Bagian yang diterima ahli waris tepat persis dengan harta warisan yang dibagi. Jika terjadi pembagian warisan seperti ini disebut dengan masalah adilah. Yang terakhir ini tidak menimbulkan persoalan.

Tulisan ini hanya memfokuskan pembahasan pada permasalahan aul.

Secara harfiyah, aul artinya bertambah atau meningkat. Kata aul ini terkadang juga berarti, ‘cenderung pada berbuat aniaya (zalim).[4]

Dalam pengertian istilah fiqh, aul adalah jumlah bagian ahli waris yang berhak mendapat warisan lebih banyak dari pada harta peninggalan.[5]

Dikatakan aul, karena dalam praktek pembagian warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli warisan yang ada. Langkah ini diambil, karena apabila pembagian warisan diselesaikan menurut ketentuan baku secara semestinya, maka akan terjadi kekurangan harta.[6] Adanya kelebihan jumlah bagian para ahli waris dari jumlah harta yang tersedia (asal masalah) akan mengakibatkan ahli waris menerima warisan lebih kecil dari yang seharusnya.[7]

  1. Sebab Timbulnya Konsep Aul

Masalah aul adalah masalah ijtihadiyah, karena tidak ditemukan ayat al-Qur’an atau hadits yang menerangkannya. Masalah ini muncul pertama kali pada masa Umar bin Khatab. Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang siapa yang mempelopori siapa yang pembagian harta warisan dengan cara aul ini. Sebagian di antara ahli fiqh berpendapat bahwa orang pertama yang menggunakan cara ini adalah Umar bin Khatab. Sebagian lagi berpendapat Zaid bin Tsabit, dan sebagian lainnya adalah Abdullah bin Abbas.[8]

Sebagaimana disebutkan, masalah aul belum muncul pada masa Nabi Saw. Boleh jadi, karena secara kebetulan belum atau tidak ada kasus yang menuntut penyelesaian dengan cara aul ni. Berkaitan tenang timbulnya aul pada masa Umar bin Khatab, adalah ketika sahabat Umar bin Khatab ditanya oleh seseorang tentang penyelesaian pembagian warisan di mana ahli warisnya terdiri dari suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Suami menerima ½ karena tidak ada anak, dan 2 saudara perempuan sekandung menerima 2/3. Jika asal masalahnya 6, maka suami menerima bagian 1/2 , berarti ½ x 6 = 3, dan 2 saudara perempuan sekandung 2/3, berarti 2/3 x 6 = 4. Jadi jumlah seluruhnya 7. Artinya kelebihan 1.

Menghadapi pertanyaan tersebut, Umar bimbang. Beliau tidak mengetahui siapa di antara mereka yang harus didahulukan. Sebab sekiranya beliau telah mengetahuinya, beliau tentu tidak akan menemui kebimbangan. Kemudian disampaikanlah masalah ini kepada Zaid bin Tsabit dan Abbas bin Abdul Mutallib seraya beliau berkata, “Sekiranya aku mulai dengan memberikan bagian kepada suami, maka bagian 2 saudara perempuan sekandung tentu tidak sempurna bagiannya, atau sekiranya aku mulai memberikan baian kepada 2 saudara perempuan sekandung, tentu suami tidak sempurna bagiannya.”

Atas pendapat Abbas bin Abdul Mutallib tersebut dan disaksikan oleh Zaid bin Tsabit, beliau menyelsaikan kasus di atas dengan cara aul, yaitu menaikkan angka asal masalah sebesar angka jumlah bagian yang diterima ahli waris semula.

Dalam kasus sebagaimana diselesaikan oleh Umar bin Khatab tersebut, maka dapat dilihat penyelesaian pembagian warisannya sebagai berikut:[9]

Ahli Waris                   bag AM 6        Diaulkan 7      Penerimaan

Suami ½                     3                      3/6                   3/7

2 sdr. Pr. Skd. 2/3      4                      4/6                   5/7

7                      7/6                   7/7

  1. Seputar Perselisihan Tentang Aul

Maslaah aul yang timbul berdasarkan hasil ijtihad ini bukan tanpa kritik. Di antara sahabat sendiri ada yang menentangnya, yakni Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menentang menentang pendapat ayahnya sendiri, Abbas bin Abdul Mutallib. Sayangnya, meskipun ia menentang pendapat ayahnya sendiri, ia tidak berani mengemukakannya kepada Umar bin Khatab. Baru setelah Umar wafat, ia mengeluarkan fatwanya. Ia mengatakan, “Demi Allah, andaikata didahulukan orang yang oleh-Nya didahulukan, atau diakhirkan orang yang oleh Allah diakhirkan, maka tidak ada masalah aul dalam pembagian warisan sama sekali.”

Setelah mendengar fatwa Ibnu Abbas, seseorang mengajukan pertanyaan, “Siapakah orang yang didahulukan oleh Allah?” Beliau menjawab, “Orang yang didahulukan dari bagian yang satu ke bagian yang lain oleh Allah, seperti suami isteri atau ibu. Mereka itulah yang didahulukan oleh Allah. Orang yang dipindahkan dari bagian tertentu kepada bagian bukan yang ditentukan –seperti anak dan saudara perempuan- itulah yang diakhirkan.”

Ketika Ibnu Abbas didesak dengan pertanyaan, “Bagaimana jika terjadi masalah aul?” beliau menjawab, “Kugabungkan yang bahaya-bahaya kepada yang lebih jelek keadaannya, yaitu anak-anak perempuan dan saudara perempuan.” Atas dasar penjelasan Ibnu Abbas di atas, laki-laki penanya berkomentar: “Fatwamu itu tidak berfaidah bagimu sedikitpun, sebab andaikata kamu meninggal, sungguh harta peninggalanmu dibagi oleh ahli warismu tanpa mengindahkan fatwamu itu.”

Mendengar bantahan ini, Ibnu Abbas marah sekali seraya mengatakan: “Katakan kepada mereka yang berpendapat adanya aul, sampai nanti kami berkumpul, lalu kami berdoa kepada Tuhan hingga A;llah menipakan laknat-Nya kepada para pembohong. Sungguh Zat yang sanggup enghitung jumlah butir-butir pasir di padang Alij tidak akan menjadikan harta peninggalan dua paroan dan satu pertigaan. Oleh karena apabila ini telah dikurangi separo dan separo lagi, maka di manakah tempat yang sepertiga?”[10] Penanya kemudian menjawab, “Mengapa hal itu tidak anda katakana pada masa Umar bin Khatab dahulu?”

Ibnu Abbas menjawab, “Umar adalah orang yang ditakuti rakyatnya dan aku salut padanya.”[11] Hal inilah yang kemudian mengakibatkan perbedaan pendapat di kemudian hari.

Menurut Ahmad Rofiq, memperhatikan perdebatan yang cukup sengit di atas, boleh jadi Ibnu Abbas tidak menemui sendiri secara langsung kasus pembagian harta warisan yang harus diselesaikan dengan cara aul. Sebab andaikata beliau pernah menghadapinya, besar kemungkinan sikapnya akan lain. Pendapat Ibnu Abbas tersebut diikuti oleh Fuqaha Syiah Imamiyah dan Ja’fariyah.

Mereka yang mengikuti pendapat Ibnu Abbas ini adalah pertama, ketentuan bagian warisan telah diatur dalam al-Qur’an secara sempurna. Oleh karena itu setiap pemilik hak atas furud al-muqaddarah harus dipenuhi. Apabila ternyata tidak memungkinkan, maka hak-hak sebagian ahli waris yang dalam keadaan tertentu berubah menjadi asabah, seperti anak-anak dan saudara, tidak perlu dipenuhi bagiannya. Konsekuensinya, sebagai penerima asabah, sewaktu-waktu harus menerima bagian kecil atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Kedua, ahli waris ashab al-furudh dipandang sebagai ahli waris yang harus didahulukan pemberian hak-haknya.

Merujuk pada pendapat Ibnu Abbas di atas, jika persoalan pembagian warisan yang dihadapi oleh Umar bin Khatab diselesaikan menurut pemikiran Ibnu Abbas, hasilnya adalah sebagai berikut:

                                                AM 6

  • Suami 1/2 3
  • 2 sdr. Pr. Skd As 3/6

Bagian 2 saudara perempuan sekandung yang sedianya 2/3 bagian, menjadi ½ meskpiun tidak ada ahli waris lain yang kedudukannya bisa mengubah ketentuan bagian saudara. Jadi, seakan-akan saudara menerima bagian asabah ma’a al-ghair, karena ada suami. Padahal sesungguhnya ahli waris yang bisa mengubah hak waris saudara perempuan sekandung adalah anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki. Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa saudara perempuan bisa berubah bagiannya menerima asabah ma’a al-ghair ketika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki, atau menerima asabah ma’a bi al-ghair ketika bersama-sama dengan saudara laki-laki.

Mayoritas sahabat, tabiin dan para ulama madzhab tekenal menetapkan bahwa masalah aul itu memang ada. Alasan itu memang ada. Alasan mereka, pertama, tidak ada ketentuan dalam nas baik al-Qur’an maupun sunnah, yang mengatur tentang pengutamaan asbab al-furudh yang satu atas yang lain. Begitu pula tidak ada ketentuan yang membedakan mereka, karena harta warisan terdapat kelebihan atau kekurangan. Apabila ada ahli waris yang didahulukan dan mengorbankn ahli waris lainnya, berarti menetapkan hukum baru. Kedua, Rasulullah Saw memerintahkan dalam sabda beliau, “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada yang berhak menerimanya.”[12]

Sebagaimana telah disebutkan, Syiah memiliki pendangan yang berbeda terhadap aul. Mereka berpendapat bahwa aul tidak ada. Mereka tidak menerima konsep aul, tetapi menerima konsep radd. Bagi mereka, aul dianggap mengurangi bagian saham ahli waris, karena itu konsep aul tidak dapat diterapkan dalam perhitungan pewarisan.[13] Prinsip Syiah tentang aul ini tampaknya mengikuti pendapat Ibnu Abbas di atas. Dalam kasus pembagian warisan sebagaimana di atas, mereka berpendapat kekurangan kadar bagian dibebankan kepada bagian anak perempuan atau saudara-saudara perempuan, tidak pada suami, isteri,atau ibu dan bapak. Sebab anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuanhanya hanya mempunyai bagian fardh.[14] Menurut Syiah Imamiyah, mereka yang disebut terakhir ini, tidak akan menerima bagian waris kurang dari bagian minimalnya dan sedikitpun tidak boleh dikurangi hak mereka.

Masalah aul adalah masalah ijtihadiyah dan kondisional. Nilai-nilai keadilan di dalamnya tentu tergantung siapa dan dari mana melihatnya. Namun demikian, akan lebih adil jika di dalam penyelesaian masalah semacam ini, tidak terjadi pemberian hak kepada ahli waris dengan cara mengorbankan ahli waris lainnya. Oleh karena itu cara yang terbaik adalah dengan cara aul, agar bagian masing-masing ahli waris yang ada dikurangi secara proporsional. Apalagi keberadaan suami atau isteri, adalah sebagai ahli waris sababiyah, yang dilihat dari hubungan kekerabatannya adalah karena sebab perkawinan, bukan karena hubungan darah.[15]

Ijma atau kesepakatan para ulama yang telah terjadi sebelum Ibnu Abbas mengeluarkan fatwanya. Namun pada akhirnya tergantung kepada pihak yang membagi dan menyelesaikan pembagian warisan, mau mengikuti jalan pikiran Umar bin Khatab atau mengikuti Ibnu Abbas, akan lebih baik jika ahli waris yang ada bisa menyepakatinya.

  1. Penyelesaian Pembagian Warisan dengan Aul

Menurut ahli fiqh, untuk menyelesaikan masalah aul, dapat ditempuh beberapa cara:[16]

  1. Setelah bagian masing-masing ahli waris diketahui, maka dicari asal masalahnya. Kemudian bagian masing-masing berdasarkan asal masalah itu dijumlahkan. Setelah itu, asal masalah semula tidak digunakan lagi dan digantikan dengan jumlah bagian yang diterima oleh para ahli waris.
  2. Jumlah sisa kekurangan dari peninggalan yang terbagi ditanggung bersama oleh para ahli waris dengan jalan mengurangi penerimaan masing-masing menurut perbandingan jumlah bagian masing-masing (secara proporsional).
  3. Mengadakan perbandingan antara bagian masing-masing ahli waris, kemudian bagian-bagian mereka itu dijumlahkan. Jumlah ini dipakai untuk membagi warisan sesuai dengan bagian masing-masing.

Masalah-masalah yang bisa dimasuki oleh aul adalah masalah-masalah yang pokok asalnya adalah 6, 12, 24. Enam terkadang dibesarkan menjadi tujuh, delapan, Sembilan atau sepuluh. Dua belas dibesarkan menjadi tiga belas, lima belas, atau tujuh belas. Dan duapuluh empat tidak dibesarkan kecuali menjadi dua puluh tujuh. Sementara masalah yang tidak bisa dimasuki aul adalah masalah yang pokok asalnya adalah 2, 3, 4, 8.[17]

Undang-undang warisan Mesir menetapkan aul pada pasal 15 dan nashnya sebagai berikut:

“Apabila bagian-bagian ashabul furudh melebihi harta peninggalan maka harta peninggalan itu dibagi di antara mereka menurut perbandingan bagian-bagian mereka di dalam warisan.”[18]

Sayyid Sabiq, dalam Fiqh Sunnah, menjelaskan cara pembagian warisan dengan aul.[19] Pertama mencari pokok masalah, yakni hal yang menimbulkan masalah itu, kemudian mencari bagian-bagian setiap ashabul furudh serta mengabaikan pokoknya. Bagian-bagian mereka itu dikumpulkan dan kumpulan itu dijadikan pokok. Lalu peningalan dibagi atas dasar itu. Dengan demikian akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuai dengan bagiannya.

Dalam hal terjadi pengurangan bagian itu, di sini tidak dapat dikatakan kezaliman. Sebagaimana juga telah dicontohkan oleh Ahmad Rofiq di atas, Sayid Sabiq memberikan contoh, misalnya bagi suami dan saudara perempuan sekandung, maka pokok masalahnya adalah enam, untuk suami separuh, yaitu tiga dan untuk dua saudara perempuan sekandung adalah dua pertiga, yaitu empat. Maka jumlahnya menjadi tujuh. Tujuh itulah yang menjadi dasar pembagian harta peninggalan.

  1. Contoh Penyelesaian Warisan dengan Aul

Beberapa contoh pembagian warisan dengan cara aul dapat dilihat di bawah ini:[20]

  1. Seseorang meninggal dunia, harta warisannya sebesar Rp. 60.000.000,- Ahli warisnya terdiri dari: isteri, ibu, 2 saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing adalah:
  • Jika diselesaikan dengan apa adanya:

Ahli Waris       bag      AM 12             HW    Rp. 60.000.000,    Penerimaan

Isteri                ¼         3                      3/12 x Rp. 60.000.000,- = Rp.15.000.000,-

Ibu                   1/6       2                      2/12 x Rp. 60.000.000,- = Rp.10.000.000,-

2 sdr. Pr. skd   2/3       8                      8/12 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 40.000.000,-

Sdr. Seibu       1/6       2                      2/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 10.000.000,-

15                                Jumlah                = Rp. 75.000.000,-

Hasilnya terjadi kekurangan harta sebesar Rp. 75.000.000,- Rp. 60.000.000,- = Rp. 15.000.000,-

  • Jika diselesaikan dengan cara aul, maka akan diperoleh hasil sebagai berikut:

Ahli Waris       bag      AM 12-15        HW    Rp. 60.000.000,         Penerimaan

Isteri                ¼         3                      3/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 12.000.000,-

Ibu                   1/6       2                      2/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 8.000.000,-

2 sdr. Pr. skd   2/3       8                      8/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 32.000.000,-

Sdr. Seibu       1/6       2                      2/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp.  8.000.000,-

15                                Jumlah                = Rp. 60.000.000,-

Angka asal masalah diaulkan dari 12 menjadi 15, karena apabila tidak diaulkan akan terjadi kekurangan harta sebesar Rp. 15.000.000,-

  1. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari: isteri, ibu, 2 anak perempuan dan bapak. Harta warisannya sebesar Rp. 64.800.000,- Bagian masing-masing adalah:

Ahli Waris       bag      AM 24-27        HW     Rp. 64.800.000,         Penerimaan

Isteri                1/8       3                      3/27 x Rp. 64.800.000,-  = Rp. 7.200.000,-

Ibu                   1/6       4                      4/27 x Rp. 64.800.000,-  = Rp. 9.600.000,-

2 ank. Pr.         2/3       16                    16/27 x Rp. 64.800.000,- = Rp. 38.400.000,-

Bapak              1/6       4                      4/27 x Rp. 64.800.000,- = Rp.  9.600.000,-

+ As

27                                Jumlah                 = Rp. 64.800.000,-

Angka asal masalah diaulkan dari 24 menjadi 27. Jika tidak diaulkan akan terjadi kekurangan harta sebesar Rp. 8.100.000,-

Konsep aul sebagai hasil ijtihad memang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Aul adalah suatu konsep yang didasarkan pada sisi keadilan bagi para ahli waris. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari pihak-pihak dari ahli waris agar tidak ada yang tidak menerima warisan sama sekali. Namun demikian, dapat dilihat adanya kontroversi yang menyertai prinsip aul. Di antaranya adalah sebagaimana dikemukakan Ibnu Abbas yang kemudian diikuti oleh Syiah Imamiyah di atas. Perlu kearifan dalam menyikapi konsep aul untuk diinterpretasikan dalam pembagian warisan.

Daftar Pustaka

As-Shiddiqi, Tengku M. Hasbi, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoave, Jakarta, 1996

Maruzi, Muslih, Pokok-pokok Ilmu Waris, Penerbit Mujahidin, Semarang, 1981

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006

Sarmadi, A. Sukris, Transedensi Keadilan Hukum Islam Transformatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997

Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002

[1] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoave, Jakarta, 1996, hlm. 307

[2] Tengku M. Hasbi As-Shiddiqi, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hlm. 52

[3] Dr. Ahmad Rofiq, MA., Fiqh Mawaris, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 108-109

[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 502

[5] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoave, Jakarta, 1996, hlm. 141

[6] Ahmad Rofiq, Op. Cit., hlm. 109

[7] Dewan Redaksi, Op. Cit. 142

[8] Ibid

[9] Ibid. hlm. 110

[10] Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA., Op. Cit., hlm. 114

[11] Dewan Redaksi, Op. Cit., hlm. 142

[12] Dr.Ahmad Rofiq, MA., Op. Cit., hlm.

[13] A.Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Islam Transformatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 190

[14] Prof. Dr.H.Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002, hlm. 114

[15] A.Sukris Sarmadi, Loc. Cit.

[16] Dewan Redaksi, Op. Cit., hlm. 142

[17] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 502

[18] Ibid, hlm. 503

[19] Ibid.

[20] Contoh pembagian warisan dengan cara aul ini dikutip dari Dr. Ahmad Rofiq, MA., Op. Cit., hlm. 111-112

Apa yang dimaksud pembagian waris dengan cara Aul dan Radd?