Apa Tujuan dari devaluasi mata uang pada masa demokrasi terpimpin?

          Tujuan dilakukannya devaluasi pada masa demokrasi terpimpin adalah untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar demi kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.

Pembahasan

           Devaluasi (penurunan nilai uang yang dilakukan dengan sengaja terhadap uang luar negeri atau terhadapnya) mata uang rupiah adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Ir. Soekarno guna mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi sejak masa Demokrasi Parlementer.

           Pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah mendevaluasi (menurunkan nilai mata uang) Rp 1.000 dan Rp 500 menjadi Rp 100 dan Rp 50. Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp 25.000. Tujuan kebijakan devaluasi dan pembekuan simpanan ini adalah untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar demi kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.

Detail Jawaban

Kelas          : IX

Mapel         : Ilmu Pengetahuan Sosial

Bab            : Bab 4 - Indonesia Dari Masa Kemerdekaan Hingga Masa Reformasi

Kode          : 9.10.4

Kata Kunci : Demokrasi Terpimpin, Perkembangan Ekonomi Demokrasi Terpimpin, Upaya mengatasi permasalah ekonomi masa demokrasi terpimpin, arti devaluasi, tujuan dilakukan devaluasi dan pembekuan simpanan masa demokrasi terpimpin.

Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan. Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja.

[1]

20 Maret 1950

Pemerintahan Presiden Sukarno, melalui menkeu Syafrudin Prawiranegara (Masyumi, Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan penggutingan uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas bernilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini dikenal sebagai "Gunting Syafrudin".

24 Agustus 1959

Pemerintahan Presiden Sukarno melalui Menteri Keuangan yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp 1.000 yang bergambar gajah dan Rp 500 yang bergambar macan, diturunkan nilainya hanya jadi Rp 100 dan Rp 50 Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp.25.000.

Tujuan kebijakan devaluasi ini adalah meningkatkan nilai rupiah dan rakyat kecil tidak dirugikan. Namun, kebijakan pemerintah ini ternyata tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi secara keseluruhan.

1966

Imbas dari tindakan embargo yang dilancarkan oleh sekutu Kapitalis dan Imperialis terhadap Indonesia karena berani menentang pembentukan negara boneka di kawasan Asia Tenggara oleh Inggris dan AS, Waperdam III Chairul Saleh terjeblos dalam tindakan ekstrem, mengganti uang lama dengan uang baru dengan kurs Rp. 1000 akan diganti Rp. 1 baru. Akibatnya inflasi tak terkendali dan segera melonjak 650% dan Bung Karno dipaksa untuk mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966 yang semakin mengukuhkan pemberontakan Soeharto sejak menolak dipanggil ke Halim oleh Panglima Tertinggi pada 1 Oktober 1965.

21 Agustus 1971

Terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto (Orde Baru) melalui Menkeu Ali Wardhana. AS pada 15 Agustus 1971 harus menghentikan pertukaran dollar dengan emas. Presiden Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas AS jika dollar dibolehkan terus ditukar emas, dimana 1 troy onz emas = US$ 34.00. Maka untuk menjaga cadangan emas AS, pemerintah AS menghapuskan sistem penilaian dollar yang dikaitkan dengan emas. Soeharto yang sangat tergantung dengan AS mati kutu dan tidak bisa mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi Rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 per 1 US$.

15 November 1978

Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Ali Wardhana. Walaupun Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab - Israel 1973, tetapi Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$ 10 miliar dan Ibnu Sutowo dipecat pada 1976. Tetap tidak bisa dihindari devaluasi kedua oleh Soeharto pada 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi Rp. 625 per 1 US$.

30 Maret 1983

Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada saat itu Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48% jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp 702,50 menjadi Rp 970.

12 September 1986

Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp 1.134 ke Rp 1.664 per 1 dolar AS. Walaupun Soeharto selalu berpidato soal tidak ada devaluasi, tapi sepanjang pemerintahannya telah terjadi empat kali devaluasi.

  • How the market responds after devaluation.
  1. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-13. Diakses tanggal 2010-08-08. 

Demokrasi terpimpin adalah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Indonesia pernah menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Sayangnya, penerapan sistem demokrasi tersebut harus gagal dikarenakan kondisi ekonomi Indonesia yang tercatat paling buruk dalam sejarah Indonesia. Nah, sepeti apa sebenarnya kehidupan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi terpimpin ini?

Keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 membuat Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonominya menjurus pada sistem etatisme atau segala-galanya diatur oleh pemerintah. Dengan menerapkan sistem ini, pemerintah berharap bahwa kondisi Indonesia akan bermuara pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, maupun ekonomi.

Sayangnya, pasca kemerdekaan kehidupan ekonomi Indonesia masih sangat lemah dan kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah pada masa itu belum mampu memperbaiki keadaan. Adapun kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah antara lain :

Kebijakan yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 ini menurunkan nilai uang, seperti uang pecahan kertas Rp.500 menjadi Rp.50, uang kertas pecahan Rp. 1.000 menjadi Rp.100 dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.

(Baca juga: Dinamika Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin)

Menyusul kebijakan yang dibuat pada Agustus 1959, kebijakan devaluasi berikutnya dilakukan pada 13 Desember 1965 yang menjadikan uang senilai Rp.1.000 menjadi Rp. 1 sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama. Tapi di masyarakat yang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka, tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

  • Pembentukan Deklarasi Ekonomi (DEKON)

Ini dilakukan untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Kondisi ini dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik hingga 400 persen.

Kegagalan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki perekonomi ini disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut :

  • Masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis.
  • Peraturan yang dikelurkan oleh pemerintah sering bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya.
  • Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha.
  • Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.

Apa Tujuan dari devaluasi mata uang pada masa demokrasi terpimpin?

Lihat Foto

IPPHOS

Operasi Ekonomi, Tritura Express 66

KOMPAS.com - Buruknya perekonomian pada masa Demokrasi Terpimpin membuat pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang signifikan.

Beberapa kebijakan yang cukup dikenal yakni:

  • Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)
  • Penurunan nilai uang (devaluasi)
  • Deklarasi Ekonomi (Dekon)
  • Meningkatkan perdagangan dan perkreditan luar negeri
  • Peleburan bank

Berikut penjelasannya seperti dilansir dari Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018).

Pembentukan Bappenas

Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, pada 15 Agustus 1959 pemerintanh membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas).

Ketianya Moh Yamin dengan anggota sebanyak 50 orang. Pada tahun 1963, Presiden Soekarno mengganti namanya menjadi Bappenas.

Baca juga: Daftar Lembaga Negara di Indonesia

Tugas Bappenas yakni:

  • Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan bagi pembangunan di tingkat nasional dan daerah
  • Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan
  • Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS

Penurunan nilai uang (devaluasi)

Pada 25 Agustus 1959, pemerintah mengumumkan keputusan mengenai devaluasi dengan nilai:

  • Uang kertas Rp 500 menjadi Rp 50
  • Uang kertas Rp 1.000 menjadi Rp 100
  • Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000

Kebijakan ini diambil untuk membendung tingginya inflasi.

Dengan devaluasi, diharapkan uang yang beredar di masyarakat berkurang. Selain itu, nilai rupiah meningkat.

Apa Tujuan dari devaluasi mata uang pada masa demokrasi terpimpin?

Lihat Foto

IPPHOS

Presiden Soekarno sedang berpidato dalam rapat raksasa mengganyang Malaysia di Gelora Bung Karno tanggal 28 Juli 1963.

Namun usaha tersebut tidak dapat mengatasi kemerosotan ekonomi. Para pengusaha di daerah tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan tersebut.

Baca juga: Penyebab Krisis Moneter di Indonesia

Apa Tujuan dari devaluasi mata uang pada masa demokrasi terpimpin?