Apa pandangan gereja tentang lgbt

Apa pandangan gereja tentang lgbt

“LGBT adalah kelompok yang paling dibenci. Jika gereja tidak afirmatif, maka (gereja) tidak akan bisa melindungi (mereka).”

Pdt. Suarbudaya Rahadian, Gereja Komunitas Anugerah (GKA)

Seperti umat Kristen pada umumnya, banyak warga LGBT yang secara serius mengikuti Tuhan Yesus. Tetapi hampir tidak ada gereja yang secara terbuka menerima jemaat yang LGBT dan melibatkannya secara aktif menjadi majelis maupun pengurus gereja.

Tristan (27), bukan nama sebenarnya, Minggu siang itu (7/7) dengan serius mendengarkan khotbah pendeta di Gereja Komunitas Anugerah (GKA) di bilangan Jakarta Pusat. Sebagai transgender laki-laki (transman), Tristan tidak lagi harus merasa terpinggirkan ketika mengikuti kegiatan ibadah di gereja.

“Dulu pernah di gereja (kharismatik terbesar di Indonesia yang beroperasi di Thamrin Residence, Jakarta). Dulu kecil, selama sekolah Minggu (di gereja kharismatik tersebut) tiap bahas tentang LGBT (gereja) selalu menyindir,” kisahnya.

1. GKA Menerima LGBT tanpa Syarat

Pegawai di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta ini mengaku memilih beribadah di GKA karena gereja tersebut menerima dirinya tanpa syarat.

“GKA menerima saya apa adanya tanpa ada embel-embel harus berubah,” ujarnya.

Tristan awalnya tahu GKA dari teman komunitasnya kemudian berkenalan dengan Suarbudaya dan langsung diterima dan kini menjadi akrab.

“Dulu saya toxic dan emosional sebelum ke psikiater. Banyak juga belajar dari gereja dan dituntun ke jalan yang diinginkan. Pak Suar orangnya tidak ada lelah untuk mengajak ke gereja. Dulu pernah berantem dengan orang tua dan coming out dibantu Pak Suar,” ungkap Tristan.

Dari penjelasan salah seorang Majelis Gereja yang enggan disebut namanya, GKA berdiri sekitar tahun 2013 yang awalnya berbentuk perkumpulan dan kemudian berkembang. Pada awalnya GKA tidak melakukan ibadah Minggu langsung, namun karena punya kesamaan latar belakang dan misi, anggota GKA kemudian bergabung dan membentuk GKA sebagai sebuah gereja.

2. Merangkul Kelompok-kelompok yang Distigma

Suarbudaya Rahadian, pendeta di GKA, menjelasakan bahwa GKA lebih banyak memiliki persamaan daripada perbedaan dengan gereja lain. Namun GKA lebih berani membuka ruang untuk hal-hal yang masih dianggap tabu bagi orang lain.

“(GKA menerima minoritas) seksualitas, gender, kelompok-kelompok yang distigma (penyintas 65, Papua, dll,). Ekspresi iman Kristen terlihat secara konkrit dari bagaimana kita memperlakukan orang-orang tersebut,” tegas lulusan Master of Divinity dari Malaysia Reformed Baptist Seminary dan MA dari London Theological Seminary ini.

Karena itulah, lanjut Suar, GKA dan dirinya menerima jemaat LGBT. Hal tersebut menjadi perwujudan iman Kristen yang seharusnya tidak diskriminatif, sebaliknya merangkul para jemaat, apapun identitasnya.

“Saya adalah pengikut Kristus dan kita harus mencintai semua orang. Kita tidak bisa menjadi pengikut Yesus jika masih ada sekelompok orang yang ditolak. Kita harus mencintai semua orang,” alumni Psikologi Universitas Padjadjaran itu kembali menekankan pada pentingnya penerimaan gereja tanpa syarat.

Suar juga mendorong dan menyampaikan dukungan secara eksplisit agar semakin banyak gereja yang membuka ruang nyaman bagi LGBT.

“LGBT adalah kelompok yang paling dibenci. Jika gereja tidak afirmatif, maka (gereja) tidak akan bisa melindungi (mereka),” tandasnya.

Apa pandangan gereja tentang lgbt

3. Ruang Ekspresi LGBT yang Terbuka

Jasman Simanjuntak (25), seorang jemaat cis-gender dan heteroseksual, mengaku tidak masalah dengan keberadaan jemaat LGBT di GKA.

“Dari pengalaman pribadi saya, adik saya berjenis kelamin perempuan dan berekspresi maskulin. Itu baru membicarakan ekspresi, belum orientasi seksual. Jadi saya tidak terganggu dengan ekspresi seperti itu. Saya juga mencari tahu dari segi hak asasi manusia. Masalah orientasi seksual itu hak orang sebagai manusia,” kata Jasman.

Ia juga menjelaskan ayat dari Alkitab yang sering digunakan sebagai argumen oleh kelompok yang membenci LGBT, “Kalau dari Kekristenan, sering dikaitkan dengan Sodom dan Gomora. Sebenarnya Sodom dan Gomora itu tidak membicarakan orientasi seksual, tetapi perilaku seksual mereka yang eksploitatif dan tidak berdasarkan consent atau kesepakatan. Tentu semua orang tidak setuju dengan perilaku seksual seperti itu. Masyarakat masih memandang homoseksual sebagai perilaku seksual bukan sebagai orientasi seksual. Padahal kedua hal itu berbeda, kita harus tahu membedakannya.”

Jasman mengaku sudah biasa dan senang jika ada lesbian atau gay yang berpasangan secara terbuka di gereja.

“Bagi teman-teman yang baru pertama kali ke sini mungkin akan merasa terkejut. Saya merasa senang jika LGBT bisa berekspresi dengan nyaman di gereja. Itu berarti gereja sudah beradab,” sambungnya.

4. Memanggil Bergereja, tanpa Dipaksa Menjadi Hetero

Masih menurut Majelis Gereja, GKA adalah komunitas keagamaan yang menyatakan kedatangan kerajaan Allah pada semua orang atas dasar kasih, keadilan dan kesabaran.

“Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan ibadah mingguan, diskusi pendalaman Alkitab dan kegiatan kunjungan. Jemaat yang disasar khususnya adalah orang-orang yang termarjinalkan,” tuturnya.

Suar juga mengonfirmasi hal tersebut dan menyatakan bahwa GKA terbuka kepada semua orang khususnya LGBTIQ. Bahkan, bagi yang ingin bertanya atau bergabung dengan GKA, akun-akun media sosial GKA bisa menjadi tempat untuk berkomunikasi.

“Bisa lewat Instagram untuk tanya-tanya. GKA adalah kekuatan baru yang menyuarakan, ‘ada lho LGBT Kristen di Indonesia dan mereka serius mengikuti Tuhan Yesus’. Bukan label Kristen asal-asalan, namun juga (jemaat) tetap menjadi LGBTIQ,” ujarnya seraya menyayangkan ada komunitas-komunitas agama yang mengklaim menerima namun ujung-ujungnya mengarah ke conversion therapy, agar berubah menjadi heteroseksual.

5. Bukan Promosikan Pernikahan Sejenis, tapi Melindungi Hak-hak Sipil LGBT

Sebagai badan keagamaan yang terang-terangan mendukung LGBT, GKA seringkali mendapat penolakan, meski bukan ancaman secara langsung.

“GKA sebagai organisasi keagamaan yang tidak umum sehingga pernah dianggap sesat. Pernah juga dituduh mempraktekkan pernikahan LGBT sehingga melanggar hukum,” cerita Suar.

Untungnya, lanjut pendeta yang kini berusia 40 tahun ini, hal tersebut tidak berlangsung lama, karena dibuat klarifikasi. Ia juga mengisahkan bahwa pernah ada yang mengaitkan GKA dengan membawa spanduk lindungi hak-hak sipil LGBTIQ dan itu masuk di salah satu influencer yang adalah tokoh 212. Ini beredar secara luas di Instagram pada bulan Maret lalu. Beruntung, Kemenkominfo melakukan klarifikasi bahwa itu hoax.

Komunitas-komunitas yang menerima dan melindungi LGBT seperti GKA adalah sasaran empuk yang mendapat banyak tuduhan, misalnya GKA dinilai sebagai gereja yang menikahkan pasangan LGBT.

“GKA bukan mempromosikan pernikahan sejenis, namun hanya melindungi hak-hak sipil,” ungkapnya.

6. Melawan Ketakutan dan Kebencian, Mengamalkan Kesetaraan

Bagi Suar, banyaknya penolakan terhadap LGBT salah satunya adalah karna banyak ayat di Alkitab yang “dipakai” untuk membenci. Padahal, menurutnya, tidak ada satu ayat pun yang mengatakan kalau Sodom dan Gomora dihukum Tuhan karena homoseksualitas.

“Problem orang yang membenci LGBT itu adalah ketakutan, ketakutan menimbulkan kebencian. Itu Menjadi mata rantai,” ujar Suar menyayangkan.

Ia berpandangan, ketakutan-ketakutan itu celakanya dibumbui oleh media dan orang-orang yang sama-sama tidak mengerti. Sejatinya, lawan dari kasih adalah ketakutan. Gereja harusnya memberikan pencerahan dan menghilangkan ketakutan yang disebabkan karena ketidakmengertian.

“Mereka komunitas yang sedang dilanda ketakutan dan ketakutan itu yang menghasilkan penolakan, kemarahan dan kebencian. Mereka harus disentuh oleh kasih Tuhan bahkan bertaubat karena di mana ada penolakan pasti tidak ada Kristus, yang ada adalah konflik,” tegasnya.

7. Menghadirkan Tuhan Yesus: Mencintai, bukan Mengopresi LGBT

Baik Suar, Jasman maupun salah seorang anggota Majelis Gereja GKA memiliki harapan yang sama kepada gereja-gereja yang tidak menerima LGBT untuk memberanikan diri berdialog. Mereka mengajak gereja-gereja tidak perlu mengambil sikap terburu-buru terhadap jemaatnya yang LGBT, sebaliknya menunda untuk melakuan penilaian dengan terlebih dahulu memahami perihal LGBT dan Kekristenan secara lebih lebih luas.

“Mengambil sikapnya nanti dulu, yang penting adalah menggumuli isu ini. Sehingga, gereja-gereja di Jakarta maupun daerah-daerah bisa ramah dalam arti bukan untuk mengopresi namun menerima LGBT seutuhnya,” kata Jasman.

Sementara Suar mengajukan sebuah perenungan bersama, “Jika orang ingin mengukur apakah di gereja ini ada kehadiran Roh Kudus, ukurannya sederhana saja: jika ada cinta dan penerimaan, di situ Tuhan hadir. Kalau ada penolakan maka tidak ada Tuhan di situ, hanya patung Yesus dan gedung gereja. Jika tidak ada cinta, tidak ada Tuhan di dalamnya.”

Menguatkan pendapat Suar dan Jasman perihal sulitnya gereja-gereja lain menerima LGBT, anggota Majelis Gerejan ini juga berharap agar GKA bisa menjadi komunitas yang memberi ruang bagi orang yang tersingkirkan agar punya komunitas.

“(GKA) bisa memperkenalkan ruang religius untuk orang-orang yang tersingkirkan: Injil kesetaraan yang tidak terbatas bagi siapapun,” harapnya.[]

Penulis: Audy dan Okta Prima Putra