Yang merupakan cara berdakwah menggunakan pendekatan budaya adalah

Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang lebih menonjol menggunakan pendekatan kultural. Mereka sadar bahwa budaya adalah sesuatu yang sudah mendarah daging di masyarakat. Jika langsung ditolak, maka masyarakat akan emoh mengikutinya. Solusinya, keduanya melakukan islamisasi budaya.

Karomah itu apa artinya?

Karomah adalah anugerah dari Allah, yang secara bahasa berarti kehormatan atau kemuliaan. Selain itu, dikenal pula karomah adalah kejadian luar biasa di luar logika dan kemampuan manusia biasa, terjadi pada diri seseorang yang berpangkat Wali.

Mengapa pendekatan Wali Songo lebih cenderung banyak yang menggunakan pendekatan menggunakan kebudayaan?

Walisongo terutama Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya untuk menyebarkan islam. Pendekatan ini dipilih dalam rangka memudahkan dakwah kepada masyarakat yang pada masa itu masih menganut hindu dan budha. Salah satu bentuk kesenian yang dipakai adalah wayang.

Mengapa para Wali Songo melakukan pendekatan budaya dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa?

Alasan Sunan Kalijaga memakai model dakwah kultural sebagai jalan dakwahnya karena beranggapan bahwa lebih mudah menyebarkan agama Islam dengan cara memadukan dengan unsur kebudayaan masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Apa yang dimaksud karomah dan contohnya?

karomah adalah hal atau kejadian yang luar biasa di luar nalar (logika) dan kemampuan manusia awam yang terjadi pada diri seseorang (wali Allah/kekasih Allah). contoh : “Ashhabul Kahfi” (penghuni gua). Allah menidurkan mereka dalam waktu yang sangat panjang, kurang lebih 300 tahun.

Mengapa Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Nusantara menggunakan pendekatan budaya sebagai salah satu media dakwahnya?

Walisongo menggunakan pendekatan melalui kebudayaan dan kesenian untuk menunjang keberhasilan Islamisasi. Misalnya, Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah secara luwes karena masyarakat Jawa saat itu masih menganut kepercayaan lama. Sunan Kalijaga mendekatkan diri ke dalam masyarakat yang masih awam.

Mengapa Wali Songo menyebarkan ajaran Islam menggunakan media kesenian?

agar rakyat tertarik, dan dapat memahami mengenai ajaran islam dg baik.

Sunan Muria salah satu Wali Songo yang berdakwah kepada masyarakat di sekitar Gunung Muria Kudus. Sunan Muria menggunakan pendekatan budaya dalam menyampaikan ajaran Islam. Sunan Muria dan Sunan Kalijaga menerapkan strategi dakwah yang sama.

Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga melalui pernikahannya bersama Dewi Saroh, puteri dari Syekh Maulana Ishak, seorang ulama terkenal di Samudra Pasai Aceh. Sunan Muria masih keponakan dari Sunan Giri. Saat kecil, Sunan Muria memiliki nama Raden Prawoto. Beliau juga sering dipanggil dengan Raden Umar Said atau Raden Umar Syahid.

Raden Umar Said senang bergaul dengan masyarakat kalangan bawah yang berada di pelosok-pelosok. Sehingga masyarakat mudah menerima ajaran yang disampaikan oleh Raden Umar Said.

Membaurnya Raden Umar Said dengan masyarakat kalangan bawah dikenal dengan sebutan "topo ngeli", yang berarti menghanyutkan diri dalam masyarakat. Dakwah dengan metode ini tersebar hingga lereng Gunung Muria.

Raden Umar Said dikenal dengan sebutan Sunan Muria, berdakwah lewat kesenian seperti gamelan, wayang, dan tembang Jawa. Ajaran yang disampaikan Sunan Muria meliputi penghayatan kebenaran dan ketaatan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, wirid, kesederhanaan, kedermawanan. Sunan Muria juga mengajarkan keterampilan bercocok tanam, melaut, dan berdagang.

Beberapa hasil kesenian peninggalan Sunan Muria yang masih dipelajari hingga saat ini adalah tembang Kinanthi dan Sinom. Tembang Kinanthi menceritakan tentang bimbingan dan kasih sayang orang tua kepada anaknya.

Menginjak dewasa, Raden Umar Said menikah dengan Dewi Sujinah yang merupakan puteri dari Sunan Ngudung (Raden Usman Haji). Sunan Ngudung putera dari sultan di Mesir yang melakukan perjalanan hingga ke tanah Jawa. Sementara itu, Sunan Ngudung sendiri juga merupakan ayah dari Sunan Kudus. Dari pernikahannya dengan Dewi Sujinah, Raden Umar Said dikaruniai putera bernama Pangeran Santri atau Sunan Ngadilangu.

Sunan Muria juga mempersunting Dewi Roroyono yang terkenal kecantikannya. Dewi Roroyono puteri dari Sunan Ngerang, seorang ulama terkenal di Juwana Pati, yang memiliki ilmu atau kesaktian yang tinggi. Sunan Ngerang adalah guru dari Sunan Muria dan Sunan Kudus. Kecantikan Dewi Roroyono banyak memicu pertumpahan darah yang juga membuktikan kesaktian dari Sunan Muria.

Raden Umar Said atau Sunan Muria juga memperluas dakwahnya di wilayah Tayu, Kudus, dan Juwana. Jadi beliau beserta keluarga dan para muridnya terkenal dengan fisiknya yang sangat kuat, karena beliau dan para pengikutnya harus naik turun gunung yang tingginya sekitar 750 meter, untuk bisa berdakwah di wilayah-wilayah tersebut.

Metode Dakwah Sunan Muria

~ Menitik beratkan pada rakyat jelata. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Muria lebih toleran dengan memusatkan pada rakyat jelata dan bukan kaum bangsawan di pusat kerajaan Demak. Beliau sering memberikan kursus atau keterampilan untuk para pelaut, nelayan, pedagang, dan rakyat jelata, yang notabenenya adalah pekerja yang sangat sulit untuk meluangkan waktu belajar agama. Dengan adanya kursus maka Sunan Muria dapat dengan mudah menyampaikan ajaran Islam kepada mereka.

~ Dakwah bil hikmah dengan akulturasi budaya, atau dengan cara-cara bijak yang tidak memaksa. Kebanyakan penduduk yang berada di kawasan gunung Muria masih menganut kepercayaan turun temurun yang sangat kental dan sulit untuk dirubah. Dalam menyikapi kebiasaan masyarakat yang sering melakukan adat kenduren, maka Sunan Muria meniru gaya moderat ayahnya, yang tidak mengharamkan tradisi peringatan telung dino hingga sewu dino. Tradisi yang dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu kematian anggota keluarga ini tidak dilarang, kecuali adat untuk membakar kemenyan atau memberikan sesajen di tempat tertentu, yang kemudian diganti dengan sholawat dan do’a untuk ahli kubur.

~ Mempertahankan kesenian gamelan dan wayang. Sunan Muria sama seperti para wali yang lain, juga tetap mempertahankan alat musik daerah seperti gamelan dan kesenian tradisional wayang untuk media dakwahnya. Beliau tidak mengubah budaya yang ada, namun memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Beberapa lakon pewayangan dirubah karakternya dengan membawa pesan-pesan Islam, seperti kisah Dewa Ruci, Petruk dadi Ratu, Jimat Kalimasada, Mustakaweni, Semar ambarang Jantur, dan lain sebagainya.

~ Menciptakan beberapa tembang Jawa. Sunan Muria juga menciptakan beberapa tembang Jawa macapat yang berisi tentang ajaran Islam. Beberapa karyanya yang terkenal hingga saat ini yaitu tembang Sinom dan Kinanthi. Dengan menggunakan tembang atau lagu maka masyarakat akan dengan mudah menerimanya, dan mampu mengingat nilai-nilai serta ajaran Islam yang terkandung di dalamnya untuk bisa diterapkan dalam kehidupan.

Wallahu a’lam,

Semoga barakah, manfaat.

Baiti Jannati, 25 Mei 2022 (Hari ke-145)

Walisongo menerapkan strategi dakwah agar penyebaran Islam dapat berjalan lancar. Srategi dakwah yang dilakukan melalui pembagian wilayah dan pendekatan persuasif. Strategi pembagian wilayah bertujuan untuk memperhitungkan letak strategis dari suatu wilayah. Walisongo mempertimbangkan terlebih dahulu dalam menentukan daerah dakwahnya serta mempertimbangkan faktor geostrategi. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan daerah Jawa Tengah sebagai tempat dakwah Walisongo, seperti Demak, Kudus, dan Muria. Selanjutnya, Walisongo  menggunakan strategi pendekatan persuasif yang berorientasi pada penanaman ajaran Islam dengan menyesuaikan kondisi saat itu. Misalnya Sunan Ampel yang berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang bersedia masuk Islam berkat keramahan dan kebijaksanaan Sunan Ampel. Walisongo juga melakukan pendekatan terhadap tokoh yang memiliki pengaruh di suatu wilayah dan menghindari konflik. Walisongo menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti materil dan spiritual.

Walisongo menggunakan pendekatan melalui kebudayaan dan kesenian untuk menunjang keberhasilan Islamisasi. Misalnya, Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah secara luwes karena masyarakat Jawa saat itu masih menganut kepercayaan lama. Sunan Kalijaga mendekatkan diri ke dalam masyarakat yang masih awam. Selain itu, Sunan Kalijaga mengenakan pakaian adat Jawa setiap hari dengan menggabungkan unsur Islam. Terdapat alasan Sunan Kalijaga menggunakan pakaian tersebut dikarena apabila mengenakan jubah dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa takut masyarakat dan merasa enggan untuk menerima kedatangannya. Salah satu hal yang dapat dikatakan unik ketika Sunan Kalijaga merebut simpati masyarakat terlebih dahulu agar mau menerima agama Islam. Selanjutnya, beliau menjelaskan kepada masyarakat mengenai agama Islam dan menasehati untuk meninggalkan adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi, kebudayaan dan kesenian yang sekiranya dapat ditanamkan unsur ajaran Islam akan dipertahankan serta digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga. Berbagai media dakwah yang digunakan, yaitu gamelan, gendhing, tembang, wayang, grebeg, suluk, tata kota, selamatan, kenduri, dan upacara tradisional. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga kerap memakai nama samaran, seperti “Ki Dalang” karena kemampuan beliau dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan kebudayaan dan kesenian.

Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu media dakwahnya. Beliau mengenalkan Islam melalui pertunjukan wayang yang sangat digemari masyarakat. Pada saat beliau berdakwah agama Islam sebagai dalang yang berkeliling di wilayah Pajajaran hingga Majapahit. Tidak hanya sebagai dalang wayang saja, beliau juga menjadi dalang pantun. Apabila ada masyarakat yang ingin mengadakan pertunjukan wayang, maka Sunan Kalijaga tidak memungut uang melainkan cukup membaca dua kalimat syahadat, dan menyebabkan Islam dapat berkembang dengan cepat. Di dalam pertunjukan wayang, lakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga tidak hanya mengangkat kisah Mahabarata dan Ramayana, terdapat pula lakon yang digemari oleh masyarakat yaitu Dewa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini menjadi bentuk pengembangan dari lakon Nawa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini mengisahkan Bima yang merupakan salah satu Pandawa saat mencari kebenaran melalui bimbingan Begawan Drona hingga Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Selain lakon Dewa Ruci, Sunan Kalijaga juga memunculkan tokoh-tokoh wayang seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang telah diselusupi ajaran-ajaran Islam. Dalam menjadi dalang, Sunan Kalijaga memaparkan ajaran tasawuf saat memainkan wayang terutama saat lakon Dewa Ruci. Hal ini menyebabkan masyarakat dari seluruh lapisan menjadi senang. Saat pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga memodifikasi bentuk wayang, sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar dekoratif dengan bentuk tubuh yang tidak mirip dengan manusia. Penggunaan pertunjukan wayang sebagai media dakwah penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Hal tersebut menunjukkan keahlian beliau dalam memadukan unsur ajaran Islam dengan unsur budaya masyarakat Jawa. Oleh karea itu, kebudayaan dan kesenian merupakan sesuatu yang tidak dapat lepas dari masyarakat.

Selain lakon Dewa Ruci dan Punakawan, Sunan Kalijaga juga memasukan ajaran Islam pada tokoh Yudistira dan Bima. Seperti yang dikisahkan dalam lakon Yudistira mendapatkan azimat Kalimasada  karena tidak mau berperang. Azimat ini berguna untuk melindungi diri sendiri, menjauhkan musuh, dan memelihara stabilitas pemerintahan kerajaan. Azimat Kalimasada merupakan sebuah teks yang dapat bertahan lama dan merupakan kalimat syahadat. Oleh karena itu, Yudistira meninggal dalam keadaan Islam. Kalimat “Kalimasada” berasal dari kalimat Syahada yang artinya “yang bersaksi”. Dalam lakon Bima digambarkan seperti shalat. Hal ini disebabkan karena dalam cerita Hindu Bima digambarkan sebagai sosok yang kuat, sedangkan shalat merupakan tiang agama yang artinya tanpa shalat agama dari seseorang runtuh. Sementara itu, Arjuna dilambangkan sebagai puasa, Nakula, dan Sadewa dilambangkan sebagai zakat dan haji. Berdasarkan pelambangan tersebut, Sunan Kalijaga telah menggambarkan masyarakat Jawa mengenai badan manusia dengan wayang. Hal ini dapat diartikan tradisi wayang kulit yang dipertunjukkan dianggap sama seperti kehidupan. Dalam ajaran Islam Nabi Muhammad Saw mengajarkan kepada kita untuk tidak melihat seseorang dari luarnya saja.

Gamelan digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga ketika pertunjukan dan acara lainnya. Dalam pertunjukan wayang, ketukan gamelan sudah digubah Sunan Kalijaga agar iramanya sesuai dengan lakon yang akan dimainkan. Selain digunakan dalam pertunjukan wayang, gamelan digunakan untuk mengundang masyarakat agar datang ke masjid. Gamelan juga digunakan saat acara Grebeg dan Sekaten yang bertujuan untuk mengundang banyak perhatian dari masyarakat.

Selain menggunakan wayang dan gamelan, Sunan Kalijaga dalam berdakwah juga menggunakan tembang-tembang yang merupakan kebudayaan dan kesenian dari masyarakat Jawa. Tembang-tembang yang digubah oleh Sunan Kalijaga seperti tembang Rumekso Ing Wengi dan tembang Ilir-ilir. Dalam tembang Rumekso Ing Wengi ini melambangkan doa saat malam hari setelah melaksanakan shalat tahajud. Doa yang dipanjatkan bertujuan meminta agar senantiasa dihindarkan dari gangguan negatif, serta dalam gaya bahasa sesuai dengan pikiran masyarakat Jawa. Hal yang disampaikan dalam tembang Rumekso Ing Wengi dapat menusuk hati pembacanya. Tembang ini disusun Sunan Kalijaga dikarenakan masyarakat Jawa masih kesulitan dalam menghafal dan melafalkan doa berbahasa Arab. Selain tembang Rumekso Ing Wengi, terdapat juga tembang Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul yang menggambarkan keagungan ajaran Islam dan mengandung nasihat-nasihat kehidupan.

Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang artinya “riuh” atau “rame”, jika dipahami menjadi “keramaian” dan berujung perayaan. Hal ini sering dijumpai saat acara grebeg terdapat konvoi barisan prajurit yang membawa gunungan disertai dengan iringan gamelan. Sekaten berasal dari kata sekati yang artinya “nama dua alat gamelan”. Sekaten merupakan bagian dari serangkaian acara grebeg yang merupakan gagasan Walisongo dalam menggabungkan kebudayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan grebeg dan sekaten merupakan kebudayaan yang sudah ada sejak kerajaan Hindu Budha.

Ide untuk menggabungkan kebudayaan grebeg dan sekaten dengan ajaran Islam muncul saat Sunan Kalijaga mencoba menarik masyarakat datang ke masjid dan bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sunan Kalijaga memiliki inisiatif untuk menggabungkan unsur kebudayaan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Jawa. Lalu menggunakan gamelan dan tari-tarian di lingkungan kraton untuk meramaikan pelaksanaan Grebeg Maulid. Seperangkat gamelan diletakkan dihalaman masjid untuk ditabuh agar menarik perhatian masyarakat. Komplek masjid dihiasi dengan pernak-pernik menarik yang mengundang masyarakat datang ke komplek masjid Demak. Awalnya masyarakat maerasa malu untuk datang, perlahan-lahan mulai berdatangan dengan melewati gapura dan dituntun untuk mengucapkan kalimat syahadat. Selanjutnya masyarakat akan diajarkan dan dituntun cara berwudhu dengan baik. Selain Grebeg Maulid, terdapat juga Grebeg Syawal yang diselenggarakan saat hari raya Idul Fitri dan Grebeg Besar saat hari raya Idul Adha. Saat perayaan Grebeg dan Sekaten juga terdapat Gunungan. Gunungan ini dimaknai sebagai lambang kemakmuran dan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan. Gunungan ini akan dibagikan kepada masyarakat. Penggunaan Grebeg dan Sekaten sebagai media dakwah Islam ini menuai sukses besar dan masyarakat ikut menyukainya.

Penulis: Beka Rafiq Ardiansyah

Editor: Rahmat Alwi

Referensi:

Hatmansyah. 2015. Strategi dan Metode Dakwah Walisongo. Jurnal “Al-Himar”. Vol. 03, No. 05.Januari-Juni. Hlm 10-  13

Solikin, Syaiful M., dan Wakidi. Tanpa Tahun. Metode Dakwah Sunan Kalijaga Dalam Proses Islamisasi    Di Jawa.FKIP Unila. Hlm 5-6

Agus Sunyoto. 2017. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN, Tangerang Selatan. Cetakan V, Maret. Hlm 267-268

Supriyanto. 2009. Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol. 3, No. 1. Januari-Juni. Hlm3-4

Iswara. N. Raditya. 2018. Grebeg Maulid dan Cara Syiar Islam Para Wali. 20 November. Diakses dari https://tirto.id/grebeg-maulud-dan-cara-syiar-islam-para-wali-daix pada Selasa 22 Desember 2020

pcsoftpaatch

wincracky

bagas3-1