Waktu yang tidak tepat mengucapkan takbir adalah

idkuu, Jakarta Arti qodarullah dalam Islam adalah ketetapan atau qadar dari Allah SWT, sehingga tidak perlu dipertanyakan atau disesali. Sedangkan secara bahasa arti qodarullah ialah hukum, perintah, kehendak, atau ketetapan.

Sementara menurut istilah, arti qodarullah berasal dari kata qadar yang memiliki makna sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT menurut kehendak-Nya. Qodarullah menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta adalah kehendak Allah SWT.

Advertisement

Semua makhluk-Nya harus tunduk terhadap apa yang telah Allah nyatakan. Arti qodarullah termasuk ke dalam salah satu rukun iman kepada Allah, hal ini telah dijelaskan dalam sebuah hadis yang berbunyi:

"Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malikat-Malaikat-Nya, kitab-kitabnya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada qadar Allah, yang baik maupun yang buruk." (HR. Muslim)

Berikut ini penjelasan mengenai hikmah dan kapan waktu yang tepat mengucapkan qodarullah yang telah dirangkum oleh idkuu dari berbagai sumber, Jum’at (3/12/2021).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta idkuu 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Surel :

Alamat Kantor :

Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta Pusat 10270

Jakarta - Entah paham atau tidak, banyak sekali umat Islam menulis kata "takbir" ketika update status di Facebook, atau mengomentari status temannya. Dengan enteng mereka menulis dan juga secara verbal meneriakkan "takbir" dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, secara verbal tidak diucapkan "takbir" melainkan "tekbir".

Takbir merupakan salah satu kalimat tayibah "allahu akbar" yang berarti pengakuan, diucapkan ketika melihat, merasa dan mendengar kebesaran Allah. Namun, belakangan takbir tidak lagi diucapkan dalam ruang religius, melainkan masuk dalam wilayah budaya, bahkan aksi politik. Kita tentu masih ingat demo besar-besaran yang identik dengan teriakan takbir.

Setiap kata dalam Islam diucapkan sesuai sebab dan ada nuansanya. Takbir, secara illat atau sebab, dikatakan ketika melihat sesuatu yang besar dan mengakui kebesaran Tuhan. Ingat, hanya Tuhan yang "boleh" dan punya hak "takabur" atau yang paling besar serta Maha Besar. Tidak ada yang besar di dunia ini kecuali Tuhan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Belakangan, kata takbir justru digunakan untuk "membunuh orang" dengan dalih jihad, menyerang, demo dan juga untuk kepentingan golongan tertentu. Apakah ini wujud "kejumudan" manusia atau sekadar "topeng" agama yang "seolah-olah" religius?

Dalam Islam, takbir diucapkan dalam ibadah mahzah seperti salat, haji, juga ritual "takbiran" menjelang dan saat Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Begitu juga dengan kalimat tayibah lain, seperti tahmid ("alhamdulillah") diucapkan ketika mendapat rezeki. Tahlil ("la ilaha illallah"), tasyahud ("asyahadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah") diucapkan untuk mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dan lainnya.

Politisasi Takbir

Indonesia memang menarik dengan berbagai budaya dan keanekaragaman faham yang berkembang. Adanya ormas radikal belakangan ini mengusik perdamaian dan kerukunan umat beragama, bahkan menodai ajaran Islam sendiri. Dengan sombong, mereka lantang meneriakkan takbir di berbagai ruang tanpa mengetahui dan menerapkan prinsip rendah hati.

Takbir menjadi dalih untuk menyerang, menyalahkan bahkan menjadi "legitimasi" perbuatan sekelompok orang untuk melabeli perbuatan itu agar dicap religius, benar dan jihad. Padahal, tiap kalimat tayibah, semua baik, namun akan tidak baik jika penempatannya salah.

Ketika umat Islam terkena musibah, tidak mungkin bahkan "haram" mengucapkan alhamdulillah. Begitu juga dengan peristiwa lain, di mana umat Islam harus mengucapkan kalimat tayibah sesuai konteks, bahkan inter-teks.

Klaim benar sendiri dan yang lain salah juga memicu intoleransi dan penyempitan ajaran Islam. Banyak penganut faham radikal dengan dalih "jihad", melakukan kekerasan dengan menyuarakan kalimat takbir. Hal itu seolah-olah "didorong" Tuhan, padahal dalam Islam, Tuhan selalu menyeru persaudaraan dan perdamaian. Baik itu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).

Politisasi takbir untuk kepentingan golongan tertentu ini menjadikan wajah Islam semakin belang bonteng alias rusak. Islam yang menjadi agama rahmat bagi semua makhluk, harus dipahami di berbagai wilayah. Artinya, orang Islam harus bisa menjadi agen perdamaian; di mana ada dia, maka amanlah nyawa, martabat dan harta orang di sekitarnya.

Jika ada orang Islam, atau organisasi Islam, namun tidak bisa menciptakan kegembiraan orang di sekitarnya, maka mereka hakikatnya "pura-pura" Islam. Lebih tepatnya, mereka belum mencapai derajat khalifah di bumi. Sebab, tugas manusia tidak hanya menjadi "abdullah" atau hamba Allah, namun ia harus menjadi khalifah yang membawa misi kasih sayang, perdamaian dan rahmat bagi semua makhluk.

Hakikat Takbir

Takbir hakikatnya pengakuan manusia kepada Tuhan bahwa manusia adalah kecil dan hina. Maka, Tuhan melalui perintah puasa, mengajarkan umat Islam untuk menjadi manusia yang lemah selama sebulan penuh. Ketika berpuncak pada malam menjelang Hari Raya Idul Fitri, maka diperintahkan untuk "merayakan takbir" semalam suntuk.Pesan itu menjadikan kita tahu, bahwa takbir bukan sekadar ucapan verbal, melainkan ada aspek teologis, sosiologis, dan juga aspek humanis. Namun, mengapa banyak umat Islam salah memahami takbir dan menggunakannya untuk kepentingan kelompok?

Dalam usul fikih, ada kaidah alhukmu yazurru ma'a illatihi, wujudan au adaman (hukum beredar sesuai illat-nya, baik yang tampak maupun yang tidak). Artinya, hukum mengucapkan takbir adalah ketika kita melihat kebesaran Tuhan yang membuat manusia itu kecil dan tidak berdaya. Bukan mengucapkan takbir untuk "menjadi takabur" dan seolah-olah menjadi Tuhan.

Pengkuan itu menjadi representasi bahwa manusia adalah makhluk lemah, tempatnya salah dan lupa. Maka dalam Islam, setelah Hari Raya Idul Fitri, setelah semalam suntuk menggemakan takbir, kita disuruh meminta maaf kepada Tuhan, orangtua, saudara dan semua makhluk. Di sinilah salah satu hakikat takbir yang menyeru umat Islam untuk "bisa merasa", bukan "merasa bisa".

Maka, falsafah orang Jawa berbunyi bisa rumangsa (bisa merasa) bukan rumangsa bisa (merasa bisa) harus menjadi jalan untuk mengakui kebesaran dan kebenaran Tuhan. Sebab, yang pantas dan punya hak atas baju kebesaran adalah Tuhan, bukan nabi, malaikat apalagi manusia biasa.

Ketika kita meneriakkan takbir, justru hal itu menjadi pengakuan lisan bahwa hanya Tuhan yang Maha Besar. Namun, hakikat takbir tidak sekadar diucapkan, melainkan mendarahdaging dan berangkat dari hati manusia. Sebab, setiap kata yang keluar dari mulut kita ada nuansanya, rasa, dan juga sesuai mitra tutur.Dalam sosiolinguistik, tingkatan bahasa juga variatif dan memakai kode. Mulai dari kode bahasa, kode sastra dan kode budaya. Jika mengucapkan takbir untuk melegitimasi kebenaran dan menyerang orang, hal itu belum termasuk kode bahasa, apalagi masuk ke kode sastra dan budaya. Sebab, kode bahasa menganjurkan orang berbahasa harus sesuai konteks, mitra tutur dan menggembirakan lawan bicara.Dengan perangkat bahasa yang menjadi kelebihan manusia dibandingkan hewan, sudah seharusnya manusia berbahasa santun, sesuai konteks, menyenangkan dan membangkitkan kemesraan. Kalimat takbir harus mendekatkan kita dengan Tuhan, bukan sebaliknya; masih banyak orang mengucapkan kalimat takbir untuk "menyombongkan" diri, takabur berlebihan, dan melegitimasi perbuatan dengan label jihad.

Hamidulloh Ibda pengajar di STAINU Temanggung dan Alumnus Ponpes Mambaul Huda Pati

(mmu/mmu)

Mengapa kalimat takbir, Allahu Akbar, diterjemahkan menjadi Allah Mahabesar?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gema takbir selalu berkumandang pada malam dan pagi hari Idul Fitri. Takbir berarti mengucapkan kalimat Allahu Akbar.

Umat Islam di seluruh penjuru dunia amatlah akrab dengan kalimat tersebut. Setiap hari, azan shalat mengandung ujaran Allahu Akbar. Minimal, 94 kali setiap Muslim mengucapkan Allahu Akbar kala melakukan takbiratul ihram di shalat lima waktu. Ucapan itu juga merupakan untaian zikir yang amat dianjurkan.

Allahu Akbar diucapkan oleh seorang insan yang meyakini Tauhid. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah yang menyadari betul keagungan makna kalimat tersebut. Di antara 99 Nama-nama yang indah (asmaul husna), adalah al-Kabiir dan al-Mutakabbir. Artinya masing-masing Zat Yang Maha Besar dan Zat Yang Maha Memiliki Keagungan.

Apa sebenarnya di balik terjemahan kalimat Allahu Akbar? Mengutip buku 8 Kalimat Al-Thayyibah: Ringan di Lisan, Berat di Timbangan Amal karya M. Fauzi Rachman, terjemahan umumnya adalah 'Allah Mahabesar.' Rachman lebih lanjut memeriksa penerjemahan itu.

Menurut dia, terjemahan yang akurat secara tata bahasa Arab dari kalimat Allahu Akbar adalah 'Allah lebih besar.' Sebab, kata Akbar berbentuk ism al-tafdhil yang berfungsi memperbandingkan sesuatu dalam perserikatan. Akan tetapi, masih ada beberapa soal.

Jika Allahu Akbar diterjemahkan menjadi 'Allah Mahabesar', hal ini memang akan menyalahi kaidah tata bahasa Arab, tetapi bernilai kebenaran karena sesuai dengan akidah agama Islam.

Jika Allahu Akbar diterjemahkan menjadi 'Allah lebih besar', hal ini memang benar berdasarkan kaidah tata bahasa Arab, tetapi justru menyalahi akidah agama Islam.

Sebagai contoh, penerjemahan akbar di mushaf Alquran terbitan Indonesia. Misalnya, surah al-Gafir ayat 57."Lakhalqu as-samaawaati wa al-ardhi  akbaru min khalqi an-naas ...." Artinya, "Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar (akbar) daripada penciptaan manusia, ...."

Kemudian, surah al-Qalam ayat 33. Terjemahannya, "Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar (akbar) jika mereka mengetahui."

Terdapat 15 ayat lagi di dalam Kitabullah yang memuat kata akbar (akbara, akbaru,akbari). Di dalam ayat-ayat itu, akbar diterjemahkan oleh Departemen Agama RI sebagai 'lebih besar', bukan 'Mahabesar.'

Bagaimana akbar menjadi bisa diterjemahkan menjadi 'Mahabesar'? Alasannya, jika salah satu sifat dinisbahkan kepada lafal Allah dan menjadi salah satu nama (ism)-Nya, maka kedudukan sifat itu berubah menjadi bentuk 'maha' atau superlative.

Dalam ayat-ayat Alquran tersebut, tidak ada satu pun yang menunjuk pada sifat Allah. Karena itu, kata-kata tersebut semuanya hanya diterjemahkan menjadi 'lebih besar.'

Ungkapan Allahu Akbar pun tepat diterjemahkan menjadi 'Allah Mahabesar.' Sebab, Allah tidak mungkin dibandingkan dengan satu sesuatu pun. Dalam surah al-Ikhlash ayat keempat sudah jelas. "Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia (Allah).” Allah bersifat Al-Mukhalafatu lil Hawaditsi, yakni berbeda daripada makhluk-Nya.

Waktu yang tidak tepat mengucapkan takbir adalah