Untuk menjaga kesucian diri maka harus menghindari berkhalwat yaitu

Oleh: Dzikri Nirwana*

‘Cuci mata’ merupakan istilah yang sangat familiar di masyarakat kita, terlebih di kalangan generasi muda, yang merupakan tren untuk menghibur diri, melepaskan beban pikiran dari segala bentuk persoalan kehidupan yang melanda, bahkan tidak jarang menjadi ajang untuk mencari jodoh bagi para bujangan. Tempat-tempat hiburan, pusat perbelanjaan, taman-taman kota, nampaknya menjadi tujuan orang-orang untuk menjalankan ‘tradisi’ tersebut, terutama di akhir pekan ataupun ketika liburan.

Secara psikologis, memang cuci mata ini dapat menyenangkan pikiran, menghibur hati yang galau, dan menyegarkan pandangan. Begitu banyak yang dapat dilihat dan dinikmati secara gratis, dari sarana dan fasilitas yang tersedia, hingga keramaian orang-orang yang lalu-lalang, laki-laki dan perempuan, anak-anak, remaja hingga dewasa, semuanya membaur menjadi satu tanpa mempedulikan penampilan satu dengan lainnya antara lawan jenis, apakah sesuai dengan etika agama ataukah tidak.

Tradisi ‘cuci mata’ inilah yang kemudian secara normatif, justru membuat pandangan mata menjadi tidak terkontrol, liar, bahkan memunculkan pikiran-pikiran negatif terhadap orang lain, yang seringkali juga menjadi pemicu munculnya tindakan-tindakan kriminal, asusila, dan yang melanggar norma-norma agama. Karena itulah, dalam Islam, ‘menjaga pandangan’, terutama terhadap lawan jenis, menjadi aturan agama yang sangat penting untuk diperhatikan dan diaplikasikan dalam kehidupan keseharian.

Perintah Menjaga Pandangan

Dalam ajaran Islam, perintah menjaga pandangan yang dimaksud adalah menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar), yang diiringi dengan perintah memelihara kemaluan (hifzhul farj), sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. al-Nur, ayat 30-31, yang artinya:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat (30). Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (31).

Menurut Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya al-Halal wal Haram, menyatakan bahwa dalam dua ayat ini ada beberapa hal. Dua di antaranya berlaku untuk laki-laki dan perempuan, yaitu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, sedangkan yang lain khusus untuk perempuan. Kalau diperhatikan, dua ayat tersebut memerintahkan untuk menundukkan sebagian pandangan dengan menggunakan huruf mim, tetapi dalam hal menjaga kemaluan, Allah SWT. tidak menggunakannya, misalnya wa yahfazhu min furujihim [dan menjaga sebagian kemaluan], seperti halnya ‘menundukkan pandangan’ yang Allah SWT. masih memberi kelonggaran walaupun sedikit, guna mengurangi kesulitan dan melindungi kemaslahatan.

Lebih lanjut menurut al-Qardhawi, bahwa yang dimaksud dengan ‘menundukkan pandangan’ bukanlah berarti memejamkan mata dan menundukkan kepala ke tanah, karena merupakan hal yang sangat sulit bahkan tidak mungkin dilakukan. Hal ini sama dengan menundukkan suara seperti yang disebut dalam Q.S. Luqman, ayat 19, yaitu waghdhudh min shawtik [dan tundukkanlah sebagian suaramu]. Di sini tidak berarti kita harus membungkam mulut sehingga tidak dapat lagi berbicara. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ‘menundukkan pandangan’ adalah menjaga pandangan, tidak dilepaskan/diarahkan begitu saja tanpa kendali [dengan syahwat], sehingga dapat memicu pelakunya, laki-laki atau perempuan untuk berpikiran dan bertindak asusila.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ibnu ‘Abbas RA. yang menafsirkan bahwa yang dimaksud ghadhdhul bashar dalam kedua ayat tadi adalah menjaga pandangan [hifzhul ‘ayn] dari hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, juga menambahkan bahwa pandangan mata hanya diarahkan kepada hal-hal yang diperbolehkan agama. Maka jikalau seseorang tidak sengaja melihat kepada sesuatu yang haram, hendaklah ia segera berpaling darinya, seperti hadis yang diriwayatkan Muslim dalam kitab Shahih-nya yang bersumber dari Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali RA., bahwa ketika beliau bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. tentang melihat kepada perempuan yang bukan muhrim [al-faj’ah], maka beliau menyuruhnya untuk memalingkan pandangan [dari perempuan] itu.

Lebih konkrit, al-Qardhawi menegaskan bahwa pandangan yang terjaga, adalah apabila memandang kepada lawan jenis, tidak mengamati secara intens keelokannya dan tidak lama menoleh kepadanya, serta tidak melekatkan pandangannya kepada sesuatu yang dilihatnya itu. Terkait dengan hal ini, disebutkan riwayat Ahmad dalam Musnad-nya yang bersumber dari Abu Hurairah RA. dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Setiap keturunan Adam ada bagian yang dianggap sebagai zina; kedua mata dianggap berzina, dan zinanya adalah melihat [kepada yang haram]; kedua tangan dianggap berzina, dan zinanya adalah menyentuh [kepada yang haram]; kedua kaki dianggap berzina, dan zinanya adalah berjalan [ke tempat yang haram]; mulut dianggap berzina dianggap berzina, dan zinanya adalah mencium [kepada yang haram], sementara hati berkeinginan dan berkhayal [melakukan zina itu] dan kemaluan pun membenarkannya atau mengingkarinya”.

Dari hadis ini dapat terlihat jelas bahwa beberapa bagian dari manusia, seperti mata, tangan, kaki, dan mulut, dapat dianggap berzina -dalam arti konotatif- apabila dilakukan dengan syahwat, yang ditandai dengan keinginan dan khayalan dalam hati untuk berzina, sedangkan kemaluannya pun ‘bereaksi’ untuk membenarkan keinginan berzina itu atau mengingkarinya. Hal ini mengindikasikan bahwa pandangan yang bersyahwat bukan saja membahayakan kemurnian budi pekerti, bahkan akan merusak kestabilan berpikir dan ketentraman hati. Karena itulah agama Islam menegaskan bahwa yang pertama kali dijaga adalah pandangan, sebelum menjaga kemaluannya karena semua yang terjadi itu bermula dari pandangan mata, laksana api besar bermula dari lilitan kecil. Pada awalnya dimulai dari pandangan, kemudian terlintas dalam pikiran, lalu menjadi langkah, dan selanjutnya terjadi dosa ataupun kesalahan. Maka dari itu, dikatakan bahwa barang siapa yang mampu menjaga pandangan, pikiran, ucapan, dan tindakan, berarti dia telah menjaga agamanya.

Dari uraian ini, dapat diketahui bahwa ‘menjaga pandangan’ merupakan sesuatu yang sangat diperhatikan dan ditekankan dalam Islam, karena pandangan inilah yang menjadi pemicu utama munculnya tindakan-tindakan asusila dan kriminalitas di masyarakat. Oleh karena itu, ‘cuci mata’ nampaknya menjadi hal yang sebaiknya perlu dihindari oleh kita sebagai muslim, karena dapat mengarah kepada hal-hal yang negatif.

*Profil Penulis

Nama lengkap beliau adalah Dr. Dzikri Nirwana, S.Th.I., M.Ag., lahir di Banjarmasin, pada tanggal 27 Desember 1978. Profesi beliau adalah sebagai dosen tetap pada Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin dengan NIDN 2027127801.

Pendidikan tinggi yang ditempuh oleh Dr. Dzikri Nirwana, S.Th.I., M.Ag. dimulai dengan meraih gelar kesarjanaaan (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin tahun 2002, kemudian melanjutkan jenjang magister (S2) pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin pada Prodi Filsafat Islam dan selesai tahun 2006. Setahun berikutnya, beliau melanjutkan lagi pada jenjang doktoral (S3) dan mendapatkan beasiswa studi dari Kementrian Agama pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya dengan mengambil Prodi Tafsir Hadis dan akhirnya merampungkan studinya tahun 2011.

Selama bertugas di kampus IAIN (sekarang UIN) Antasari Banjarmasin, Dr. Dzikri Nirwana, S.Th.I., M.Ag. mengampu sejumlah mata kuliah yang relevan dengan keahliannya, yaitu hadis dan ilmu hadis, dari jenjang sarjana (S1) hingga magister (S2) dan doktor (S3). Untuk kajian hadis, mata kuliah yang diampu beliau seperti hadis-hadis akidah, hadis-hadis tafsir, dan hadis-hadis tematis. Untuk kajian ilmu hadis, mata kuliah yang diajarkan seperti Pengantar Studi Hadis, Qawa’id al-Tahdits, Metodologi Penelitian Hadis, dan lainnya.    Selain mengajar, Dr. Dzikri Nirwana, S.Th.I., M.Ag. juga aktif melakukan beberapa penelitian yang umumnya bersifat kolektif. Kemudian dia juga telah mempublikasikan banyak karya ilmiah, baik dalam bentuk buku maupun artikel jurnal, baik yang sifatnya individual maupun kolektif.

Islam, agama yang sangat menjunjung tinggi ‘iffah, telah mengajarkan beberapa hal yang jika diterapkan niscaya akan menjaga kesucian seorang wanita. Hal-hal tersebut di antaranya adalah:

Menjaga ‘iffah adalah salah satu buah dari keimanan. Jika iman seseorang kuat, maka akan semakin mudah ia dalam menjaga ‘iffahnya. Sebaliknya, jika iman seseorang lemah, maka akan lemah pula ia dalam menjaga ‘iffahnya. Jadi, kuat atau lemahnya iman seseorang akan sangat ber-pengaruh dalam menjaga ‘iffahnya. Adapun di antara kiat-kiat untuk menguatkan iman adalah:

a. Menuntut ilmu agama. 

Barangsiapa yang diberi taufiq untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan mengamalkannya, niscaya akan bertambah kuatlah imannya. 

b. Mengenal nama-nama Alloh   yang Maha Indah seba-gaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. 

Dengan mengenal nama-nama Alloh yang Maha indah dan memahaminya, maka seorang hamba akan semakin taat kepada Alloh  . 

c. Membaca al-Qur’an dengan disertai tadabbur (memaha-mi maknanya). 

d. Memperhatikan keindahan-keindahan Islam. 

Sesungguhnya agama Islam ini seluruhnya indah dan sempurna. Akidah Islam adalah paling benar dan paling bermanfaat di antara akidah agama-agama lain. Hukum-hukumnya adalah hukum yang paling adil dan paling menjamin kemaslahatan. Akhlaknya adalah sebaik-baik akhlak. Maka barangsiapa yang mencermati itu semua niscaya Alloh   akan menghiaskan iman di dalam hatinya sehingga ia pun mencintai iman dan merasakan manisnya (halawatul iman).

e. Memperhatikan ayat-ayat Alloh   (tanda-tanda kekua-saan-Nya) yang tersebar di alam semesta maupun pada diri manusia sendiri. 

f. Memperbanyak dzikir untuk mengingat Alloh   dan berdoa. Dengan banyak berdzikir dan berdoa, akan terja-lin komunikasi antara seorang hamba dengan Robbnya. 

g. Memperbanyak nawafil (ibadah-ibadah sunnah) setelah menjaga ibadah-ibadah yang fardhu. 

Dengan menjalankan ini seorang hamba akan sema-kin dekat dengan Khaliqnya.

h. Menjauhi dosa-dosa besar dan kemaksiatan dengan se-gala bentuknya. 

Hal ini karena dosa-dosa itu akan melemahkan iman. Sebaliknya, dengan menjauhi dosa-dosa akan semakin memperkuat iman. 

Semua perbuatan keji berawal dari pandangan. Maka seorang Muslimah yang ingin berhasil dalam menjaga kesu-ciannya ia harus menundukkan pandangannya dari setiap apa saja yang dilarang oleh Alloh  . 

Alloh   berfirman: 

“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya....” (QS. an-Nur [24]: 31)Seorang yang menahan pandangannya dari apa yang diharamkan oleh Alloh  ,,,maka Dia akan menganuge-rahkan kepadanya kemanisan iman yang akan ia rasakan dalam hatinya.

‘Abdullah bin Mas’ud   berkata, “Nyanyian akan me-numbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air me-numbuhkan rerumputan.”

Tempat yang paling aman bagi seorang perempuan ada-lah rumahnya. Dengan tinggal di rumah maka ia akan se-lamat dari semua fitnah dan keburukan. Sebaliknya, dengan meninggalkan rumahnya boleh jadi ia akan terkena fitnah atau menimbulkan dosa. Oleh karena itu, Alloh   me-nganjurkan kepada para wanita untuk tetap tinggal di rumahnya:

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah-rumah ka-lian dan janganlah kalian bersolek seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu....” (QS. al-Ahzab [33]: 33) Dari ‘Abdullah bin Mas’ud  , Nabi   bersabda: 

(( إِنَّ الْمَرْأَةَ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَأَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ مِنْ وَجْهِ رَبِّهَا وَهِيَ فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا ))

“Sesungguhnya wanita adalah aurat. Apabila keluar rumah, setan akan mengintainya untuk menggelincirkannya. Sesungguhnya seorang wanita akan lebih mendekatkan dirikepada Alloh, jika di rumahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah; shohih)

Jadi, Islam sangat menekankan agar seorang Muslimah lebih sering tinggal di rumahnya.  Akan tetapi ia tidak di-larang untuk keluar rumah jika memang ada suatu keper-luan. Hanya saja ketika seorang Muslimah meninggalkan rumahnya untuk suatu keperluan, maka ia harus memper-hatikan adab-adab keluar rumah.

Dari Abu Musa al-Asy’ari  , Nabi   bersabda:

(( إِذَا اسْتَعْطَرَتِ الْمَرْأَةُ فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ كَذَا وَكَذَا قَالَ قَوْلاً شَدِيدًا )). وَفِي لَفْظٍ (( فَهِيَ زَانِيَةٌ )).

“Jika seorang wanita mengenakan parfum, lalu ia melewati sekelompok manusia agar mereka mencium bau wanginya, maka ia adalah begini dan begitu. Beliau telah berkata dengan perka-taan yang sangat keras.” Dan dalam sebagian lafadz disebutkan “Maka ia adalah pezina.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i; hasan shohih)

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid  , dari Nabi   bahwa beliau bersabda: 

(( ثَلاَثَةٌ لاَ تَسْأَلْ عَنْهُمْ؛ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا، وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ، وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْهُمْ ))

“Tiga orang yang jangan engkau tanyakan lagi tentang mereka: yaitu: (1) seorang yang memi-sahkan diri dari jama’ah kaum muslimin dan ia mendurhakai imamnya (khalifah) lalu ia mening-gal dalam kondisi seperti ini; (2) seorang hamba sahaya laki-laki atau perempuan yang lari dari tuannya, lalu ia meninggal; dan (3) seorang wanita yang ketika suaminya pergi padahal kebutuhan hidupnya telah dicukupi lalu ia bertabarruj (berdandan); maka jangan engkau tanyakan lagi tentang mereka.” (HR. Ahmad, al-Hakim dan al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad; shohih)

Ikhtilath, baik di kelas-kelas, pasar-pasar, dan tem-pat-tempat lain sangat merendahkan kaum wanita. Oleh karena itu, Islam menekankan kepada wanita untuk menghindari berbagai tempat yang mengandung ikh-tilath.

Dalam hal ini Rosululloh   telah menempuh bebe-rapa tindakan preventif untuk menghindari ikhtilath.

Dari Hamzah bin Abi Usaid al-Anshari, dari bapak-nya, bahwa ia telah mendengar Rosululloh   bersabda kepada para wanita (saat itu beliau sambil keluar dari masjid, dan terlihat laki-laki dan wanita berbaur di jalan):

(( اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ )). فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ. ))

“Menepilah kalian (wahai para wanita ), karena tidak layak bagi kalian untuk berjalan di tengah. Kalian hendaknya berjalan di pinggir.” Sejak saat itu, ketika para wanita berjalan keluar, mereka berjalan dengan merapat ke tembok. Bahkan baju-baju mereka sampai tertambat di tembok, karena begitu rapatnya mereka dengan tembok ketika berjalan.” (HR. Abu Dawud; hasan)

Dari Nafi’, dari (‘Abdullah) bin ‘Umar   berkata: Rosululloh   bersabda: 

 (( لَوْ تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ )). قَالَ نَافِعٌ: فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ ابْنُ عُمَرَ حَتَّى مَاتَ.

“Kalau saja kita tinggalkan pintu ini khusus untuk kaum wanita”. Nafi’ berkata: ‘Sejak saat itu Ibnu ‘Umar tidak lagi masuk lewat pintu itu hingga beliau wafat’.” (HR. Abu Dawud; hasan)

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas  , Nabi   bersabda: 

(( لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ )). فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ. فَقَالَ: (( اخْرُجْ مَعَهَا ))

“Janganlah seorang wanita mengadakan perja-lanan kecuali bersama mahramnya, dan jangan sampai ada laki-laki yang masuk menemuinya kecuali ia bersama mahramnya.” Kemudian ber-kata salah seorang sahabat: wahai Rosululloh, sesungguhnya saya hendak pergi bersama pasu-kan ini dan pasukan ini dan istriku ingin pergi haji. Nabi   bersabda: “Pergilah bersamanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hal ini Alloh   telah mengajarkan adab yang sangat tinggi kepada wanita Muslimah ketika berjalan, yaitu tidak menghentakkan kakinya sehingga terdengar suara gemerincing gelang-gelang yang ada di kakinya (ini perhiasan wanita zaman dahulu). 

Alloh   berfirman:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyi-kan. Dan bertaubatlah kalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” (QS. an-Nur [24]: 31)h. Tidak berbicara kepada kaum laki-laki dengan nada bicara yang lembut, atau bercanda atau bicara tanpa suatu keperluan.

Alloh   berfirman:

“Hai isteri-isteri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab [33]: 32)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir  , bahwa Rosululloh  :

(( إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ )). فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: (( الْحَمْوُ الْمَوْتُ ))

“Janganlah sampai kalian menemui wanita.” Lalu berkata salah seorang dari Anshar: “Wahai Ro-sul, bagaimana dengan saudara perempuan dari istri? Beliau bersabda: “Saudara perempuan istri adalah kematian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

(( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ))

“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali berkhal-wat (berduaan) dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya karena sesungguhnya setan adalah pihak ketiganya.” (HR. Ahmad, dihasan-kan oleh Syu’aib al-Arnauth)

Hampir seluruh mode-mode pakaian wanita yang sedang trend tidak sesuai dengan syariat. Padahal Rosululloh   telah bersabda:

 (( صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا. وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا ))

“Ada dua golongan dari penghuni neraka yang aku belum melihatnya: (Pertama) satu kaum yang me-megang cambuk seperti ekor-ekor sapi yang dengan-nya mereka mencambuk manusia. (Kedua) para wa-nita yang berpakaian akan tetapi telanjang. Berlenggak-lenggok (ketikaberjalan), kepala mereka bagaikan punuk unta yang miring. Mereka itu tidak akan masuk surga dan bahkan tidak akan mencium wanginya; padahal wangi-nya itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Hadits tersebut mengandung larangan bagi wanita un-tuk mengenakan pakaian yang ketat, atau tipis atau pendek yang tidak menutupi seluruh tubuhnya. 

Pengaruh pergaulan dalam membentuk akhlak seseo-rang sangatlah kuat. Tidak jarang kita dapati remaja-remaja putri yang tadinya baik dan tumbuh dalam keluarga yang baik-baik, kemudian menjadi rusak akhlaknya dan hilang rasa malunya dikarenakan pengaruh kawan-kawan yang jahat. Kawan-kawan yang jahat (fasiq) itu mayoritas dari lingkungan sekolahnya. Bahkan terkadang guru-guru yang tidak bertakwa kepada Alloh   juga mengajarkan kebu-rukan dan mentolerir ikhtilath (pergaulan yang bebas). Oleh karena itu, hendaknya remaja Muslimah bersikap selektif dalam memilih kawan akrab. 

Ingatlah baik-baik sabda Rosululloh   berikut:

(( الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ ))

“Seseorang itu akan mengikuti agama kawan akrab-nya, oleh karena itu, hendaknya setiap orang mem-perhatikan dengan siapa dia berkawan akrab.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Menikah adalah salah satu sarana yang sangat penting untuk menjaga kesucian. Dengan menikah, seorang Mus-lim akan lebih terjaga dari berbagai penyimpangan seksual. Sedangkan bagi seorang Muslimah, dengan menikah akan lebih melindungi dirinya dari kejahilan orang-orang yang bodoh dan lebih menjaga kehormatannya.

Rosululloh   bersabda: 

(( يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ  فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ))

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka hendaklah me-nikah, karena sesungguhnya ia lebih membantu untuk menundukkan pandangan dan menjaga kema-luan. Sedangkan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa karena dengan beruasa  itu akan mengurangi syahwatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

Sebagai catatan umum, barangsiapa yang ingin menge-tahui secara rinci sarana-sarana untuk meraih ‘iffah, maka hendaklah membaca surat an-Nur (surat yang ke-24) mulai dari ayat 1 sampai dengan 34. Pada ayat-ayat yang mulia tersebut, Alloh   telah menjelaskan secara detail langkah-langkah dan sarana-sarana untuk meraih ‘iffah, serta agar terhindar dari fitnah.

BACA JUGA : 

KEUTAMAAN MENJAGA IFFAH (MENAGA DIRI)