SUDUT HUKUM | Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut oleh masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi’ah. Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah.
Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah. Menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syari’ah yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasi nya berupa hukum-hukum syari’ah (fiqih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqih yang menjadi metode penggalian (Tharîqah al–Istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqih dan ushul fiqih menurut Imam Syafi’i.
Sejarah Lahirnya Mazhab Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age”. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban maupun kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Fenomena ini kemudian melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan
fiqih Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh
tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan
meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama
Memasuki abad kedua Hijriyah inilah yang menjadi era kelahiran mazhabmazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi, baik dalam memahami nash al-Qur’an dan al-Hadist maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawaban nya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia tanpa disadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakar dan melembaga nya doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat (penetapan) hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi inilah yang dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqih.
Metode imam Abu Hanifah di dalam proses mengajar:
Diantara pokok pokok istinbat yang pernah beliau sampaikan secara langsung adalah, berpegang kepada alquran ketika ditemukan hukum hukumnya, jika tidak ditemukan di dalam alquran maka pada sunnah jika tidak ditemukan pada sunnah maka berpegang pada pendapat sahabat, kemudian apabila ijtihad itu dari jalur Ibrahim An Nakho’i, Assyabi, Ibnu Sirin, A’to, dan Said ibnu Musyaib (pembesar mujtahidin di kalanagan tabiin), maka saya (Abu Hanifah) ber ijtihad sebagaimana ijtihad mereka. Dari kutipan perkataan beliau di atas menunjukkan bahwa Abu Hanifah berpegang kepada alquran kemudian sunnah dan perkataan para sahabat jika tidak ditemukan baru setelahnya beliau ber ijtihad.
Dengan demikian sumber hukum menurut Imam Abu Hanifah adalah:
Al-qur’an adalah perkataan Allah yang di turun kan oleh Ruhul Amin ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafal bahasa Arab berikut artinya. Supaya menjadi hujah bagi Rasulullah SAW bahwa Dia adalah sebagai utusan Allah SWT.
Menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang yang mendapat petunjuk dengan petunjuk Allah. Dengan membaca Al-Qur’an itulah maka orang menghamparkan diri kepada Allah dan menyembah-Nya. Hukum yang terdapat dalam al-Qur’an diuraikan secara global, sedangkan
Sunnah berfungsi menjelaskan secara rinci itu tunduk kepadanya, karena pada dasarnya penjelasan Sunnah berasal dari al-Qur’an juga, sebagai mana Firman Allah AWT:
Sunnah dalam arti syar’i adalah apa yang bersumber dari Rasul. Perkataan, atau perbuatan, atau ketetapan. Dengan demikian Sunnah dilihat dari segi materi dan esensinya terbagi menjadi tiga macam:
a. Sunnah Qauliyah (ucapan)
Artinya: Berpuasa lah karena melihat tanggal(satu Ramadhan) dan ber bukalah (lebaran) karena melihat tanggal (satu syawal).
b. Sunnah Fi’liyah (perbuatan)
Artinya: Lakukan lah shalat persis sebagaimana kalian melihat Ku mengerjakan shalat.
c. Sunnah Taqririyah (ketetapan)
Sunnah taqririyah ialah semisal Nabi melihat suatu perbuatan atau mendengar satu ucapan, lalu Nabi mengakui atau membenarkan nya.
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima risalah nya dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri. Oleh karena itu jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujah sesudah dalil-dalil nash.
Dalam ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti para sahabat. Sebagai konsekuensi logis dari pujian Allah SWT tersebut, berarti kita di diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan karena fatwa-fatwa mereka dapat dijadikan hujah.
Kepercayaan umat kepada para sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan para sahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Jika pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang hidup sesudah mereka juga menetapkan hukum berdasarkan qiyas yang berada dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para sahabat.
Beliau juga menggunakan Ijma’ dan Al-Arfu atau adat sebagai sumber hukum
a. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly). Para ulama sepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujah) untuk menetapkan hukum syara’, tapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siapakah ulama mujtahidin yang berhak menetapkan ijma’.
b. Al-Arfu adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalani orang. Berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkan. Ini merupakan salah satu sumber hukum yang diambil oleh mazhab Abu Hanifah yang berada di luar lingkup nash. ‘Urf (tradisi) adalah bentuk muamalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) ditengah masyarakat. Dan ini tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqh yang diambil dari intisari Sabda Nabi Muhammad SAW:
Hadits ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah mentradisi dikalangan kaum muslimin dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik dihadapan Allah.
Oleh karena itu, ulama’ mazhab Hanafi mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang sohih (benar), bukan yang fasid (rusak / cacat), sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy. Artinya: Dictum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy. Artinya: apa yang ditetapkan berdasarkan ’urf statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zaman nya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
|