Semua manusia sama di hadapan Allah SWT kecuali

Sabtu, 18 April 2015 13:51

Oleh: Jarjani Usman

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujurat: 13).

Baru-baru ini ratusan orang di India menyatakan diri masuk Islam setelah menyadari agama yang disampaikan Nabi Muhammad SAW ini tidak mengenal kasta dalam kehidupan. Sebenarnya hal ini telah lama ditegaskan oleh Allah dan juga disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Telah dinyatakan bahwa tidak lebih mulia orang Arab dengan non Arab. Tidak dibedakan manusia hanya karena warna kulit atau kaya dengan miskin. Semua sama di hadapan Allah, kecuali orang yang bertaqwa. Juga disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian. Namun yang Allah lihat adalah hati dan amalan kalian” (HR. Muslim).

Semoga keinsyafan atau kesadaran mereka yang berasal dari luar Islam semakin menyadarkan kita juga untuk meninggalkan kebiasaan mengotak-ngotakkan diri hanya karena perbedaan jumlah harta, keturunan, kedudukan, atau tingkat pendidikan. Apalagi kebiasaan ini seringkali melahirkan kesombongan di dalam hati. Allah tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri. Bahkan telah diingatkan bahwa tidak akan mencium bau surga siapa saja yang dalam hatinya bersemayam kesombongan walau sekecil biji sawi.

Sumber: Serambi Indonesia

  • Suatu ketika Umar Ibnul Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang gambaran takwa. Lalu ia menjawab dengan nada bertanya: “Bagaimana jika engkau melewati jalan yang penuh anak dan duri?” tanya Umar. “Tentu aku bersiap-siap dan hati-hati” Itulah takwa, kata Ubay bin Ka’ab


    Pada dasarnya sebagai manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tapi dalam perjalanan kehidupan manusia kedudukan ini menjadi bergeser, ada yang mendapat kemuliaan di sisi Allah, dan ada juga yang sebaliknya mendapat hinaan dari Allah SWT. Faktor apa yang dapat membedakannya?


    Manusia pada mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa. Daripadanya berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia di negara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua.


    Dalam hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13, artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”


    Jadi telah disebutkan dalam ayat tadi bahwa faktor yang menjadi pergeseran status di sisi Allah adalah Agama atau ad-din, yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. 

    Baca juga: Akhlak Memuliakan Tetangga


    Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena takwanya, bukan karena jumlahnya” 


    Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:


    لَيْسَ لأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ بِالدِّيْنِ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ. (رواه البيهقي).


    “Tidaklah seseorang mempunyai keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”


    Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai miliaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikembangkan. Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka temukan.


    Namun, kalau direnungkan semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tenteram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia.


    Tak dapat dihindari pula dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang, orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan “kekurangan” itu menyuruh (memaksa)-nya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi ajaran agama Allah.

    Baca juga: Takwa dan Kemuliaan Manusia di Hadapan Allah


    Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah ukuran yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggungjawabannya.


    Tetapi sekali lagi, karena tipisnya ikatan manusia dengan syariat Allah, manusia banyak yang tidak menghiraukan halal atau haram, karena memang manusia “tidak punya hak” untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, kecuali kembali kepada syariat agama Allah. 


    Karena minimnya ilmu syar’i itulah yang menyebabkan banyak manusia terjerembab ke lembah kedurhakaan dan jatuh ke lumpur dosa. Bahkan tidak menutup kemungkinan, para pelakunya tidak merasa berbuat dosa, atau malah bangga dengan “amal dosa” itu.


    Syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:


    رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ وَيُوْرِثُكَ الذُّلَ اِدْمَانُهَا، وَتَرْكُ الذُّنُوْبِ حَيَاةُ الْقُلُوْبِ وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا.


    “Aku lihat perbuatan dosa itu mematikan hati, membiasakannya akan mendatangkan kehinaan. Sedang meninggalkan dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi diri(mu) bila meninggalkannya”


    Prestasi manakah yang akan manusia ukir? Prestasi barrun, taqiyyun, karimun (baik, takwa, mulia!). Atau kah prestasi fajirun, syaqiyun, dzalilun (ahli maksiat, celaka, hina). Dalam hal mana? Yaitu sejauh mana kita menyikapi ajaran Allah dan Rasul-Nya.


    Perhatikan juga wasiat Imam al-Hasan al-Bashri berkata:


    أَيُّهَا النَّاُس إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ.


    “Wahai manusia, ketahuilah bahwasanya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, setiap ada sehari yang berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.”

    Baca juga: Syariat Menghormati Guru dan Orang Tua

    Renungan:

    Sudah berapa umur kita yang berlalu begitu saja.


    Sudah berapa amal taat yang telah kita kumpulkan sebagai investasi di sisi Allah.


    Sudah berapa pula, amal maksiat yang telah kita lakukan yang menyebabkan kita (nantinya) terseret ke dalam Neraka.


    Umat Islam telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an (dan As-Sunnah). Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah. 


    Dalam tafsirnya, al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut: 


    Zhalimun linafsihi: Orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah haramkan (yang dilarang) 


    Muqtashid: Orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh. 


    Sabiqun bil khairat: Orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya) 


    Tak seorang pun yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah yang berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Tetapi semua itu terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan syariat Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya. (Fathoni Ahmad)

    Derajat Manusia Sama di Hadapan Tuhan?

    Ada sebagian orang yang menyatakan,

    Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan, memiliki derajat yang saja di hadapan tuhan. Sehingga satu sama lain, tidak boleh saling merasa benar. Apalagi meremehkan orang lain.

    Mohon kritik untuk kalimat ini…

    Jawab:

    Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

    Salah satu upaya setan untuk menyesatkan manusia adalah dengan membisikkan kalimat-kalimat indah, namun menipu. Seolah itu benar, padahal isinya kesesatan. Itulah kalimat-kalimat racun, yang sedang diperjuangkan liberal untuk merusak aqidah kaum muslimin.

    Allah mengingatkan,

    وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

    “Demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap nabi, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, mereka saling membisikkan kepada yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. al-An’am: 112)

    Dari pernyataan yang anda sampaikan, isinya campuran. Ada yang baik dan ada yang sesat. Tentu saja dinilai berdasarkan dalil, bukan berdasarkan kaca mata liberal.

    Kita akan lihat lebih dekat,

    Pertama, “Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan”

    Kalimat ini benar, diakui oleh semua manusia yang mengakui adanya Pencipta alam semesta. Ada banyak dalil dalam al-Quran yang menyebutkan hal ini. diantaranya firman Allah,

    وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

    Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan. (QS. as-Shaffat: 96)

    Kedua, “memiliki derajat yang saja di hadapan tuhan”

    Jelas ini tidak benar. Karena manusia tidak sama derajatnya di hadapan Allah.

    Bahkan salah satu yang sangat banyak di bahas dalam al-Quran adalah membedakan antara penduduk surga dan penduduk neraka.

    لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

    Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni jannah; penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-Hasyr: 20)

    Yang baik dan yang buruk jelas beda,

    قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ

    Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. (QS. al-Maidah: 100)

    Allah sebut orang mukmin dengan khoirul bariyah (makhluk terbaik) dan Allah sebut orang kafir dengan Syarrul bariyyah (makhluk terjelek),

    إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ . إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

    Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (QS. al-Bayyinah: 6 – 7)

    Bahkan Allah membedakan antara orang berilmu dan orang yang tidak berilmu,

    قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

    Sampaikan, tidaklah sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. (QS. az-Zumar: 9).

    Ketiga, “Sehingga satu sama lain, tidak boleh saling merasa benar”

    Tidak semua pembenaran layak dianggap meremehkan orang lain. Atau tidak menerima pendapat orang lain. Kita semua yakin 2 x 3 = 6. Ketika ada anak kelas 1 SD yang memberikan jawaban salah, kemudian Pak Guru meluruskan, tentu saja bukan berarti Pak Guru meremehkan anak itu atau tidak menerima pendapatnya.

    Allah memberikan kita akal untuk menimbang setiap informasi yang kita terima. Sehingga manusia bisa mencapai derajat kebenaran mutlak. 3 + 1 = 4, itu kebenaran mutlak berdasarkan logika dasar manusia.

    Demikian pula ini berlaku dalam masalah agama.

    Setiap muslim wajib merasa benar dengan agama dan keyakinan yang dia miliki. Karena membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, itu bukti iman.

    Allah memuji orang mukmin yang tidak ragu dengan kebenaran imannya,

    إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

    Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. al-Hujurat: 15)

    Allah memuji orang mukmin yang membenarkan al-Quran,

    وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآَمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ

    Orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. (QS. Muhammad: 2)

    Sebaliknya, Allah memerintahkan kita untuk memerangi orang yang menyimpang dari ajaran islam,

    قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

    Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. at-Taubah: 29)

    Ketika ada seorang mengaku mukmin, namun dia masih meragukan kebenaran rukun iman, meragukan kebenaran al-Quran dan hadis shahih, menganggap itu bukan kebenaran mutlak, maka dia belum mukmin.

    Allahu a’lam.

    Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

    Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
    Download Sekarang !!

    KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

    Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

    • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
    • DONASI hubungi: 087 882 888 727
    • Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial

    🔍 Cara Istighfar, Nafsu Wanita Terhadap Lelaki, Apakah Bpjs Haram, Cara Biar Mimpi Basah, Hukum Pinjaman Online, Panduan Belajar Sholat

    Semua manusia sama di hadapan Allah SWT kecuali

    KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28