Apakah nikah siri itu zina menurut Islam?

Apakah nikah siri itu zina menurut Islam?
Ilustrasi alasan menikah siri. Foto: Istock

Jakarta -

Nikah siri adalah nikah yang tidak dicatat oleh negara. Karena tidak dicatat di KUA ini, meski secara agama menikah siri sah, namun tidak menurut negara sehingga kekuatan hukumnya pun lemah.

Pernikahan sesuai UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga jika tidak tercatat, artinya pernikahan tersebut tak memiliki kekuatan hukum.

"Di Indonesia sendiri, sebenarnya praktik nikah siri hampir mirip dengan praktik cohibination (tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan), dimana tidak ada legalitas pernikahan yang terjadi. Pernikahan dianggap ada secara agama, namun tidak secara legalitas negara," kata Alfath Hanifah Megawati, M.Psi., Psikolog Klinis Dewasa saat berbincang dengan Wolipop, Jumat (13/11/2020).

Menikah siri yang lemah di mata hukum ini, kenapa ada pasangan yang melakukannya? Ada berbagai alasan dan juga masalah dalam pasangan itu sendiri hingga pada akhirnya mereka memilih menikah siri.

Berikut berbagai alasan pasangan nikah siri:

1. Masalah Ekonomi

Psikolog Klinis Dewasa Alfath Hanifah Megawati mengatakan salah satu alasan pasangan menikah siri karena dianggap lebih instant dan ekonomis. "Dalam melakukan pernikahan secara resmi, banyak prasyarat dan juga dokumen yang harus diurus atau dipenuhi terlebih dahulu, sehingga memerlukan usaha dan waktu untuk mengurusnya. Selain itu, pasangan yang menikah secara resmi, biasanya melakukan resepsi, dimana secara biaya pun memakan biaya," kata psikolog yang akrab disapa Ega itu.

2. Menghindari Zina

Ada pun alasan lainnya pasangan menikah siri adalah menghindari zina atau omongan orang lain. Dengan menikah siri, menurut Ega, hal tersebut bisa menjadi pembenaran ketika pasangan tinggal bersama.

"Ketika pasangan memutuskan tinggal bersama, di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentu bukanlah hal yang dapat diterima. Menikah siri memberikan pembelaan atau pembenaran dari sisi pasangan untuk mendapat izin tinggal bersama dan melakukan hubungan seksual. 'Menghalalkan hubungan seksual' menjadi hal yang perlu digarisbawahi. Praktik nikah siri dengan alasan ini banyak dilakukan oleh seseorang yang tinggal di daerah lokalisasi (prostitusi)," lanjutnya lagi.

3. Takut Tidak Diterima oleh Masyarakat

Alasan lain yang juga umum terkait nikah siri adalah untuk membenarkan hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat (aib). Contoh pertama adalah ketika salah satu pasangan sudah terikat dengan pernikahan dengan orang lain.

"Praktik nikah siri, memudahkan seseorang melakukan poligami. Hal ini berkaitan dengan dokumen dan juga restu dari istri pertama untuk melakukan pernikahan. Kita dapat melihat praktik nikah siri yang seperti ini dari berita-berita yang marak terjadi terkait dengan perselingkuhan. Dengan alasan 'sudah nikah siri', pasangan merasa mendapatkan pembenaran untuk diterima hubungannya oleh masyarakat," jelas Ega.

Contoh kedua adalah untuk ketika pernikahan siri dilakukan untuk menutupi kehamilan di luar nikah. Saat seseorang hamil sebelum menikah, kekhawatiran dirinya atau keluarganya akan ditolak atau bahkan dibicarakan oleh masyarakat, menikah siri menjadi pilihan jalan keluar dari masalahnya.

4. Tidak Mendapatkan Restu Orangtua

Alimatul Qibtiyah dari Komnas Perempuan dan juga sebagai profesor kajian gender, menambahkan, yang menjadi pemicu seseorang mau menikah siri, salah satunya karena pasangan tidak mendapatkan restu dari kedua orangtua. "Yang mana kadang-kadang ada yang belum direstui oleh orangtua dan sebagainya. Jadi alasan untuk menghindari zina," ujarnya.

5. Ingin Poligami

Alimatul Qibtiyah menambahkan poligami juga menjadi alasan pasangan menikah siri. Menurutnya pernikahan siri ini mempermudah para pria berpoligami. Karena tak sedikit wanita bersedia menjadi istri kedua tanpa diketahui istri pertama. Namun agar tidak dianggap zina, pernikahan siri pun jadi pilihan para wanita tersebut.

(gaf/eny)

Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah

alhikmah.ac.id – Akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang nikah siri. Pasalnya, pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami, dan kawin kontrak.

Dalam RUU tersebut, nikah siri dianggap ilegal sehingga pasangan yang menjalani pernikahan model itu akan dipidanakan, di antaranya adalah kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal Rp 5 juta. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.Oleh karenanya, Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan di atas ditolak oleh banyak kalangan, karena akan membawa dampak yang buruk dan secara tidak langsung akan semakin menyuburkan pelacuran. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Nikah Siri ?

Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. (Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356). Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual, sebagaimana dalam firman Allah swt :

“Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina (atau melakukan hubungan seksual) dengan mereka. “ (QS Al Baqarah : 235 )

Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti: berzina atau melakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih Jabir bin Zaid, Hasan Bashri, Qatadah, AnNakh’i, Ad Dhohak, Imam Syafi’i dan Imam Thobari. (Tafsir al Qurtubi : 3/126). Pendapat ini dikuatkan dengan salah satu syi’ir yang disebutkan oleh Imru al Qais:

“Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang sepertiku ini tidak bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik.“

Saat ini, nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga pengertian:

Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam kitab Al Umm 5/ 23,

“Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya). “

Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra:

“Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri. “ ( HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama, adapun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat (terpecaya) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid (4/62) hadist 8057)

Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.

Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:

Pendapat pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435). Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil“ (HR Daruqutni dan al Baihaqi). Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (al-Muhalla : 9/465).

Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.

Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (akad timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli.

Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.

Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.

Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95). Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. (Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401) Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

“Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara. “ (HR an Nasai dan al Hakim dan beliau mensahihkannya serta dihasankan yang lain).

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

“ Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya.” ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi berkata: Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.

Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA.

Pertanyaannya, kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk ini? Apa yang mendorong mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke lembaga pencatatan resmi? Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, di antaranya adalah:

a. Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.

b. Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.

c. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatif tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.

d. Faktor-faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya.

Bagaimana hukum nikah siri dalam bentuk ketiga ini?

Pertama: Menurut kaca mata syariat, nikah siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.

Kedua: namun, menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sanksi hukum.

Pertanyaannya adalah kenapa negara memberikan sanksi kepada para pelaku nikah siri dalam katagori ketiga ini? Apakah syarat sah pernikahan harus dicatatkan kepada lembaga pencatatan? Bagaimana status lembaga pencatatan pernikahan dalam kaca mata syari’at?

Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak ditemukan riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang yang menikah dan belum melaporkan kepada negara. Hal itu, mungkin saja belum ada lembaga pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah pernikahan, karena dianggap belum diperlukan. Dan memang pernikahan bukanlah urusan negara tetapi merupakan hak setiap individu, serta merupakan sunah Rasulullah saw.
Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin kompleks, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Maka, secara umum negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

“Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat.“ (As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama, hlm : 121)

Maka, dalam ini, pada dasarnya negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.

Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka mestinya negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan tersebut, di antaranya adalah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memberikan keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu, bukan malah meminta bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor.

b. Membuka pelayanan pada hari-hari di mana banyak diselenggarakan acara pernikahan.

c. Tidak mempersulit orang-orang yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap anak dan istri mereka.

Tetapi jika ada tujuan-tujuan lain yang tersembunyi dan tidak diungkap, maka tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah kepada pelarangan orang yang ingin menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil, jika keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta telah mengumumkan perang terhadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung memberikan jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak di negeri Indonesia ini. Wallahu A’lam. (hdyt)

download

Apakah kalau sudah nikah siri itu termasuk zina?

Karena dalam pernikahan siri tidak terdapat dokumen yang diakui oleh hukum bahwa seseorang telah menikah dan sah secara agama, maka konsekuensinya terdapat risiko pasangan yang menikah siri dapat dijerat Pasal 284 ayat (1) KUHP tentang zina, jika suami/istri yang menikah siri ini ternyata masih terikat perkawinan yang ...

Nikah siri itu halal atau haram?

Nikah siri hukumnya sah secara agama asalkan syarat dan rukun nikah terpenuhi. Jadi, menjawab pertanyaan nikah siri tanpa sepengetahuan keluarga apakah sah, pernikahan tersebut sah jika memenuhi syarat dan rukun nikah.

Mengapa nikah siri dilarang dalam Islam?

Akibat dari nikah siri ialah tak adanya Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Maka, pernikahan tersebut tidak dianggap sah secara hukum negara. Anak yang lahir dari pernikahan siri pun akan kesulitan dalam mengurus dokumen-dokumen administratif seperti akta kelahiran.

Perbedaan nikah siri dan zina?

Zina adalah hubungan seksual oleh orang tanpa ikatan pernikahan atau perkawinan. Nikah siri sendiri mengalami perubahan makna kontekstual. Dahulu nikah siri maksudnya adalah pernikahan yang sah secara agama tapi tidak diketahui publilk atau masyarakat, dan salah satu tanda kebiasannya adalah tidak mengadakan walimah.