Sejak abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau v school yang lamanya

Sejak abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau v school yang lamanya

Kampongschool. Kedoe. Village school. Central Java 1910 (Koleksi:www.kitlv.nl)

A. Kondisi dan Perkembangan Pendidikan Hindia Belanda

Sebelum pemerintah kolonial menguasai Indonesia, sejarah pendidikan di Indonesia sudah dimulai. Ketika itu pendidikan pribumi hanya mengenal satu jenis pendidikan yang biasa disebut lembaga pengajaran asli yaitu sekolah-sekolah agama Islam dalam berbagai bentuknya seperti langgar, surau atau pesantren. Di tempat tersebut murid-murid dilatih untuk belajar membaca Al-Qur’an dan mempelajari kepercayaan dan syariat agama Islam.[1] Kemudian pada awal abad XX, melalui peraturan pemerintah tahun 1818, maka pemerintah Belanda menetapkan bahwa orang-orang pribumi diperbolehkan masuk sekolah-sekolah Belanda. Pemerintah juga akan menetapkan peraturan-peraturan tata tertib yang diperlukan mengenai sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi.[2]

Sebenarnya pendidikan bumiputra telah dimulai pada masa V.O.C. yang didirikan oleh para misionaris dan diperuntukkan bagi pribumi yang beragama Kristen. Tahun 1799 V.O.C. bangkrut dan diambilalih oleh pemerintah kolonial Belanda, selanjutnya antara tahun 1811-1816 Indonesia dikuasai oleh pemerintah Inggris dan ketika pemerintah kolonial Belanda mengambil alih kekuasaan dari pemerintah Inggris menunjukkan bahwa tidak ada sekolah yang ditinggalkan.

Regeeringsreglement (Peraturan Pemerintah) yang dimulai tahun 1818 terdapat peraturan yang berhubungan dengan perguruan untuk pribumi. Akan tetapi hal ini tidak jadi dilaksanakan karena pemerintah kolonial mengalami kekurangan uang, dan uang yang mengalir seluruhnya diperuntukkan bagi kas negeri induk. Pada tahun 1848 ditetapkan bahwa tiap-tiap tahun dari begrooting (anggaran belanja) akan diambil f.25.000 untuk mendirikan sekolah-sekolah bumiputra. Tetapi sekolah itu tidak untuk kemajuan rakyat, dan hanya untuk keperluan pemerintah yaitu untuk “mencetak ambtenaar”. Ambtenaar-ambtenaar ini nantinya harus bekerja sebagai mandor dan lain-lain di kebun-kebun milik pemerintah.[3]

Sesudah tahun 1850, pemerintah Hindia Belanda diwajibkan untuk memperhatikan sekolah-sekolah bagi orang-orang Eropa. Untuk sistem pendidikan di sekolah ini, mereka menggunakan sistem yang berlaku dinegeri Belanda. Untuk bumiputra sendiri apabila ingin masuk ke sekolah ini maka syarat-syarat yang sangat berat harus dipenuhi. Pertama-tama, yang boleh masuk sekolah untuk orang Eropa ini ialah bumiputra yang beragama nasrani. Pada tahun 1863 pintu dibuka untuk anak-anaki regent (bupati) dan pada tahun 1864 pintu dibuka (in pricipe/pada prinsipnya) untuk segenap bumiputra, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Gubernur Jendral.[4]

Pada tahun 1860 di Jakarta didirikan Gymnasium Willem III. Pintu sekolah ini tertutup bagi bumiputra. Baru pada tahun 1874 bumiputra dapat memasuki sekolah ini. Pada waktu itu hanaya ada dua sekolah di mana bumiputra sesudah tamat sekolah rendah, dapat meneruskanpelajarannya yaitu Dokter Djawa School dan Kweekschool (sekolah guru). Ini untuk memenuhi kebutuhan pemerintah yang kekurangan tenaga medis dan tenaga pengajar, selain itu juga dikarenakan pengiriman guru dan tenaga dari negara induk banyak mengeluarkan biaya.

Perubahan politik di Hindia Belanda dimana politik cultuurstelsel digantikan oleh politik liberal membawa perubahan pula bagi pengajaran di Hindia Belanda. Bila tujuan awal pengajaran adalah kebutuhan akan ambteenar maka pada masa politik liberal kebutuhan akan tenaga kerja terdidik diperuntukkan bagi perkebunan-perkebunan swasta (onderneming-onderneming). Hal ini dicanangkan oleh Koninklijk Besluit mulai tanggal 3 Mei 1871 dan kebijakkan bagi yang bersekolah pun masih sama yaitu mereka yang merupakan keturunan bangsawan dan ambteenar dengan alasan bahwa pemerintah tidak mampu membiayai pendidikan bagi rakyat kebanyakan.[5] Hal ini tentunnya sangat aneh bila melihat bagaimana perkembangan perdagangan swasta pada masa politik liberal. Perkembangan perdagangan swasta (partikelir) dengan Pemerintah Kolonial dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel. 1. Pertumbuhan Perdagangan (dalam jutaan gulden) [6]

Tahun Perdagangan Partikelir Impor dan Ekspor Pemerintah (Perdagangan Partikelir)
Ekspor Impor Kelebihan ekspor Ekspor Impor Kelebihan ekspor
1876-1880 119,7 143,7 24,0 129,3 188,0 58,7
1881-1885 133,8 156,3 22,5 141,9 189,0 47,1
1886-1890 126,0 162,1 36,1 130,3 185,3 54,9
1891-1895 154,5 184,3 29,8 161,8 206,0 44,2
1896-1900 164,1 209,1 45,0 170,1 226,7 56,6
1901-1905 187,1 255,1 68,0 196,7 275,2 78,5
1906-1910 250,7 394,9 143,9 258,4 413,8 155,4
1911-1915 386,2 602,6 216,4 407,4 643,3 235,9
1915-1920 630,1 1333,9 703,8 685,2 1338,8 653,6

Tabel di atas menunjukkan bagaimana semakin besarnya keuntungan perdagangan baik swasta maupun pemerintah pada masa awal politik liberal hingga berlakunya politik Ethis, dengan keuntungan yang mencapai hampir f.24,0 juta dan f.58,7 juta pada awal politik liberal dan meningkat menjadi hampir 650%. Merupakan hal aneh ketika pemerintah kolonial tidak mau memberikan pengajaran secara menyeluruh kepada masyarakat pribumi. Padahal untuk biaya sekolah pemerintah kolonial telah memberikan sebuah diskriminasi antara anak-anak Eropa dan pribumi, dimana anak-anak Eropa membayar uang sekolah sebesar f.7,5 sebulan sedangkan anak-anak pribumi sebesar f.15,0 sebulan. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah kolonial di dalam menyaring orang-orang pribumi untuk bersekolah dengan menerapkan biaya sekolah yang tinggi.[7]

Perkembangan pengajaran hingga berakhirnya politik liberal masih meneruskan upaya bagaimana memenuhi kebutuhan akan buruh yang terdidik dan murah. Pada tahun 1893 didirikan 1e klasse scholen (sekolah Klas I) dan Hoofden Scholen (Sekolah Kepala Negeri) yang didirikan tahun 1878 dijadikan untuk Inlandsche ambtenaren (O.S.V.I.A. atau Sekolah Pendidikan untuk Pejabat Pribumi). Dan sejak tahun 1892 pendidikan sekolah dasar bagi pribumi dibagi menjadi dua yaitu sekolah angka siji (Eerste School) yang diperuntukan bagi anak-anak priyayi dan “berada” serta sekolah angka loro (Tweede School) yang diperuntukan bagi anak-anak rakyat kebanyakan.[8] Dari sekolah ini dapat melanjutkan di sekolah rendah Eropa dengan masa belajar tujuh tahun dan menuntut persyaratan bahasa Belanda.

Perkembangan sekolah bumiputra angka dua dan muridnya sejak tahun 1900 mengalami kenaikan, hal ini dapat terlihat dari tabel 2 berikut:

Tabel. 2. Jumlah Sekolah Bumiputra Angka Dua dan Murid[9]

Tahun Jumlah Sekolah Jumlah Murid
Negara Swasta Total Negara Swasta Total
1900 551 836 1387 64742 36431 98173
1905 674 1286 1942 95975 66741 161816
1910 1021 2106 3127 133425 99204 232629
1915 1202 2198 3400 186300 134644 320974
1920 1845 2368 4213 241414 116556 357970

Walaupun perkembangan sekolah gaya barat mengalami kemajuan yang pesat tetapi jumlah murid-muridnya tidak pernah besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Hindia Belanda dan orang terpelajar hanya sebagian dari seluruh penduduk. Hal ini dapat dilihat dari tabel 3 berikut:

Tabel. 3. Perbandingan anak-anak yang bersekolah dan tidak bersekolah[10]

Anak-anak yang berumur Jumlah Yang mendapat pengajaran Yang tidak mendapat pengajaran
6 – 9 tahun 4.803.600 (100%) 1.431.429 (29,8%) 3.372.200 (70,2%)
6 – 11 tahun 8.009.900 (100%) 1.623.745 (20,3%) 6.386.200 (79,7%)
6 – 13 tahun 11.216.339 (100%) 1.647.761 (14,7%) 9.568.578 (85,3%)

Perkembangan selanjutnya adalah sekolah angka siji pada tahun 1914 dirubah menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS) dengan bahasa Belanda sebagai pengantar dan dihubungkan dengan sistem sekolah lanjutan Belanda. Sebelum itu, orang tua yang menyadari manfaat pendidikan gaya barat dan cukup mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke Europeesche Lagere Schoolen (ELS), sekolah dasar Eropa, dan setelah tamat dapat terus ke sekolah lanjutan Belanda seperti Hollandsche Burgerscholen (HBS), Sekolah Kelas Menengah Belanda atau S.T.O.V.I.A. dan O.S.V.I.A. (sekolah dokter bumiputra dan pegawai bumiputra).

Menurut M.C. Ricklefs bahwa pembaharuan sekolah-sekolah Kelas Satu dan pengembangan-pengembangan pendidikan selanjutnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan rakyat Indonesia golongan bawah, yang telah diberi kesempatan memasuki sekolah-sekolah Kelas Dua. Memperluas pendidikan untuk rakyat banyak merupakan suatu masalah keuangan yang luar biasa, dan suatu cita-cita yang sama sekali tidak mendapat dukungan penuh di kalangan pendukung-pendukung gagasan Ethis pun. Pada tahun 1918 diperkirakan bahwa akan menghabiskan biaya 417 juta gulden setahun guna mengurus sekolah-sekolah Kelas Dua bagi seluruh penduduk Indonesia, biaya ini jauh lebih besar daripada seluruh pengeluaran pemerintah kolonial.[11]

Untuk mengurangi pengeluaran biaya yang besar bagi kas kolonial maka pada tahun 1904 van Heutsz berhasil mendapatkan jawabannya. Sekolah-sekolah desa (desascholen yang juga disebut volksscholen: sekolah rakyat) akan dibuka yang sebagian besar biayanya ditanggung oleh penduduk desa sendiri, tetapi dengan bantuan pemerintah kalau perlu. Seperti halnya dengan banyak perbaikan Ethis lainnya, pemerintah menetapkan apa yang terbaik untuk rakyat Indonesia dan sesudah itu memberitahukan berapa yang harus dibayar oleh rakyat itu demi perbaikan mereka. Di sekolah-sekolah tersebut akan diterapkan masa pendidikan tiga tahun dan mata pelajarannya, yang memberikan ketrampilan dasar membaca, berhitung dan ketrampilan praktis, diajarkan dalam bahasa daerah serta dipungut uang sekolah.[12]

Sejak abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau v school yang lamanya

Vijf Javaanse jongens in een schoolbank 1920 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Perkembangan pendidikan ini banyak mendapat kritik terutama mengenai sekolah Kelas Dua karena hanya sedikit dari murid sekolah ini yang dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut Direktur Pendidikan dan Agama, K.F. Creutzberg mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal van Limburg Stirum untuk membangun sekolah peralihan dimana sekolah ini akan menampung murid-murid sekolah Kelas Dua yang pintar untuk dapat melanjutkan belajar di M.U.L.O. (Meer Uitgebreid LagerOnderwijs atau sekolah menengah pertama)[13]. Di dalam sekolah peralihan ini diajarkan bahasa Belanda yang lebih intensif sebagai bekal untuk melanjutkan ke sekolah menengah pertama.  Sekolah peralihan ini dibuka pertama kali di Bandung dan Padang Panjang pada tahun 1921.

Sekolah H.I.S. sendiri masih merupakan impian bagi sebagian besar penduduk pribumi di Hindia Belanda, karena berdasarkan ketentuan pemerintah (Staatblad 1914 No. 359) ada empat dasar penilaian yang memungkinkan orang tua mengirimkan anak-anaknya ke H.I.S. yaitu keturunan, jabatan, kekayaan dan pendidikan. Jadi seorang anak keturunan bangsawan tradisional, keturunan orang yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan seperti wedana, demang dan sebagainya, pendidikan barat yang pernah dimiliki orang tua minimal M.U.L.O. atau yang setingkat dan kalangan orang tua yang berpenghasilan f.100 per bulan mempunyai hak untuk sekolah di sekolah ini.[14]

Pemerintah kolonial sengaja membatasi penduduk pribumi yang bersekolah dengan diferensiasi sosial baik secara ras maupun secara materi. Hal ini ditujukan guna mempertahankan hegemoni kekuasaan pemerintahan dan ekonominya di dalam tanah jajahan. Menurut Antonio Gramsci, sifat ekonomi kapitalisme yang berkembang akan selalu diikuti dengan struktur-struktur yang memperkuat sistem tersebut, seperti struktur sosial, struktur politik, hukum  dan kepolisian. Struktur pemerintah atau negara adalah sebagai kekuatan represif dan pelayan bagi klas yang dominan yaitu klas borjuis[15] yang di Hindia Belanda diwakili oleh pemerintah kolonial dan para pemilik modal.

Permasalahan pendidikan sendiri menjadi bagian dari struktur sosial di dalam masyarakat Hindia Belanda. Pendidikan gaya Barat yang diadakan oleh pemerintah kolonial merupakan bagian dari tatanan kolonial yang terbagi secara rasial dan linguistik serta terpusat secara politik, sehingga pemerintah kolonial membatasi segala bentuk pencerdasan penduduk pribumi dengan membuat berbagai produk hukum yang mengharuskan masyarakat pribumi mengikuti garis politik Ethis yang telah ditetapkan. Maka dapat dilihat dari tabel 4 di bawah ini dari tahun 1900-1920 jumlah murid pribumi yang lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke sekolah lanjtan dan sekolah kejuruan sangat sedikit sekali.

Tabel. 4. Jumlah Murid Pribumi di Sekolah Lanjutan[16]

Tahun Sekolah Dasar Sekolah Lanjutan Sekolah Kejuruan
1900 896 13 376
1905 1353 118
1910 1681 50 1470
1915 25808 406
1920 38024 1168 3917

Sedikitnya jumlah kelulusan ini disebabkan sedikitnya kesempatan bersekolah bagi masyarakat pribumi dalam mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah lanjutan. Hanya golongan kaya dan priyayi bangsawan yang dapat bersekolah tinggi bahkan hingga tingkat pendidikan universitas.

Sejak abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau v school yang lamanya

Inlandse landbouwschool op Java 1915 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

B. Sekolah Bersubsidi dan Sistem Pendidikan Kolonial Belanda

Semenjak dijalankannya Politik Etis, terlihat adanya kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan. Sebelumnya di Hindia Belanda hanya terdapat dua macam sekolah yang didirikan pada tahun 1892, yaitu Sekolah Angka I khusus untuk anak bumiputra terkemuka dan Sekolah Angka Dua untuk anak-anak bumiputra pada umumnya. Setelah munculnya Politik Etis pendidikan di Hindia Belanda mulai mendapat perhatian khusus, yang menyebabkan dalam dua dasawarsa pertama setelah tahun 1900, lembaga pendidikan dasar di Hindia Belanda.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian menciptakan suatu sistem pendidikan untuk menangani bermacam-macam golongan yang ada dalam masyarakat. Secara umum, sistem pendidikan tersebut menganut sistem diskriminasi ras yang didasarkan menurut keturunan atau lapisan sosial yanga ada. Selain itu sekolah-sekolah yang ada di Hindia Belanda dibagi menjadi dua yaitu Sekolah Bersubsidi dan Sekolah Tak Bersubsidi (Partikelir). Sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda semuanya diberikan subsidi begitu pula sekolah-sekolah yang dianggap satu aliran dengan kebijakkan pemerintah diberikan subsidi serta disediakan guru-guru untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar.

1. Sekolah Negeri Pemerintah Kolonial

Pendidikan rendah di Hindia Belanda disebut dengan Lager Onderwijs yang terbagai menjadi tiga macam yaitu sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda atau Westerch Lagere Onderwijas, sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah dan terakhir Sekolah Peralihan atau sekolah Schakelschool.

Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda terbagi menjadi tiga, yaitu Europeese Lagere School atau disingkat ELS yang merupakan sekolah rendah Eropa, sekolah yang kedua adalah Hollandsche Chinese School atau disebut HCS, yaitu sekolah untuk anak-anak keturunan China dan sekolah bumiputra Belanda atau Hollandsche Inlandsche School atau disebut HIS yang merupakan peleburan dari Sekolah Kelas Satu. ELS didirikan untuk mendidik anak-anak keturunan Eropa, anak-anak keturunan Timur Asing dan anak-anak pribumi golongan atas. Pada awalnya sekolah yang lama pendidikannya tujuh tahun tersebut merupakan satu-satunya jalur seseorang untuk mengikuti ujian pegawai rendah (Klein Ambtenaars Examen). Dalam perkembangan selanjutnya HIS dan HCS pun dapat mengantar seseorang untuk dapat mengikuti ujian pegawai rendah. HIS dan HCS lama pendidikan yang ditempuh sama seperti pada sekolah ELS yaitu tujuh tahun. Jenis sekolah ini sangat membatasi anak-anak pribumi yang akan menjadi siswa di dalamnya. Selain itu sekolah ini mendapat subsidi dari pemerintah kolonial Belanda karena merupakan sekolah negeri.[17]

Sejak abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau v school yang lamanya

Leerlingen en onderwijzend personeel van de Fröbelschool te Ternate 1903 (Koleksi:www.kitlv.nl)

Jenis sekolah rendah yang kedua adalah sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah, yang terbagai menjadi tiga yaitu Sekolah Bumiputra Kelas Dua atau Tweede Klasse Scholen atau Sekolah Angka Dua, Sekolah Desa atau Volkschool dan Sekolah Lanjutan atau Vervolgschool. Sekolah Bumiputra Kelas Dua pertama kali didirikan untuk masyarakat umum pada tahun 1906. Lama pendidikan yang ditempuh mula-mula hanya tiga tahun dengan kurikulum yang sangat sederhana yaitu meliputi membaca, menulis, berhitung dan bahasa Melayu. Dalam tahun-tahun berikutnya sekolah ini mengalami peningkatan mutu, lama pendidikannya diperpanjang menjadi lima tahun dengan tambahan mata pelajaran menggambar, menyanyi, ilmu bumi, geografi, ilmu pengetahuan alam dan pendidikan jasmani. Lulusan pendidikan ini diarahkan menjadi guru sekolah desa setelah mengikuti ujian yang diadakan oleh Kepala Sekolah Negeri bumiputra. Dalam perkembangannya sekolah ini menjadi lembaga pendidikan golongan elit rendah yang keadaannya hampir sama seperti Sekolah Kelas Satu.[18]

Sekolah rendah dengan bahasa pengantar dengan bahasa pengantar bahasa daerah yang kedua adalah volkshool. Lama pendidikan yang ditempuh tiga tahun dan sekolah tersebut didirikan pertamakali pada tahun 1907. Pendirian sekolah ini diawali dari adanya permintaan penambahan tenaga terdidik dari perusahaan-perusahaan Barat. Sekolah ini dinilai tepat untuk dikembangkan, karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya. Semua pembiayaan sekolah harus ditanggung oleh kas desa. Walaupun tidak diberikan subsidi oleh pemerintah kolonial Belanda tetapi volkschool dianggap sekolah milik pemerintah. Tujuh tahun setelah pembentukan Sekolah Desa, yaitu pada tahun 1914 didirikan vervolgschool atau sekolah lanjutan dari Sekolah Desa dan bertujuan menampung lulusan dari Sekolah Desa. Sebelumnya Sekolah Desa tidak mampu mengantar siswanya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, karena kurikulumnya yang sederhana.[19] Akibat keterbatasan tersebut mendorong pemerintah untuk mendirikan sekolah lanjutan yang terdiri dari kelas empat dan kelas lima.

Pemerintah kolonial Belanda juga menyelenggarakan sekolah lanjutan selain sekolah dasar. Jenis sekolah lanjutan yang pertama adalah sekolah dasar yang diperluas yaitu MULO. Sekolah ini merupakan kelanjutan dari Sekolah Dasar berbahasa Belanda dengan masa pendidikan tiga tahun. Sekolah lanjutan ini terbagi menjadi dua yaitu Sekolah Menengah Umum atau Algemeene Middelbareschool (AMS) dan Sekolah Tinggi Warga Negara atau Hogere Burgerschool (HBS). Sekolah AMS diperuntukkan bagi golongan pribumi dan golongan Timur Asing lulusan MULO. Sekolah HBS diperuntukkan bagi lulusan ELS yang merupakan golongan Eropa, bangsawan pribumi dan anak-anak tokoh terkemuka.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, pemerintah Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah kejuruan, agar alumni sekolah jenis ini dapat langsung memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Sekolah kejuruan ini terdiri dari berbagai macam, antara lain Sekolah Pertukangan yang dibagi menjadi dua yaitu Ambachts leergang yang menerima lulusan Sekolah Bumiputra Kelas Dua dan vervolgschool. Sekolah pertukangan yang kedua adalah Ambacthsshool, sekolah ini menerima lulusan dari HIS, HCS, dan sekolah Peralihan. Kedua sekolah pertukangan tersebut mempunyai masa pendidikan tiga tahun. Ambachts leergang mencetak tukang listrik, mebel, dan lain-lain sedangkan Ambacthsshool mencetak mandornya.

Sekolah kejuruan lainnya adalah sekolah dagang atau Handels Onderwijs yang bertujuan untuk memenuhi tenaga administrasi perusahaan-perusahaan Eropa yang berkembang pesat. Kweekschool atau sekolah guru dibagi menjadi tiga yaitu Noormalschool, sekolah guru bagi siswa lulusan Sekolah Kelas Dua dan lama pendidikan empat tahun, Kweekschool adalah sekolah guru yang diperuntukkan bagi lulusan sekolah desa berbahasa Belanda dengan masa studi empat tahun, dan yang terkahir adalah Hollandsche Inlandsche Kweekschool merupakan sekolah guru berbahasa Belanda yang bertujuan menghasilkan guru HIS atau HCS dengan lama belajar enam tahun.

Selain serangkaian sekolah dasar, sekolah kejuruan, dan sekolah lanjutan yang ada, pemerintah kolonial Belanda juga menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi atau Hooger Onderwijs. Mulai tahun 1910 ada tiga macam pendidikan tinggi atau perguruan tinggi yang didirikan di wilayah Hindia Belanda, yaitu Pendidikan Kedokteran, Pendidikan Tinggi Hukum dan Pendidikan Tinggi Teknik. Ketiga sekolah tinggi ini mencetak lulusan-lulusan dokter, ahli hukum dan ahli teknik yang bekerja sebagai dokter, ahli hukum dan ahli teknik di Hindia Belanda.

2. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending

Salah satu motif kedatangan bangsa Belanda di Hindia Belanda adalah motif theokratis, yaitu penyebaran Injil. Awalnya sasaran penyebarannya dilakukan secara langsung melalui gereja, penerbitan buku-buku Kristen dan lain-lain. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan usaha tersebut berkembang dengan pendirian-pendirian rumah sakit dan sarana pendidikan.

Sejak abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau v school yang lamanya

School in Kalitjeret met onderwijzer. Salatiga-zending Java 1906 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Sekolah ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu sekolah yang dibuka khusus bagi anak-anak Eropa atau yang sederajat serta sekolah Kristen untuk anak Bumiputera. Dalam kurikulumnya selain memperkenalkan ajaran-ajaran Kristen juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Bahasa Belanda menjadi kurikulum pelajaran yang penting, bahasa ini juga digunakan sebagai bahasa pergaulan. Untuk mendukung program di atas maka siswa maupun guru-guru yang mengajar diharuskan tinggal di asrama yang telah disediakan dan sehari-harinya diwajibkan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Aturan-aturan ini menyebabkan orang-orang yang dididik di tempat tersebut terpisah dari budaya Jawa, lebih-lebih Zending juga mampu menampung para alumni sekolahnya dengan memberikan lapangan pekerjaan di berbagai bidang. Tujuan dari sekolah ini yaitu menyebarkan ajaran agama Kristen dan sesuai dengan tujuan pemerintah kolonial Belanda maka sekolah ini mendapatkan bantuan dan kemudahan dari pemerintah kolonial.

3. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missie

Sekolah Katolik berhasil didirikan oleh Pastor Keyser di daerah Yogyakarta dan Klaten pada tahun 1892 dan sebelumnya telah didirikan pula sekolah yang sama pada tahun 1890 di Semarang dan Magelang. Semula sekolah ini bercorak Europees yang netral dengan memberi kebebasan kepada murid-muridnya untuk mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama Katolik. Dalam perkembangan selanjutnya dengan masuknya ajaran Kotekismus, pelajaran agama Katolik menjadi pelajaran wajib dan diajarkan juga melalui peraturan-peraturan dalam asrama siswa.[20] Sekolah Katolik pada tahun 1921 terus berkembang dengan bantuan pemerintah melalui penyediaan dana dan fasilitas.

C. Munculnya Sekolah Partikelir Bumiputra tidak Bersubsidi

Perkembangan pendidikan akibat dari politik Ethis belum mampu memberikan kepuasan kepada penduduk pribumi. Mahalnya uang sekolah dan pembatasan secara rasial dan politik untuk mengakses pendidikan membawa organisasi-organisasi modern yang telah berkembang pada saat itu dan individu-individu yang berpikiran maju merencanakan pembangunan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi. Pemerintah kolonial sendiri telah mengeluarkan peraturan bagi pendirian sekolah-sekolah partikelir ini dalam Lembaran Negara (Indisch Staatblad) tahun 1880 nomor 21 yaitu pengawasan terhadap pendidikan swasta dari orang Eropa kepada orang Bumiputra. Untuk pengawasan ini baik yang diberikan di sekolah maupun di rumah diwajibkan ada ijin dari Kepala Daerah yang diberikan dengan syarat bahwa kondisi setempat tidak mempunyai keberatan[21].

Perkembangan pendidikan barat yang dibawa dan diperkenalkan oleh pemerintah kolonial walaupun banyak terjadi diskriminasi secara sosial, tetapi membawa perubahan dan cakrawala kepada penduduk pribumi untuk melihat dunia. Menurut Robert Van Niel, bahwa perluasan dan perkembangan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada gilirannya membuahkan beragamnya elit Indonesia. Bila di tahun 1900 kelompok priyayilah yang menjadi kaum bangsawan dan administratur, menjelang tahun 1914 kelompok ini bertambah dengan dengan sejumlah pegawai pemerintah, teknisi-teknisi pemerintah dan cendikiawan yang sama-sama memerankan peran elit dan yang di mata rakyat biasa Indonesia di desa-desa tercakup ke dalam yang umumnya disebut “priyayi”.[22] Tentu saja termasuk juga kompetisi antara priyayi lama dan priyayi baru ini, terutama dalam hal kepemimpinan dan pengendalian keinginan-keinginan rakyat biasa.

Perkembangan pendidikan ini juga membawa pengaruh yang besar dalam konteks pergerakan rakyat. Pendidikan dapat dipandang sebagai sebuah dinamit bagi sistem kolonial. Pengaruh pendidikan terhadap masyarakat kolonial diakui sepenuhnya oleh penguasa-penguasa kolonial sendiri, dan menurut Colijn “merupakan tragedi politik kolonial, karena ia membentuk dan membangun kekuatan-kekuatan yang di kemudian hari akan melawan pemerintah kolonial”.[23] Alasan yang dikemukakan Colijn merupakan ekspresi dari penguasa kolonial yang merasa kepentingannya merasa terancam dan apa yang diperkirakan memang menjadi sebuah kenyataan yang tak terelakkan walaupun berjalan sangat lamban.

Organisasi modern pertama pribumi adalah Boedi Oetomo yang terbentuk pada tahun 1908. Organisasi ini mewadahi para priyayi Jawa sebagai anggotanya dan berjalan sesuai dengan garis politik Ethis pemerintah kolonial. Hal ini dapat terlihat dalam permohonan organisasi Boedi Oetomo kepada pemerintah kolonial. Permohonan ini banyak memfokuskan pada bidang pendidikan yaitu (1) menyempurnakan pendidikan Kweekscholen dan O.S.V.I.A., (2) mempertahankan mutu pendidikan di S.T.O.V.I.A., (3) mendirikan sekolah-sekolah Frobel[24] untuk anak-anak pribumi laki-laki dan perempuan dan membuka pintu sekolah-sekolah dasar Eropa bagi anak-anak pribumi, walaupun mereka tidak memahami bahasa Belanda atau jika tidak, mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi serupa dengan sekolah-sekolah Belanda-China, (4) mendirikan sekolah-sekolah dagang untuk pribumi termasuk kaum perempuan, (5) menyediakan lebih banyak tanah untuk sekolah-sekolah pertanian, (6) memberikan beasiswa kepada murid-murid pribumi, (7) memberi izin penyelenggaraan undian (dengan tujuan mengumpulkan dana beasiswa, dan (8) memberi izin Boedi Oetomo mendirikan sekolah-sekolah desa.[25]

Perkembangan dari permohonan yang diajukan oleh Boedi Oetomo memang sangat lamban di respon oleh pemerintah kolonial. Sehingga memunculkan ide-ide untuk membangun sekolah-sekolah yang bebas dari intervensi pemerintah kolonial tetapi masih dalam garis politik Ethis. Secara umum bahwa pendirian sekolah-sekolah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pergerakan adalah didorong oleh pertentangan kepentingan sosial dengan penjajah, karena perbedaan rasial pertentangan tersebut menjadi lebih serius. Selain itu bahwa sekolah merupakan lahan yang tepat bagi perekrutan kader-kader yang terdidik, sehingga organisasi dapat berjalan sesuai dengan arah yang dituju.

Sejak dekade pertama abad ke-20 telah bermunculan sekolah-sekolah partikelir. Sekolah-sekolah partikelir ini tidak hanya didirikan oleh kaum pergerakan Hindia Belanda, tetapi juga banyak dilakukan oleh komunitas China di Hindia Belanda. Mengenai munculnya sekolah swasta yang dilakukan oleh pribumi dapat dilihat yaitu perkembangan sekolah-sekolah swasta Boedi Oetomo yang mendirikan perhimpunan Neutraal Onderwijs (Sekolah Netral) sebagai pengumpul dana bagi pendirian sekolah Boedi Oetomo dan telah berhasil mendirikan tiga buah sekolah di kota Jogjakarta dua buah dan satu buah di Soerakarta.[26]

Organisasi lain yang pertumbuhannya melalui bidang sosial dan keagamaan adalah Muhammadiyah, yang sejak didirikan pada tahun 1912 sampai tahun 1925 mempunyai anggota 4000 orang, mampu mendirikan 55 sekolah dengan 4000 orang murid.[27] Sekolah-sekolah partikelir banyak didirikan oleh organisasi Islam sebagai bentuk penjagaan umat Islam dari makin masifnya penetrasi para zending (misionaris) dalam penyebaran agama Kristen. Pendidikan yang dibangun oleh para misionaris Kristen melalui sekolah-sekolah mampu menghasilkan guru-guru agama Kristen dari kalangan bumiputra. Selain itu pendirian sekolah-sekolah oleh para misionaris ini didukung oleh pemerintah kolonial melalui subsidi pendidikan yang diberikan kepada sekolah-sekolah tersebut.

Tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah partikelir juga disebabkan kurangnya pemeritah kolonial Belanda di dalam menyediakan sarana pendidikan bagi anak-anak di Hindia Belanda. Dalam publikasi yang dikeluarkan oleh Komisi Pengajaran Hindia Belanda No. 12 halaman 7b disebutkan bahwa bila kita memperbandingkan perluasan pengajaran sejak tahun 1920 dengan bertambahnya jumlah penduduk sejak tahun yang sama kita akan melihat bahwa pengajaran sekolah dasar dalam bahasa Belanda, betapapun jumlah sekolah itu diperbanyak masih saja terlalu sedikit bila dibandingkan dengan penduduk yang berjuta-juta itu. Dan pengajaran yang biasa pun jauh terbelakang dengan besarnya pertambahan penduduk.[28]

Masalah-masalah pendidikan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pergerakan mendapatkan sebuah perhatian yang besar setelah tahun 1920-an. Hal ini dikarenakan pada tahun 1920-an perubahan-perubahan ekonomi dan sosial semakin terasa menghimpit masyarakat Hindia Belanda. Selain itu banyaknya sekolah partikelir yang didirikan pada masa ini dilakukan karena biaya anggaran untuk pendidikan dipangkas sebagai akibat dari memburuknya kondisi perekonomian Hindia Belanda. Padahal dapat terlihat bagaimana kecilnya dana pendidikan bila dibandingkan dengan keuntungan perdagangan Hindia Belanda dalam tabel 5 berikut:

Tabel. 5. Anggaran Belanja Pengajaran[29]

Tahun Anggaran Belanja Onderwijs (Pengajaran)
1848                                        0,25 Juta
1854                                        1,50 juta
1911                                        9,70 juta
1915                                       14,9 juta
1920                                       28,4 juta
1925                                       37,7 juta

Memang dalam laporan pemerintah kolonial bahwa masyarakat masih mengutamakan sekolah negeri milik pemerintah baru bila hal ini sulit terjangkau biasanya masyarakat akan memilih sekolah swasta bersubsidi dan sekolah swasta yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah kolonial.[30]

Sekolah-sekolah swasta tidak bersubsidi banyak dibangun oleh kaum pergerakan yang berfungsi selain memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat pribumi yang tidak tertampung di sekolah milik pemerintah kolonial, juga sebagai tempat perekrutan kader bagi organisasi pergerakan tersebut. Memang tidak semua sekolah yang dibangun oleh kaum pergerakan sebagai pemenuhan akan kader yang terdidik, tetapi sebagian besar memiliki tujuan dari keprihatinan akan minimnya aksesbilitas masyarakat pribumi akan pelayanan pendidikan oleh pemerintah kolonial.

Sedangkan pemerintah kolonial Belanda sendiri memiliki tujuan yang berbeda untuk bidang pengajaran ini. Pemerintah mengharapkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar maka dengan pengajaran bahasa Belanda maka buku-buku yang mereka baca dapat mempengaruhi masyarakat untuk membeli barang-barang yang dihasilkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Artinya bahwa motif keuntungan ekonomi sangat di utamakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menghasilkan lulusan pendidikannya.

Tumbuhnya sekolah-sekolah partikelir ini dikarenakan dua hal yaitu kurangnya jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda bagi masyarakat. Tujuan kedua adalah tujuan pendidikan kolonial yang jauh dari harapan Artinya bahwa kaum pergerakan nasional ingin merubah maksud dan tujuan dari pendidikan kolonial dengan pendidikan yang lebih selaras dengan kebutuhan penghidupan rakyat dengan mendirikan sekolah partikelir.

Dapat dilihat, bahwa sebagian besar kurikulum pada prinsipnya berhubungan dengan bidang-bidang di luar kegiatan lapangan pekerjaan yang biasanya terdapat dalam lingkungan yang tradisional seperti pertanian, industri rumah tangga, kerajinan, dan sebagainya. Kurikulum di sekolah-sekolah kolonial, meskipun menawarkan subjek yang hampir mirip dengan yang diperkenalkan di negeri asal penjajah, tetapi isi materinya berbeda secara mencolok. Sebagai contoh di sekolah-sekolah Eropa (atau negeri asal penjajah) murid-murid perlu mempelajari sejarah negeri mereka sendiri. Ini mulai diperkenalkan mulai dari tingkat sekolah dasar. Akan tetapi di sekolah-sekolah kolonial di negeri jajahan jarang sekali mata pelajaran sejarah diajarkan dan jika itu ada hanya tersedia waktu yang relatif singkat (setengah jam seminggu) itu pun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib.[31]

Hal inilah yang menjadi alasan utama sekolah partikelir didirikan oleh akum pergerakan nasional sebagai pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat dan juga pemberian pelajaran yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Sehingga murid-murid tidak menjadi meminjam istilah Mestika Zeid “Belanda Hitam”.

[1] H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan (YOI: Jakarta, 1987), hal. 176.

[2] Ibid., hal. 178.

[3] Sejarah Onderwijs (pengajaran)  Nasional diterbitkan oleh Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (Indonesische Studenten Unie), Januari 1933 dalam Pitut Soeharto dan A. Zainul Ihsan, Belenggu Ganas: Capita Selecta Kelima,  Aksara Jayasakti: Jakarta, 1982, hal. 177-179.

[4] Ibid.

[6] Boekoe Peringatan P.P.P.I., dalam Ibid., hal. 182

[7] S. Nasution,  Sejarah Pendidikan di Indonesia, Jemmars: Bandung, 1983, hal. 40.

[8] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti Press, 1997, hal. 37.

[9]. S.L. van der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940: Kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940,  Depdikbud: Jakarta, 1977, hal. 7.

[10] Publicatie Hollandsche Inlandsche Onderwijsche Commisie No. 7a hal. 18 dalam Sejarah Onderwijs (Pengajaran) Kolonial, diterbitkan oleh Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (Indonesische Studenten Unie), Januari 1933. Dalam Pitut Soeharto dan A. Zainul Ihsan, Belenggu Ganas: Capita Selecta Kelima,  Aksara Jayasakti: Jakarta, 1982,  hal. 185.

[11] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, UGM Press: Yogyakarta, 1995, hal. 240.

[12] Ibid.

[13] Surat Direktur Pendidikan dan Agama K.F. Creutzberg kepada Gubernur Jendral van limburg Stirum tanggal 11 Maret 1920, dalam S.L. van der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940: Kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940,  Depdikbud: Jakarta, 1977.

[14]Marwati Djoend Poesponegoro dan Noegroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Balai Pustaka: Jakarta, 1993, hal. 143.

[15] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara Dan Hegemoni, Pustaka Pelajar: Jogjakarta, 1999, hal. 30.

[16] Takashi Shirashi, Zaman Bergerak, Radikalisasi Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti Press: Jakarta, 1997, hal. 38.

[17] S.L. van der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940: Kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940,  Depdikbud: Jakarta, 1977, hal. 142-

[18] Ibid.

[19] Sekolah Desa hanya mengajarkan membaca, berhitung dan menulis bagi para siswanya.

[20] H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, (Jakarta: YOI, 1987), hal. 362.

[21] Dalam Lembaran Negara 1903 nomor 389 diganti dengan jika tidak menimbulkan gangguan tata tertib dan keamanan. Dalam Lembaran Negara tahun 1912 nomor 286 ditetapkan bahwa yang bersangkutan harus membuktikan telah tamat sekolah rendah di negeri Belanda atau sekolah rendah dengan pengantar bahasa Belanda di Hindia Belanda, dalam S.L. van der Wal, Op.Cit., hal. 62.

[22] Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Pustaka Jaya: Jakarta, 1984, hal. 75.

[23]Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Gramedia: Jakarta, 1993, hal. 60.

[24] Sekolah frobel merupakan sekolah bahasa, dimana murid akan diajarkan bahasa Belanda.

[25] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Grafitti Press: Jakarta, 1989, hal. 85.

[26] Soembangsih, Gedenkboek Boedi Oetomo, 1908-1918, Tijdschrift Nederlandsche Oud & Nieuw, Amsterdam, 1918, hal. 17, dalam Pitut Soeharto dan A. Zainul Ihsan, Cahaya di Kegelapan: Capita Selecta Kedua, Boedi Oetomo dan Sarekat Islam Pertumbuhannya dalam Dokumen Asli,  Aksara Jayasakti: Jakarta, 1982,  hal.131.

[27] M.C. Ricklefs, Op.Cit., hal. 260, lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES: Jakarta, 1996, hal. 95.

[28] Publicatie Hollandsche Inlandsche Onderwijsche Commisie No. 12 hal. 7b dalam Sejarah Onderwijs (Pengajaran) Kolonial, diterbitkan oleh Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (Indonesische Studenten Unie), Januari 1933.[28]

[29] Sejarah Onderwijs (Pengajaran) Kolonial, diterbitkan oleh Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (Indonesische Studenten Unie), Januari 1933, dalam Pitut Soeharto dan A. Zainul Ihsan, Op.Cit., hal. 183. Bandingkan dengan tabel 1 mengenai Pertumbuhan Perdagangan di Hindia Belanda.

[30] Dari Pejabat Sementara Penasehat Urusan Bumiputera (R.A. Kern) kepada Gubernur Jenderal (Fock), 24 Januari 1924, dalam S.L. van der Wal, Op.Cit., hal. 68.

[31] Mestika Zeid, Pendidikan Nasional dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan, MSI dan Gramedia: Jakarta, 1991, hal. 24.