Lihat Foto KOMPAS.com - Manusia merupakan homo socius atau makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia butuh bersosialisasi untuk tetap bertahan hidup. Kehidupan sosial manusia telah eksis sejak masa pra-aksara. Kehidupan sosial manusia purba pada masa pra-aksara dimulai pada zaman Paleolithikum (Batu Tua) hingga zaman Logam. Berikut karakteristik kehidupan sosial manusia purba masa pra-aksara: Pada masa paleolithikum, seluruh aspek kehidupan manusia purba sangat bergantung pada keadaan alam dan lingkungannya. Manusia purba pada masa ini hidup secara berpindah-pindah (nomaden) secara berkelompok. Baca juga: Manusia Purba di Asia dan Eropa Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia I (2010) karya Djonoed Poesponegoro, kehidupan sosial manusia purba masa Paleolithikum masih sangat sederhana, mereka hidup bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Jumlah anggota kelompok biasanya ditentukan dari besarnya hasil buruan, baik buruan tanaman maupun buruan hewan. Manusia purba zaman ini telah menerapkan sistem pembagian kerja sederhana berdasarkan jenis kelamin, umur dan kekuatan. Kaum lelaki bertugas untuk berburu binatang, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah untuk meramu makanan dan menjaga anak. Pada masa mesolithikum, corak kehidupan manusia purba masih bercorak berburu dan meramu. Namun, terdapat beberapa kelompok yang mampu menanam sayur dan buah (holtikultura) secara berpindah. Baca juga: Manusia Purba Hominidae di Afrika dan Ciri-Cirinya Kehidupan sosial masa Mesolithikum lebih berkembang daripada masa Paleolithikum. Manusia purba pada masa ini telah menerapkan pola kehidupan gua (abris sous roche) dan pantai (kjokkenmoddinger). Pada masa praaksara, terutama pada Masa Neolitikum, kehidupan manusia pada waktu itu mengalami perubahan secara cepat (revolusi). Dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia purba tidak lagi mengandalkan alam, tetapi mengolah dari alam dan hunian tempat tinggal yang mulai diterapkan. Pada Masa Neolitikum, kehidupan tata kelola juga turut mengalami peningkatan, yakni dengan adanya pemahaman terhadap Primus Interpares. Secara istilah, Primus Interpares merupakan frasa Latin yang memiliki arti pertama yang yang sederajat atau yang pertama di antara yang setara. Konsep ini dalam konteks kehidupan manusia praaksara merupakan metode pemilihan pemimpin melalui musyawarah di antara satu suku yang didasarkan pada kecakapan baik dalam segi fisik ataupun spiritual. Seseorang yang memiliki pengaruh dan kecakapan di antara orang-orang di sekitarnya akan diangkat sebagai pemimpin melalui mekanisme musyarawah. Jadi, jawaban benar adalah E. Primus interpares adalah sistem pemilihan seorang pemimpin atau kepala adat atau kepala suku yang cara pelaksanannya berdasarkan musyawarah. Kriterianya berdasarkan kelebihan fisik dan spiritual. Primus interpares juga memiliki pengertian sebagai penguasa mutlak. Dengan demikian, jawaban yang benar adalah B.
Primus inter pares merupakan sebuah metode pemilihan pemimpin melalui musyawarah diantara satu suku berdasarkan kelebihan baik itu dari segi fisik maupun dari segi spiritual. Primus inter pares biasanya berhubungan dengan wibawa seseorang yang mencakup kepercayaan, mutu tokoh (kemampuan mengorganisasi, tingkat visioner, pemahaman terhadap permasalahan di dalam suku, keadilan, pandai mendengar, pemecah masalah dan pandai mempersatukan). Cara ini sudah digunakan sejak peradaban purba yaitu pada masa neolitikum atau yang disebut zaman batu baru. Neolitikum adalah suatu revolusi yang sangat besar dimana terjadi perubahan dari food gathering (berburu dan meramu) menuju food producing (bercocok tanam dan berternak).
Primus inter pares[1] (bahasa Inggris: first among equals, bahasa Yunani Kuno: Πρῶτος μεταξὺ ἴσων, prōtos metaxỳ ísōn) adalah frasa Latin dengan makna yang pertama di antara yang sederajat atau yang pertama di antara yang setara. Frasa ini biasanya digunakan sebagai suatu gelar kehormatan bagi mereka yang secara formal setara dengan anggota lainnya dalam kelompok mereka tetapi diberikan penghormatan secara tidak resmi, yang secara tradisi dikarenakan senioritas mereka dalam jabatan.[2] Secara historis, princeps senatus Senat Romawi merupakan seorang figur yang demikian dan awalnya hanya membedakan bahwa ia diizinkan untuk berbicara pertama kali saat sesi debat. Selain itu, Konstantinus Agung juga mendapat peran sebagai primus inter pares. Namun, istilah ini juga sering digunakan secara ironis atau pengungkapan ketidaksetujuan-diri oleh para pemimpin dengan status lebih tinggi sebagai suatu bentuk penghormatan, persahabatan, ataupun propaganda. Setelah jatuhnya Republik, kaisar-kaisar Romawi awalnya hanya menyebut diri mereka sebagai princeps meski memiliki kuasa atas hidup dan mati "sesama warga negara" mereka. Beragam figur modern seperti Ketua Federal Reserve, perdana menteri rezim parlementer, Presiden Federal Swiss, Ketua Mahkaman Agung Amerika Serikat, dan Patriark Ekumenis Gereja Ortodoks Timur mengandung dua signifikasi dalam jabatan mereka: memiliki status yang lebih tinggi dan berbagai kewenangan tambahan namun tetap masih setara dengan rekan-rekan mereka dalam hal-hal penting.
Frasa "yang pertama di antara yang sederajat" juga digunakan untuk mendeskripsikan peran Patriark Konstantinopel, yang, sebagai Patriark Ekumenis, adalah yang pertama di antara para uskup Gereja Ortodoks Timur. Ia tidak memiliki yurisdiksi langsung atas patriark lainnya ataupun gereja-gereja Ortodoks otosefalus lainnya dan tidak dapat ikut campur dalam pemilihan uskup-uskup di gereja-gereja otosefalus, tetapi ia berhak mengadakan sinode-sinode luar biasa yang meliputi mereka (dan/atau delegasi mereka) untuk menghadapi situasi ad hoc, dan ia juga mengadakan berbagai Sinode Pan-Ortodoks selama beberapa puluh tahun terakhir. Gelarnya merupakan suatu pengakuan atas arti pentingnya secara historis dan hak istimewanya untuk melayani sebagai juru bicara utama Komuni Ortodoks Timur. Otoritas moralnya sangat dihormati. Gereja Ortodoks Timur juga menggunakan istilah "yang pertama di antara yang sederajat" berkaitan dengan Uskup Roma.[3] Walaupun Patriark Konstantinopel saat ini dipandang sebagai yang pertama di antara para patriark Ortodoks, Gereja Ortodoks memandang Uskup Roma (dianggap sebagai "Patriark Barat") sebagai "yang pertama di antara yang sederajat" dalam Pentarki Takhta-Takhta Patriarkal sesuai tradisi kuno, yakni pengurutan (atau "taxis" dalam bahasa Yunani) milenium pertama atas Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokia, dan Yerusalem, yang terbentuk setelah Konstantinopel menjadi ibu kota wilayah timur dari Kekaisaran Bizantin/Romawi.[3][4] Uskup Roma tidak lagi memiliki pembedaan ini dalam Gereja Ortodoks karena, setelah Skisma Timur–Barat, ia tidak lagi berada dalam persekutuan dengan Gereja Ortodoks.[5] Gereja KatolikGereja Katolik Roma dan Gereja-Gereja Katolik Timur memandang Paus sebagai Wakil Kristus, penerus Santo Petrus, dan pemimpin para uskup yang adalah para penerus Rasul-Rasul. Dengan demikian Gereja-Gereja ini tidak memandang Paus sebagai "yang pertama di antara yang sederajat", tetapi sebagai figur yang benar-benar memegang suatu jabatan di atas uskup lainnya. Klaim yurisdiksional itu dianggap sebagai salah satu penyebab utama Skisma Timur-Barat dalam Gereja, yang secara formal terjadi pada tahun 1054. Ketua Dewan Kardinal dalam Gereja Katolik umumnya dipandang sebagai yang pertama di antara yang sederajat dalam Kolegium tersebut. Komuni AnglikanDalam Komuni Anglikan, Uskup Agung Canterbury dipandang sebagai "yang pertama di antara yang sederajat" dalam kepemimpinannya atas Komuni tersebut.[6] Uskup senior di antara ketujuh uskup diosesan Gereja Episkopal Skotlandia menyandar gelar singkat Primus yang diambil dari frasa primus inter pares. Para uskup terkemuka, ataupun para primat gereja Anglikan lainnya sering kali disebut 'primus inter pares dalam provinsi mereka masing-masing. Berdasarkan sejarah yang di dalamnya berbagai konsili ekumenis mengakui keutamaan universal tertentu Uskup Roma, para partisipan dalam dialog-dialog Anglikan–Katolik selama puluhan tahun mengakui bahwa Paus berfungsi sebagai pemimpin tituler dari sebuah gereja yang bersatu kembali; kalangan Anglikan umumnya ingat akan suatu keutamaan kehormatan (non yurisdiksional) sebagaimana tersirat dalam frasa "primus inter pares". Sebagai contoh pengakuan tersebut, Komisi Internasional Anglikan-Katolik untuk Kesatuan dan Misi, dalam pernyataan Tumbuh Bersama dalam Kesatuan dan Misi yang mereka sepakati pada tahun 2007, "mendesak umat Anglikan dan Katolik untuk bersama-sama mengeksplorasi bagaimana pelayanan Uskup Roma dapat diberikan dan diterima dalam rangka membantu Komuni-Komuni kita untuk tumbuh menuju komuni gerejawi yang sepenuhnya." PresbiterianismeModerator Majelis Umum dalam suatu gereja Presbiterian dengan cara serupa ditetapkan sebagai suatu primus inter pares. Konsep tersebut juga berlaku bagi para Moderator dari masing-masing Sinode, Klasis, dan Konsistori. Bagi Presbiterian, karena semua penatua ditahbiskan – beberapa untuk mengajar dan beberapa untuk mengatur, tidak ada yang memiliki status lebih tinggi, tetapi semuanya setara di bawah Yesus Kristus sebagai satu-satunya kepala gereja.[7] Gereja SwediaDalam Gereja Swedia, Uskup Agung Uppsala dipandang sebagai primus inter pares.[8]
|