Novel Bulang Cahaya adalah satu di antara novel kekinian yang ditulis oleh sastrawan Melayu


Novel ’’Bulang Cahaya’’ :

Aksiologi Melayu dalam Bingkai Sejarah

Oleh Musa Ismail *)

Sebelum mengupas lebih lanjut tentang konsep kepemimpinan dalam novel Bulang Cahaya, berikut ini saya kutip beberapa alasan penulisan novel ini—yang oleh penulisnya, Rida K. Liamsi, disebut sebagai kesadaran utama. Pertama, kesadaran tentang peran sejarah dan kecemerlangan politik Kerajaan Melayu Riau (Kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga) yang sedikit banyak telah memberi sumbangan yang berarti bagi perkembangan sejarah dan kehidupan politik Indonesia dan rantau Melayu di semenanjung ini. Kedua, tentang betapa maju dan berpengaruhnya kebudayaan dan tradisi yang diwariskan imperium ini. Budaya dan tradisi yang dibangun dan dirancang bersama oleh puak Melayu-Bugis dengan Islam sebagai media penyatunya, baik dalam bidang sosial, politik, budaya, dan ekonomi, yang kemudian melahirkan tamadun terbesar di nusantara, yaitu tamadun Melayu. Ketiga, kedua kesadaran di atas telah menjadi warisan nusantara karena telah diantar dan disebarluarkan dengan mengguakan media-media komunikasi yang pas dan mudah diterima oleh masyarakat berupa karya sastra. Keempat, inilah bayangan dan fakta-fakta masa lampau yang bisa dijejak dan itulah pelangi sejarah yang diwariskan dari tradisi Melayu-Bugis. Kelima, saya (Rida K. Liamsi, pen.) berkeinginan mewariskan suatu obsesi, yaitu memancangkan pancang Melayu di mana-mana[1].

Kehadiran novel Bulang Cahaya telah menyemarakkan corak sastra Indonesia, khususnya wajah sastra Riau. Sangat sedikit karya sastra yang mengambil latar sejarah kerajaan seperti yang terjadi dalam novel ini. Dalam catatan Maman S. Mahayana, pemanfaatan peristiwa sejarah sebagai latar cerita baru disentuh oleh Taufik Ikram Jamil dalam novel Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001), Nur Sutan Iskandar dalam novel Hulubalang Raja, Utuy Tatang Sontani dalam Tambera, Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung Manyar, dan Pramoedya Ananta Toer dalam novel tetralogi Bumi Manusia. Penghadiran latar peristiwa sejarah dalam cerita—paling tidak—akan membantu memberikan daya tarik tersendiri terhadap kejadian sejarah yang diketengahkan dalam suatu cerita.

Di samping kekentalan etnik yang begitu menggoda, penulis novel ini tampaknya ingin mengetengahkan khazanah ranggi nilai-nilai (Melayu) meskipun terjadi pada zaman kerajaan (masa lampau). Novel ini bukan hanya mengingatkan kita akan kegemilangan sejarah (nostalgia sejarah), tetapi mengajak kita untuk memiliki kesadaran sejarah, tidak lupa dengan kisah lalu, dan menghargai sejarah bangsa ini. Disadari atau tidak, Rida K. Liamsi sebagai penulis Bulang Cahaya berhasil memaparkan konsep-konsep nilai berharga ke tengah-tengah dunia sastra nusantara.

Sebelum lebih jauh, saya mengajak kita memahami konsep sejarah karena Bulang Cahaya juga begitu jauh memaparkan peristiwa sejarah agung dalam kebudayaan Melayu (Kerajaan Johor-Riau-Lingga). Dalam buku Konsep dan Falsafah Novel Sejarah (2006:4), Sidi Gazalba menjelaskan, istilah sejarah berasal dari bahasa Arab: syajarah. Penyerapannya ke dalam bahasa Melayu bermula sejak berlaku akulturasi antara kebudayaan Melayu dan kebudayaan Islam sejak abad ke-13. Dalam bahasa Arab, sejarah memiliki berbagai makna: pohon, keturunan, asal usul, dan juga digunakan pada makna silsilah, riwayat, babad, tambo, dan tarik. Collingwood mengatakan bahwa sebagai suatu sejarah apabila tiga dari empat cirri sejarahnya sudah terpenuhi. Keempat cirri sejarah itu adalah (1) saintifik atau bermula dengan mengemukakan persoalan-persoalan, (2) tentang kemanusiaan atau mengemukakan perkara-perkara yang telah dilakukan oleh manusia pada waktu-waktu tertentu di masa lalu, (3) rasional atau jawaban-jawaban yang diberikan kepada persoalan-persoalan yang ditimbulkan didasarkan pada bukti-bukti, dan       (4) menjelaskan diri atau ia wujud untuk memberitahu manusia: Apakah manusia itu, dengan cara memberitahu apa-apa yang telah dilakukan oleh manusia[2].

Penghadiran peristiwa berlatar sejarah oleh Rida K. Liamsi dalam Bulang Cahaya telah berarti telah membidik suatu peristiwa kebudayaan yang pernah terjadi di masa lampau. Napas Bulang Cahaya adalah napas sejarah yang tentunya dibumbui ’’air percung’’ imajinasi sehingga menyebarkan keharuman bagi pemikiran para pembaca. Dengan mengangkut peristiwa sejarah ke dalam novel, berarti telah menyandingkan dua sisi: realitas dan imajinasi di suatu pentas. Peristiwa-peristiwa sejarah sebagai batang tubuh cerita yang dibentangkan dalam novel ini tentu tidak dapat kita nafikan karena pembuktian fakta dapat kita rujuk pada sejarah Kerajaan Johor-Riau-Lingga.

Dalam kaitan ini, Harvey Allen menjelaskan, fakta novel sejarah semestinya selari dengan fakta sebenar dalam sejarah yang menjadi pokok ceritanya. Ada pendapat lain mengatakan, novel sejarah ialah sebarang novel yang membentangkan suatu zaman dan generasinya secara jujur. Sementara itu, Brander Matthews mengemukakan, kisah tentang masa lalu tidak semestinya boleh dianggap novel sejarah. Boleh dikelaskan sebagai novel sejarah kalau peristiwa sejarah diolah menjadi tubuh cerita[3].

Jika Bulang Cahaya kita padankan dengan beberapa pendapat tentang novel sejarah di atas, dapat kita ambil beberapa pembuktian nyata tentang realitas sejarah seperti yang dikemukakan oleh Collingwood, yaitu saintifik, tentang kemanusiaan, rasionalitas, dan menjelaskan diri. Sejalan dengan itu, Fleishman menjelaskan bahwa satu kisah kehidupan yang diserapkan dalam bingkai sejarah hanya merupakan sebuah novel, tetapi apabila watak-watak hidup dalam ruang atau dunia yang dihuni oleh tokoh-tokoh sejarah, akan menghasilkan novel sejarah[4]. Kelihatannya, inilah yang tergambar dalam Bulang Cahaya secara utuh.

Bulang Cahaya dan Perempuan Melayu

Dalam peristiwa sejarah Melayu, tentu kita ingat dengan tokoh Tun Teja, seorang perempuan yang dipersembahkan untuk menjadi isteri Sultan Malaka. Peristiwa ini pernah diangkat oleh Marhalim Zaini dalam pementasan Opera Melayu di Gedung Teater Idrus Tintin, Pekanbaru dan salah satu cerpennya bertajuk Tun Teja yang dikemas lebih modern. Dalam sastra Indonesia, dunia perempuan senantiasa mendapat perhatian serius dari para penulis. Ada yang menyoroti dunia suramnya seperti Siti Nurbaya (1920) oleh Marah Rusli dan ada pula mengemasnya lebih maju seperti yang dilakukan Sutan Takdir Alisyahbana dalam novel Layar Terkembang(1936).

Eksistensi dan peranan perempuan Melayu dalam Bulang Cahaya pun begitu dominan. Dari judul novel ini, terdapat dua tokoh perempuan agung, yaitu Puan Bulang Cahaya (Tengku Buntat) dan Engku Puteri, isteri Sultan Mahmud. Judul novel ini memiliki dua makna. Makna pertama, bisa dikatakan sebagai suatu latar tempat, yaitu perkampungan: Kampung Bulang, tempat di mana Tengku Buntat pernah tinggal bersama keluarganya. Selain itu, Bulang Cahaya merupakan panggilan kesayangan yang diungkapkan oleh Raja Djaafar untuk Tengku Buntat (hlm. 34).

Dapat kita katakan bahwa terjadi penyanjungan derajat perempuan dalam novel ini. Penyanjungan kaum perempuan di sini dapat kita tarik dari berbagai peristiwa penting. Selain kesetiaan cinta dan kasih sayang serta kejelitaannya, juga berkaitan dengan peranan perempuan dalam roda perjalanan suatu kekuasaan. Di bagian epilog, Rida K. Liamsi menulisnya sebagai berikut.

’’Sungguh luar biasa seorang perempuan. Meskipun Tengku Buntat bukan setara Cleopatra. Bukan setanding Puteri Mumtaz Mahal, tapi tragedi cintanya mungkin dapat disamakan dengan tragedi cinta Helen dari Troya….’’Benarlah kata orang Prancis. Cherchez la Femme! Di setiap peristiwa besar, selalu di sana ada peranan perempuan,’’ Raja Ikhsan kembali bergumam.’’ (hlm. 319).

Tidak hanya tercatat dalam epilog.  Peranan Tengku Buntat sebagai perempuan pun terlihat begitu hebat dan tersanjung di mata suaminya, Tengku Husin (Tengku Long). Dalam kaitan ini, perempuan dipercayai bisa menyelesaikan sengketa, persoalan, dan pertikaian dalam lingkungan kekuasaan (dalam hal ini antara Raja Djaafar dan Tengku Long). Selain itu, juga tetap menjunjung harga diri sebagai seorang isteri. Perhatikan kutipan berikut.

/Buntat terkesiap. ’’Menyuruh diri hamba bertemu Yang Dipertuan Muda. Apa tidak sumbang? Apa tidak menimbulkan fitnah? Apa Abang Husin memang ikhlas, bukan ingin menjebak diri hamba?’’ katanya dalam hati. Merenung panjang arti permintaan suaminya itu. ’’Apakah Abang Husin tidak sedang menjual isterinya demi kekuasaan?’’ Apa Kakanda sungguh-sungguh? Apa tidak sumbang dan apa kata orang jika isteri Tengku Besar berjumpa dengan Yang Dipertuan Muda? Apa tidak menimbulkan fitnah?’’ dia bertanya sambil menatap lekat mata suaminya. Mencari jawaban yang jujur./

’’Namanya ikhtiar. Banyak perempuan yang dapat menyelesaikan masalah, yang tidak  sanggup dilakukan para lelaki. Carilah cara yang baik dan tidak menimbulkan fitnah dan cakap orang,’’ katanya dengan suara datar dan memalingkan muka dari isterinya. Dan antara sadar dan tidak, dia melanjutkan, ’’Tapi tanya juga hati kecil Adinda apakah mau atau tidak. Jika tidak ya tak usah. Sebagai lelaki, Kakanda pun dapat dituduh dayus,’’ Tengku Long memberi alasan, tapi hati kecil berharap Buntat pergi dan dia yakin, Djaafat akan berubah.’’ (hlm. 306).

Dari tokoh Tengku Buntat, tergambar tentang perempuan (Melayu) yang patuh, setia, dan pantang mendurhaka. Dalam pandangan sosiologi Melayu, prototipe sifat perempuan seperti Puan Bulang itu dapat kita rujuk, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai naskah lain seperti Tun Teja atau Puteri Gunung Ledang. Prototipe sifat perempuan seperti itu bisa berlaku kapan, di mana, dan kepada siapa saja. Dalam novel ini,  Rida K. Liamsi menempatkan peranan perempuan begitu besar. Eksistensi perempuan Melayu bukan hanya  berkutat pada aspek tradisi, keseharian, tetapi juga menyebar luar ke lingkungan pemerintahan, kekuasaan, dan politik. Peranan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya lebih menonjol ke arah intrik politis daripada percintaan. Aspek percintaannya dengan Raja Djaafar, meskipun terlihat begitu kukuh, tetapi tidak lebih untuk memunculkan aneka konflik sehingga jalan cerita novel ini sangat mengesankan. Meskipun kapasitas kemunculan Tengku Buntat tidak begitu intens, tetapi eksistensinya dalam sistem pemerintahan, kekuasaan, dan masa depan kerajaan Melayu tampak sangat kuat dalam novel perdananya ini.

Selain Tengku Buntat, tokoh Engku Puteri, isteri Sultan Mahmud juga perlu mendapat perhatian sebagai seorang perempuan penting dalam kisah ini. Dia merupakan sosok perempuan Melayu yang berprinsip, memegang teguh adat istiadat, beradab, dan berpedoman pada aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Selain sebagai isteri sultan, Engku Puteri juga menjadi kepercayaan sultan. Karena itu, ia ditunjuk sebagai pemegang sirih besar dan regelia kerajaan. Dengan demikian, peranan Engku Puteri boleh dikatakan sangat penting dalam hal penabalan sultan baru yang akan dilantik. Dalam hal ini, Engku Puteri benar-benar telah menggunakan peranannya. Dia menjadi sangat penting. Karena Raja Djaafar lebih berat memilih Tengku Abdurrahman (Tengku Jumat) sebagai pengganti Sultan Mahmud daripada Tengku Husin, maka Engku Puteri yang juga adik kandung Raja Djaafar tetap tidak menyetujui penabalan Tengku Abdurrahman. Menurutnya, yang lebih tepat ditabalkan sebagai sultan adalah Tengku Husin karena anak tertua.

’’Tidak, adinda tidak akan mengizinkan Sirih Besar dan perangkat kebesaran kerajaan dipakai untuk menabalkan Tengku Jumat. Keputusan Kakanda sudah menyalahi adat-istiadat dan sewenang-wenang. Kalau sampai adinda sebagai pemegang regelia kerajaan mengizinkan, maka adinda akan ditertawakan orang. Negeri Riau akan dicemooh negeri lain, karena dianggap negeri yang tak beradat-istiadat. Tidak bermarwah. Adinda akan segera pulang  ke Indera Sakti selepas menujuh hari. Terpulang pada Kakanda  lah semuanya itu,’’ kata Engku Puteri dengan suara keras, bagaikan peluru meletus dan emosional’’ (hlm. 284).

Sebagai Ibu Suri Agung Kerajaan, meskipun berpredikat sebagai adik dari Raja Djaafat, Engku Puteri merupakan perempuan yang menjunjung kejujuran, lurus, dan  berani. Dengan kejujuran, keberanian, dan prinsip adat-istiadat kerajaan itulah, Engku Puteri tidak menghadiri penabalan Tengku Jumat sebagai sultan baru. Sikap Engku Puteri ini merupakan gambaran tentang eksistensi adat istiadat Melayu dalam kehidupan nyata. Paling tidak, istilah adat sebenar adat dan adat yang diadatkan tergambar dari peranan Engku Puteri dalam sejarah kerajaan Johor-Riau-Lingga. Sikap seperti ini menjadi suatu norma tersendiri di dalam sistem pemerintahan ketika itu.

Bulang Cahaya dan Norma Kepemimpinan

’’Kepemimpinan  adalah tindakan, bukan jabatan,’’ kata Mc Gannon. Tindakan-tindakan seorang pemimpin lebih penting daripada jabatan yang didudukinya. Maksud tindakan di sini tentu saja berkaitan dengan keputusan, kebijakan, kebijaksanaan, pertimbangan, ketegasan, dan tepat. Konsep kepemimpinan yang diketengahkan dalam novel ini berorientasi pada tokoh penting pejabat kerajaan, yaitu Sultan (Raja) dan Yang Dipertuan Muda.

Dalam Tsamarat al-Muhimmah karya Raja Ali Haji, makna kata raja dapat disinonimkan dengan khalifah, imam, dan sulthan. Menurut Raja Ali Haji, kata-kata tersebut mempunyai arti yang hampir bersamaan. Perbedaannya hanya terletak pada penekanan yang diberikan masing-masing. Kata raja, diartikan dengan pengertian khalifah. Konotasinya menunjukkan fungsi sebagai khalifat Rasulullah (pengganti kedudukan Rasulullah) dalam menegakkan agama Islam dan melaksanakan keadilan di antara segala hamba Allah berdasarkan Al-Quran, Hadis, dan Ijma’[5].

Beberapa konsep kepemimpinan terpenting yang dapat ditangkap dalam Bulang Cahaya dipaparkan sebagai berikut.

Pertama, konsep persebatian. Nilai-nilai dalam konsep persebatian akan menghapus dendam dan peperangan serta menjunjung prikemanusiaan dan harmonisasi. Konsep ini terlihat dari sikap serta pemikiran Sultan Mahmud dan Raja Djaafar yang berupaya ingin mempersatukan dan merajut persaudaraan Melayu dan Bugis.

’’Di diri beta ada darah Melayu, ada darah Bugis. Bukankah elok kalau orang Melayu dan Bugis juga berdamai, sebagaimana beta tidak memihak kepada siapapun,’’ katanya kepada semua pembesar negeri, ketika mendapat laporan tentang niat pihak Bugis untuk meminta kembali jabatan Yang Dipertuan Muda (hlm. 166, dialog Sultan Mahmud, pen).

Itulah juga ambisi Djaafar sendiri, ingin pihak Melayu dan Bugis berhenti bersakit hati. ’’Kalau yang tua-tua, pastilah sulit untuk berbaik-baik lagi. Tapi yang muda-muda kan boleh,’’ ujarnya suatu kali kepada beberapa pemuda sebayanya dari pihak Melayu dan Bugis (hlm. 132, dialog Djaafar, pen.).

Nilai persaudaraan, persebatian, dan perdamaian dalam kaca mata pemerintahan (kerajaan) akan membentuk suatu konsep kekekalan, kedaulatan, dan marwah terhadap proses menjalankan kebijakan pemerintah. Aspek psikologis yang menggeliat dalam kepribadian tokoh Melayu – Bugis di atas merupakan cerminan dari karakter kepemimpinan yang kuat, terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan khalayak (rakyat).

Kedua, norma ksatria (patriotik). Bulang Cahaya berhasil menampilkan nilai-nilai ksatria nusantara, terutama Melayu – Bugis. Penanaman konsep nilai ini berarti menghapuskan anggapan Barat bahwa bangsa kita kecil di mata mereka. Saya yakin bahwa penulis novel ini sengaja ingin mengagungkan nilai-nilai kepahlawanan, ksatria, dan  nasionalisme nusantara. Terungkap elanisme sejati dari kisah berlatar peristiwa sejarah besar ini. Kegagahan Raja Ali Fisabilillah dan beberapa panglima, kesabaran Raja Djaafar, kebijaksanaan Sultan Mahmud cukup memberikan gambaran akan nilai-nilai agung kepemimpinan dalam Bulang Cahaya.

Ketiga, amanah. Dalam dunia Melayu yang berazaskan Islam, konsep amanah merupakan suatu etika luhur bagi kehidupan. Pantang sekali melanggar amanat apalagi merupakan suatu wasiat sultan. Konsep pemimpin yang amanah ini tergambar dari jatidiri Raja Djaafar. Sebelum mangkat, Sultan Mahmud berwasiat dengan Djaafar agar menabalkan Tengku Jumat sebagai sultan pengganti Sultan Mahmud. Meskipun Djaafar harus berselisih paham dengan permaisuri Engku Puteri, adik kandungnya yang merupakan isteri Sultan Mahmud, Yang Dipertuan Muda itu tetap menjalankan wasiat Sultan.

Keempat, persahabatan antara Raja Djaafar dan Raja Husin begitu kental. Demikian juga antara Raja Djaafar dan Tengku Buntat meskipun pada awalnya benih-benih cinta mereka sepertinya tak kan pernah layu sedikit pun.  Di sinilah dapat kita pahami bahwa persahabatan itu lebih tinggi daripada jabatan/posisi seseorang. Raja Djaafar lebih mengagungkan nilai-nilai persahabatan mereka daripada kedudukannya sebagai Yang Dipertuan Muda. Dia tidak rela kawan dan kekasihnya itu membahasakan dengan sebutan hamba, beta, atau patik. Atau pun, Djaafar juga tidak mau dirinya disebut dengan panggilan Yang Dipertuan Muda oleh Raja Husin dan Tengku Buntat. Sebutan kekeluargaan lebih menggembirakan hatinya.

Kelima, perbuatan untuk menyejahterakan rakyat. Nilai kepemimpinan Djaafar ini terlaksana ketika dirinya membangun pusat pemerintahan (istana) yang strategis di Pulau Penyengat Indera Sakti. Yang lebih mengharubirukan rakyat, istana tersebut dibangun dengan mempergunakan kekayaannya sebagian. Pembangunan pusat kerajaan di pulau itu telah mengundang keramaian.  Keramaian itu pula telah berdampak kepada kesejahteraan rakyatnya karena roda perekonomian sangat hidup ketika itu.

Keenam, nilai terdidik, tegas, dan tidak hanyut dengan perasaan. Pertentangan kaum tua Melayu – Bugis yang telah memisahkan percintaan agung Djaafar dan Buntat, telah merentas jalan lain bagi kelangsungan imperium Melayu. Djaafar menjadi pedagang terdidik. Lalu, perjalanannya setelah ditabalkan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau, telah memancangkan suatu ketegasan sikap. Meskipun kesetiaan cinta masih kuat, Djaafar tidak hanyut dengan perasaannya itu. Dalam kisah percintaan ini, terjadi juga nilai sumbang. Peristiwa sumbang itu terjadi ketika Tengku Buntat bertemu Raja Djaafar atas suruhan suaminya, Tengku Long, untuk mengurungkan niat penabalan Tengku Jumat. Meskipun tidak larut terlalu jauh, peristiwa sumbang tersebut tetaplah tidak bisa diterima di tengah-tengah adat istiadat budaya Melayu, apalagi dalam lingkungan kerajaan. Inilah suatu aksiden ’’memalukan’’ sebagai seorang pemimpin, siapa pun orangnya, baik di masa lampau maupun masa kini.

***

Di tangan Rida K. Liamsi, CEO Harian Pagi Riau Pos yang super sibuk, Bulang Cahaya menyembul begitu terang-gemilang. Meskipun ada beberapa kata yang kurang sesuai dengan zaman (latar peristiwa sejarah), seperti kata strategis dan kata emosi, yang menurut saya cukup mengganggu, novel ini komplit dengan sajian konflik psikis. Seperti apa yang dikatakan Coleridge, sastra (termasuk seni) tidak sekadar pemikiran untuk mengemukakan perbedaan antara realitas rasa dan realitas seni. Sastra tidak sekadar ungkapan masalah ide eksternal, tetapi sebuah kekuatan pemikiran itu sendiri. Sastra akan mengikuti sebuah proses psikis (dalam Endraswara, 2008:60).

Konflik fisis dan sosiobudaya pun membumbui novel ini sehingga menjadi begitu menyentak dan menyentuh kejiwaan. Kekuatan-kekuatan gagasan Rida K. Liamsi begitu menghenyak filosofi kehidupan Melayu. Aksiologi Melayu yang terpendam dalam novel ini terkesan tidak menggurui walaupun sastra yang menggurui itu tidaklah seburuk prasangka beberapa kalangan kritikus sastra. Rida K. Liamsi (Ismail Kadir, kalau nama penulis itu dibaca dari belakang), dalam kaitannya dengan ide yang diasosiasikan dengan kejeniusan sastrawan, dia tergolong pada criteria gaya puitik lemah gemulai. Nuansa memesona, lembut, dan anggun dalam novel ini memperkuat refleksi kejiwaan. Agaknya, apa yang dikatakan Horatius dalam Ars Poetica, yang ditulis tahun 14 Sebelum Masehi, dapat kita tangkap maknanya setelah membaca intensif Bulang Cahaya. ’’Aur prodesse valunt aut delectare poetae/aur simul et iucundaet idonea dicere vitae’’ (Tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan). Ah, seandainya Djaafar dan Buntat bersatu. Ah, seandainya imperium Melayu tidak terpecah. Semoga Bulang Cahaya menjadi inspirasi bagi manusia dan kemanusiaan.***

Bahan Bacaan

Barnard, Timothy P. 2003. Masyarakat dan Alam Siak & Sumatra Timur, 1674 – 1827. Pekanbaru: Universitas Riau dan PT Bumi Siak Pusako

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo

­_______. 2008. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo

Hamdani, Hamzah. 2006. Konsep dan Falsafah Novel Sejarah (Sayembara Menulis Novel Sejarah Johor). Johor: Yayasan Warisan Johor

Liamsi, Rida K. 2007. Bulang Cahaya. Surabaya: JP Books dan Yayasan Sagang

_______. 2009. Novel Bulang Cahaya dan Tradisi Melayu Bugis (Makalah yang dibentangkan pada pertemuan penulis serumpun 2009, Universitas Riau, 21 Februari 2009). Pekanbaru: Universitas Riau

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing

Mahdini. 2005. Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau

Ratrioso, Imam. 2004. Kumpulan Petuah Tokoh-Tokoh Besar Dunia. Jakarta: Eska Media

Teew, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya

[1] Disarikan dari tulisan Rida K. Liamsi yang bertajuk ’’Novel Bulang Cahaya dan Tradisi Melayu Bugis’’ yang dibentangkan pada Pertemuan Penulis Serumpun 2009. Pertemuan tersebut dianjurkan oleh Yayasan Warisan Johor bekerjasama dengan Universitas Riau yang bertempat di Universitas Riau, 21 Februari 2009.

[2] Dikutip dari tulisan berjudul Konsep Novel Sejarah dan Ragam Pencerekaannya oleh Mohamad Saleeh Rahamad (Jabatan Pengajian Media, Universitas Malaya).

[5] Mahdini, Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu, 2005, hlm.202