Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pertanian

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Vol 14 No 1 (2020): Edisi Juni /
  4. Articles

DOI: https://doi.org/10.55127/ae.v14i1.36

Keywords: Bawang merah, Keberhasilan Petani, Sarana Prasarana, Sumatera Utara

One way to reduce onion imports due to high demand is by increasing the production of shallots in the lowlands. The research on onion breeder farmers conducted from April to July 2019 in Deli Serdang Regency and Medan City, North Sumatera Province aims to find out the success rate of onion breeder farmers and to determine factors of their ability, level of education, experience, income, technology, marketing, the role of government, the role of instructors and facilities and infrastructure that affect the success of onion grower farmers in North Sumatera. The research method used is descriptive quantitative, by gathering information observations, questionnaires, and interviews. The results showed the success rate of onion breeder farmers in both locations was very high, amounting to 83,7%. Based on tests conducted simultaneously showed an effect of 70% and partial testing showed three factors, such as: self of ability, the role of government and the role of the instructor did not significantly influence, when the level of education, experience, income, marketing, and technology showed a significant at p<0,05 on the success of onion grower farmers in Deli Serdang Regency and Medan City. Onion is a potential commodity that has prospects for development in North Sumatera.

Bahua, I.K. 2015. Penyuluhan dan Pemberdayaan Petani Indonesia (Gorontalo: Ideas Publishing)

BPS. 2013. Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah 2009-2013. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=55&notab=61. 19 April 2020.

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2013. Impor dan ekspor sayuran tahun 2012. http://hortikultura.deptan.go.id /index.php?option=com_content&vie=article &id=337&Itemid=698. 23 April 2020.

Basuki, R.S, Adiyoga W, Hidayat. A., & Dimyati, A. 2004. Profil Komoditas Dan Analisis Kebijakan Bawang Merah, Puslitbang Hortikultura (Jakarta:Badan Litbang Pertanian)

Maryam, S. 2006. Identifikasi permasalahan pertanian di Desa Padang Pangrapat, Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Pasir (Identification of farming problems in Padang Pangrapat, Tanah Groyot, Pasir Diutrut tanah Grogot, Pasir). EPP Vol.3 No.1: 6-8

Anjarwati, N. 2016. Peran Penyuluh Pertanian dalam Adopsi Budidaya Bawang Merah di Desa Selopamioro Kecamatan Imogiri. Skripsi. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Rauf A. 2009. Pest Risk Analysis: Paracoccus marginatus. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian IPB, Bogor, 8h.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Pedoman Teknis GP-PTT Padi. 2015. Kementerian Pertanian, Jakarta.

AAK. 2004. Pedoman Bertanam Bawang (Jakarta:Kanisius

Sumardjo. 2008. Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Penyunting: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina (Bogor:Pustaka Bangsa Press)

Handayani, F. 2011. Proses Adopsi Inovasi Petani Padi dalam Program Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kecamatan Karang Kabupaten Aceh Tamiang. Skripsi. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Petropoulos, S.,A., Ntatsi, G., Ferreira,I. 2017. Long-term storage of onion and the factors that affect its quality: A critical review. Food Reviews International 62-83.

Derajew A. M., Fikreyohannes G. M., Kebede W. 2017. Farmyard manure and intra-row spacing on yield and yield components of Adama Red onion (Allium cepa L.) cultivar under irrigation in Gewane District, Afar Region, Ethiopia. Journal of Horticulture and Forestry Vol.9 No.5: 40-48

Hardjana, Agus M. 2003. Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal (Yogyakarta:Kanisius)

Indraningsih KS. 2010. Penyuluhan Pada Petani Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering Di Kab. Cianjur dan Garut, Jawa Barat. Disertasi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harianja, Sarmalina Santa Julia. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Padi Sawah (Kasus Desa Kebonagung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Ivan, M, L. Sihombing, Jufri. 2012. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Motivasi Petugas Penyuluh Lapangan Pertanian.

Kementerian Pertanian. 2015. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan Mahasiswa Dalam Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai.

Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian, Jakarta.

Bank Indonesia. 2013. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Menengah Usaha Budidaya Bawang Merah. Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM. Jakarta.

Sumiyati. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Usahatani Bawang Daun. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sumarni, Nani. 2005. Budidaya Bawang Merah. Balai Proteksi Tanaman Sayuran (BPTS), Bandung.

Narso, N., Saleh, A., Asngari, P., & Muljono, P. 2012. The perception of agriculture extension agent about their role in agriculture activity in Banten. Jurnal PenyuluhanVol. 8 No.1: 25-29.

Primadita Suryaningsih, I. 2015. Peranan Tim Pangan Desa dalam Pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Kabupaten Sleman. Skripsi. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Linda Riyati. 2011. Analisis Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi pada Usahatani Bawang Merah Varietas Bima di Kabupaten Brebes. Perpustakaan.uns.ac.id.

Nurhayati, H. 2011. Analisis Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua) Pada Tanaman Bawang Merah (Allium cepa). Paper Klimatologi Terapan. Departemen Geofisika Dan Meteorologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sari, Awal Maulid. 2013. Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Bantul. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsi.

Setiana L. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat (Bogor:Ghalia Indonesia)

Subejo. 2013. Bunga Rampai Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (Jakarta:Universitas Indonesia Press)

Susilowati. 2015. Studi Komparatif Adopsi Inovasi Perkembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Wibowo. 2008. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay (Bandung:Penebar Swadaya).

 Disusun Oleh :

  1. R. Nurieke Adistya A.       ( 0810480075 )
  2. Rayza Chairuddin              ( 0810480077 )
  3. Rb. Moh. Nurul Anwar     ( 0810480078 )
  4. Retik Puji Ayu Sanjaya     ( 0810480079 )
  5. Reza Ardian Wahyu R.     ( 0810480080 )
  6. Reza Prakoso D.J.             ( 0810480081 )
  7. Rini Setyawati                   ( 0810480083 )
  8. Rizal Raditya Putra          ( 0810480084 )
  9. Rizki Ramadhani               ( 0810480085 )
  10. Rizky Rachmadi U.           ( 0810480086 )

BAB I

PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Pertanian dalam arti luas terdiri dari lima sub sektor, yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Sebagian besar hasil pertanian adalah bahan makanan terutama beras yang dikonsumsi sendiri dan seluruh hasil perkebunan adalah ekspor. Wilayah pedesaan yang bercirikan pertanian sebagai basis ekonomi sedangkan wilayah perkotaaan yang tidak lepas dari aktivitas ekonomi baik yang sifatnya industri, perdagangan maupun jasa mengalami pertentangan luar biasa di dalam rata-rata pertumbuhan pembangunan. Dengan kemajuan yang dicapai sektor pertanian tanaman pangan, maka pembangunan sektor industri yang didukung sektor pertanian juga semakin maju. Terdapat beberapa pengertian Usaha Tani yaitu :

  1. Menurut Bachtiar Rivai (1980) usahatani adalah organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian.
  2. Menurut A.T.Mosher (1966) usahatani adalah sebagian dari permukaan bumi di mana seorang petani, sebuah keluarga tani atau badan usaha lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak.
  3. Menurut J.P.Makeham dan R.L.Malcolm (1991) usahatani (farm management) adalah cara bagaimana mengelola kegiatan-kegiatan pertanian.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dari produksi dalam negeri nampaknya masih  sangat sulit untuk direalisasikan karena kompleksnya kendala dan masalah yang dihadapi dalam usaha tani untuk mencapai peningkatan produksi. Permasalahan-permasalahan dalam pengembangan pertanian akhir-akhir ini disadari sebagi faktor yang menentukan keberhasilan adopsi teknologi di tingkat petani. Diantara berbagai permasalahan yang ada, kelembagaan merupakan salah satu faktor yang perlu dicermati untuk mengetahui kelembagaan yang perlu mendapatkan prioritas berkaitan dengan upaya meningkatkan usaha tani. Permasalahan umum yang dihadapi petani di lahan pertanian cukup kompleks yang mengakibatkan rendahnya skala produksi dan mutu hasil diperoleh petani

1.2              Rumusan masalah

  • Masalah apa saja yang dihadapi dalam usahatani ?
  • Faktor – Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keberhasilan usahatani ?
  • Bagaimana solusi masalah yang dihadapi dalam usahatani ?
  • Seperti apa contoh masalah yang terjadi di lapangan beserta solusi bagi pelaksana usahatani ?

1.3              Tujuan

  1. Untuk mengindetifikasi permasalahan usahatani di Desa Bayaserta
  2. Untuk mengetahui Faktor – Faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan usahatani
  3. Untuk mengetahui alternatif pemecahannya dalam  sistem usahtani di Desa Baya,
  4. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan yaitu berkembangnya sistim agribisnis di pedesaan dan meningkatnya  pendapatan dan kesejateraan petani.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1       Permasalahan dalam Usaha Tani

Usahatani merupakan satu-satunya ujung tombak pembangunan nasional yang mempunyai peran penting. Upaya mewujudkan pembangunan nasional bidang pertanian (agribisnis) masa mendatang merupakan sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala yang sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) atau ourput selama ini belum disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan dalam usahataninya. Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang rasional sesuai skala usahatani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu persoalan membangun kelembagaan (institution) di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm agribussinessnya (Tjiptoherijanto, 1996).

Jika ditelaah, walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional, saat ini sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi dalam usahatani petani kita di dalam mengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu :

  • Kecilnya skala Usaha Tani.

Di Indonesia, masih sangat kecil sekali Usaha tani, sehingga menyebabkan kurangnya efisien produksi. Hal-hal yang harus ditempuh untuk mengatasi hal tersebut yaitu melalui pendekatan kerja sama kelompok (Adiwilaga, 1982).

  • Langkanya permodalan untuk pembiayaan usahatani.

Kemampuan petani untuk membiayai usahataninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (Low cost production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung dari masyarakat kepada petani sebagai pembiaayan usaha tani memang sudah sepantasnya terlaksana (Fadholi, 1981).

Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan usahatani kepada penggerak usahatani (access to services) sebagai akibat kurang diperhatikannya rangsangan bagi penggerak usahatani tersebut dalam tumbuhnya lembaga-lembaga sosial (social capital). Kurangnya rangsangan menyebabkan tidak adanya rasa percaya diri (self reliances) pada petani pelaku usahatani akibat kondisi yang dihadapi. Sebaiknya, untuk menghasilkan output seperti yang diharap, penggerak usahatani seperti petani berhak mendapat pengetahuan atau rangsangan yang lebih terhadap tumbuhnya lembaga-lembaga yang merupakan salah satu jalan usahatani dapat berkembang dan berjalan dengan baik (Fadholi, 1981).

  • Masalah Transformasi dan Informasi.

Pelayanan publik bagi adaptasi transformasi dan informasi terutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang terdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan akan terjadinya pencemaran lingkungan, yaitu terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak tertampung dan tanpa keahlian dan ketrampilan lain. Dapat juga terjadi ledakan hama tanaman karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan sebagainya akibat dari kurangnya informasi mengenai hal tersebut. Sedangkan untuk mengatasi masalah transformasi dan informasi harga karena belum adanya kemitraan, maka diusahakan pemecahannya melalui temu usaha atau kemitraan antara petani dengan pengusaha yang bergerak di bidang pertanian serta penanganan pemasaran melalui Sub Terminal Agribisnis (STA). Khusus untuk pembelian gabah petani sesuai harga dasar setiap tahun dicairkan dana talangan kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) (Fadholi, 1981).

  • Luasan Usaha yang Tidak Menguntungkan.

Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. Luas lahan sawah cendrung berkurang setiap tahunnya akibat adanya alih fungsi lahan yang besarnya rata-rata 166 Ha per tahun. Pemilikan lahan sawah yang sempit dan setiap tahunnya yang cendrung mengalami pengurangan maka peningkatan produksi pertanian dilaksanakan melalui usaha intensifikasi dan diversifikasi pertanian (Fadholi, 1981).

  • Belum Mantapnya Sistem dan Pelayanan Penyuluhan.

Peran penyuluh pertanian dalam pembangunan masyarakat pertanian sangatlah diperlukan. Dalam arti bahwa peran penyuluh pertanian tersebut bersifat ‘back to basic’, yaitu penyuluh pertanian yang mempunyai peran sebagai konsultan pemandu, fasilitator dan mediator bagi petani. Dalam perspektif jangka panjang para penyuluh pertanian tidak lagi merupakan aparatur pemerintah, akan tetapi menjadi milik petani dan lembaganya. Untuk itu maka secara gradual dibutuhkan pengembangan peran dan posisi penyuluh pertanian yang antara lain mencakup diantaranya penyedia jasa pendidikan (konsultan) termasuk di dalamnya konsultan agribisnis, mediator pedesaan, pemberdaya dan pembela petani, petugas profesional dan mempunyai keahlian spesifik (Fadholi, 1981).

  • Lemahnya Tingkat Teknologi.

Produktifitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerative employment) merupakan akibat keterbatasan teknologi, keterampilan untuk pengelolaan sumberdaya yang effisien. Sebaiknya dalam pengembangan komoditas usahatani diperlukan perbaikan dibidang teknologi. Seperti contoh teknologi budidaya, teknologi penyiapan sarana produksi terutama pupuk dan obat-obatan serta pemacuan kegiatan diversifikasi usaha yang tentunya didukung dengan ketersediaan modal (Fadholi, 1981).

  • Aspek sosial dan ekonomi, yang berkaitan dengan kebijakan bagi petani

Permasalahan sosial yang juga menjadi masalah usahatani di Indonesia yaitu masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara yang sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan program-program itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi “klien” dari program-program tersebut. Kemiskinan adalah suatu konsep yang sangat relatif, sehingga kemiskinan sangat kontekstual. Agar bantuan menjadi lebih efektif untuk memperkuat perekonomian petani-petani miskin, pertama-tama haruslah menemukan di mana akar permasalahan itu terletak, disamping akar permasalahan itu sendiri (Kasryno, 1984).

2.2       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usahatani

Menurut Fadholi (1991), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani digolongkan menjadi dua, yaitu :

2.2.1.      Faktor intern (faktor-faktor pada usahatani itu sendiri), yang terdiri dari :

Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian dalam arti luas yang meliputi usaha tani pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil laut. Petani tersebut bertanggung jawab tehadap pengelolaan usahatani yang ia lakukan, apabila petani dapat melakukan pengelolaan secara baik maka usahatani yang ia lakukan juga dapat berkembang dengan baik, dan sebaliknya. Pengelolaan usahatani itu juga tergantung dari tingkat pendidikan petani sendiri dan bagaimana cara ia memanfaatkan berbagai faktor produksi yang ada untuk digunakan secara efektif dan efisien agar mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jadi disini petani berperan penting sebagai pengambil keputusan dan kebijakan dari usahatani yang dilakukan.

Tanah sebagai harta produktif adalah bagian organis rumah tangga tani. Luas lahan usahatani menentukan pendapatan, taraf hidupnya, dan derajat kesejahteraan rumah tangga tani. Tanah berkaitan erat dengan keberhasilan usaha tani dan teknologi modern yang dipergunakan. Untuk mencapai keuntungan usaha tani, kualitas tanah harus ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai dengan cara pengelolaan yang hati-hati dan penggunaan metode terbaik.

Pentingnya faktor produksi tanah, bukan saja dilihat dari segi luas atau sempitnya lahan, tetapi juga segi yang lain, misalnya aspek kesuburan tanah, macam penggunaan lahan (tanah sawah, tegalan, dan sebagainya) dan topografi (tanah dataran pantai, rendah dan dataran tinggi).

Kemampuan tanah untuk pertanian penilaiannya didasarkan kepada:

  1. Kemampuan tanah untuk ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Makin banyak tanaman makin baik.
  2. Kemampuan untuk berproduksi. Makin tinggi produksi per satuan luas makin baik.
  3. Kemampuan untuk berproduksi secara lestari, makin sedikit pengawetan tanah makin baik.

Tenaga kerja adalah energi yang di curahkan dalam suatu proses kegiatan untuk menghasilkan suatu produk. Pembicaraan mengenai tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia harus dibedakan ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani kecil-kecilan (usahatani pertanian rakyat) dan persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besar yaitu perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya.

Dalam usahatani skala kecil sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, istri dan anak-anak petani. Anak-anak berumur 12 tahun misalnya sudah dapat merupakan tenaga kerja yang produktif bagi usahatani. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani ini merupakan sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dalam uang. Peran anggota keluarga tani dalam mengelola kegiatan usahatani bersama dapat mengurangi biaya pengeluaran untuk membayar tenaga kerja sewa.

Berbeda dengan usahatani dalam skala besar, tenaga kerja memegang peranan yang penting karena tenga kerja yang ada memiliki skill/keahlian tertentu dan berpendidikan sehingga mampu menjalankan usahatani yang ada dengan baik, tentu saja dengan seorang pengelola (manager) yang juga memiliki keahlian dalam mengembangkan usahatani yang ada.

Seringkali dijumpai adanya pemilik modal besar yang mampu mengusahakan usahataninya dengan baik tanpa adanya bantuan kredit dari pihak lain. Golongan pemilik modal yang kuat ini sering ditemukan pada petani besar, petani kaya dan petani cukupan, petani komersial atau pada petani sejenisnya. Sebaliknya, tidak demikian halnya pada petani kecil. Golongan petani yang diklasifikasikan sebagai petani yang tidak bermodal kuat yaitu petani kecil, petani miskin, petani tidak cukupan dan petani tidak komersial. Karena itulah mereka memerlukan kredit usahatani agar mereka mampu mengelola usahataninya dengan baik.

Kredit usaha tani adalah kredit modal kerja yang disalurkan melalui koperasi/KUD dan LSM, untuk membiayai usaha tani dalam intensifikasi tanaman padi, palawija dan hortikultura. Kredit program ini dirancang untuk membantu petani yang belum mampu membiayai sendiri usaha taninya. Sistem penyaluran kredit ini dirancang sedemikian rupa agar dapat diakses secara mudah oleh petani, tanpa agunan dan prosedur yang rumit.

Bila tidak ada pinjaman yang berupa kredit usaha tani ini, maka mereka sering menjual harta bendanya atau sering mencari pihak lain untuk membiayai usahataninya itu.

Kemajuan dan pembangunan dalam bidang apa pun tidak dapat dilepaskan dari kemajuan teknologi. Revolusi pertanian didorong oleh penemuan mesin-mesin dan cara-cara baru dalam bidang pertanian. Demikian pula “Revolusi Hijau” mulai tahun 1969/1970 disebabkan oleh penemuan teknologi baru dalam bibit padi dan gandum yang lebih unggul dibanding bibit-bibit yang dikenal sebelumnya.

Teknologi baru yang diterapkan dalam bidang pertanian selalu dimaksudkan untuk menaikkan produktivitas apakah ia produktivitas tanah, modal atau tenaga kerja. Dengan penggunaan teknologi yang lebih maju dari sebelumnya maka usahatani yang dilakukan dapat lebih efektif dan efisien, sehingga dapat memperoleh keuntungan maksimal dengan produktivitas yang tinggi.

Dalam menganalisa peranan teknologi baru dalam pembangunan pertanian kadang-kadang digunakan dua istilah lain yang sebenarnya berbeda namun dapat dianggap sama dan sering dipertukarkan karena keduanya menunjukkan pada soal yang sama yaitu perubahan teknik (technical change) dan inovasi (innovation). Istilah perubahan teknik jelas menunjukkan unsur perubahan suatu cara baik dalam produksi maupun dalam distribusi barang-barang dan jasa-jasa yang menjurus ke arah perbaikan dan peningkatan produktivitas. Inovasi berarti pula suatu penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya. Inovasi selalu bersifat baru.

Namun, teknologi juga dapat menjadi kendala usahatani karena sulitnya penerimaan petani terhadap teknologi baru dikarenakan ketidakpercayaannya pada teknologi tersebut, dan juga karena faktor budaya dari petani itu sendiri yang enggan menerima teknologi maupun inovasi.

Teknologi mempunyai sifat sebagai berikut :

a)      Tingkat keuntungan relatif dari inovasi tersebut. Semakin tinggi tingkat keuntungan relatif semakin cepat pula teknologi tersebut diterima oleh masyarakat.

b)      Tingkat kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, semakin cepat pula inovasi tersebut di terima.

c)      Tingkat kerumitan (complexity) dari inovasi yang akan disebarkan. Semakin tinggi tingkat kerumitan dari inovasi, semakin sulit diterima masyarakat.

d)     Tingkat mudah diperagakan (triability) dari inovasi yang akan disebarkan. Semakin tinggi tingkat kemudahan diperagakan dari inovasi yang akan disebarkan, semakin mudah inovasi itu diterima masyarakat.

e)      Tingkat kemudahan dilihat dari hasilnya (observability). Semakin tinggi tingkat observability semakin mudah inovasi tersebut diterima oleh masyarakat.

  • Kemampuan Petani Mengalokasikan Penerimaan Keluarga

Hasil dari usahatani skala keluarga merupakan penerimaan keluarga yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tersebut dan juga menyambung kembali keberlangsungan usahatani mereka. Jika seorang petani dapat mengelola penerimaan usahataninya dengan baik maka kebutuhan keluarganya dan usahataninya dapat tercukupi, sebaliknya jika tidak mampu mengelola dan mengalokasikan penerimaan keluarga dari hasil usahatani maka kebutuhannya tidak dapat tercukupi dengan baik.

Jumlah keluarga berhubungan dengan banyak sedikitnya potensi tenaga kerja yang tersedia di dalam keluarga. Dalam usahatani skala kecil sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, istri dan anak-anak petani. Semakin banyak jumlah keluarga produktif yang mampu membantu usahatani maka biaya tenaga kerja pun semakin banyak berkurang. Dan biaya tersebut dapat dialokasikan untuk keperluan lain.

2.2.2.                  Faktor ekstern (faktor-faktor di luar usahatani), antara lain :

  • Tersedianya Sarana Transportasi dan Komunikasi

Sarana transportasi dalam usahatani tentu saja sangat membantu dan mempengaruhi keberhasilan usahatani, misalnya dalam proses pengangkutan saprodi dan alat-alat pertanian, begitu juga dengan distribusi hasil pertanian ke wilayah-wilayah tujuan pemasaran hasil tersebut, tanpa adanya transportasi maka proses pengangkutan dan distribusi akan mengalami kesulitan.

Begitu pula dengan ketersediaan sarana komunikasi, pentingnya interaksi sosial dan komunikasi baik antara petani dan petani, petani dan kelembagaan, serta petani dan masyarakat diantaranya dapat meningkatkan kualitas SDM petani, mengembangkan pola kemitraan, mengembangkan kelompok tani melalui peningkatan kemampuan dari aspek budidaya dan aspek agribisnis secaa keseluruhan, memperkuat dan melakukan pembinaan terhadap seluruh komponen termasuk petani melalui peningkatan fasilitas, kerja sama dengan swasta, pelayanan kredit dan pelatihan. Jika sarana komunikasi dalam berusahatani kurang mencukupi maka perkembangan usahatani dan petani yang menjalankan kurang maksimal karena ruang lingkup interaksi sosialnya sempit.

  • Aspek-Aspek Yang Menyangkut Pemasaran Hasil dan Bahan-Bahan Usahatani (harga hasil, harga saprodi dan lain-lain)

Harga hasil produksi usahatani mempengaruhi keuntungan yang didapat, semakin tinggi hasil produksi dan semakin mahal harganya maka keuntungan dari usahatani pun semakin tinggi pula, namun harga saprodi juga mempengaruhi penerimaan hasil secara keseluruhan Karena harga saprodi merupakan modal utama dalam berusahatani entah itu harga alat-alat pertanian, bahan-bahan utama seperti benih, bibit, pupuk, dan obat-obatan dan sebagainya. Maka perhitungan, analisis dan pengelolaan/pengalokasian dana yang baik akan mempengaruhi hasil yang didapat dalam berushatani.

Kredit adalah modal pertanian yang yang diperoleh dari pinjaman. Pentingnya peranan kredit disebabkan oleh kenyataan bahwa secara relatif memang modal merupakan faktor produksi non-alami (buatan manusia) yang persediannya masih sangat terbatas terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Lebih-lebih karena kemungkinan yang sangat kecil untuk memperluas tanah pertanian.

Perlunya fasilitas kredit :

ü  Pemberian kredit usahatani dengan bunga yang ringan perlu untuk memungkinkan petani melakukan inovasi-inovasi dalam usahataninya.

ü  Kredit itu harus bersifat kredit dinamis yang mendorong petani untuk menggunakan secara produktif dengan bimbingan dan pengawasan yang teliti.

ü  Kredit yang diberikan selain merupakan bantuan modal juga merupakan perangsang untuk menerima petunjuk-petunjuk dan bersedia berpartisipasi dalam program peningkatan produksi

ü  Kredit pertanian yang diberikan kepada petani tidak perlu hanya terbatas pada kredit usahatani yang langsung diberikan bagi produksi pertanian tetapi harus pula mencakup kredit-kredit untuk kebutuhan rumah tangga (kredit konsumsi).

Adapun lembaga-lembaga kredit yang ada di Indonesia bagi masyarakat tani dapat digolongkan sebagia berikut :

ü  Bank yang meliputi Bank Desa, Lumbung Desa dan Bank Rakyat Indonesia

ü  Perusahaan Negara Pegadaian

ü  Koperasi-Koperasi Desa dan Koperasi Pertanian (Koperta)

Dengan adanya fasilitas kredit dari pemerintah kepada para petani maka diharapkan usahatani dapat terus dilakukan dan dikembangkan tanpa adanya kesulitan modal tapi dengan kredit bunga ringan.

  • Sarana Penyuluhan Bagi Petani

Penyuluh memberikan jalan kepada petani untuk mendapatkan kebutuhan informasi tentang cara bertani atau teknologi baru untuk meningkatkan produksi, pendapatan dan kesejahteraannya. Selain itu, penyuluh juga memberikan pendidikan dan bimbingan yang kontinyu kepada petani.

Dalam proses peningkatan teknologi dan penyebaran inovasi pada masyarakat, penyuluh berfungsi sebagai pemrakarsa yang tugas utamanya membawa gagasan-gagasan baru. Beberapa peranan yang harus dilakukan penyuluh agar proses peningkatan teknologi dan penyebaran inovasi dapat berjalan efektif adalah :

a)      Menumbuhkan kebutuhan untuk berubah.

b)      Membangun hubungan untuk perubahan. Hubungan ini tentunya harus terbina diantara sasaran perubahan (klien) dan penyuluh.

c)      Diagnosa dan penjelasan masalah yang dihadapi oleh klien. Gejala-gejala dari masalah yang dihadapi haruslah diketahui dan dirumuskan menjadi maslah bersama sasaran perubahan.

d)     Mencari alterntif pemecahan masalah. Selain itu tujuan dari perubahan harus juga ditetapkan dan tekad untuk bertindak harus ditumbuhkan.

e)      Mengorganisasikan dan menggerakkan masyarakat ke arah perubahan.

f)       Perluasan dan pemantapan perubahan.

g)      Memutuskan hubungan antara klien dan penyuluh untuk perubahan itu. Hal itu diperlukan untuk mencegah timbulnya sikap kertergantungan masyarakat pada penyuluh

Penyuluh disini bersifat membantu agar kebutuhan informasi yang berhubungan dengan pertanian dapat tesalurkan dengan baik ke petani-petani, serta untuk meningkatkan teknologi dan inovasi petani tradisional menjadi lebih modern.

Menurut Soekartawi (2002), untuk mendukung keberhasilan pengembangan dan pembangunan petani, aspek yang akan berperan adalah :

  1. Aspek sumberdaya (faktor produksi)
  2. Aspek kelembagaan
  3. Aspek penunjang pembangunan pertanian

Bila uraian tersebut di atas dikaji/ditelaah lebih mendalam, maka keberhasilan usahatani tidak terlepas dari :

1. Syarat mutlak (syarat pokok pembangunan pertanian), yang terdiri dari :

  • Pasaran untuk hasil-hasil usahatani
  • Teknologi yang selalu berubah
  • Tersedianya bahan-bahan produksi dan peralatan secara local
  • Perangsang produksi bagi para petani
  • Pengangkutan (transportasi)

2. Faktor pelancar pembangunan pertanian, yang terdiri dari :

  • Pendidikan pembangunan
  • Kredit produksi
  • Kegiatan gotong royong oleh para petani
  • Perbaikan dan perluasan tanah/lahan pertanian
  • Perencanaan nasional untuk pembangunan pertanain

(Mosher, 1965)

2.3     Contoh Pengalaman di Lapangan Mengenai  Masalah dalam Usaha Tani dan Solusinya.

Sebagian dari wilayah Kabupaten Lombok Timur tepatnya di Kecamatan Sembalun yang terletak di sekitar kaki Gunung Rinjani termasuk zone agroekologi lahan kering dataran tinggi dengan ketinggian antara  700 – 1300  mdpl.  Mengingat kondisi tersebut maka kendala yang  sering dihadapi  oleh petani di wilayah tersebut adalah  aspek sosial ekonomi usahatani tanaman padi, yang menjadi dasar pertimbangan untuk dikaji lebih jauh dan bagaimana upaya atau solusi pemecahannya. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui kendala sosial ekonomi dan upaya pemecahannya. Kendala sosial ekonomi usahatani  padi yang terjadi antara lain yaitu :

  1. Biaya pengolahan tanah usahatani padi relatif mahal.

Pengolahan tanah di desa Sajang dilakukan dengan menggunakan tenaga ternak sapi. Biaya pengolahan tanah relatif mahal yaitu mencapai Rp 50.000/pasang/hari. Untuk membajak lahan 1 ha membutuhkan 6 pasang sapi selama 2 (dua) hari.  Sehingga apabila ditotal maka jumlah biaya pengolahan tanah untuk lahan 1 ha sebesar Rp 600.000 belum termasuk biaya makan dan minum. Tiap satu pasang sapi minimal membutuhkan 2 (dua) orang tenaga manusia. Tingginya biaya pengolahan tanah disebabkan semakin terbatasnya tenaga kerja ternak sapi.  Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka alternatif pemecahan masalah  adalah pola kemitraan sapi dengan pola kadasan kepada penggarap sekaligus dapat digunakan sebagai tenaga olah tanah.

  1. Biaya modal usaha relatif tinggi.

Modal usaha petani untuk tanaman pangan diketahui relatif sangat terbatas. Keterbatasan modal tersebut menyebabkan petani meminjam modal kepada rentenir, bank rontok (pelepas uang) dan pengijon. Petani tidak mempunyai akses kepada lembaga keuangan baik lembaga formal maupun non formal. Lembaga keuangan non formal pedesaan seperti koperasi tani, koperasi simpan pinjam, dan sebagainya masih belum ada. Lembaga keuangan formal yang memberikan skim kredit pertanian kepada petani juga belum ada. Keadaan tersebut dengan terpaksa petani harus mengambil kredit kepada rentenir dan pelepas uang untuk modal usahataninya meskipun dengan bunga yang tinggi.  Akibatnya biaya modal usaha relatif tinggi.

Salah satu solusi masalah tersebut adalah  membangun kelembagaan non formal dari kelompok yang sudah ada  dengan kesepakatan atau sebagai dasar untuk mengikat para petani untuk andil dalam pengembangan modal usaha.

  1. Ketersediaan informasi alternatif usahatani yang menguntungkan relatif terbatas.

Secara umum petani tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan usahatani pangan yang menguntungkan. Hal tersebut disebabkan karena ketersediaan informasi alternatif usahatani tanaman pangan yang menguntungkan relatif terbatas. Keterbatasan tersebut disebabkan oleh  kemampuan petani, informasi inovasi dan perencanaan pola tanam pada usahatani tanaman pangan yang lemah. Peluang pengembangan tanaman pangan dengan memanfaatkan sumberdaya air hujan yang terbatas melalui penerapan pola tanam belum dimanfaatkan petani. Akibatnya strategi ketahanan pangan rumahtangga petani sangat lemah.

Solusi menghadapi permasalaha tersebuut yaitu dengan membangun lembaga pendataan bisnis pertanian di pedesaan sehingga dengan adanya lembaga ini dapat menyiapkan segala informasi yang dibutuhkan oleh petani.

  1. Biaya transportasi  komoditi pertanian dan input relatif mahal.

Biaya pemasaran hasil komoditi pertanian relatif mahal. Tingginya biaya pemasaran ini disebabkan ketersediaan jalan usahatani sangat terbatas. Kondisi jalan desa sebagian besar rusak, sarana transportasi relatif terbatas. Prasarana dan saranan transportasi yang terbatas menyebabkan biaya angkut saprodi dan hasil usahatani relatif mahal. Sementara sarana pasar desa yang dapat meningkatkan dinamika pemasaran hasil pertanian belum tersedia. Sarana produksi  di kota kecamatan Sembalun. Demikian halnya hasil pertanian dari desa Sajang sebagian besar dijual ke pasar kecamatan Sembalun. Biaya angkut saprodi maupun hasil pertanian bervariasi antara Rp 5.000 –  Rp 10.000/kw tergantung jarak tempuh. Sedangkan biaya angkut input dari rumah ke lahan usahatani dan biaya angkut hasil pertanian dari lahan ke rumah rata-rata Rp. 5.000/kw.

Langkah untuk mengatasi masalah di atas  adalah dengan membangun jalan usahatani  dari hutan cadangan pangan (HCP) ke desa sehingga biaya angkut hasil pertanian dapat ditekan dan harga jual hasil pertanian dapat ditingkatkan dengan adanya jalan pintas tersebut.

  1. Kemampuan petani untuk mengakses lembaga keuangan formal sangat terbatas.

Kemampuan petani untuk mengakses lembaga keuangan formal sangat terbatas. Hal ini disebabkan prosedur yang sulit dan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki petani sehingga tidak ada jaminan yang dapat digunakan sebagai agunan untuk meminjam uang di bank. Selain itu kepercayaan bank kepada petani relatif rendah. Hal ini disebabkan adanya sebagian petani yang menganggap apabila diberi pinjaman pemerintah maka pinjaman tersebut dianggap sebagai pemberian yang tidak harus dikembalikan.

Untuk mengatasi anggapan petani tersebut adalah dengan menumbuh-kembangkan inovasi modal sosial. Sedangkan untuk mengatasi kesulitan mengakses lembaga keuangan formal maka alternatif pemecahannya adalah dengan membangun kelembagaan non formal di pedesaan.

2.4    Contoh Pengalaman di Lapangan Mengenai keberhasilan dalam Usahatani

            Desa Junrejo Kabupaten Malang terdapat seseorang yang merintis usahanya dalam bidang pertanian mulai dari posisi yang sangat bawah. Kebanyakan orang usaha dalam pertanaian hanya memandang bahwa, saat kita menjadi buruh tani maka selamanya akan menjadi buruh tani. Namun hal itu tidak terjadi pada Pak Badu, beliau merintis usahanya dengan memulai menjadi buruh tani bagi tuannya. Uang hasil jerih payahnya disisihkan sedikit demi sedikit sehingga beliau mulai membeli sepetak tanah hanya luasan yang sangat kecil. Namun dengan berjalannya waktu dia tidak lagi menjadi buruh tani, melainkan menjadi petani yang sukses. Beliau saat ini memeliki tanah seluas lebih dari satu hektar. Beliau saat ini memiliki komoditas yang bermacam – macam dan dengan berkala dia menjualnya di pasar Batu. Hal ini juga didorong dari kemajuan teknologi yang mendorong semakin meningkatkan keuntungannya. Keberhasilannya juga tidak lepas dari dorongan keluarganya.

BAB III

KESIMPULAN

  1. Permasalahan dalam Usaha Tani
  • Kecilnya skala Usaha Tani.
  • Kurangnya Rangsangan
  • Aspek sosial dan ekonomi, yang berkaitan dengan kebijakan bagi petani
  • Langkanya permodalan untuk pembiayaan usahatani
  • Masalah Transformasi dan Informasi
  • Luasan Usaha yang Tidak Menguntungkan
  • Belum Mantapnya Sistem dan Pelayanan Penyuluhan
  • Lemahnya Tingkat Teknologi
  1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usahatani

2.1. Faktor intern (faktor-faktor pada usahatani itu sendiri)

  • Petani Pengelola
  • Tanah Usahatani
  • Tenaga Kerja
  • Modal
  • Tingkat Teknologi
  • Kemampuan Petani Mengalokasikan Penerimaan Keluarga
  • Jumlah Keluarga

2.2. Faktor ekstern (faktor-faktor di luar usahatani)

  • Tersedianya Sarana Transportasi dan Komunikasi
  • Aspek-Aspek Yang Menyangkut Pemasaran Hasil dan Bahan-Bahan Usahatani (harga hasil, harga saprodi dan lain-lain)
  • Fasilitas Kredit
  • Sarana Penyuluhan Bagi Petani

DAFTAR PUSTAKA

Adiwilaga, Anwas. 1982. Ilmu Usahatani. Bandung : Penerbit Alumni.

Fadholi, Hermanto. 1981. Bahan Bacaan Pengantar Ekonomi Pertanian. Bogor : Pendidikan Guru Kejuruan Pertanian Fakultas Politeknik Pertanian Bogor

Kasryno, Faisal. 1984. Prospek Pengembangan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta : Yayaysan Obor Indonesia.

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Tjiptoherijanto, Prijono, 1996. Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan Nasional. Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI

Yuswita, Effy. Dkk. 2010. Modul 2 Kuliah Usahatani. Malang : Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Pertanian