Negara yang banyak menikah dengan orang Korea

Jakarta -

Semakin hari, semakin banyak negara yang mengalami penurunan populasi karena warganya menolak untuk mempunyai keturunan. Resesi seks mengacu kepada risiko krisis demografis karena banyak wanita yang berhenti melahirkan.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di satu atau dua negara tetapi beberapa negara besar di dunia. Lantas di mana saja negara yang mengalami penurunan populasi? Berikut daftar negara yang dihantui 'resesi seks'.

1. Korea Selatan

Pada 2021, berdasarkan data pemerintah Korea Selatan mencatat tingkat kesuburan hanya 0,81 persen. Padahal idealnya satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1 persen untuk menjaga populasi. Tak hanya itu, di Negeri Ginseng tersebut kini makin banyak anak muda yang tak mau menikah. Para wanita yang sudah menikah juga memilih untuk tidak hamil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tidak ada angka resmi mengenai berapa banyak warga Korea Selatan yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak. Namun berdasarkan dari badan statistik nasional menunjukkan 2020 terjadi sekitar 193 ribu pernikahan di negara tersebut. Angka ini mengalami penurunan dari pada 1996 yang saat itu mencapai 430 ribu. Data itu juga menunjukkan bahwa tahun lalu bayi lahir sekitar 260.600, sementara puncak kelahiran di negara tersebut mencapai 1 juta pada 1971.

"Singkatnya, orang mengira negara kita bukanlah tempat yang mudah untuk ditinggali," kata Lee So-Young, pakar kebijakan kependudukan di Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial di Korea Selatan.

"Mereka percaya anak-anak mereka tidak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka, jadi mempertanyakan mengapa mereka harus bersusah payah untuk memiliki bayi," lanjutnya.

Pernikahan di Korea Selatan: Upaya istri-istri migran ‘memecahkan kaca’ pembatas budaya dan bahasa

Negara yang banyak menikah dengan orang Korea

Sumber gambar, Kim Hana

Keterangan gambar,

Kim Hana adalah satu dari sedikit polisi di Korea Selatan yang bukan etnis Korea.

Pernikahan di Korea Selatan adalah sesuatu yang hampir dianggap sebagai tanggung jawab sosial.

Pemerintah Korea Selatan, sejak tahun 1990-an, sampai membuat kebijakan untuk mendorong laki-laki Korea, awalnya berada di pedesaan yang tidak dapat menemukan jodoh, untuk menikahi perempuan dari luar negeri.

Namun di balik kebijakan tersebut, terungkap perjuangan kehidupan para perempuan "migran kawin" yang tidak mudah.

Beberapa menghadapi stigma begitu mereka pindah ke Korea Selatan, dan bahkan ada laporan tentang tindakan kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga.

Banyak dari perempuan ini datang ke Korea Selatan bahkan tanpa mengetahui bahasanya.

Lewatkan Artikel-artikel yang direkomendasikan dan terus membaca

Artikel-artikel yang direkomendasikan

  • Korea Utara: Kim Jong-un kembali tampil bersama putrinya, apa yang diketahui soal dia?

  • Orang-orang yang berprofesi melancarkan perceraian suami istri

  • Keluarga buruh migran yang tewas selama pembangunan fasilitas Piala Dunia Qatar mencari jawaban - 'Anak-anaknya masih kecil, masih perlu biaya'

  • Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pamerkan putrinya yang jarang muncul

Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan

Meskipun demikian, mereka kini mengukir tempat yang signifikan di dalam kehidupan masyarakat Korea.

Ini adalah beberapa kisah mereka.

Mengabdi jadi polisi

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Kim Hana pertama kali bertemu suaminya pada "kencan buta" yang diatur oleh bibinya di Nepal.

Dia terbang dari Korea Selatan, dan dalam tiga hari mereka mendiskusikan pernikahan untuk kemudian pindah ke Korea pada tahun yang sama.

Menurutnya, tidak jarang anak muda Nepal ingin pergi ke luar negeri - baik untuk menikah atau bekerja - karena terbatasnya kesempatan di Nepal.

Waktu berlalu dengan cepat, 11 tahun kemudian, Kim sekarang adalah seorang perwira polisi, satu dari sedikit yang bukan etnis Korea.

"Mungkin ada orang yang berpikir saya bukan polisi yang cukup baik dibandingkan dengan orang Korea asli ... tapi saya tidak punya waktu untuk memikirkan itu," kata perempuan berusia 31 tahun yang mengubah nama Nepalnya (Samjhana Rai) ketika dia menjadi warga negara yang dinaturalisasi.

"Ketika saya mengenakan seragam dan memiliki pistol di pinggang saya, saya pikir siapa pun tidak memiliki masalah dengan saya yang tidak 'terlihat Korea'," katanya.

Dia bekerja sebagai pejabat urusan luar negeri, bertindak sebagai jembatan antara komunitas Nepal dan Korea.

Sumber gambar, Kim Hana

Keterangan gambar,

Setelah pindah ke Korea Selatan, Kim Hana (kanan) belajar di universitas tempat dia bertemu dengan siswa Nepal lainnya.

Jumlah perempuan yang datang dan menikah dengan pria Korea meningkat lebih dari dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, dari 120.110 pada 2007 menjadi 287.298 pada 2019, menurut Pusat Dukungan Keluarga Multikultural (Multicultural Family Support Centre) yang dikelola pemerintah.

Tetapi stereotip bahwa istri migran dari Asia Timur dan Selatan adalah pengantin pesanan atau yang "dijual" kepada suami mereka masih ada, seperti halnya diskriminasi.

"Saya ingat, ketika anak saya masih kecil, naik bus dan seorang pria meneriaki saya, 'Vietnam, ayo duduk di sini!'" kata Kim Hana.

Jumlah perempuan Vietnam merupakan sekitar sepertiga - dan persentase terbesar - dari istri migran yang ada di Korea Selatan.

Namun Kim Hana, telah mampu melepaskan stereotipe - dan merasa masyarakat Korea telah membuat kemajuan dalam memasukkan lebih banyak orang dari latar belakang budaya yang berbeda.

Sejak 2008, pemerintah Korea telah mendirikan pusat dukungan multikultural.

"Sekarang ada komunitas asing yang besar dan saya telah bertemu begitu banyak orang yang berbeda saat melakukan pekerjaan saya," katanya.

Aktivis hak migran

Won Ok Kum pertama kali bertemu suami di negara asalnya, Vietnam.

Hari ini, putri petani itu meraih gelar master di bidang administrasi hukum dan sebelumnya memegang gelar kehormatan dari walikota Seoul.

Tahun lalu, dia bahkan mencalonkan diri menjadi anggota parlemen Partai Demokrat liberal yang berkuasa, satu dari sedikit orang dari etnis non-Korea yang melakukannya - tetapi dia kalah.

Meskipun demikian, dia melanjutkan pekerjaannya dan mengkampanyekan undang-undang yang akan meningkatkan pemantauan diskriminasi terhadap pekerja migran.

Keterangan gambar,

Won Ok Kum telah menghadapi tantangan tinggal di Korea Selatan, tetapi juga melihat lebih banyak peluang di sana daripada di rumah.

Titik balik kehidupan baginya adalah ketika membantu pekerja Vietnam yang ditangkap akibat mogok kerja karena kondisi kerja yang buruk.

"Di Vietnam saya tidak pernah membayangkan meminta pertanggungjawaban mereka yang berkuasa, tetapi melihat para pekerja itu memenangkan kasus ini, saya menyadari di Korea Selatan kita dapat membuat perubahan nyata," katanya.

Di sisi lain, dia juga menemui ada bagian yang mengalami kemundurannya.

Baru-baru ini, ketika mencoba membantu pekerja migran agar visa mereka diperpanjang, seorang petugas imigrasi menolak untuk memanggilnya menggunakan istilah kehormatan adat.

"Jika saya diperlakukan seperti itu, bayangkan bagaimana migran lain diperlakukan," katanya.

Penerjemah

Ketika Kyla (bukan nama sebenarnya) tiba di Seoul, ibu kota Korea Selatan dari Filipina pada tahun 1999 pada usia 24 tahun, dia tidak dapat berkomunikasi dengan suaminya yang orang Korea.

Dia belum pernah ke luar negeri dan ini adalah hubungan pertamanya.

Mereka dijodohkan melalui Gereja Unifikasi di Filipina, tetapi setelah beberapa tahun pernikahannya kandas.

Suaminya mulai minum dan akhirnya meninggalkan keluarga, serta menghentikan dukungan keuangan untuk Kyla dan ketiga anak mereka.

"Dia meminta cerai, tetapi perceraian tidak dilakukan di Filipina, jadi saya awalnya menolak," katanya.

Ditinggal tanpa dukungan, Kyla mencari pekerjaan sebagai guru.

"Saya akan bekerja berjam-jam. Tapi terkadang saya tidak membawa cukup uang untuk membayar semua tagihan," jelasnya.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Banyak istri migran tiba di Korea Selatan tidak tahu bahasa Korea.

Kini, Kyla telah pindah dan bekerja sebagai mentor bagi para istri migran, sembari juga menjadi penerjemah untuk kepolisian dan layanan imigrasi.

Dia mengatakan kepada peserta didiknya bahwa mereka tidak hanya menikah dengan sebuah keluarga tetapi juga sebuah budaya.

Kyla menambahkan bahwa dukungan yang diberikan oleh pusat-pusat multikultural, yang kini semakin banyak melibatkan laki-laki dalam percakapan, juga terbukti membantu.

"Laki-laki Korea dididik tentang apa artinya memulai keluarga multikultural, yang dulu tidak terjadi," katanya.

Ke depan, Kyla mengatakan dia ingin anak-anaknya memiliki kesempatan yang sama seperti anak-anak Korea lainnya.

Putrinya sedang berlatih untuk menjadi bintang K-Pop, putra tengahnya mulai bekerja di sebuah perusahaan IT dan putra sulungnya melakukan wajib militer di Angkatan Laut.

"Saya telah melakukan semua yang saya bisa untuk [membantu] anak-anak saya berkembang," katanya.