Show tirto.id - Isi Trikora atau Tri Komando Rakyat merupakan upaya Indonesia demi tujuan membebaskan Irian Barat (Papua) dari Belanda. Sukarno, salah satu tokoh dalam sejarah Trikora, mengumumkan seruan operasi ini tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Masalah Papua Barat ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 2 November 1949 terkait rencana pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Kerajaan Belanda.Masih terdapat satu persoalan penting yang belum disepakati, yakni mengenai status Papua Barat. Baik Indonesia maupun Belanda merasa lebih atas wilayah di bagian timur Kepulauan Nusantara itu. Latar Belakang Trikora dan TokohnyaBelanda ternyata ingin menjadikan Papua Barat sebagai negara boneka. Petrik Matanasi dalam “Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua” terungkap bahwa pada Februari 1961, Belanda mulai membentuk parlemen. Lalu, pada 19 Oktober 1961, dibentuk Komite Nasional Papua. Kekuatan militer Papua juga turut dibangun. Departemen Penerangan RI merilis buku Irian Barat Daerah Kita (1962) yang di dalamnya terdapat bukti bahwa Belanda pernah melakukan “Pameran Bendera” (Vlagertoon) yang ternyata disertai kapal-kapal perang pada 4 April 1960. Melihat hal ini, Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia tidak tinggal diam. Pada 6 Maret 1961, dibentuk Korps Tentara Kora-1. Sebagai panglima komandonya adalah Mayor Jenderal Soeharto. Nama kesatuan ini beberapa kali mengalami perubahan, dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) hingga menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Tanggal 11 Desember 1961, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan). Menurut buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1979), tiga hari setelah itu dilaksanakan sidang yang melahirkan Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengutarakan maksud Trikora melalui pidatonya yang diserukan di Yogyakarta.Isi Trikora dan TujuannyaMangil Martowidjojo melalui buku Kesaksian Tentang Bung Karno (1999:322) menggambarkan situasi ketika Bung Karno berpidato pada 19 Desember 1961 itu:“Rapat raksasa ini dikunjungi ratusan ribu rakyat dari daerah Yogyakarta dan luar daerah Yogyakarta, sehingga Alun-Alun Utara di Yogyakarta menjadi lautan manusia.”Pagi hari pukul 09.00 WIB, Sukarno menyampaikan tujuan Trikora untuk menggagalkan pembentukan negara boneka oleh belanda di Papua Barat. Bung Karno juga menegaskan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di Irian Barat serta digelar mobilisasi umum untuk mengambil kembali Irian Barat dari kuasa Belanda. Adapun isi Trikora seperti yang diserukan oleh Bung Karno adalah sebagai berikut:
Akhir Operasi TrikoraDalam melancarkan aksi Trikora salah satu yang dikenal adalah kapal penjelajah KRI Irian 201. Kapal ini didapatkan Indonesia dari Rusia pada 5 Oktober 1961.Menurut Achmad Taufiqoerahman dalam Kepemimpinan Maritim (2019:258), Kapal KRI Irian 201 dilengkapi berbagai fasilitas tempur, seperti rudal, torpedo, hingga bom jarak jauh. Buku Laksmana Kent Menjaga Laut Indonesia (2014:38) yang disusun oleh Bernard Kent Sondakh dan kawan-kawan menjelaskan, ketika itu Indonesia setidaknya punya 12 fregat, 12 kapal selam, 22 kapal cepat bertorpedo dan berpeluru kendali, serta 4 kapal penyapu ranjau. Atas saran Amerika Serikat, Indonesia diminta mengedepankan jalan diplomasi untuk mengambil-alih Papua Barat dari Belanda. Amerika Serikat bersedia menjadi "penengah" danmenyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut.Indonesia dan Belanda, atas desakan AS, bertemu kembali di satu meja pada 15 Agustus 1962. Delegasi RI dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah.Dikutip dari Constructing Papuan Nationalism (2005:30) karya Richard Chauvel, inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 Selama proses pengalihan, wilayah Papua Barat akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA.Hingga akhirnya, tanggal 1 Oktober 1962., Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Berikutnya, tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB. Upaya merebut Irian Barat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu perjuangan diplomasi, konfrontasi ekonomi, konfrontasi politik, dan konfrontasi militer. Perjuangan diplomasi ditempuh melalui perundingan, mulai dilakukan pada masa Kabinet Natsir. Perjuangan diplomasi tidak membuahkan hasil sehingga dilakukan perjuangan dalam bidang politik dan ekonomi. Konfrontasi dalam bidang ekonomi misalnya seperti pelarangan pesawat terbang Belanda untuk melintas dan mendarat di wilayah Indonesia, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan terjadi pemogokan buruh yang bekerja di perusahaan Belanda. Konfrontasi politik misalnya seperti pembatalan hasil KMB, membentuk provinsi Irian Barat di Soasiu, dan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Konfrontasi militer dilakukan melalui pertempuran langsung dengan membentuk Komando Mandala.
Soekarno memerintahkan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Brigjen Soeharto selaku Panglima Komando Mandala. Jakarta (ANTARA) - Di Palembang, Sumatera Selatan, pada tanggal 10 April 1962, presiden pertama Republik Indonesia Soekarno berjanji akan segera membebaskan Irian Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) dari cengkeraman kolonialisme Belanda dan menjadikannya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka.Dalam pidatonya, yang berjudul Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad Membebaskan Irian Barat dalam Tahun Ini Juga, Soekarno mengatakan bahwa Indonesia terlalu lunak terhadap imperialisme Belanda di Irian Barat. Ia saat itu berseru bahwa Indonesia tidak akan lagi membiarkan Belanda mengulur-ulur waktu dan bersiap untuk mengerahkan segala upaya demi mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. "Kita malahan sudah terlalu lama memberi ampun kepada imperialisme di Irian Barat. Terlalu lama! Sekarang datanglah saat yang kita dalam tahun ini pula, tidak memberi ampun kepada imperialisme di Irian Barat," kata Soekarno, Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat, saat berkunjung ke Palembang untuk memeriksa kesiapan pembangunan Jembatan Musi. Upaya mempertahankan kedaulatan Indonesia di Irian Barat berawal setelah Belanda menolak mengakui bahwa wilayah itu adalah bagian dari NKRI dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Delegasi Indonesia dan Belanda memiliki perbedaan pandangan saat KMB berlangsung pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949. Delegasi Belanda berpendapat bahwa Irian Barat tidak memiliki hubungan dengan wilayah Indonesia yang lain sehingga mereka menginginkan daerah itu diberikan status khusus. Namun, delegasi Indonesia berpendapat bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia Timur yang masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam pertemuan itu, Arsip Nasional Indonesia mencatat dua pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah lewat negosiasi lebih lanjut antara Kerajaan Belanda dan RIS satu tahun setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Akan tetapi, satu tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, perundingan mengenai status Irian Barat tidak menemui titik terang.Arsip Nasional Republik Indonesia dalam publikasinya berjudul Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat 1949—1969 mencatat dua pertemuan telah digelar di Jakarta pada bulan Maret 1950 dan di Den Haag pada bulan Desember 1950. Dua pertemuan itu bertujuan mengumpulkan fakta mengenai Irian Barat, kemudian akan dilaporkan ke Uni Indonesia-Belanda. Namun, dua pihak menyerahkan dua laporan berbeda sehingga upaya itu buntu. Alhasil, Indonesia menempuh jalur konfrontasi politik dan ekonomi, di antaranya memutus hubungan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 15 Februari 1956, membatalkan persetujuan KMB secara sepihak pada tanggal 27 Maret 1956, dan membentuk Provinsi Otonomi Irian Barat pada tanggal 15 Agustus 1956. Indonesia juga menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda mulai dari maskapai penerbangan, pelayaran, bank, pabrik gula, hingga perusahaan gas. Setidaknya, ada sekitar 700 perusahaan Belanda atau campuran modal Belanda-Indonesia yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia dengan total nilainya mencapai 1.500 juta dolar AS. Aksi Indonesia pun dibalas dengan penguatan militer Belanda di Irian Barat, salah satunya dengan pengiriman Kapal Induk Karel Doorman ke perairan Indonesia di wilayah timur.M. Cholil dalam bukunya Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat (1979) mencatat pengiriman kapal induk itu pun menambah ketegangan hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda. Konfrontasi Militer Setelah putusnya hubungan diplomatik itu, Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kian gencar mempersiapkan pasukan perang dan menyusun operasi militer untuk mengusir imperialisme Belanda di Irian Barat. Pemerintah Indonesia pada tahun 1961 mengirim sejumlah anak muda dari berbagai daerah di Papua yang pro-NKRI ke Irian Barat. Langkah itu, menurut M. Cholil, merupakan balasan atas aksi Belanda yang mengusir kelompok masyarakat pro-NKRI serta mendatangkan warga anti-Indonesia ke Irian Barat selama 1950—1960. Selama periode itu, Belanda mengerahkan sekitar 10.000 polisi di Irian Barat untuk menghalang-halangi warga setempat atau masyarakat di pulau sekitar yang pro-NKRI datang ke Irian Barat. Belanda juga menyiapkan armada lautnya, seperti kapal induk Karel Doorman, dua buah kapal perusak, dan dua kapal selam di Laut Karibia. Indonesia membalas aksi Belanda dengan melakukan kunjungan ke sejumlah negara sahabat dan meminta dukungan dari komunitas internasional. Menteri Keamanan Nasional Jenderal A.H. Nasution, misalnya, di akhir 1960 melawat ke Uni Soviet, kemudian menandatangani perjanjian pembelian senjata. Uni Soviet saat itu setuju senjata dibeli dengan kredit jangka panjang sehingga tidak terlalu memberatkan bagi perekonomian Indonesia. Dari Uni Soviet, Indonesia mendapatkan tidak hanya senjata berat, tetapi juga kapal penjelajah Sverdlov, kemudian diberi nama "KRI Irian" dan pesawat peluncur bom jarak jauh Tupolev-16.Martin Sitompul dalam artikelnya Ongkos Pembebasan Irian Barat yang terbit di Historia.id pada tahun 2020 menulis Tim Logistik untuk Pembebasan Irian Barat bekerja cepat menyiapkan gudang-gudang peralatan perang di pelosok hutan, peralatan tempur, lapangan udara, bahan bakar, bahkan sampai pabrik roti. Pabrik roti itu sengaja dibuat untuk jadi sumber konsumsi para teknisi dari Uni Soviet. Tim logistik juga menyiapkan mesin dan alat konstruksi buatan Inggris, serta tangki-tangki terapung untuk mengisi bahan bakar buatan Jerman. "Penggalangan kekuatan fisik militer berlangsung terus sehingga pada ulang tahun XVI Proklamasi, 17 Agustus 1961, Republik Indonesia merasa kuat dalam konfrontasi dengan Belanda di segala bidang," kata M. Cholil dalam bukunya. Indonesia, pada penghujung 1961, membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI) dan Soekarno sebagai panglima tertinggi juga mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora): 1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda Kolonial; 2. Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan bangsa.Persetujuan New York Ketegangan antara Indonesia dan Belanda memasuki babak baru setelah Belanda menyerang tiga kapal Indonesia di Laut Arafuru/Aru. Dalam pertempuran itu, Komodor Yos Sudarso bersama seluruh awak kapalnya gugur setelah memutuskan menjadikan Kapal Komando KRI Macan Tutul sebagai sasaran tembak dua kapal perusak Belanda, yang diduga adalah HRMS Utrecht dan Evertsen. Yos Sudarso berbuat demikian agar KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau, yang saat itu tengah berpatroli bersama KRI Macan Tutul di Laut Aru, punya kesempatan melepaskan diri dari serangan Angkatan Laut Belanda. Gugurnya awak KRI Macan Tutul di Laut Aru pun meneguhkan niat Indonesia mempercepat operasi militer di Irian Barat. Soekarno memerintahkan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Brigjen Soeharto selaku Panglima Komando Mandala untuk menjalankan tiga tahapan operasi militer, yaitu penyusupan, serangan terbuka, dan konsolidasi atau menegakkan kekuasaan secara penuh di Irian Barat. Namun, sebelum pertempuran itu pecah, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menunjuk Jaksa Agung Robert F. Kennedy untuk mempertemukan dua pihak. Rencana untuk berunding itu juga dimotori oleh diplomat AS Ellsworth Bunker. Ujung dari rencana itu adalah terselenggaranya perundingan di New York, yang menghasilkan Persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Persetujuan itu, yang difasilitasi oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, memerintahkan Belanda menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada penguasa sementara PBB-Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) pada tanggal 1 Oktober 1962, kemudian UNTEA secara resmi mengembalikan kedaulatan Indonesia di Irian Barat ke pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Syaratnya saat itu Indonesia harus mengadakan referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum akhir 1969. Pepera kemudian berlangsung pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasilnya saat itu Irian Barat tetap jadi bagian dari Indonesia. Pemerintah Indonesia pun melaporkan hasil Pepera pada Sidang Umum Ke-24 PBB dan seluruh hasilnya diterima dalam sidang umum PBB pada tanggal 19 November 1969.Setelah rangkaian peristiwa itu, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 1 Mei 1963 sebagai Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat guna mengingat kembali pengorbanan para patriot yang gugur serta untuk meneguhkan sikap bahwa Papua dan Papua Barat akan selalu tergabung dalam wilayah NKRI. Editor: D.Dj. Kliwantoro |