Dilihat 19,401 pengunjung Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dunia mengalami ketegangan emosional dan psikologis. Meskipun perang telah berakhir, permasalahan belum selesai. Dunia terpecah menjadi dua bagian, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat terdiri dari negara-negara berpaham liberalis, sedangkan Blok Timur yang beranggotakan negara-negara komunis. Kedua blok saling berebut pengaruh terhadap bangsa-bangsa lain. Selain terpecahnya dunia menjadi dua paham, kolonialisme dan imperialisme masih menjadi permasalahan bagi berbagai bangsa di dunia. Masih banyak bangsa dan negara yang masih terkekang penjajahan dan mendambakan kemerdekaan. Melihat tidak stabilnya kondisi dunia, Indonesia sebagai negara yang antipenjajahan dan berkomitmen sebagai negara netral memprakarsai kegiatan penting dalam sejarah dunia, yaitu Konferensi Asia-Afrika (KAA). Sebelumnya apakah Sobat SMP pernah mendengar mengenai KAA? Konferensi Asia-Afrika adalah konferensi perdamaian dunia yang dilaksanakan pada tanggal 18-25 April 1955, bertempat di Gedung Merdeka, Bandung. Ketua penyelenggara konferensi adalah P.M. Ali Sastroamijoyo dan dibuka oleh Presiden Sukarno. Dalam konferensi tersebut diundang 30 negara yang berada di kawasan Asia-Afrika, namun hanya dihadiri 29 negara karena Afrika Tengah (Rhodesia) tidak bisa datang akibat kondisi negara yang belum stabil. Diawali dari Konferensi Colombo pada 28 April 1954, Indonesia melontarkan gagasan mengenai pertemuan negara-negara Asia-Afrika. Peserta konferensi yang awalnya ragu pada akhirnya menyetujui ide tersebut. Latar belakang diadakannya konferensi ini adalah kesamaan nasib negara-negara di Asia-Afrika pasca-Perang Dunia II. Selain itu, perjuangan bangsa-bangsa terjajah untuk memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia II terus meningkat. Negara-negara berkembang yang melihat suasana tersebut terdorong untuk mencari jalan keluar membantu meredakan ketegangan dan menciptakan perdamaian dunia. Pertemuan yang berlangsung selama 8 hari itu menghasilkan beberapa keputusan yang cukup penting, seperti memajukan kerja sama negara-negara Asia-Afrika di bidang sosial, ekonomi, dan budaya, membantu perjuangan melawan imperialisme, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan ikut aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Selain keputusan-keputusan penting, KAA juga melahirkan sepuluh prinsip yang tercantum ke dalam “Declaration on The Promotion of World Peace and Coorporation” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Dasasila Bandung”. Berhasilnya KAA di Bandung mendongkrak nama Indonesia yang baru berusia 10 tahun ke kancah dunia. Tidak hanya itu, KAA membawa banyak sekali dampak positif bagi Indonesia, negara-negara Asia-Afrika, dan juga dunia. Negara-negara Asia-Afrika turut mendukung Indonesia dalam rangka pembebasan Irian Barat. Konferensi juga memperkuat hubungan kerja sama negara-negara dari kedua benua tersebut. Selain itu, dunia pun ikut terdampak seperti berkurangnya ketegangan dunia, negara kolonialis-imperialis mulai melepaskan daerah jajahannya, dan penghapusan politik diskriminasi rasial. Pada intinya, KAA telah menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara biasa. Indonesia telah turut berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Ketegangan dunia pun mulai berkurang akibat lahirnya paham dunia ketiga (non-aligned), dan itu berkat peran dari Indonesia. Jika Sobat SMP tertarik untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai peristiwa KAA dan sejarah Indonesia lainnya, kalian bisa mengunduh modul pembelajaran jarak jauh mata pelajaran IPS di situs Direktorat SMP. Referensi: Modul Pembelajaran Jarak Jauh IPS Kelas IX Semester Genap Terbitan Direktorat SMP tahun 2020 https://kniu.kemdikbud.go.id/?p=4152 diakses pada 16 April 2021 Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA; kadang juga disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.[1] Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial Prancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.[2] Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kerukunan dan kerjasama dunia". Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru.[3] Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961. Konferensi Asia–Afrika didahului oleh Persidangan Bogor pada tahun 1949. Persidangan Bogor merupakan pendahuluan bagi Persidangan Kolombo dan Konferensi Asia–Afrika. Persidangan Bogor ke-2 diadakan pada 28–29 Desember 1954.[4] Konferensi Asia–Afrika merefleksikan apa yang oleh para penyelenggara dianggap sebagai keengganan kekuatan Barat untuk berkonsultasi dengan mereka mengenai keputusan yang mempengaruhi Asia dalam pengaturan ketegangan Perang Dingin; keprihatinan mereka atas ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi hubungan perdamaian Tiongkok dengan diri mereka sendiri dan Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan pemerintahan kolonialnya di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan kasusnya dalam perselisihan dengan Belanda di Nugini Barat (Irian Barat). Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, menggambarkan dirinya sebagai pemimpin kelompok negara ini, yang kemudian ia gambarkan sebagai "NEFOS" (Newly Emerging Forces, Kekuatan Dunia Baru).[5] Pada 4 Desember 1954, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan bahwa Indonesia telah berhasil mendapatkan masalah Irian Barat yang ditempatkan dalam agenda sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1955.[6] Rencana untuk konferensi Asia–Afrika diumumkan pada bulan yang sama.[7] PersidanganZhou Enlai, Nehru, dan U Nu berdiskusi di sela-sela Konferensi Asia–Afrika. Penandatanganan perjanjian kewarganegaraan ganda Tiongkok-Indonesia. Perdebatan besar berpusat pada pertanyaan apakah kebijakan Soviet di Eropa Timur dan Asia Tengah harus dikecam bersama dengan kolonialisme Barat. Sebuah memo dikirimkan oleh 'Bangsa Muslim di bawah Imperialisme Soviet', menuduh pemerintah Soviet melakukan pembantaian dan deportasi massal di wilayah Muslim, tetapi hal tersebut tidak pernah diperdebatkan.[8] Sebuah konsensus dicapai di mana "kolonialisme dalam semua manifestasinya" dikutuk, secara implisit mengkritik Uni Soviet, serta Barat.[9] Tiongkok memainkan peran penting dalam konferensi ini dan memperkuat hubungannya dengan negara-negara Asia lainnya. Setelah selamat dari upaya pembunuhan dalam perjalanan menuju konferensi, perdana menteri Tiongkok, Zhou Enlai, menunjukkan sikap yang moderat dan damai yang cenderung untuk menenangkan kekhawatiran beberapa delegasi anti-komunis mengenai niat Tiongkok. Kemudian dalam konferensi tersebut, Zhou Enlai menandatangani artikel tersebut dalam deklarasi penutup yang menyatakan bahwa Tionghoa perantauan memiliki loyalitas utama kepada negara asal mereka, bukan ke Tiongkok – masalah yang sangat sensitif untuk tuan rumah Indonesia dan untuk beberapa negara peserta lainnya. Zhou juga menandatangani perjanjian kewarganegaraan ganda dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Lini masa
Beberapa negara diberi "status pengamat". Seperti Brasil, yang mengirim Duta Besarnya Bezerra de Menezes. Sepuluh poin deklarasi mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia, dinamakan Dasasila Bandung, yang menggabungkan prinsip-prinsip Piagam PBB diadopsi dengan suara bulat:
Komunike akhir dari Konferensi ini menggarisbawahi perlunya negara-negara berkembang untuk melonggarkan ketergantungan ekonomi mereka pada negara-negara industri terkemuka dengan memberikan bantuan teknis satu sama lain melalui pertukaran ahli dan bantuan teknis untuk proyek-proyek pembangunan, serta pertukaran pengetahuan teknologi, bagaimana dan pembentukan lembaga pelatihan dan penelitian regional. Konferensi ini diikuti oleh Konferensi Solidaritas Rakyat Afro-Asia di Kairo[12] pada September (1957) dan Konferensi Beograd (1961), yang mengarah pada pembentukan Gerakan Non-Blok.[13] Pada tahun-tahun kemudian, konflik antara negara-negara yang tidak tergoyahkan mengikis solidaritas yang diekspresikan dalam konferensi ini. Pertemuan kedua (2005)Prangko peringatan 50 tahun Konferensi Asia–Afrika Untuk memperingati lima puluh tahun sejak pertemuan bersejarah tersebut, para Kepala Negara negara-negara Asia dan Afrika telah diundang untuk mengikuti sebuah pertemuan baru di Bandung dan Jakarta antara 19-24 April 2005. Sebagian dari pertemuan itu dilaksanakan di Gedung Merdeka, lokasi pertemuan lama pada 50 tahun lalu. Sekjen PBB, Kofi Annan, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, Presiden Tiongkok, Hu Jintao, Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, Presiden Afganistan, Hamid Karzai, Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah dan Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki ikut hadir di Bandung dalam pertemuan ini. KTT Asia–Afrika 2005 menghasilkan NAASP (New Asian-African Strategic Partnership, Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika), yang diharapkan akan membawa Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik berdasarkan ketergantungan-sendiri yang kolektif dan untuk memastikan adanya lingkungan internasional untuk kepentingan para rakyat Asia dan Afrika.[14] Pertemuan ketiga (2015)Peserta Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika 2015 Konferensi Asia-Afrika ke-60 dilaksanakan di 2 kota yaitu Jakarta pada 19-23 April 2015 dan Bandung pada 24 April 2015 dengan agenda meliputi "Asia-Africa Business Summit" dan "Asia-Africa Carnival". Tema yang dibawa adalah peningkatan kerja sama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian.[15][16] KTT Asia-Afrika 2015 diikuti sebanyak 89 kepala negara/pemerintahan dari 109 negara di kawasan Asia dan Afrika, 17 negara pengamat dan 20 organisasi internasional, dan 1.426 perwakilan media domestik dan asing. Para peserta di antaranya adalah Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, Raja Yordania, Abdullah II dari Yordania, Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, Presiden Myanmar, Thein Sein, Raja Swaziland, Mswati III dan Perdana Menteri Nepal. Konferensi Asia Afrika 2015 telah menghasilkan 3 dokumen yaitu Pesan Bandung (Bandung Message), Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) dan Deklarasi kemerdekaan Palestina.[17]
|