Gerakan gerakan yang mencoba memberontak terhadap pemerintahan Abbasiyah golongan antara lain

KOMPAS.com - Revolusi Abbasiyah adalah sebuah pergolakan militer besar-besaran pada pertengahan abad ke-8 yang melibatkan pasukan Daulah Abbasiyah dan Bani Umayyah.

Dalam revolusi ini, Daulah Abbasiyah berbekal janji akan mendirikan sistem yang lebih ideal bagi umat Islam, daripada Dinasti Umayyah yang dinilai sebagai penindas dan tidak memiliki legitimasi keagamaan.

Melalui Revolusi Abbasiyah, Daulah Abbasiyah berhasil menggulingkan Kekhalifahan Umayyah yang berkuasa antara 661-750 M.

Latar belakang

Meletusnya Revolusi Abbasiyah tidak terlepas dari berbagai kompleksitas masalah yang terjadi pada pemerintahan Bani Umayyah.

Menjelang pertengahan abad ke-8, banyak umat yang tidak lagi mendukung Bani Umayyah yang dinilai korup, sekuler, dan memihak sebagian kelompok.

Mereka lantas mendukung Abu Abbas As-Saffah, keturunan paman Nabi Muhammad, yang mendirikan kekhalifahan baru.

Gerakan revolusi yang dipelopori Abu As-Saffah juga mendapatkan dukungan dua kelompok massa, yaitu Syiah dan Khawarij.

Sejak awal berdirinya Dinasti Umayyah (Sunni), kelompok Syiah telah memberontak karena merasa hak mereka terhadap kekuasaan dirampok oleh Muawiyah (pendiri Bani Umayyah) dan keturunannya.

Begitu pula dengan kelompok Khawarij, yang juga merasa bahwa hak politik tidak dapat dimonopoli oleh keturunan tertentu, tetapi hak setiap Muslim.

Kelompok lain yang sangat membenci kekuasaan Dinasti Umayyah adalah Mawalli, yaitu orang-orang Muslim non-Arab.

Mereka yang kebanyakan dari Persia ini merasa tidak diperlakukan setara dengan orang Arab karena diberi beban pajak lebih tinggi.

Kelompok inilah yang mendukung Abu As-Saffah untuk melakukan Revolusi Abbasiyah guna menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah.

Terlebih lagi, Bani Abbasiyah menjanjikan ide-ide membangun pemerintahan yang lebih selaras dengan cita-cita Rasulullah, yakni memberi warga non-Arab peran yang lebih setara dalam masyarakat dan memberi keturunan Ali bin Abi Thalib sejumlah peran dalam kepemimpinan.

Baca juga: Kekhalifahan Abbasiyah: Sejarah, Masa Keemasan, dan Akhir Kekuasaan

Penaklukan Khurasan dan Kufah

Revolusi Abbasiyah resmi dimulai pada 9 Juni 747 M, ketika Abu Muslim melakukan pemberontakan terbuka melawan kekuasaan Bani Umayyah di Merv, sekarang termasuk Turkmenistan.

Setelah Merv berhasil dikuasai pada awal 748 M, sebanyak 50.000 pasukan Bani Umayyah di Khurasan juga takluk pada Maret 749 M.

Kekuasaan Umayyah di Khurasan yang berlangsung hampir 90 tahun pun resmi berakhir. Setelah itu, Khurasan menjadi basis pergerakan Bani Abbasiyah.

Tidak berselang lama, pasukan Abbasiyah dikerahkan menyeberangi Sungai Eufrat dan merebut Kufah.

Gerakan pemberontakan dinilai sukses berkat pasukan yang dipersenjatai dan diorganisasi dengan baik oleh Abu Muslim.

Abu Muslim dapat mempersatukan dan memimpin pasukan yang terdiri atas tentara Arab dan non-Arab karena semua orang diperlakukan setara.

Wilayah di sebelah timur Khurasan yang telah terputus dari pemerintahan pusat selanjutnya menjadi sasaran penaklukan yang mudah.

Setelah itu, wilayah lain juga dikuasai oleh pendukung Bani Abbasiyah, di antaranya Herat, Balkh, Tukharistan, Tirmidh, Samarqand, dan Bukhara.

Abu as-Saffah dinobatkan sebagai khalifah

Pada Oktober 749 M, tentara Abbasiyah telah memasuki Kufah, sebuah pusat Muslim di Irak Selatan.

Semakin hari, semakin banyak pula masyarakat yang mendukung Revolusi Abbasiyah karena tujuannya sangat jelas. Sedangkan Bani Umayyah sebisa mungkin mempertahankan kekuatannya.

Masih di Kufah, Abu as-Saffah resmi dinyatakan sebagai khalifah Bani Abbasiyah pada 28 November 749 M.

Baca juga: Pemindahan Ibu Kota Pemerintahan Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad

Pertempuran Zab

Memasuki tahun 750 M, pasukan gabungan Abbasiyah, Khawarij, Syiah, dan Irak, melancarkan serangan terhadap Bani Umayyah di Sungai Zab, yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Zab.

Dalam pertempuran, banyak pasukan Umayyah yang goyah dan kelelahan akibat kekalahan serangkaian perang sebelumnya.

Pada akhirnya, Abu as-Saffah memenangkan pertempuran dan Marwan II, penguasa yang menjadi khalifah terakhir dari Daulah Bani Umayyah, kabur untuk menyelamatkan diri.

Marwan II melarikan diri melalui Suriah kemudian ke Mesir. Bersamaan dengan itu, kota-kota yang dikuasai Bani Umayyah mulai mengakui kekuasaan Daulah Abbasiyah.

Peristiwa ini menandai bahwa tidak ada lagi penghalang antara Abbasiyah dan ibu kota Bani Umayyah di Damaskus.

Berakhirnya Kekhalifahan Bani Umayyah

Pada April 750 M, Damaskus resmi jatuh ke tangan Bani Abbasiyah. Di saat yang sama, semua keluarga Marwan II terus dilacak dan dihukum mati.

Baca juga: Pertempuran Zab, Puncak Pergolakan Revolusi Abbasiyah

Marwan II akhirnya tertangkap di Mesir pada Agustus 750 M. Revolusi Abbasiyah adalah gerakan politik bumi hangus, sehingga semua keluarga Umayyah dibunuh.

Namun, ada seorang pangeran bernama Abdurrahman, yang selamat dan dapat meloloskan diri ke Afrika Utara. Sosok inilah yang pada akhirnya menghidupkan kekuasaan Bani Umayyah di Kordoba, Spanyol.

Wafatnya Marwan II secara resmi mengukuhkan Bani Abbasiyah sebagai penguasa kekalifahan.

Referensi:

  • Ismail, Faisal. (2017). Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M). Yogyakarta: Diva Press.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

tirto.id - Bani Abbasiyah mendapatkan namanya dari paman Nabi Muhammad, Abbas, yang menjadi kepala keluarga klan itu. Mereka bermukim di sebelah timur sungai Yordan setelah penaklukan Suriah dan secara umum menjauhkan diri dari politik saat perang saudara berkecamuk pada 600-an Masehi.

Namun, pada awal 700-an, menurut Tayeb El-Hibri dalam Parable and Politics in Early Islamic History: The Rashidun Caliphs (2010), mereka mulai mengembuskan rumor bahwa salah satu keturunan Ali bin Abu Thalib secara resmi telah memindahkan hak kekuasaan kepada Bani Abbasiyah. Mengapa mereka melakukannya atau apakah memang itu terjadi, masih merupakan misteri. Dari perspektif praktis, ini memberikan legitimasi kepada Bani Abbasiyah (hlm. 207).

Mereka tidak hanya lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah SAW ketimbang Bani Umayyah, tetapi juga menegakkan keinginan kalangan yang mendukung keturunan Ali sebagai pemimpin dunia Islam. Dari wilayah basis di selatan Suriah dan Irak, mereka mengirim wakil-wakil ke Khurasan pada bulan suci Ramadan, 129 Hijriah. Di sana, penduduk Persia dapat digerakkan untuk mendukung dan mendeklarasikan pemberontakan melawan Bani Umayyah yang menindas (hlm. 208).
Sepanjang 730-an dan 740-an, diucapkanlah sumpah setia jaringan sekutu yang jauh dari basis Bani Umayyah di Damaskus. Bani Abbasiyah memberikan janji masyarakat yang lebih setara di bawah kekhalifahannya dan secara samar menjamin keturunan Ali akan memainkan peranan lebih besar dalam pemerintahan Islam, sesuai keinginan banyak Muslim di bagian timur kekhalifahan.

Dengan demikian, Bani Abbasiyyah mampu mengamankan dukungan berbagai kalangan masyarakat. Sokongan datang antara lain dari ahli ibadah yang ingin menyaksikan pemerintah yang lebih mengikuti teladan Nabi. Selain itu, ada kelompok non-Arab Muslim yang marah atas status kelas dua mereka. Terakhir, pengikut setia Ahlulbait yang meyakini bahwa seharusnya kekuasaan menjadi milik keluarga Nabi.

Mengobarkan Revolusi secara Terbuka

Menurut Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization [Volume 1: The Classical of the Age Islam] (1974), pada 747 M, Bani Abbasiyah secara resmi menyatakan pemberontakan terbuka di kota Merv, yang sekarang masuk wilayah Turkmenistan. Revolusi ini dipimpin tokoh misterius yang dikenal sebagai Abu Muslim (hlm. 244).

Tak banyak yang diketahui tentang Abu Muslim. Tetapi dia memang tidak tampak sebagai anggota keluarga Abbasiyah dan mungkin berasal dari etnis Persia. Di bawah kepemimpinannya, revolusi Bani Abbasiyah dengan cepat bisa mengambil kendali Khurasan, yang segera menjadi basis pergerakan (hlm. 245).

Abu Muslim mengirim pasukan ke arah barat, masuk ke jantung Persia. Di sana, penduduk lokal Muslim bangkit melawan Umayyah dan bergabung dengan semangat revolusioner. Situasi yang awalnya terlihat sebagai ungkapan ketidakpuasan yang tidak berbahaya di Merv, kini mengancam eksistensi Dinasti Umayyah, terutama saat pasukan Abbasiyah ke luar dari Persia dan masuk ke dunia Arab. Kufa, yang pernah menjadi pusat sentimen anti-Umayyah, mulai bangkit lagi melawan gubernur Umayyah dan mengusirnya saat bendera hitam Abbasiyah tampak di horison timur. Begitu Kufa dibebaskan, pengambilan sumpah setia dapat dilakukan kepada calon khalifah dari Abbasiyah, Abu al-‘Abbas. Revolusi ini punya tujuan jelas, dukungan luas dari seluruh Persia, dan seorang pemimpin untuk menyatukan semuanya. Di setiap tempat, Umayyah berada dalam posisi bertahan saat semakin banyak orang berkumpul mendukung Abbasiyah.

Gerakan gerakan yang mencoba memberontak terhadap pemerintahan Abbasiyah golongan antara lain

Bani Umayyah Terdesak

Sementara itu, upaya membangkitkan pendukung Umayyah ternyata bukan perkara mudah. Sudah beberapa dekade berlalu sejak ancaman nyata terhadap posisi Umayyah mulai muncul, tetapi pejabat pasukan Suriah hanya berdiam diri dan dengan keliru menganggap kekuatan revolusi itu perlahan-lahan akan surut. Saat khalifah Marwan II berhasil mengumpulkan kekuatan Umayyah, Abbasiyah telah mengambil kendali atas sebagian besar Irak.

Hugh Kennedy dalam When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (2005) menelatah bahwa pada awal 750 Masehi dalam Perang Zab di Mesopotamia tengah, kekuatan Abbasiyah berhasil memukul mundur penuh pasukan Umayyah. Perlawanan terorganisasi terhadap Abbasiyah secara efektif berakhir setelah perang itu, seiring runtuhnya kendali Umayyah di seluruh dunia Islam. Sejak saat itu, tidak ada lagi penghalang antara Abbasiyah dan ibu kota Umayyah, Damaskus.

Satu demi satu, kota-kota menyerah dan menerima kedaulatan Abbasiyah. Satu per satu anggota keluarga Umayyah diburu dan dihukum mati. Marwan sendiri tertangkap di Mesir, tempat dia gagal mengumpulkan pasukan yang akan memukul mundur Abbasiyah dan mengendalikan Umayyah kembali (hlm. 32-3).

Hanya satu anggota keluarga Umayyah yang berhasil lolos dari revolusi. Menurut W. Montgomery Watt dalam The Majesty that was Islam: The Islamic World, 661-1100 (1974), Abdul Rahman yang masih remaja, anggota keluarga Umayyah yang relatif tidak dikenal, mampu lolos dengan menyamar ke Afrika Utara. Dia dikejar-kejar pasukan Abbasiyah dari Palestina, ke Mesir, sampai Magribi, dan hanya dikawani oleh budak yang pernah bekerja untuk keluarganya. Perjalanan legendarisnya membawa dia sampai ke Andalusia. Di sana dia mendirikan emirat Umayyah, jauh dari jangkauan Abbasiyah yang akan bertahan hampir selama 300 tahun (hlm. 95).

Revolusi Abbasiyah pada pertengahan 700-an itu menghasilkan dinasti kedua dalam sejarah kekhalifahan Islam. Pemberontakan itu didasari gagasan untuk membangun pemerintahan yang lebih sejalan dengan teladan Nabi, menyediakan tempat yang lebih pantas bagi non-Arab dalam masyarakat, dan memberikan sejumlah peran kepemimpinan bagi keturunan Ali. Janji-janji besar dan idealistis itu memang diperlukan untuk menggalang dukungan para sekutu. Tapi, begitu Abbasiyah berkuasa, realitas kekhalifahan mereka tak seperti yang diharapkan. Revolusi ini tidak serta-merta membuat dunia Islam kembali ke era Khulafaur Rasyidin ketika kesalehan, bukan politik, yang mendikte keputusan khalifah. Sebaliknya, khalifah Abbasiyah meneruskan tradisi otoritarian yang sama dengan yang mereka cela dari Umayyah. Khalifah tetap menjadi gelar keturunan milik orang-orang Quraisy. Dan mereka yang mendukung keluarga Ali sebagai khalifah ditinggalkan begitu saja tanpa dipenuhi janjinya.

================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.