Contoh sikap tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang bagi Lembaga Pusat Fatwa dan Riset Ilmiah Kerajaan Arab Saudi

Contoh sikap tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa

Terdapat banyak sikap tolong-menolong yang bisa dilakukan di sekolah. (pixabay)

adjar.id - Adjarian sikap saling tolong-menolong adalah sikap yang perlu kita biasakan. Termasuk pula tolong-menolong di sekolah.

Mengapa kita perlu menolong orang lain?

Manusia adalah makhluk sosial. Jadi bisa dibilang tidak mungkin manusia tidak berinteraksi dengan orang lain.

Interaksi itu ada dua macam, yakni interaksi positif dan interaksi negatif.

Nah, tolong-menolong itu termasuk dalam interaksi positif. Menolong adalah salah satu sikap yang menunjukkan kerukunan.

Baca Juga: Jawab Soal Contoh Kegiatan Gotong Royong, Kelas 3 Tema 3 Subtema 2

Dengan menolong seseorang kita membantu orang tersebut menyelesaikan urusannya.

Ia akan menjadi ringan bebannya. Selain itu, menolong juga akan meningkatkan solidaritas kita.

Hubungan kita dengan orang yang kita tolong bisa makin kuat dan juga makin akrab.

Rasa solidaritas dan kekerabatan yang kuat antar anggota lingkungan, atau dalam hal ini sekolah, dapat membuat kita menciptakan lingkungan yang menyenangkan.

Nah, itulah segelintir alasan mengapa kita perlu menolong orang lain. Kini kita akan mencari tahu contoh sikap tolong-menolong di sekolah.

"Tolong menolong adalah bentuk interaksi positif."


Page 2

Contoh sikap tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa

Terdapat banyak sikap tolong-menolong yang bisa dilakukan di sekolah. (pixabay)

Apakah memberitahukan jawaban kita kepada teman yang kesusahan ketika ujian adalah bentuk tolong-menolong?

Dengan memberitahu jawaban kita kepada teman yang kesusahan tatkala ujian memang membuat teman kita merasa terbantu. Ia menjadi tidak kesusahan dan munkgin mendapat nilai yang bagus.

Namun, ketika ketika kita memberinya jawaban, apakah kita benar-benar membantu teman kita?

Justru kita tidak sedang membantu dia sebab solusi dari kurang paham pada suatu materi adalah dengan belajar. Sedangkan, bila diberikan contekan, sangat mungkin ia tidak akan belajar materi tersebut.

Baca Juga: Apa Saja Tanggung Jawab Siswa di Sekolah? Kelas 5 Tema 4 Subtema 2

Mungkin malah teman kita akan bergantung pada jawaban yang diberikan oleh kita melulu. Alhasil, dia tetaplah tidak memahami materi-materi pelajaran.

Memberi contekan, selain merugikan orang yang kita beri contekan, juga berarti membohongi guru. Guru kita tidak tahu bahwa jawaban temanmu pada kertas ujian sebenarnya adalah jawabanmu.

Selain guru, orang tua teman kita pun turut terbohongi. Sebab, orang tua tahunya bahwa nilai di kertas ujian adalah nilai anaknya.

Lalu apa contoh sikap tolong menolong yang bisa kita lakukan di sekolah?

"Mencontek bukan suatu sikap tolong menolong."


Page 3

Contoh sikap tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa

Terdapat banyak sikap tolong-menolong yang bisa dilakukan di sekolah. (pixabay)

Contoh Sikap Tolong-Menolong di Sekolah

Di bawah ini adalah beberapa sikap tolong-menolong yang bisa kita lakukan di sekolah, antara lain:

1. Belajar Bersama

Berbeda dari memberi contekan pada ujian, belajar bersama adalah bentuk tolong-menolong.

Kita bisa mengadakan belajar bersama setiap minggu atau pada minggu-minggu menjelang ujian.

Dengan belajar bersama, solusi atas masalah kurang paham atas suatau materi jadi terselesaikan.

Belajar bersama membuat kita atau teman kita yang kurang paham atas suatu materi menjadi lebih memahami materi tersebut.

Baca Juga: Mengapa Kita Perlu Menolong Orang Lain? Materi Kelas 3 Tema 3

2. Meminjami Alat Tulis

Kadang-kadang adalah hal yang lumrah bila suatu hari kita lalai membawa alat tulis seperti pensil, bolpoin, atau penghapus.

Ketika kita membawa alat tulis lengkap dan lebih dari satu, kita bisa meminjami teman kita alat tulis kita.

Dengan begitu, teman kita jadi tetap bisa menulis materi atau mengerjakan soal.

"Belajar bersama sebelum ujian adalah contoh sikap tolong-menolong."


Page 4

Contoh sikap tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa

Terdapat banyak sikap tolong-menolong yang bisa dilakukan di sekolah. (pixabay)

Namun, kita juga harus mengingatkan teman kita agar tidak lupa membawa alat tulis pada esok harinya. 

Jadi, selain membantu meminjami alat tulis, di sini kita juga membantu mengingatkan teman kita agar tidak kelupaan lagi membawa alat tulis.

3. Menunggu Teman Menanti Jemputan

Di suatu sekolah, siswa-siswa datang dan pulang dengan cara berbeda-beda.

Ada yang berjalan kaki karena dekat. Ada yang bersepeda karena jarak antara rumah dan sekolah tidak terlalu dekat.

Baca Juga: Contoh Sikap dan Alasan Mengapa Kita Harus Bersatu di Sekolah

Namun, ada pula yang diantar dan dijemput oleh orang tua. Oleh karena dijemput oleh orang tua, ia bisa-bisa tidak bisa langsung pulang seperti kita yang berjalan atau bersepeda sendiri.

Orang tua kadang tidak bisa langsung datang. Orang tua memiliki keperluannya sendiri. Nah, kita bisa membantu menemani teman kita menanti di sekolah menunggu jemputan.

Itulah contoh sikap tolong menolong yang ada di sekolah. Sekarang, selesaikanlah soal di bawah ini!

Pertanyaan
Mengapa kita perlu menolong orang lain?
Petunjuk: Cek halaman 1.

Tonton video ini, yuk!

عن ابي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلمقال إن لله تسعة وتسعين إشما مائة إلا واحدا منأحصاها دخل الجنة. (رواه البخاري ومسلمlatinkan sama artinya​

dimohonnn quran hadist yaa​

tolongin aku pliss.. besok mau dikumpulin ​

cari 10 idgham bilgunnah​

10. Jelaskan fungsi taharah dalam menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal!​

sebutkan contoh idhgom di Surat Al Fatihah!​

tolong bantu jawab pertanyaan ini​

pada masa Dinasti Abbasiyah, departemen yang di gunakan untuk menangani masalah masalah yang timbul dalam negara adalan.....​

cara tulisan jam 8.35 dalam bahasa Arab kak plis tolong bsk di kumpul​

tolong bantuannya kk ​

PERINTAH UNTUK SALING MENOLONG DALAM MEWUJUDJKAN KEBAIKAN DAN KETAKWAAN

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

Penjelasan Ayat
Makna Al-Birru ( الْبِرُّ ) dan At-Taqwa (التَّقْوَى)
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat. Karena masing-masing menjadi bagian lainnya.

Secara sederhana, al-birru (الْبِرُّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa al-birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya.[1]

Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa al-birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan ridhai, dari perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.[2]

Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-birru, keimanan dan cabang-cabangnya,  demikian pula ketakwaan.

Allah Azza wa Jalla telah  menghimpun ragam al-birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:

لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa [al-Baqarah/2:177]

Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.

Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, ternyata di penghujung ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqîn).

Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.

Thalq bin Habîb rahimahullah, seorang Ulama dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”. Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:” Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan takut terhadap siksa-Nya”.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memuji keterangan di atas dengan berkata [3]: Ini merupakan definisi takwa yang paling bagus. Beliau menjelaskan, bahwa semua amalan memiliki permulaan dan tujuan akhir, maka satu amalan tidaklah dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla kecuali apabila bersumber dari keimanan. Artinya dorongan utama melakukan amalan tersebut adalah keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu, atau keinginan untuk mendapatkan pujian dan kedudukan. Jadi, permulaannya adalah keimanan dan tujuan akhirnya adalah meraih pahala dari Allah Azza wa Jalla serta mengharap keridhaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisâb. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan kata iman dan ihtisâb datang secara bersamaan seperti contoh berikut:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا

Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisâb) [HR. al-Bukhâri Muslim].

Makna Al-Itsmu (ْإِثْمُ ) dan Al-‘Udwân (الْعُدْوَانُ )
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-‘udwân terikat pada hubungan hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla , yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.

Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan lainnya.

Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.

Sehubungan dengan al-‘udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).

Tindakan melampaui batas terbagi dua.

  1. Terhadap Allah Azza wa Jalla , seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
  2. Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya. [4]

Urgensi Ayat.
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan al-birr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.[5]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.

Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.[6]

Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah Azza wa Jalla mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah Azza wa Jalla . Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah Azza wa Jalla dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.[7]

Baca Juga  Larangan Membunuh Anak Karena Takut Miskin

Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ

Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]

Dalam hadits lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدَّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ

Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya [HR. Muslim].

Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shaleh, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat  orang lain untuk beramal. [8]

Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk menentangnya. [9]

Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya. [10]

Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan. [11]

Penutup
Dengan jelas, ayat di atas memuat kewajiban saling membantu di antara kaum Mukminin untuk menegakkan agama dan larangan bagi mereka untuk bekerjasama dalam menodainya.[12] Bukan sebaliknya yaitu malahan melemahkan semangat beramal orang, mengejek orang yang berusaha konsisten dengan syariat maupun menjadi dalang tersebarnya perbuatan maksiat di tengah masyarakat. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 05/Tahun XIII/1430/2009M.Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote

[1]  ar-Risâlah at-Tabûkiyyah, Ibnul Qayyim, tahqîq Salîm al-Hilâli, Dâr Ibni Hazm, Cet. I, Thn. 1419H,  hlm. 37


[2]  Taisîrul Karîmir Rahmân, ‘Abdur Rahmân as-Sa’di,  Muassasah Risâlah Cet. V, Thn. 1417H, hlm. 182
[3]  ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 45
[4]  ibid hlm. 53-56
[5]  Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm (3/12-13)
[6]  ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 30
[7]  Tafsîr al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân), Muhammad bin Ahmad al-Qurthûbi, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H, Vol. 6, hlm. 45
[8]  Tafsîr al-Qurthûbi (6/45), Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 182
[9]  ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 57
[10]  Ibid hlm. 57
[11]  ar-Risâlah at-Tabûkiyyah  hlm. 57
[12]  Aisarut Tafâsîr Abu Bakar Jâbir al Jazâiri Maktabah ‘Ulûm Wal Hikam Madinah