Contoh penyimpangan dari aturan tentang perlindungan tenaga kerja anak di Indonesia

PENYIMPANGAN PENGATURAN PEKERJA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

YOLANDA HAYUWARDHANI, 030415965 (2008) PENYIMPANGAN PENGATURAN PEKERJA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

1. Perlindungan hukum yang diberikan bagi pekerja anak berdasarkan pasal 69 ayat 2, antara lain: Izin tertulis dari orang tua atau wali; Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; Keselamatan dan kesehatan kerja; Adanya hubungan kerja yang jelas; dan Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Jika terdapat penyimpangan perlindungan hukum bagi pekerja anak maka yang dipilih adalah norma yang paling melindungi pekerja anak yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pekerja anak, misalnya Konvensi ILO No. 138 yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tetapi berdasarkan asas lex spesialis derogat legi generale Undang-Undang No. 13 tahun 2003 inilah yang paling tepat sebagai perlindungan pekerja anak. Undang-undang tidak bisa memaksakan anak untuk tidak bekerja sama sekali. Ada fleksibilitas yang digunakan untuk menghadapi adanya fenomena pekerja anak yang disebabkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan pekerja anak tersebut terpaksa untuk memilih bekerja.

Actions (login required)

Contoh penyimpangan dari aturan tentang perlindungan tenaga kerja anak di Indonesia
View Item

Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”

Narasumber: Felicia Natashya Suryanto – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR.

Contoh penyimpangan dari aturan tentang perlindungan tenaga kerja anak di Indonesia

Hak asasi seorang anak termasuk bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana didasarkan pada ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)[1]. Pemerintah Indonesia telah membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) dan Konvensi Hak-Hak Anak yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tujuan untuk melindungi hak anak di seluruh dunia. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Peraturan-peraturan di atas menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tentunya memiliki kepedulian yang besar dalam penanganan hak asasi anak di Indonesia dengan meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak.[2]

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menyatakan definisi anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perihal pengertian perlindungan anak diatur di dalam Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Anak yang berbunyi segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa anak tentunya memiliki hak hidup yang sama layaknya kehidupan manusia lainnya.[3] Selain itu, perlindungan anak juga diatur pada Pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) yang berbunyi:

“Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya sehingga dapat menganggu pendidikan, kesehatan, fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritual.”

Adapun dalam Pasal 65 UU HAM yang berbunyi:

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropoka, dan zat adiktif lainnya”.

Dengan melihat ketentuan di atas, pada praktiknya masih sering terjadi di masyarakat yang mana anak belum bisa sepenuhnya hidup bebas dan mandiri serta mendapatkan perlindungan haknya sebagai anak. [4] Hal tersebut tentunya memerlukan adanya bimbingan dan perlindungan dari orang tua maupun Pemerintah. Tujuan dari perlindungan anak itu sendiri yaitu agar setiap anak mampu bertumbuh dan mengembangkan potensi.[5]

Indonesia sudah mengatur mengenai pekerja anak melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada kenyataannya, banyak pengusaha maupun instansi lain yang melakukan pelanggaran hak terhadap pekerja anak.[6] Anak terpaksa bekerja atau mungkin dipekerjakan tanpa melihat batas usia minimum maupun syarat seorang anak dapat dipekerjakan. Hal tersebut mengakibatkan anak tidak dapat memenuhi beberapa kebutuhannya antara lain kebutuhan untuk bermain, bersosialisasi dengan teman sebaya dan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan sehingga terjadi eksploitasi pekerja anak.[7]

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian eksploitasi adalah pengusahaan, pendayagunaan, pemanfaatan untuk diri sendiri, pengisapan, pemerasan (tenaga orang), dan merupakan tindakan yang tidak terpuji. Apabila dikaitkan dengan eksploitasi pekerja anak, maka dapat diartikan juga bahwa eksploitasi pekerja anak ialah mempekerjakan anak di bawah umur yang bertujuan untuk meraih keuntungan. Adapun penjelasan dari United Nations International Children’S Emergency Fund (UNICEF) yang telah menetapkan beberapa kriteria eksploitasi terhadap anak yang bekerja, salah satunya yaitu anak yang bekerja penuh waktu, sehingga banyak waktu digunakan untuk bekerja. Pekerjaan tersebut menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis, upah yang tidak mencukupi, tanggung jawab yang terlalu banyak, pekerjaan yang menghambat akses pendidikan, pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, dan pekerjaan yang merusak perkembangan sosial dan psikologis.[8]

Penulis akan mengaitkan dengan salah satu kasus pekerja anak yang mengalami eksploitasi khususnya di ladang tembakau di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar kelima di dunia, dengan lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) pertanian tembakau yang tentunya memerlukan tenaga kerja yang banyak. Berdasarkan data pada International Labour Organization (ILO) memperkirakan lebih dari 1,5 anak usia 10 tahun sampai 17 tahun bekerja di pertanian Indonesia.[9] Human Rights Watch membuat penelitian lapangan di empat provinsi, termasuk tiga provinsi yang menghasilkan hampir 90% produksi tembakau di Indonesia yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Laporan ini berdasarkan dengan adanya 227 (dua ratus dua puluh tujuh) orang, termasuk 132 (seratus tiga puluh dua) buruh anak usia 8 (delapan) sampai 17 (tujuh belas) tahun. Sebagian besar mulai bekerja sejak usia 12 (dua belas) tahun, sepanjang musim tanam, di lahan-lahan kecil yang diolah oleh keluarga atau para tetangga.[10] Berdasarkan laporan tersebut menyatakan bahwa anak-anak mengeluh mual, muntah, sakit kepala, dan lainnya. Gejala konsisten dengan keracunan nikotin selama masa kanak-kanak dan remaja dapat mempengaruhi perkembangan otak tersebut.[11]

Ada pun salah satu kasus yang terjadi pada seorang anak bernama Ayu berumur 13 (tiga belas) tahun berasal dari daerah desa yang terletak di Garut pegunungan Jawa Barat. Ia sering membantu orang tuanya menanam tembakau. Ayu merupakan siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia pergi ke ladang saat pagi hari sebelum sekolah, sore hari, akhir pekan dan hari libur. Ia mengatakan kepada pihak Human Rights Watch,  bahwa alasan ia tidak masuk sekolah untuk bekerja di ladang tembakau. Sejak memulai bekerja di ladang tembakau, Ia mengalami gejala keracunan nikotin seperti muntah, mual, dan sakit kepala. Hal itu terjadi karena Ayu bersentuhan dengan tanaman tembakau terlalu sering dan tidak menggunakan pelindung yang aman pada saat menanam maupun memanen tembakau.[12]

Laporan ini menggambarkan bahwa pekerja anak berpotensi tinggi mengalami risiko buruk akan kesehatan dan keselamatan saat bekerja di ladang tembakau. Termasuk risiko keracunan nikotin akut karena bersentuhan langsung dengan tanaman dan daun tembakau, racun pestisida, dan bahan kimia lain. Para pekerja anak sudah mengetahui mengenai risiko kesehatan pada saat bekerja, akan tetapi, peraturan yang tidak tegas dan buruknya penegakan hukum di Indonesia, terutama di sektor pertanian skala kecil, telah menyebabkan anak-anak mengalami risiko kesehatan yang berbahaya.[13] Pemerintah Indonesia harus segera melarang anak-anak melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan tembakau, dan perusahaan tersebut harus meningkatkan prosedur uji tuntas kelayakan dari segi hak asasi manusia untuk mengidentifikasi dan mengakhiri praktik bahaya mempekerjakan buruh anak dalam pertanian tembakau.

Selain itu, tentunya juga pelaku usaha dilarang mempekerjakan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan). Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk bertumbuh dan berkembang.[14] Ketentuan Pasal 68 UU Ketenagakerjaan dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Selanjutnya dalam Pasal 69 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan seperti:

  1. izin tertulis dar orang tua atau wali;
  2. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
  3. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
  4. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
  5. keselamatan dan kesehatan kerja;
  6. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
  7. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) UU Ketenagakerjaan wajib memenuhi syarat, sebagai berikut:

  1. adanya pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
  2. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
  3. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

Bagi anak yang dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja atau buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat buruh dewasa. Berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yaitu pekerjaan-pekerjaan terburuk yang tidak diperbolehkan adanya pekerja anak meliputi:

  1. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
  2. segala pekerjaan yang memandatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
  3. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan atau/;
  4. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan keselamatan, atau moral anak.

Selain itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menetapkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan, atau Moral Anak (selanjutnya disingkat Kepmen No. 245/MEN/2003). Kepmen No. 245/MEN/200 mempertegas kembali bahwa pekerja anak tidak boleh diberi pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

Dengan melihat fenomena yang terjadi di Indoensia serta melihat ketentuan-ketentuan di Indonesia yang sebenarnya sangat memperhatikan kepentingan hak anak, maka sepatutnya eksploitasi terhadap pekerja anak harus ditindaklanjuti secara tegas. Pihak yang berwenang harus memberikan hukuman terhadap pengusaha yang melakukan eksploitasi. Berdasarkan Pasal 88 UU Perlindungan Anak yang berbunyi setiap orang yang mengeksploitasi anak dalam bentuk ekonomi maupun seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lai akan dipidana pernjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda sebesar Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ketentuan tersebut haruslah diberlakukan secara tegas agar para pelaku merasakan efek jera karena melakukan eksploitasi terhadap pekerja anak. Upaya lainnya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah yaitu menarik pekerja anak dari pekerjaan yang mengandung unsur eksploitasi terhadap anak. Selain itu, sebagai masyarakat yang peduli terhadap tindakan eksploitasi, dapat memberikan edukasi mengenai kriteria eksploitasi terhadap pekerja anak kepada anak-anak maupun masyarakat. Dengan cara mempromosikannya melalui sosial media, penyuluhan, dan media lainnya yang dapat dijadikan edukasi.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279).
  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara 2014, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5606).
  5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan, atau Moral Anak.

Referensi:

[1] Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

[2] Ajeng Gayatri Octorani Putri, Eksploitasi Pekerja Anak dibawah Umur sebagai Bentuk Penyimpangan Sosial, Jurnal Sosietas, Volume 5-Nomor 1, 2015, halaman 2.

[3] Admin, Hak Asasi Manusia dan Anak Tidak Dapat Dipisahkan, https://ham.go.id/2016/04/18/hak-asasi-manusia-dan-hak-anak-tidak-dapat-dipisahkan/, (diakses pada tanggal 16 November 2020).

[4] Ajeng Gayatri Octorani Putri, supra note no.2, halaman 3.

[5] Ibid.

[6] Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Garis Besar Pemantauan Pekerja Anak, Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2008, halaman 2.

[7] Ibid.

[8] Beta S. Iryani, D.S. Priyarsono, Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Volume 13-Nomor 2, 2018, halaman 178.

[9] Ibid.

[10] Human Right Watch, Indonesia: Buruh Tembakau Anak-anak Menderita Demi Keuntungan Perusahaan, https://www.hrw.org/id/news/2016/05/25/289965 (diakses pada 30 Oktober 2020).

[11] Ibid.

[12] Human Right Watch, Bahaya Pekerja Anak dalam Pertanan Tembakau di Indonesia, https://www.hrw.org/id/report/2016/05/24/289751 (diakses pada 30 Oktober 2020).

[13] Ibid.

[14] M. Gabriel Haryanto, Mempekerjakan Anak di Bawah Umur, Dapat Dipidana, https://lhs-lawfirm.com/artikel/mempekerjakan-anak-di-bawah-umur-dapat-dipidana/, (diakses pada 16 November 2020).