Ini adalah hasil karya kami (aku dan anonim-anonim) saat kuliah Kode Etik Psikologi, dengan sedikit editan dari aku. ada pembetulan dan pembetulannya ada di http://www.kartunet.or.id/contoh-pelanggaran-kode-etik-psikologi-4877 Terima kasih ^_^
2. 1. Dalam proses konseling, Psikolog/ilmuwan Psikologi melakukan tindakan asusila (butir a) 2. Psikolog/ilmuwan Psikologi memandang rendah pada individu disabilitas fisik, mental; menganggap bahwa mereka tidak mampu bekerja dan bersosialisasi dengan baik Pasal 15 Penghindaran dampak buruk Psikolog/ilmuwan Psikologi menerima tawaran untuk merubah hasil tes, tidak ada penghindaran akan munculnya dampak buruk padahal sudah terlihat jelas itu terjadi. Pasal 16 Hubungan majemuk Psikolog tertarik dan mempunyai hubungan dengan klien dalam waktu yang bersamaan dan hubungan tersebut menyebabkan tidak objektivitas dan merugikan pihak-pihak yang terkait. Pasal 17 Konflik kepentingan Membiarkan pelanggaran kode etik terjadi, kasusnya dengan pengangkatan jabatan di perusahaan dengan meminta tempat untuk suami untuk imbalan atas jasa yang telah dilakukan. BAB V KERAHASIAAN REKAM dan HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI Pasal 23 tersangka pembunuhan diduga mengidap kelainan jiwa oleh Psikolog/ilmuwan Psikologi (butir 1e), Psikolog/ilmuwan Psikologi memberi kuasa pada rekannya untuk menyimpan data kliennya (butir 1f), perusahaan yang meminta data karyawan yang diduga bermasalah ke biro konsultan yang dulu menyeleksi karyawan baru, hanya diterima/ditolak tanpa penjelasan (2a). Pasal 24 a Psikolog/imuwan Psikologi memberikan data klien kepada pihak yang tidak berwenang dan menjelaskan hal-hal mengenai tujuan dari konseling, c Psikolog->klien- >kasus yang sama->diceritakan ke mahasiswa/rekannya secara gamblang. Pasal 25 (1c) Psikolog menceritakan hal-hal diluar batas perjanjian/kesepakatan (2a) Psikolog melibatkan diri pada orang-orang yang tidak terlibat dalam permasalahan 3. Pasal 26 Psikolog mengalami kecelakaan -> belum merencanakan sebelumnya (butir 1) Psikolog menarik.mematok biaya terhadap kerahasiaan data klien (butir 3) Pasal 27 Psikolog/dosen memberikan data/informasi kepada mahasiswa tanpa menyamarkan data identitas klien-klien (butir 1) BAB VI IKLAN dan PERNYATAAN PUBLIK Pasal 28 Psikolog menjelaskan suatu kasus pada orang yang mengalami kelainan Schizophrenia, menggunakan istilah-istilah Psikologi yang tidak dimengerti oleh orang awam (butir 1) Gelar profesi (butir 2b) Pasal 29 (3) Terhadap publikasi karya tulis Psikolog kepada kepada umum sengaja membayar pers Pasal 30 Psikolog membuat seminar : pembiara Psikolog terkenal, tujuan tidak tercantum, biaya tinggi, tapi ternyata hasil tidak sebanding Pasal 31 Psikolog mengumumkan ke publik, ada seorang yang mengalami gangguan jiwa secara terang-terangan tanpa rasa bersalah (butir a) Pasal 32 Psikolog mempromosikan dirinya secara berlebihan.narsistik BAB VII BIAYA LAYANAN PSIKOLOGI 4. Pasal 33 Butir 1 Psikolog tidak menjelaskan biayanya sesuai dengan perannya Butir 5 Psikolog sebagai relawan tau tidak dibayar-> dia tidak sepenuhnya atau setengah- setengah dalam memberikan pelayanan Pasal 34 Asisten si Psikolog dalam seleksi karywan dibayar tidak sesuai, murahan dan tidak ada penjelasan mengenai aturan serta kurang adanya insiatif dari ilmuwan Psikologi untuk bertanya mengenai pembayaran atas jasa Pasal 35 Psikolog sudah dibayar mahal, tapi hasil laporan pemeriksaan asal-asalan Pasal 36 Psikolog yang berpraktek di kampung, menolak saat diberikan bayaran berupa hasil kebun atau masakan dari penduduk BAB X PSIKOLOGI FORENSIK Pasal 56 (4) Psikolog memotong dan tidak sesuai dengan dinamika yang dibutuhkan oleh orang hukum, dan hanya diperbolehkan untuk melihat kondisinya di saat yang sekarang Pasal 57 : salah asesmen, si pelaku dan yang jadi sasaran dari pelaku, bisa tidak ikut prosedur dan salah alat tes Pasal 58 (1) Psikolog menolak membantu menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan hukum pidana Pasal 59 (1) Psikolog tidak memberikan kesaksian sebenarnya berdasarkan pemeriksaan Psikologis Pasal 60 (1) Psikolog tidak memberitahukan atau memberikan penjelasan sebelumnya kalau dia sebagai saksi ahli/konsultan dalam sebuah kasus forensik 5. Pasal 61 (1) Psikolog menyuruh asistennya yang bukan Psikolog (masih S1) untuk memberikan pernyataan ke media BAB XI ASESMEN Pasal 62 (1) Ilmuwan Psikologi melaporkan hasil diagnosa Psikolog Pasal 63 (4) Psikolog menggunakan hasil alat tes yang melebihi dari 2 tahun dan dia tidak melakukan pemeriksaan ulang Pasal 64 (b) Psikolog melakukan seleksi dan ujian tanpa adanya persetujuan dari pihak yang terkait, karena sudah melakukan asessmen Pasal 65 Psikolog tidak mempertimbangkan faktor budaya dan menyamaratakan perbedaan Pasal 66 (1) Hasil pemeriksaan anonim di Psikolog A tidak diberikan ke Psikolog B sehingga B melakukan pemeriksaan ulang (A merekomendasi B) Pasal 67 (1) Psikolog tidak menjaga dan memeriksa kelengkapan seperangkat alat tes (sembarangan naruh) 6. http://www.kartunet.com/contoh-pelanggaran-kode-etik-psikologi-4877 This Paper A short summary of this paper 30 Full PDFs related to this paper
Seorang psikolog hendaknya beretika dalam karirnya. Ketika membuka suatu praktek terapi misalnya. Ia haruslah memiliki izin dari HIMPSI disamping telah lulus kuliah Strata 2. Bukan hanya sampai disitu, dalam prakteknya ia tidak boleh menyalahi kode etik psikologi. Sebagaimana pasal-pasalnya telah tertuang lengkap dalam buku kecil HIMPSI, Kode Etik Psikologi Indonesia. Tak jarang ditemukan kasus-kasus para psikolog yang menyalahi aturan kode etik mereka. Dan jika tidak dilapor atau ditindaklanjuti, ini dapat mencoreng nama psikologi, nama mereka, nama keluarga ataupun negara. Berikut ini 2 contoh kasus yang penulis dapatkan dari beberapa sumber blog di internet. Contoh kasus pelanggaran terhadap kode etik. Yang satu adalah seorang doktor, dan yang satunya lagi seorang sarjana Strata 1. KASUS 1 Dunia pengetahuan Belanda dikejutkan dengan kasus penipuan yang dianggap terbesar dalam sejarah. Diederik Stapel, yang saat ini adalah mantan guru besar psikologi sosial, menyusun data-data dan penelitian palsu yang diterbitkan dalam puluhan artikel di majalah ilmu pengetahuan. Demikian lansir Radio Nederland (01/11/2011). Guru besar psikologi Universiteit van Tilburg itu dinonaktifkan sejak awal September lalu, setelah ia terbukti menggunakan data palsu untuk publikasi ilmiahnya. Hasil penyelidikan menunjukkan, Stapel, yang juga mengajar di Universiteit Groningen dan Universiteit van Amsterdam, ternyata mempublikasi tiga puluh tulisan di majalah ilmiah dengan data-data palsu. Saat ini penyelidikan juga dilakukan terhadap 130 artikel lainnya di majalah ilmiah dan 24 tulisan di buku-buku ilmiah. Pim Levelt memimpin komisi yang menyelidiki kasus penipuan ini. Ia mengatakan kasus itu sangat besar, membingungkan dan merusak citra Belanda sebagai negara ilmu pengetahuan. Kasus ini tentu saja menarik perhatian dunia internasional. Stapel antara lain terkenal di dunia sehubungan penelitiannya yang menyimpulkan bahwa orang yang mengkonsumsi daging akan menjadi lebih agresif. Selain itu ia juga menerbitkan artikel dalam majalah pengetahuan Science, soal eksprimen yang menyatakan orang cenderung melakukan tindak diskriminasi jika berada dalam lingkungan yang banyak sampahnya. Sekarang penyelidikan-penyelidikan itu dan hasilnya bisa dibuang ke tempat sampah. Para ilmuwan Belanda terkejut dengan skandal penipuan ilmiah ini. Universiteit Tilburg dan Groningen melaporkan kasus itu bersama. Sementara Universiteit van Amsterdam akan meninjau kembali apakah mereka mencabut gelar doktor yang diberikan kepada Stapel. Ketua Persatuan Universitas Belanda, Sjibolt Noorda terkejut dengan besarnya skala kasus penipuan tersebut. “Tak dapat saya mengerti, laporan yang baru diterbitkan tersebut, bahwa seseorang menipu secara sistematis. Ini bukan untuk waktu yang sebentar saja. Kejadian ini berlangsung selama bertahun-tahun dan ia melakukan eksperimen ini juga selama bertahun-tahun.” Stapel mempersiapkan penelitian bersama seorang asistennya dengan sangat cermat. Dan akhirnya membawa daftar pertanyaan seperti pengakuannya ke sekolah-sekolah. Beberapa pekan sesudahnya ia mempresentasikan penelitiannya itu di hadapan karyawannya. Jika ada seseorang yang menanyakan daftar pertanyaan itu, maka Stapel mengaku tidak memilikinya lagi, karena tidak bisa menyimpan semuanya. Tapi penipuan Stapel tidak hanya mengenai hasil penelitian saja, kata penyelidik Levelt. “Stapel dengan kekuasaan yang dimilikinya mengintimidasi peneliti-peneliti muda. Jika ada seseorang yang terus bertanya-tanya maka ia mengatakan: ‘Saya punya hak untuk dipercaya.’ Namun yang lebih parah ia dapat berkata: ‘Saya jadi ragu, apakah anda bisa mendapatkan promosi.'” Menurut Levelt, penipuan hanya dilakukan oleh Stapel sendiri. Komisi menyatakan para peneliti dan promovendi lainnya tidak terlibat atau tidak mengetahui tentang penipuan ini. Mengapa penipuan ini bisa berlangsung begitu lama? Komisi menyatakan terutama karena kerja Stapel yang rapih, manipulatif dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun universitas-universitas menyadari bahwa mereka juga kurang memperhatikan faktor-faktor ini. Diskusi pasti akan memanas. Karena bagaimana seseorang dapat melakukan praktek-praktek seperti itu dan tidak ada rekan kerjanya yang menyadari atau membongkar hal ini, dapat dikatakan memalukan dunia internasional. Sementar itu Stapel sendiri menyesal. “Saya sadar, bahwa dengan kelakuan ini saya mengacaukan dan menimbulkan kemarahan di antara kolega dan memalukan dunia psikologi sosial. Saya malu dan saya menyesal,” kata Stapel. Ia juga menyatakan bahwa dirinya telah menerima bantuan untuk mencari tahu mengapa hal ini semua bisa terjadi. Farah Mutiasari Djalal, mahasiswa S2 Psikologi Sosial Universitas Tilburg asal Indonesia, mengonfirmasi bahwa para mahasiswa terkejut, kecewa sekaligus marah mendengar kabar penipuan Stapel. “Soalnya data-data yang dipalsukan Stapel dipakai oleh beberapa mahasiswa PhD dalam penelitian mereka,” tutur Farah. “Akibatnya, sejumlah kandidat PhD tertunda kelulusannya karena data mereka tidak shahih.”. “Dosen-dosen juga shock,” tambah Farah. “Mereka kecewa, nggak nyangka. Bahkan ada yang sampai menangis.” Toh, menurut Farah, dosen-dosen Universitas Tilburg lebih memilih bungkam jika mahasiswa — atau “pihak luar” – mempertanyakan kasus ini. Untungnya, tidak ada mahasiswa Indonesia yang jadi korban. “Sampai sekarang sih, setahu saya, nggak ada mahasiswa Indonesia yang menggunakan data-data Stapel,” kata Inggar Larasati, kutip Radio Nederland (02/11/2011). Inggar menyayangkan skandal ini, “Apalagi profesor Stapel kan lumayan terkenal di dunia akademis Belanda.”. Akankah ulah Stapel ini merusak kepercayaan mahasiswa asing terhadap sistem pendidikan Belanda? “Kalau dipikir-pikir sih, iya,” jawab Inggar. “Karena reputasi Universitas Tilburg yang sebenarnya bagus, jadi tercoreng skandal ini.” Di lain sisi Inggar bangga skandal ini terbongkar. “Dan yang membongkar mahasiswa! Ini menunjukkan sisi positif dari dunia akademis Belanda: mahasiswa berani dan diberi ruang untuk mengkritik dosen mereka, dalam hal ini untuk membongkar penipuan seorang guru besar. Artinya, hampir tidak ada hirarki dalam sistem pendidikan di Belanda. ” Dari berita yang dilansir oleh website resmi media online Hidayah.com pada hari Jumat, 04 November 2011, dapat diketahui bahwa Stapel berdasarkan buku HIMPSI dikenakan tindak pelanggaran sebagai berikut,
Pasal 17 : Konflik Kepentingan Psikolog atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran professional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, professional, hukum, financial, kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas , kompetensi, atau efektifitas mereka dalam emnjalankan fungsi sebagai psikolog dan atau ilmuwan psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan penggunaan layanan psikologi tersebut.
Pasal 50 : Pengelabuan atau Manipulasi dalam Penelitian Psikolog dan ilmuwan psikologi boleh melakukan penelitian dengan pengelabuan teknik pengelabuan hanya dibenarkan bila ada alasan ilmiah, untuk tujuan pendidikan atau bila topic sangat penting untuk diteliti demi pengembangan ilmu, sementara cara lain yang efektif tidak tersedia. Bila pengelabuan terpaksa dilakukan, psikolog atau ilmuwan psikologi menjelaskan bentuk-bentuk pengelabuan yang merupakan bagian dari keseluruhan rancangan penelitian pada partisipan sesegera mungkin. Jika memungkinkan partisipan menarik data mereka, bila partisipan menarik diri atau tidak bersedia terlibat lebih jauh. Pasal 53 : Pelaporan dan Publikasi Hasil Penelitian Psikolog dan atau ilmuwan psikologi bersikap professional, bijaksana, jujur, dengan memperhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku dalam melakukan pelaporan/publikasi hasil penelitian. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa psikologi. Pasal 53 Ayat 1 Psikologi atau ilmuwan psikologi tidak merekayasa data atau emlakukan langkah-langkah lain yang tidak bertanggung jawab. (missal : terkait pengelabuan, plagiarism, dll). Jika dikaji berdasarkan HIMPSI(2010) Stapel melanggal pasal-pasal berikut: Psikolog dan atau ilmuan psikologi senantiasa menjaga keteapatan, kejujuran, kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengalaman dan praktik psikologi. Dalam hal ini stapel tidak menjaga kejujuran dan kebenaran dalam bidang keilmuan psikologi. Psikolog dan atau ilmuan psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (Fraud) tipuan dan distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar. Dalam hal ini stopel melakukan kebohongan dan mengajak asistennya untuk melakukan pemalsuan, tipuan, distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar. Tidak benar karena stapel dan asistennya tidak melalkukan penelitian srcara sistematis melainkan pemalsuan. Psikolog dan atau ilmuan psikologi hanya memeliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, objektif dan integrasi Stapel tidak professional dalam menjadi ilmuan psikologi karena dalam melakukan penelitian dan pengajaran tidak memiliki kompetensi yang optimal, dan stapel tindakan tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, objektif dan integrasi. Psikolog dan atau ilmuan psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban professional, mengambil tanggung jawab secara tepat akas tindakan mereka, berupaya untuk mengelolah berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk. Karena stapel tidak menjunjung tinggi kode etik dan keprofeisionalannya menjadi ilmuan psikologi. Stapel tidak bertanggung jawab atas apa yang publikasikan sehingga dampak buruk dan eksploitasi terjadi. Psikolog dan atau ilmuan psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta meminimalkan akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari psikolog dan atau ilmuan pikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain. Karena stapel melakukan tindakan-tindakan ilmiah yang memengaruhi kehidupan orang lain dan itu berdampalk buruk karena mahasiswa-mahasiswa yang menggunakan data stapel tertunda kelulusannya. Pelangaran berat yaitu: Tindakan yang dilakukan oleh psikolog dan atau ilmuan psikologi yang secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang melibatkan kerugian bagi salah satu dibawah ini:
III. Pengguna jasa layanan psikologi
Stapel melakukan pelanggaran berat karena sengaja melakukan manipulasi tujuan proses, dan hasil penelitian sehingga mengakibatkan kerugian pada: ilmu psikologi, profesi psikologi, pihak-pihak terkait dan masyarakat pada umumnya. Stapel tidak hanya memalsukan data-data penelitian ilmiah, ia juga menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengintimidasi peneliti-peneliti muda. Tindakan yang dilakukan Stapel dapart melanggar etika mengenai konflik kepentingan, dimana seharusnya Stapel sebagai ilmuan psikologi menghindar dari peran professionalnya apabilang dipengaruhi kepentingan pribadinya. Jika dilihat lebih lanjut, alasan stapel mengintimidasi peneliti-peneliti muda dan melakukan fabrikasi data karna stapel merasakan adanya tekanan karir. Konflik kepentingan pribadi, Stapel pada akhirnya berakibat buruk bagi pihak-pihak terkait bahkan Nama Negara Belanda sebagai nama ilmuan pun tercoreng.
Psikolog dan ilmuwan psikologi boleh melakukan penelitian dengan pengelabuan teknik pengelabuan hanya dibenarkan bila ada alasan ilmiah, untuk tujuan pendidikan atau bila topic sangat penting untuk diteliti demi pengembangan ilmu, sementara cara lain yang efektif tidak tersedia. Bila pengelabuan terpaksa dilakukan, psikolog atau ilmuwan psikologi menjelaskan bentuk-bentuk pengelabuan yang merupakan bagian dari keseluruhan rancangan penelitian pada partisipan sesegera mungkin. Jika memungkinkan partisipan menarik data mereka, bila partisipan menarik diri atau tidak bersedia terlibat lebih jauh. Dalam kasus stapel manipulasi dilakukan tanpa adanya tujuan untuk pengembangan ilmu. Manipulasi dilakukan Stapel semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi. Manipulasi data yang dilakukan Stapel juga bukan merupakan bagian dari keseluruhan rancangan penelitian. Pelanggaran Stapel dalam memanipulasi data juga terdapat dalam standar etika dari “Prinsip Etis Psikolog dan Kode Etik”, yang terkait dengan pelaporan penelitian yang berisi Psikolog tidak boleh memalsukan data.
Psikolog dan atau ilmuwan psikologi bersikap professional, bijaksana, jujur, dengan memperhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku dalam melakukan pelaporan/publikasi hasil penelitian. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa psikologi. Ayat 1 : Psikologi atau ilmuwan psikologi tidak merekayasa data atau emlakukan langkah-langkah lain yang tidak bertanggung jawab. (missal : terkait pengelabuan, plagiarism, dll). Dalam kasus tersebut Stapel dengan jelas melanggal etika pelaporan dan publikasi hasil penelitian dengan melakukan tindakan rekayasa dan yang pada akhirnya menyesatkan pandangan masyarakat pengguna jasa psikologi. KASUS 2 Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke psikolog di biro psikologi YYY. Sang ibu meminta kepada psikolog agar anaknya diperiksa apakah anaknya termasuk anak autisme atau tidak. Sang ibu khawatir bahwa anaknya menderita kelainan autism karena sang ibu melihat tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya.Psikolog itu kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi sang ibu tersebut tidak memahami istilah – istilah dalam ilmu psikologi. Ibu tersebut meminta hasil ulang test dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Setelah dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut didiagnosa oleh psikolog yang ada di biro psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterapi. Setelah beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X, ternyata anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak tersebut sudah mengkonsumsi obat-obatan dan makanan bagi anak penyandang autis. Setelah diselediki ternyata biro psikologi YYY tersebut tidak memiliki izin praktek dan yang menangani bukan psikolog, hanyalah sarjana psikologi Strata 1. Ibu tersebut ingin melaporkan kepada pihak yang berwajib, tetapi ibu tersebut dengan psikolog itu tidak melakukan draft kontrak dalam proses terapi. Kasus di atas dalam kode etik psikologi di buku HIMPSI dinyatakan sarjana Psikolog tersebut telah melanggar pasal-pasal berikut ini,
Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:
iii. Pengguna jasa layanan psikologi
Dalam kasus psikolog lalai dalam melaksanakan proses dan mendiagnosa klien sehingga menimbulkan kerugian bagi klien dan keluarga klien.
Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihanatau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus, individu yang ada di biro psikologi itu bukan psikolog, melainkan hanya ilmuan psikologi yaitu sarjana S1 yang tidak berhak membuka praktek dan melakukan intervensi terapi, karena kompetensi melakukan terapi dan intervensi adalah kompetensi psikolog
Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan berbagai faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti keadaan situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin kesemua ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi keputusan.
Data asesmen Psikologi adalah data alat/ instrument psikologi yang berupa data kasar, respon terhadap pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis.Data asesmenini menjadi kewenangan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan. Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada sesama profesi untuk kepentingan melakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan individu yang menjalani pemeriksaan psikologi. Ayat 2 Hasil asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses pelaksanaan asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog yang melakukan pemeriksaan dan hasil dapat disampaikan kepada pengguna layanan. Hasil ini juga dapat disampaikan kepada sesama profesi, profesi lain atau pihak lain sebagaimana yangditetapkan oleh hukum. Ayat 3 Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan tikan adalah kemampuan bahasa dan istilahPsikologi yang dipahami pengguna jasa. Jadi, psikolog tersebut harusnya menyampaikan secara jelas hasil pemeriksaan psikologis klien dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini dikarenakan agar klien tidak merasa dirugikan ketika datang ke praktek psikologi. Selain itu, ketika klien meminta tes ulang, bisa saja sudah terjadi bias di dalam tes, karena klien sudah mengetahui tentang apa – apa yang ingin dilakukan tes atau pemeriksaan.
Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan psikologi untuk melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam proses konseling psikologi/psikoterapi sesuai dengan azas kesediaan. Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi dilaksanakan, konselor/psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed Consent) dari orang yang menjalani layanan psikologis. Persetujuan tertulis ditandatangani oleh klien setelah mendapatkan informasi yang perlu diketahui terlebih dahulu. Dalam kasus, tidak ada draft kontrak antara ibu anak tersebut dengan psikolog sehingga ibu kesulitan untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib tentang persoalan ini Selain melanggar pasal-pasal dalam kode etik tersebut, kasus diatas juga tidak memiliki izin praktek dari HIMPSI. Beberapa solusi yang disarankan dalam kasus ini:
Muhammad Ali Abdurrahman 1871041047 Sumber: http://serlibatoran.blogspot.com/2015/06/pelagaran-kode-etik-psikologi.html http://ahmadpai1208.blogspot.com/2017/10/pelanggaran-kode-etik-psikolog.html |