Cara-cara politik yang dilakukan dalam bentuk nonkonvensional adalah

Melalui artikel ini, Anda akan mempelajari apa yang mendefinisikan partisipasi politik, menjelajahi beberapa contoh, dan mendapatkan wawasan tentang mengapa partisipasi politik penting dalam masyarakat demokratis.

Pengertian

Bagi banyak orang, sebagai warga negara, salah satu aspek budaya kita yang paling dibanggakan banyak orang adalah sejauh mana mereka dapat mengambil bagian dalam sistem politik. Apakah mereka memilih anggota dewan baru, menjadi juri, atau berpartisipasi dalam protes publik, mereka dapat yakin bahwa tindakan mereka akan memiliki pengaruh pada politik Amerika dalam beberapa cara. Bagi mereka, ini penting karena ini adalah salah satu cara di mana orang dapat berkontribusi pada komunitas mereka dan menjadi anggota aktif masyarakat. Aktivitas sipil inilah yang dikenal sebagai partisipasi politik, dan mereka adalah bagian penting dari demokrasi mana pun.

Seperti namanya, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang berpartisipasi dalam proses politik dengan membuat pendapat dan keyakinannya diketahui. Dalam ilmu sosial, istilah ‘partisipasi politik’ sering digunakan untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh seorang warga negara untuk mempengaruhi hasil suatu masalah politik.

Bentuk Partisipasi Politik

Ada banyak bentuk partisipasi politik yang berbeda, dan apakah Anda mengetahuinya atau tidak, Anda mungkin pernah mengambil bagian di dalamnya di beberapa titik yang berbeda dalam hidup Anda.

Beberapa bentuk partisipasi politik yang paling umum adalah:

  • Voting. Dalam demokrasi, pemungutan suara adalah satu-satunya bentuk partisipasi politik terpenting yang dapat diikuti oleh seseorang karena hal itu memastikan bahwa politisi dipilih oleh rakyat, daripada ditugaskan ke posisi kekuasaan mereka oleh orang lain. Ini adalah hak konstitusional, seperti halnya di Indonesia, protes publik adalah bentuk partisipasi politik penting lainnya karena Anda menyampaikan pendapat dengan cara yang sangat jelas, dengan harapan tindakan Anda akan mempengaruhi atau memulai perubahan di area tertentu
  • Konsultasi publik: Seperti pemungutan suara, konsultasi publik (yang lebih dikenal sebagai rapat balai kota) menawarkan kesempatan kepada warga biasa untuk berkumpul dalam kelompok agar pendapat dan perasaan mereka diketahui.
  • Layanan juri (Jury duty): Meskipun kebanyakan orang merasa ngeri memikirkan harus menghadiri layanan juri, ini adalah jenis partisipasi politik yang penting karena memastikan bahwa orang-orang yang dinggap melakukan kejahatan di beri perlindungan, daripada membiarkan hasilnya bergantung sepenuhnya pada satu orang, seperti hakim.

Meskipun ini adalah beberapa bentuk partisipasi politik yang paling umum, masih banyak lainnya. Ini termasuk:

  • Menandatangani petisi
  • Menulis surat kepada pejabat publik
  • Blogging tentang masalah politik
  • Mendonasikan uang untuk suatu tujuan
  • Bersukarelawan untuk kampanye
  • Bergabung dengan aktivis atau kelompok kepentingan
  • Memegang posisi pejabat publik
  • Menempati gedung dalam tindakan protes
  • Melakukan tindakan teroris

Selama kegiatan tersebut melibatkan warga negara biasa yang mengekspresikan pendapat mereka dengan berkontribusi pada proses politik, Anda mungkin dapat berasumsi bahwa ini adalah bentuk partisipasi politik.

Bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dilakukan melalui berbagai macam kegiatan dan melalui berbagai wahana. Namun bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan nonkonvensional, sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond. Bentuk partisipasi politik menurut Gabriel Almond dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk konvensional dan bentuk nonkonvensional.

a. Bentuk konvensional

Bentuk konvensional antara lain:

  • dengan pemberian suara (voting),
  • dengan diskusi kelompok,
  • dengan kegiatan kampanye,
  • dengan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan,
  • dengan komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif,
  • dengan pengajuan petisi.

b. Bentuk nonkonvensional

Bentuk nonkonvensional antara lain:

  • dengan berdemonstrasi,
  • dengan konfrontasi,
  • dengan pemogokan,
  • tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman dan pembakaran,
  • tindak kekerasan politik manusia penculikan/pembunuhan,
  • dengan perang gerilya/revolusi.

Sedangkan Ramlan Surbakti menyatakan bahwa partisipasi politik warga negara dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif.

a. Partisipasi aktif

Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan dan pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan bersama. Bentuk partisipasi aktif antara lain mengajukan usulan tentang suatu kebijakan, mengajukan saran dan kritik tentang suatu kebijakan tertentu, dan ikut partai politik.

b. Partisipasi pasif

Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuan. Bentuk partisipasi pasif antara lain menaati peraturan yang berlaku dan melaksanakan kebijakan pemerintah. Menurut Huntington dan Nelson, bentuk kegiatan utama dalam partisipasi politik dibagi menjadi lima bentuk, yaitu:

  • kegiatan pemilihan,
  • lobi,
  • kegiatan organisasi,
  • mencari koneksi,
  • tindakan kekerasan.

Dengan demikian, berbagai partisipasi politik warga negara dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga, yaitu:

  • Terbentuknya organisasi-organisasi maupun organisasi kemasyarakatan sebagai bagian dari kegiatan sosial dan penyalur aspirasi rakyat.
  • Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi input terhadap kebijakan pemerintah.
  • Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif.
  • Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah.

Aktivitas politik merupakan salah satu indikator terjaminnya kehidupan yang demokratis. Jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tersalurkan melalui kegiatan politik. Hanya saja, kegiatan politik yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Budaya politik yang dilakukan bangsa Indonesia harus dijiwai nilai-nilai luhur Pancasila.

Untuk Siapa?

Secara teoritis, di setiap negara yang tidak dilarang, partisipasi politik harus melibatkan semua orang. Misalnya, meskipun seseorang harus berusia delapan belas tahun untuk memberikan suara, orang di bawah usia delapan belas tahun masih dapat berpartisipasi dalam protes, menjadi bagian dari rapat balai kota, atau mengekspresikan keyakinan politik mereka di berharap mereka dapat mempengaruhi orang lain.

Sayangnya, meski ditujukan untuk semua orang, partisipasi politik sering kali dapat berpihak atau salah merepresentasikan populasi negara atau bangsa. Ras atau kelas sosial ekonomi, misalnya, mungkin menjadi alasan mengapa orang tidak berpartisipasi dalam proses politik. Jika orang-orang berasal dari ras minoritas yang secara historis terpinggirkan atau tertindas, mereka mungkin merasa bahwa pendapat mereka tidak penting dalam konteks politik, atau mereka mungkin percaya bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sistem politik.

Sistem politik demokrasi membutuhkan partisipasi politik dalam agar berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, terlepas dari ras, kelas, atau karakteristik seseorang, ada sejumlah cara berbeda di mana setiap orang dapat terlibat dalam partisipasi politik. Faktanya, dalam kasus tertentu, mencampuri partisipasi politik seseorang bisa jadi merupakan kejahatan. Misalnya, setelah Undang-Undang Hak Suara tahun 1965 disahkan oleh Kongres, mencegah atau mengecilkan hati warga negara Amerika untuk memberikan suara adalah suatu kejahatan dan melakukan hal tersebut merupakan pelanggaran hukum.

Ringkasan

Seperti namanya, partisipasi politik adalah tindakan berpartisipasi dalam proses politik dengan membuat opini Anda diketahui. Paling sering, ini dilakukan dengan maksud untuk mempengaruhi situasi politik, seperti melakukan protes untuk melakukan perubahan atau meningkatkan kesadaran.

Meskipun ada banyak jenis partisipasi politik, beberapa yang paling umum termasuk pemungutan suara, dan berpartisipasi dalam rapat balai kota. Meskipun terkadang sulit untuk melibatkan orang, sistem demokrasi membutuhkan partisipasi politik, terlepas dari ras, kelas, atau karakteristik seseorang. Bahkan, dalam beberapa kasus, undang-undang tertentu telah disahkan untuk menghentikan campur tangan seseorang dalam partisipasi politik seseorang, seperti UU Hak Suara tahun 1965.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab RI) bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat Indonesia. FGD bertemakan “Peran Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendorong Partisipasi Politik di Indonesia” digelar di gedung Fakultas Hukum UII pada Selasa (26/10).

Dalam FGD tersebut, Setkab RI diwakili oleh Kepala Bidang Politik dan Organisasi Kemasyarakat, Darmawan Sutanto, didampingi oleh Kepala Subbidang Politik dan Kepala Subbidang Kemasyarakatan Lembaga Negara. Adapun, PSHK FH UII diwakili oleh, Dr. Jamaluddin Ghafur, S.H., M.H. dan Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana. Keduanya juga merupakan dosen di FH UII.

Jamaluddin menyampaikan, partsipasi merupakan hal yang esensial dalam negara demokrasi. Oleh karena itu untuk mewujudkan partisipasi politik, setidaknya ada tigal hal yang harus diperhatian. Pertama, harus ada kompetisi dalam arti jabatan-jabatan public harus dikompetisikan. Kedua, partisipasi dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ketiga, kebebasan berpendapat, dalam hal ini pemerintah tidak boleh menghalang-halangi gerakan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat.

Dengan demikian, pasrtisipasi memiliki peranan yang penting, baik bagi setiap individu untuk mengontrol dan mengawasi kebijakan pemerintah agar terhindar dari tindakan penyelewenangan yang dapat merugikan masyarakat, maupun bagi pemerintahan untuk mengukur tinggi atau rendahnya sistem demokrasi di suatu negara.

Dalam pelaksanaannya, menurut Jamaluddin, partisipasi memiliki beberapa jenis dan pola, antara lain: 1) Otonom, yaitu partisipasi yang dilakukan secara sadar dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah, 2) Konvensional, parstisipasi yang dilakukan secara langsung seperti pemilu, pilkada, dll, 3) Non-konvensional, partisipasi yang dilakukan seperti petisi, demokrasi, dan refOrmasi, 4) Digerakkan, partisipasi yang dilakukan atau digerakkan dalam suatu lembaga yang menggerakkan, salah satunya partai politik (parpol) yang dijadikan lembaga utama dan lembaga sentral untuk mengorganisir warga negara untuk berpartisipasi.

“Bahkan sebagian ahli mengatakan Parpol bila dibandingkan dengan organisasi lain, memiliki kewenangan yang sangat besar utk mengorganisir warga negara. Parpol merupakan institusi sentral dalam negara demokrasi yang diberikan hak eksklusif untuk mengakses kekuasaan, walaupun nanti kita bisa tunjukkan bahwa kondisinya menyedihkan,” ujarnya.

Jamaluddin mengatakan, dalam pelaksanaannya Parpol di Indonesia sangat dihegemoni oleh kekuasaan Ketua Partai. Bahkan kerap kali Anggaran Dasar dan Anggran Rumah tangga (AD/ART) dijadikan alat untuk melegalkan kewenangan Ketua Partai untuk melanggengkan kekuasaaanya, (alat proteksi legal). Sehingga dapat dipahami bahwa ketika Parpol dianggap sebagai lembaga central negara demokrasi, tapi justru di dalam internal Parpol itu tidak demokratis.

Dengan demikian, menurut Jamaluddin, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan demokrasi internal Parpol, yang dapat dilakukan dengan tiga hal, yaitu: 1) bagaimana Parpol memilih dan menyeleksi kandidat publik, 2) bagaimana Parpol melakukan seleksi pada kepemimpinan kekuasaan, 3) bagaiman Parpol merumuskan suatu kebijakan.

Terakhir, Jamaluddin mengusulkan ada dua cara untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat melalui Parpol, yaitu: Pertama, dengan meniru model Amerika, dimana Dewan Petinggi Parpo berkedudukan sebagai manager. Ia hanya mengatur soal internal paprol, tetapi tidak ikut campur dalam kekuasaan publik. Sehingga, harus ada pemisahan antara siapa yang fokus ke pejabat publik dan siapa yang fokus untuk mengurus interna Parpol.

Kedua, meniru modal Eropa, dimana Ketua Umum Perpol tetap memiliki kekuasaan penuh, namun harus ada prosedur suksesinya yang diatur dalam UU, meliputi: 1) Pencalonan, minimal harus ada dua calon dalam proses pemilu, tidak dibolehkan ada calon tunggal. 2) Pemilih, harus dilakukan oleh yang berhak, yaitu anggota Parpol. 3) Mekanisme Pemilihan, Pemilihan harus tegas dilakukan dengan pemilihan langsung, tidak boleh aklamasi, dan 4) Ada Pembatasan Masa Jabatan Pimpinan Parpol, harus diatur terkait pembatasan masa jabatan Pimpinan Parpol.

Selanjutnya, Allan Fatchan menyampaikan bahwa Organisasi Masyarakat (Ormas) memiliki beberapa fungsi, diantaranya: 1) Electoral Activity, yaitu aktivitas Ormas untuk mengorganisir masyarakat, seperti banyak para pemimpin Ormas yang berlomba untuk mencari massa. 2) Lobbying, yaitu kegiatan Ormas untuk melakukan lobby ke pemerintah, terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan. Dan 3) Organizational Policy Making dan Social Empowering, yaitu kegiatan Ormas untuk mengawal pembuatan kebijakan pemerintah dan agenda politik pemerintah.

Dari ketiga fungsi Ormas tersebut, fungsi ketiga merupakan fungsi yang kerap kali tidak dilaksanakan oleh Ormas-Ormas di Indonesia. Dari sekian banyak Ormas yang ada, hanya seidikit yang menjalankannya. Hal ini dikarenakan, tidak banyak Ormas yang mau terlibat dalam pembuatan kebijakan, dan mengawal agenda politik pemerintah.

“Banyak yang berpikir bahwa politik hanya soal kekuasaan, padahal lebih dari itu. Esensi politik kan sebenarnya adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.

Allan Fatchan menyampaikan, definisi Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun terkait tujuan dan fungsi Ormas hal ini telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU Ormas. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) juga telah memberikan kebebasan dan melindungi kedudukan Ormas. Namun, permasalahannya bukan dalam segi pengaturan, melainkan dari kemauan Ormas itu sendiri untuk mau berkiprah turut mengkritisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bidang yang digelutinya.

Allan Fatchan mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi eksistensi Ormas, Pertama, regulasi. Negara tidak boleh melakukan intervensi pada kegiatan Ormas, sepanjang kegiatannya tidak mengganggu ketertiban atau keamanan negara. Kedua, sumber daya manusia (SDM)/ kapasitas. Penting bagi suatu Ormas untuk diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai, dengan demikian Ormas dapat lebih aktif dalam merespon isu-isu sosial.

Berikutnya, Ketiga, kelembagaan dan program nyata. Ada agenda nyata yang dilaksanakan oleh Ormas-Ormas itu sendiri, dan keempat, terkait pendanaan/keuangan. Dalam hal ini menurutnya Ormas memiliki perhatian lebih untuk merespon isu-isu terkait pendanaan, sebab hal ini berkaitan dengan kebutuhannya.

“Ketika kami mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait Peraturan Daerah (Perda) tertentu, jarang ada Ormas yang hadir. Tapi kalau perda yang mengatur mengenai bantuan keuangan Ormas, datang semua. Tapi kalau soal isu-isu lingkungan, tata ruang, tidak ada satupun yang hadir, daftar hadir kosong,” ujarnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Allan menyebutkan beberapa gagasan yang dapat dilakukan Ormas untuk turut berpartisipasi aktif dalam negara demokrasi, yaitu: 1) Ormas harus turut aktif dalam perubahan sosial dan penyelesaian berbagai persoalan bangsa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan advokasi, mengekspresikan gagasan melalui forum media, diskusi, dan ruang publik lainnya.

Selanjutnya, 2) Ormas tidak boleh berpangku tangan melihat kondisi sosial yang jauh dari ekspektasi publik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menawarkan gagasan dan melakukan tindakan untuk memperbaiki situasi sosial dan politik tanah air. 3) Gagasan dan tindakan Ormas harus didasari oleh ideologi yang sesuai dengan realitas dan cita-cita kebangsaan.

Setalah pemaparan dari pemateri, forum dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab antara anggota Setkab RI dengan para Dosen FH UII terkait persoalan pasrtisipasi publik dalam partai politik maupun Ormas. (EDN/RS)