PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI*) Oleh: Muhammad Irham ABSTRAK Negara merupakan suatu bentuk kehidupan berkelompok yang besar dengan jumlah anggota yang banyak sehingga dapat digolongankan ke dalam jenis “secondary group” Kehidupan bernegara sebagai bentuk kehidupan berkelompok memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk kehidupan lain seperti desa, kampong, huta, dan lain-lain. Ada dua macam karakteristik negara sebagai suatu bentuk pergaulan hidup yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk pergaulan hidup lain yang bukan negara, yaitu (1) Negara memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk pergaulan hidup lainnya, (2) Negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk pergaulan hidup lainnya. Dari sisi sosiologis maksud suatu negara adalah memahaminya sebagai anggota masyarakat atau ”zoon politicon”. Oleh sebab itu suatu negara tidak hanya memaksakan kemaunnya melalui hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang dibuat dan disepakai bersama akan tetapi juga harus mewujudkan kesejahteraan dan hak azasi manusia. Metode Penelitian: Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya. Kesimpulan: prisnip-prinsip negara hukum demokrasi sebagai berikut :Supremasi hukum. (Supremacy ofLaw), Persamaan dalam hukum. (Equality before the Law), Asas legalitas. (Due Process of Law), Pembatasan Kekuasaan, Organ-organ Penunjang yang Independen, Peradilan bebas dan tidak memihak, Peradilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Konstitusi. (Constitutional Court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (Democratishe Rechtsstaat), Berfungsi sebagai sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), Transparansi dan Kontrol Sosial. Kata Kunci: Negara Hukum, Demokrasi Negara merupakan suatu bentuk kehidupan berkelompok yang besar dengan jumlah anggota yang banyak sehingga dapat digolongankan ke dalam jenis “secondary group” Kehidupan bernegara sebagai bentuk kehidupan berkelompok memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk kehidupan lain seperti desa, kampong, huta, dan lain-lain.[2] Ada dua macam karakteristik negara sebagai suatu bentuk pergaulan hidup yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk pergaulan hidup lain yang bukan negara, yaitu (1) Negara memiliki kekuasaan yang elbih tinggi daripada bentuk-bentuk pergaulan hidup lainnya, (2) Negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk pergaulan hidup lainnya.[4] Dalam bukunya “De Sach”e yang menguraikan tentang negara menjelaskan bahwa negara merupakan suatu alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan satu tertib masyarakat, golongan yang kuat tadi dilaksanakan kepada golongan yang lemah. Maksudnya untuk menyusun dan membela kekuasaan dari penguasa. Leon Duguit dalam bukunya Traite de Droit Constitutionel. Berisikan ajaran hukum dan negara yang bersiat realistis. Negara adalah kekuasaan orang-orang kuat memerintah orang-orang yang lemah. Bahkan dalam negara modern kekuasaan orang-orang yang kuat diperoleh dari faktor-faktor politik. Mengenai pendapatnya tentang negara, Kranenburg mengatakan bahwa negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan, diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi menurut Kranenburg terlebih dahulu harus ada sekolompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok tersebut. Berbeda dengan pendapat Kranenburg, Logemann mengatakan bahwa negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia kemudian disebut bangsa. Jadi pertama-tama negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan, atau gezag, dalam mana terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi itu. Dari berbagai pengertian diatas tentang negara maka sesungguhnya hakekat negara adalah suatu organisasi kekuasaan, yang diciptkan oleh sekelompok manusia, organisasi ini memiliki suatu kewibawaan yang dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi itu untuk memelihara kepentingan serta menyelenggarakan kemakmuran warganya. Maka dengan demikian cita-cita manusia untuk bernegara dari dahulu hingga sekarang adalah tercapainya kepentingga rakyat (kedaulatan rakayat) kedalam hukum (konstitusi), agara tercapainya kesejahteraan hidup yang adil da makmur.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya.[6]
Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yang bertitik tolak dari asas-asas hukum, seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaedah-kaedah hukum yang hidup di dalam masyarakat. Yaitu dengan menelaah bahan-bahan hukum tertulis, teori-teori hukum. Selanjutnya menurut Peter Mahmud Marzuki Pendekatan dalam penelitian hukum terdiri dari: pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).Jenis Data dan Sumber Data Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dimana data diperoleh dari:Bahan hukum Primer, yaitu mencakup dokterin-dokterin serta teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Dalam penelitian hukum normatif dapat dilakukan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya:
Pada penelitian hukum normatif, pengelolaan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan–bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Pembahasan
Menurut Thomas Hobbes manusia selalu hidup dalam kekuatan karena ketakutan akan diserang oleh manusia lainnya yang lebih kuat jasmaninya. Oleh karena itu lalu diadakan perjanjian masyarakat dan dalam perjanjian raja tidak diikut sertakan. Jadi perjanjian itu diadakan anatar rakyat dengan rakyat sendiri. Setelah diadakan perjanjian masyarakat dimana individu-individu menyerahkan haknya atau hahk-hak azasinya kepada suatu kolektivitas yaitu satu kesatuan dari individu-individu yang diperoleh melalui Pactum unions, maka disini kolektivitas menyerahkan hak-haknya atau kekuasaannya kepada raja tanpa syarat apaun juga. Raja sama sekali ada diluar perjanjian, dan oleh karenya raja mempunyai kekuasaan yang mutlak setelah hak-hak rakyat diserahkan kepadanya (Monarchie Absoluut).[11] Selanjutnya ajaran Jean Jecques Rousseau adalah kedaulatan rakyat dan kekuasaan rakyat tidak pernah diserahkan pada raja, bahkan kalau ada raja yang memerintah maka raja itu hanya sebagai mandataris dari pada rakyat. Untuk ini Rousseau memberikan keterangan sebagai berikut : “Yang merupakan hal pokok daripada perjanjian masyarakat ini adalah, menetukan suatu bentuk kesatuan, membela dan melindungi kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi danmilik dari setiap orang, sehingga semuanya dapat bersatu, akan tetapi masing-masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan bebas”.[13] Melalui pemikiran Rousseau ini pula terilhami pembentukan konstitusi Prancis (1791) khususnya yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Pada masa inilah awal dari konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern). Konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau sering disebut dengan “Konstitusi Modren”, baru muncul bersamaan dengan semangkin berkembangnya “sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme”. Demokrasi Perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan kehadiran lembaga legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat membuat undang-undang untuk mengurangi serta membatasi dominasi hak-hak raja. Alasan inilah yang mendudukan konstitusi (yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi daripada raja/presiden. [15] Hal tersebut diats inilah yang kemudian melahirkan konsep negara hukum dan demokrasi.
Terdapat korelasi yang jelas antara hukum, yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Korelasi ini tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional. Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Dengan kata lain negara hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi, demokrasi tampa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tampa demokrasi akan kehilangan makna.[17]
Berikutnya dengan rumusan yang hampir sama, H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip rechtsstaat dan prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut:Prinsip-prinsip rechtsstaat
Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiil atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut perngertian hukum formil dan simpit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis yang terpinting dan terutama. Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakkan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan istilah negara penjaga malam. Negara hukum materiil mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (Welfarestate).Supremasi hukum. (Supremacy ofLaw)
Maka dengan demikian, prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal disebut sebagai negara hukum yang demokratis (democratiesche rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy. Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasarkan hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrument hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi yang mengancam pelaksanaan demokrai itu sendiri. Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa agar negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara hukum dan demokrasi, maka dalam penyelenggaran negara atau konstitusi negara dan pemberintahannya setidak-tidaknya terdapat prisnip-prinsip sebagai berikut :
Daftar Pustaka Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta Dahlan Thaib, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta Hotma P. Sibua, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemberintahan Yang Baik, Penerbit Erlangga, Jakarta Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negra, UIIPress, Yogyakarta Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pres, Jakarta
*) Di terbitkan dalam Jurnal Ilmiah “Erudisi” Wahana Pengkajian Sosial & Politik, ISSN 2087 – 8370, Vol.4 No.2, September 2014 [2] Ibid, hlm. 2
[4] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 20 – 26
[6]Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 13-14.
[8]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pres, Jakarta, hlm. 14.
[10] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara……., Op.Cit. hlm. 36
[14] Dahlan Thaib, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 4-5
[16] Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negra, UIIPress, Yogyakarta, hlm. 6
[20] Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 132-133 |