Belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan

Dalam sebuah kitab klasik yang sangat legendaris di kalangan pondok pesantren, “Ta’lim al-Muta’allim” karya Syekh Az-Zarnuji, disebutkan bahwa salah satu syarat dari 6 syarat bagi seseorang yang menuntut ilmu adalah “adanya bimbingan dari seorang guru”.

Ini penting ditanamkan, terutama di kalangan kaum milenial, pada saat pembelajaran mandiri lewat berbagai media online merebak, terutama di masa pandemi Covid-19.

Berikut ini akibat-akibat yang dapat ditimbulkan jika seorang pembelajar belajar tanpa memiliki guru:

Pertama, Bisa Menyebabkan Kesesatan

Belajar tanpa seorang guru, khususnya belajar agama dikhawatirkan bakal terjerumus ke dalam ajaran yang salah, lantaran mempelajari agama tanpa guru dapat menyebabkan kebingungan bagi diri sendiri karena tidak adanya keteguhan dalam belajar. Sebab itu, hukum belajar agama tanpa guru tidak dianjurkan.

Syekh Abu Yazid al-Bustami, seorang sufi bermazhab Hanafi dalam kitab tafsir “Ruhul Bayan” mengatakan, “Barang siapa tidak memiliki guru maka gurunya adalah setan.”

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. al-Israa’:36)

Kedua, Membahayakan Diri Sendiri dan Orang Lain

Kisah ini mungkin bisa menjadi pelajaran. Adalah kisah tentang Tuma al-Hakim, ia merupakan seorang dokter yang menjadi simbol kebodohan pada masa itu.

Ayahnya Tuma al-Hakim juga seorang dokter. Setelah orang tuanya meninggal, Tuma al-Hakim mewarisi banyak buku kedokteran milik orang tuanya itu. Ia pun sibuk membaca dan menelaah buku-buku warisan tersebut.

Sampailah pada sebuah riwayat hadits dari Imam Al-Bukhari yang menyatakan bahwa, “habbatusauda (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit,” (HR. Bukhari).

Tapi karena kitab yang ia baca sudah usang dan tanpa bimbingan dari dokter yang lebih senior, Tuma al-Hakim salah membaca “jinten hitam” sebagai “ular hitam”.

Walhasil, sang dokter meninggal digigit ular hitam pada saat ia mencarinya untuk dijadikan obat. Riwayat lain bahkan menyebutkan, ia juga menyebabkan kematian banyak orang karena memberi mereka obat dari olahan ular hitam.

Kisah ini adalah contoh betapa bahayanya menelaah ilmu pengetahuan tanpa bimbingan seorang guru. Tidak saja membahayakan dirinya, tetapi juga orang lain.

Ketiga, Sulit Memahami Pelajaran

Dalam bukunya, “Kitab al-Ilmi” Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan belajar dengan bimbingan seorang guru akan membuat seorang murid mendapatkan metode belajar yang memudahkan dalam memahami pelajaran.

Berbeda jika ia mempelajarinya tanpa bimbingan guru. Ia akan kesulitan memahami karena memang tidak mendapatkan metode yang mudah dalam mempelajarinya.

Salah satu fungsi seorang guru adalah membuat metode belajar agar para murid mudah memahami suatu pelajaran. Seorang murid akan cepat memahami istilah-istilah baru yang sulit dipahami dengan adanya bimbingan guru.

Tanpa guru, bukan saja seseorang akan memakan waktu lama untuk memahami suatu istilah sulit, tapi bisa juga ia terjatuh pada kesalahan fatal dalam memahaminya.

Keempat, tidak ada hubungan emosional dengan guru atau ulama

Dalam dunia pendidikan pondok pesantren berkah seorang ulama atau kiai diyakini sebagai penghantar menuju kesuksesan seorang murid atau santri di masa depan. Sebab itu, seorang murid atau santri kerap berlomba untuk membangun kedekatan emosional dengan guru atau kiainya.

Banyak kisah dari pondok pesantren, tentang santri yang kelak menjadi ulama besar, padahal pada saat belajar di pesantren tidak pernah mengikuti pengajian secara formal sebagaimana santri-santri lain. Ia hanya bertugas melayani kebutuhan kiai, menyiapkan makannya, mencuci pakaiannya, menyiapkan kitabnya, dan kebutuhan lain.

Hal semacam ini diyakini sebagai berkah dari hubungan emosional yang dibangun antara seorang santri dan kiai, sehingga sang kiai ridha kepadanya.

Bagaimana hubungan emosional antara guru dan murid bisa terbangun, dan melahirkan keberkahan, jika seseorang belajar tanpa seorang guru?

Belajar ilmu pengetahuan, lebih-lebih ilmu agama, tentu tidak sama seperti belajar tutorial tentang “How to” yang banyak bertebaran di internet.

Ada nilai-nilai, pemahaman, filosofi, ideologi, yang mesti disampaikan secara bertahap oleh seorang guru agar bisa memberi pemahaman yang utuh, tidak setengah-setengah.

Lalu, apa gunanya media digital dan internet? Media-media tersebut hanyalah alat, tidak mungkin menghilangkan fungsi seorang guru. Bahkan, di pembelajaran atau pengajian secara online sekalipun, kehadiran guru yang berkompeten di bidangnya menjadi penting.

Belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan

Kenapa Belajar Ngaji Tanpa Guru itu Gurunya Setan ? Begini Penjelasan Gus Baha./* /Tangkapan layar Youtube/Najwa Syihab

MANTRA SUKABUMI - Gus Baha pernah menyampaikan alasan kenapa belajar tanpa guru itu gurunya setan.

Dalam salah satu pengajiannya Gus Baha menjelaskan ada alasan khusus mengapa ada pepatah yang mengatakan jika belajar ngaji tanpa gurunya itu setan.

Gus Baha juga menyikapi tentang perubahan zaman sekarang yang membuat semua hal menjadi mudah.

Baca Juga: Shopee Gandeng Bintang Internasional Jackie Chan dan Joe Taslim di Iklan Shopee 9.9 Terbaru

>

Namun, Gus Baha menegaskan bahwa belajar ngaji itu harus ada gurunya terlebih lagi apabila kita tahu silsilah guru yang mengajar kita.

"Karena kalau orang tidak tahu silsilah seperti zaman sekarang. Wong ngaji ko tanpa guru ?! Dari internet atau buku ?, " Ucap Gus Baha seperti dilihat mantrasukabumi.com dari kanal Youtube Santri Kalong pada 23 September 2021.

Lalu Gus Baha kembali melanjutkan dengan mengatakan "Akhirnya sedikit-sedikit bilang sunnah rasul, repot !, " Tambahnya.

Gus Baha lalu memberikan penjelasan mengenai kenapa ketika belajar atau mengaji harus ada gurunya.

MANTRA SUKABUMI - Gus Baha atau Ahmad Bahaudin Nursalim adalah sosok ulama yang paling dikagumi saat ini.

Bersama dengan para jemaahnya Gus Baha pernah menyampaikan makna pentingnya guru saat proses belajar ngaji.

Gus Baha menuturkan ada salah satu pepatah yang mengatakan jika belajar ngaji tanpa guru itu gurunya setan.

Baca Juga: Shopee Gandeng Bintang Internasional Jackie Chan dan Joe Taslim di Iklan Shopee 9.9 Terbaru

Namun, bagaimana jika kita belajar ilmu agama melalui Youtube?

>

Maka dari itu simak baik-baik tausiyah dari Gus Baha agar lebih memberikan pemahaman serta keilmuan untuk kita.

Seperti dilihat mantrasukabumi.com dari kanal Youtube Santri Kalong pada 23 September 2021.

Gus Baha menjelaskan bahwa orang-orang pada zaman sekarang itu tidak mengetahui silsilah maka belajar ngajinya tanpa guru.

"Karena kalau orang tidak tahu silsilah seperti zaman sekarang. Wong ngaji ko tanpa guru ?! Dari internet atau buku ?, "

Islam menekankan belajar agama harus lewat bimbingan guru

ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas

Islam menekankan belajar agama harus lewat bimbingan guru. Ilustrasi belajar agama

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Mencari pengetahuan dasar tentang keyakinan dan ibadah adalah kewajiban agama yang harus dilakukan setiap Muslim. 

Baca Juga

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda sebagai berikut: 

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah)

Melansir laman askthescholar.com ulama asal Kanada Syekh Ahmad Kutty mengatakan, namun demikian apakah kewajiban menuntut ilmu itu boleh dilakukan asal tanpa ada bimbingan dari seorang guru atau ulama yang mumpuni dan bersanad? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Syekh Ahmad Kutty mengutip riwayat berikut:  

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ.

قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ.

قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata : Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah ﷺ. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. 

Baca juga: Saat Tentara Salib Hancurkan Masjid Hingga Gereja di Alexandria Mesir

Dia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” 

Rasulullah ﷺ menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya.

Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” 

Dia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi ﷺ menjawab, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”

Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”

Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no 8] 

Baca juga: Gus Baha: Dulu Orang Berkorban untuk Negara, Kini Malah Meminta

Pelajaran yang harus kita petik dari kisah di atas adalah bahwa kita harus mempelajari agama kita dari sumber yang benar. itulah sebabnya Nabi bersikeras untuk mengajar para sahabatnya. Oleh karena itu, pada masa sahabat pria dan wanita belajar Islam langsung dari lisan Nabi Muhammad, yang kemudian menyebarkannya kepada orang lain. 

Para sahabat Nabi selalu berusaha mempelajarinya dengan cara yang benar dari Nabi, jika mereka tidak hadir, mereka akan mempelajarinya dari orang-orang yang ada di sekitar. Nabi memberi tahu mereka yang hadir di sekitar, biarkan mereka yang hadir mengajarkannya kepada mereka yang tidak hadir.  

Itulah dasar transmisi pengetahuan, sesuai  metode yang diteladankan Nabi Muhammad  ﷺ adalah bahwa kita harus belajar dari yang berilmu. Oleh karena itu, tugas kita untuk belajar agama dari mereka yang memenuhi syarat dan terlatih untuk menyampaikan.  

Ibnu Sirin berkata, "Ilmu ini (tidak terpisahkan dengan) agama,  perhatikan dari siapa kamu mempelajarinya!" 

Jadi, sebelum memilih seorang guru, perlu bertanya, Apakah orang ini memenuhi syarat untuk mengajar? Apakah dia memiliki kemampuan untuk mengajar? Apakah dia juga orang yang berintegritas yang mempraktekkan apa yang dia ajarkan? Setelah memastikan fakta-fakta ini, seorang muslim dapat mempelajari secara langsung atau online. 

Namun, belajar langsung dari guru adalah cara yang ideal. Dalam konteks ini, ada baiknya untuk merenungkan pernyataan Imam Malik berikut ini. "Saya mendengar tujuh puluh orang duduk di dekat pilar-pilar ini (dia berkata sambil menunjuk ke pilar-pilar masjid Nabi yang berbeda) semua orang akan berkata, Rasulullah bersabda demikian. Tapi saya tidak pernah repot-repot untuk mentransmisikan hadis dari mereka, bukan karena saya meragukan kesalehan mereka, tetapi karena mereka tidak ahli dalam hadits."  

Jadi, saat memilih seorang guru, seseorang juga harus melihat apakah dia memiliki keahlian untuk mengajar mata pelajaran tertentu yang dia ajarkan juga.  

Kami mengikuti aturan ini ketika kami mempelajari semua cabang pengetahuan. Ironisnya, hal itu tidak kita terapkan ketika memulai studi Islam. Kami tidak pernah repot-repot meminta bukti, kita terbawa oleh pidato atau ketenaran atau kharisma. 

Pelanggaran aturan di atas telah menimbulkan konsekuensi serius, Seperti yang dikatakan Imam Hasan Al Bashri, "Mereka yang bertindak tanpa pengetahuan yang baik akan berakhir dengan menghancurkan lebih dari yang mereka bangun." Dia bermaksud mengatakan bahwa kurangnya pengetahuan yang baik adalah akar penyebab ekstremisme dalam Islam.  

Kita dapat memverifikasi fakta ini ketika kita melihat kekacauan dan kekerasan yang dilakukan oleh para pemimpin yang tidak terlatih seperti itu di seluruh negara Islam.

Sumber: askthescholar.com  

Belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan