Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran[1]. Selama belajar secara kooperatif siswa tetap tinggal dalam kelompoknya selama beberapa kali pertemuan. Mereka diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada teman kelompok dengan baik, berdiskusi, dan sebagainya. Agar terlaksana dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama bekerja di dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu di antara teman sekelompok untuk mencapai ketuntasan materi. Belajar belum selesai jika salah satu anggota kelompok ada yang belum menguasai materi pelajaran. Jadi, cooperative learning adalah sistem pembelajaran dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang heterogen dari setiap anggota. Sebagaimana model-model pembelajaran lain, model pembelajaran kooperatif memiliki tujuan-tujuan, langkah-langkah, dan lingkungan belajar dan sistem pengelolaan yang khas. 2.2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Eggen and Kauchak,1996 : 279). Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serata memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Jadi dalam pembelajaran kooperatif siswa berperan ganda yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan keterampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.[2] TABEL 1 : Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Belajar Konvesional
Struktur tujuan kooperatif terjadi jika siswa dapat mencapai tujuan mereka hanya jika siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama menapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan pembelajaran ini mencakup tiga jenis tujuan penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman., dan pengembangan keterampilan sosial (Ibrahim, dkk, 2000: 7). Para ahli telah menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit, dan membantu siswa menumbuhkan kemampuan berfikir kritis. Pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bahwa maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Pembelajaran kooperatif mempunyai efek yang berarti terhadap permainan yang luas terhadap keragaman ras, budaya dan agama, strata social, kemampuan dan ketidakmampuan. (Ibrahim, dkk, 2000: 9). Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan mulai penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain. Keterampilan sosial atau kooperatif berkembang secara signifikan dan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif sangat tepat digunakan untuk melatihkan keterampilan-keterampilan kerjasama dan kolaborasi, dan juga keterampilan-keterampilan Tanya jawab. (Ibrahim, dkk, 2000: 9). 2.3. Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan Pembelajaran kooperatif bertitik tolak dari pandangan John Dewey dan Herbert Thelan (dalam Ibrahim, 2000) yang menyatakan pendidikan dalam masyarakat yang demokratis seyogyanya mengajarkan proses demokratis secara langsung. Tingkah laku kooperatif dipandang oleh Dewey dan Thelan sebagai dasar demokrasi, dan sekolah dipandang sebagai labolatorium untuk mengembangkan tingkah laku demokrasi. Proses demokrasi dan peran aktif merupakan cirri yang khas dari lingkungan pembelajaran kooperatif. Dalam pembentukan kelompok, guru tidak dibenarkan mengelola tingkah laku siswa dalam kelompok secara ketat, dan siswa memiliki ruang dan peluang untuk secara bebas mengendalikan aktivitas-aktivitas didalam kelompoknya. Selain itu, pembelajaran kooperatif menjadi sangat efektif jika materi pembelajaran tersedia lengkap dikelas, ruang guru, perpustakaan, ataupun pusat media. (Ibrahim, dkk, 200: 11). Selain itu, agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan sesuai dengan harapan, dan siswa dapat bekerja secara produktif dalam kelompok, maka siswa perlu Diajarkan keterampilan-keterampilan kooperatif. Keteranpilan kooperatif tersebut berfungsi untuk melancarkan peranan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dapat dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok. Lungren (dalam Ratumanan, 2002), menyusun keterampilan-keterampilan kooperatif tersebut secara terinci dalam tiga tingkatan keterampilan. Tingkatan tersebut yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat akhir.
Keterampilan kooperatif tngkah mahir ini antara lain : mengolaborasi, yaitu memperluas konsep, membuat kesimpulan dan menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.[3] Masih menurut Lungren (dalam ratumanan, 2002) menyebutkan bahwa unsur-unsur dasar yang perlu untuk ditanamkan kepada siswa agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan lebih efektif lagi adalah :
Apabila diperhatikan secara seksama, maka pembelajaran kooperatif ini mempunyai ciri-ciri tertebtu dibandingkan dengan model lainnya. Arends (1997: 111) menyatakan bahwa pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
Dari uraian tentang pembelajaran kooperatif ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tersebut memerlukan kerja sama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan dan penghargaan. Keberhasilan pembelajaran ini tergantung dari keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok, dimana keberhasilan tersebut sangat berarti untuk mencapai suatu tujuan yang positif dalam belajar kelompok. 2.4. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif[4] Terdapat enam langkah utama atau tahapan didalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah itu ditunjukkan pada Tabel 2. TABEL 2 : Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
2.5. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
2.6. Macam-Macam Model Pembelajaran Kooperatif 2.6.1. Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD) Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dkk. dari Universitas John Hopkins. Dalam metode STAD guru membagi siswa suatu kelas menjadi beberapa kelompok kecil atau tim belajar dengan jumlah anggota setiap kelompok 4 atau 5 orang siswa secara heterogen yang merupakan campuran tingkat prestasi, jenis kelamin dan suku. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis dan penghargaan kelompok. Setiap anggota tim menggunakan lembar kerja akademik dan saling membantu untuk menguasai materi ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota tim. Secara individual atau kelompok setiap satu atau dua minggu dilakukan evaluasi oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap materi yang telah mereka pelajari. Setelah itu seluruh siswa dalam kelas tersebut diberikan materi tes tentang materi ajar yang telah mereka pelajari. Pada saat menjalani tes mereka tidak diperbolehkan saling membantu. Seperti halnya pembelajaran lainnya, pembelajaran kooperatif tipe STAD juga membutuhkan persiapan yang matang sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Persiapan-persiapan tersebut antara lain: a. Perangkat pembelajaran Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran ini perlu dipersiapkan perangkat pembelajarannya, yang meliputi Rencana Pembelajaran (RP), Buku Siswa, Lembar Kegiatan Siswa (LKS) beserta jawabannya. b. Membentuk kelompok kooperatif Menentukan anggota kelompok diusahakan agar kemampuan siswa dalam kelompok adalah heterogen dan kemampuan antar kelompok satu dengan kelompok lainnya relatif homogen. Apabila memungkinkan kelompok kooperatif perlu memerhatikan ras, agama, jenis kelamin, dan latar belakang sosial. Apabila dalam kelas terdiri atas rasdan latar belakang yang relatif sama, maka pembentukan kelompok dapat didasarkan pada prestasi akademik, yaitu: (1) Siswa dalam kelas terlebih dahulu diranking sesuai kepandaian dalam mata pelajaran sains fisika. Tujuannya adalah untuk mengurutkan siswa sesuai kemampuan sains fisikanya dan digunakan untuk mengelompokkkan siswa ke dalam kelompok. (2) Menentukan tiga kelompok dalam kelas, yaitu kelompok atas, kelompok menengah, dan kelompok bawah. Kelompok atas sebanyak 25 % dari seluruh siswa yang diambil dari siswa ranking satu, kelompok tengah 50 % dari seluruh siswa yang diambil dari urutan setelah diambil kelompok atas, dan kelompok bawah sebanyak 25 % dari seluruh siswa yaitu terdiri atas siswa setelah diambil kelompok atas dan kelompok menengah. c. Menentukan skor awal Skor awal yang dapat digunakan dalam kelas kooperatif adalah nilai ulangan sebelumnya. Skor awal ini dapat berubah setelah ada kuis. Misalnya ada pembelajaran lebih lanjut dan setelah diadakan tes, maka hasil tes masing-masing individu dapat dijadikan skor awal. d. Pengaturan tempat duduk Pengaturan tempat duduk dalam kelas kooperatif juga perlu diatur dengan baik, hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan pembelajaran kooperatif, apabila tidak ada pengaturan tempat duduk dapat menimbulkan kekacauan yang menyebabkan gagalnya pembelajaran dalam kelas kooperatif. e. Kerja kelompok Untuk mencegah adanya hambatan pada pembelajaran kooperatif tipe STAD, terlebih dahulu diadakan latihan kerjasama kelompok. Hal ini bertujuan untuk lebih jauh mengenalkan masing-masing individu dalam kelompok. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD didasarkan pada langkah-langkah kooperatif yang terdiri atas enam langkah atau fase. Seperti yang tersajikan dalam Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan STAD[6] Kelebihan model pembelajaran Kooperatif STAD Menurut Davidson (dalam Nurasma,2006:26) :
Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif STAD Menurut Slavin (dalam Nurasma 2006:2007 )yaitu:
2.6.2. Model Pembelajaran Jigsaw Pada awalnya metode ini dikembangkan oleh Elliot Aronson’s dan teman teman di Universitas Texas pada tahun kurun waktu 1971 sampai 1978. Mereka mengembangkan model tersebut berdasarkan karakteristik kelas yang sangat heterogen dari segi latar belakang sosial. Setelah dikembangkan oleh Elliot Aronson’s kemudian diadaptasi oleh Slavin.[7] Model pembelajaran ini didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan materi tersebut kepada kelompoknya. Sehingga baik kemampuan secara kognitif maupun sosial siswa dapat berkembang dengan baik. Pembelajaran model ini lebih meningkatkan kerja sama antar siswa. Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok belajar yang terdiri dari siswa-siswa yang bekerja sama dalam suatu perencanaan kegiatan. Dalam pembelajaran ini setiap anggota kelompok diharapkan dapat saling bekerja sama dan bertanggung jawab baik kepada dirinya sendiri maupun pada kelompoknya. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, keterampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian. Menurut Arends, RI, 1997 (dalam Wirta:2003) pengertian pembelajaran jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari tim-tim belajar heterogen beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa. Materi akademik disajikan dalam bentuk teks dan setiap siswa bertanggung jawab atas penugasan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian materi tersebut kepada anggota tim lain. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw siswa diberi kesempatan untuk berkolaborasi dengan teman lain dalam bentuk diskusi kelompok memecahkan suatu permasalahan. Setiap kelompok memiliki kemampuan akademik yang heterogen sehingga akan terdapat siswa yang berkemampuan tinggi, dua atau tiga siswa berkemampuan sedang, dan seorang siswa berkemampuan kurang.[8] Dalam penerapan jigsaw, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan lima atau enam anggota kelompok belajar yang heterogen. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari dan menguasai bagian tertentu bahan yang diberikan kemudian menjelaskan pada anggota kelompoknya. Dengan demikian terdapat rasa saling membutuhkan dan harus bekerjasama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Para anggota dari kelompok lain yang bertugas mendapat topik yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Kemudian anggota tim ahli kembali ke kelompok asal dan mengajarkan apa yang telah dipelajarinya dan didiskusikan didalam kelompok ahlinya untuk diajarkan kepada teman kelompoknya sendiri. Gambar 1. Model Jigsaw Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini berbeda dengan kelompok kooperatif lainnya, karena setiap siswa bekerja sama pada dua kelompok secara bergantian, dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:[9]
Selanjutnya model tersebut dikembangkan menjadi model pembelajaran jigsaw tipe II yang dikembangkan oleh Slavin. Langkah-langkah pembelajaran jigsaw tipe II adalah sebagai berikut :[10] Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan diberikan. Sebelum pembelajaran dimulai sebelumnya siswa sudah ditugaskan membaca materi pelajaran di rumah.
Selanjutnya grup itu dipecah menjadi kelompok yang akan mempelajari materi yang akan kita berikan dan dibina supaya menjadi ahli (expert).
Tiap kelompok diberikan konsep matematika sesuai dengan kemampuannya. Dari materi pelajaran yang akan diajarkan maka kelompok 1 bertugas mempelajari KD 5.4, kelompok 2 KD 5.4, kelompok 3 mempelajari KD 5.3, kelompok 4 mempelajari KD 5.3, dan kelompok 5 mempelajari KD 5.1. Peranan guru sangat penting dalam membina kelompok ahli dalam menanamkan konsep yang benar terhadap terhadap materi pada masing masing kompetensi dasar tersebut. Setelah kelompok ahli memahami materi yang dipelajari, maka kelompok ahli kembali ke grup masing –masing. Setiap orang dalam grup memiliki keahlian masing-masing dan bertanggung jawab untuk berbagi pengetahuan dengan teman-temannya dalam grup tersebut. Pada fase ini guru memberikan tes tulis untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang sudah dipelajari. Dalam fase ini tidak diperkenankan untuk bekerjasama. Kegiatan ini direncanakan dilakukan setiap kali mengakhiri pertemuan pembelajaran. Dimana dalam setiap pertemuan diberikan soal atau masalah pada setiap KD, dengan tingkat kesulitan soal berjenjang pada setiap pertemuan. Penskoran diberikan dengan mengikuti sistem penskoran STAD. Yaitu skor perkembangan pada setiap pertemuan dibandingkan dengan skor awal pada pertemuan sebelumnya. Sehingga pensekoran mencerminkan perkembangan pemahaman individu dan kelompok.
TABEL 3 : Contoh model pensekoran Jigsaw Berdasarkan data skor tersebut selanjutnya dirata-ratakan untuk mendapatkan skor individu dan skor kelompok. Pengakuan kepada kelompok diberikan berdasarkan katagori.
TABEL 4 : Katagori pengakuan kelompok Jigsaw Dari langkah-langkah yang telah diuraikan diatas maka sering akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya “mendompleng” keberhasilan “pemborong”. Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan. Kelompok belajar biasanya homogen. Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing. Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelolah konflik secara langsung diajarkan. Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan. Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok. Pemantauan melalui onservasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung. Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai). Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Keuntungan Pembelajaran Kooperatif Jigsaw[11] Menurut Ibrahim dkk (2000) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif dari pada dari guru. Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000) belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antara siswa normal dan siswa penyandang cacat. Davidson (1991) memberikan sejumlah implikasi positif dalam belajar matematika dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut ;
Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Jigsaw[12] Beberapa hal yang mengkin bisa menjadi ‘pengganjal’ aplikasi metode ini dilapangan yang harus kita cari jalan keluar atau solusinya, menurut (Roy Killen, 1996) adalah:
Berdasarkan uraian di atas, dapat di sederhanakan baik kelebihan maupun kelemahan dalam menerapkan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yaitu:
Dalam penerapannya sering dijumpai beberapa permasalahan atau kelemahan-kelemahan, yaitu:
Solusi untuk mengatasi kelemahan Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang muncul dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
2.6.3. Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) Model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model Teams Games Tournament (TGT) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Teams games tournament (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh Davied Devries dan Keith Edward, ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Dalam model ini kelas terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 3 sampai dengan 5 siswa yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya, kemudian siswa akan bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecilnya. Pembelajaran dalam Teams games tournament (TGT) hampir sama seperti STAD dalam setiap hal kecuali satu, sebagai ganti kuis dan sistem skor perbaikan individu, TGT menggunakan turnamen permainan akademik. Dalam turnamen itu siswa bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain yang setara dalam kinerja akademik mereka yang lalu. Nur & Wikandari (2000) menjelaskan bahwa Teams games tournament TGT telah digunakan dalam berbagai macam mata pelajaran, dan paling cocok digunakan untuk mengajar tujuan pembelajaranyang dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar, seperti perhitungan dan penerapan berciri matematika, dan fakta-fakta serta konsep IPA.[13] Pendekatan Kelompok Kecil dalam Teams Games Tournament Pendekatan yang digunakan dalam Teams games tournament adalah pendekatan secara kelompok yaitu dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran. Pembentukan kelompok kecil akan membuat siswa semakin aktif dalam pembelajaran. Ciri dari pendekatan secara berkelompok dapat ditinjau dari segi.[14] 1) Tujuan Pengajaran dalam Kelompok Kecil Tujuan pembelajaran dalam kelompok kecil yaitu; (a) member kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional, (b) mengembangkan sikap social dan semangat bergotong royong (c) mendinamisasikan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga setiap kelompok merasa memiliki tanggung jawab, dan (d) mengembangkan kemampuan kepemimpinan dalam kelompok tersebut (Dimyati dan Mundjiono, 2006). 2) Siswa dalam Pembelajaran Kelompok Kecil Agar kelompok kecil dapat berperan konstruktif dan produktif dalam pembelajaran diharapkan; (a) anggota kelompok sadar diri menjadi anggota kelompok, (b) siswa sebagai anggota kelompok memiliki rasa tanggung jawab, (c) setiap anggota kelompok membina hubungan yang baik dan mendorong timbulnya semangat tim, dan (d) kelompok mewujudkan suatu kerja yang kompak (Dimyati dan Mundjiono, 2006). 3) Guru dalam Pembelajaran Kelompok Peranan guru dalam pembelajaran kelompok yaitu; (a) pembentukan kelompok (c) perencanaan tugas kelompok, (d) pelaksanaan, dan (d) evalusi hasil belajar kelompok. Komponen dan Pelaksanaan Team Game Tournament dalam Pembelajaran Ada lima komponen utama dalam TGT,yaitu: 1. Penyajian kelas Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini , siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang diberikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok. 2. Kelompok ( team ) Kelompok biasanya terdiri atas empat sampai dengan lima orang siswa. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game. 3. Game Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapatkan skor. 4. Turnamen Untuk memulai turnamen masing-masing peserta mengambil nomor undian. Siswa yang mendapatkan nomor terbesar sebagai reader 1, terbesar kedua sebagai chalennger 1, terbesar ketiga sebagai chalenger 2, terbesar keempat sebagai chalenger 3. Dan kalau jumlah peserta dalam kelompok itu lima orang maka yang mendapatkan nomor terendah sebagai reader2. Reader 1 tugasnya membaca soal dan menjawab soal pada kesempatan yang pertama. Chalenger 1 tugasnya menjawab soal yang dibacakan oleh reader1 apabila menurut chalenger 1 jawaban reader 1 salah. Chalenger 2 tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 tadi apabila jawaban reader 1 dan chalenger 1 menurut chalenger 2 salah. Chalenger 3 tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 apabila jawaban reader1, chalenger 1, chalenger 2 menurut chalenger 3 salah. Reader 2 tugasnya adalah membacakan kunci jawaban . Permainan dilanjutkan pada soal nomor dua. Posisi peserta berubah searah jarum jam. Yang tadi menjadi chalenger 1 sekarang menjadi reader1, chalenger 2 menjadi chalenger 1, chalenger3 menjadi chalenger 2, reader 2 menjadi chalenger 3 dan reader 1 menjadi reader2. Hal itu terus dilakukan sebanyak jumlah soal yang disediakan guru. 5. Penghargaan kelompok (team recognise) Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan.
TABEL 5 : Penghargaan Kelompok TGT Implementasi Model Pembelajaran TGT Dalam pengimplementasian yang hal yang harus diperhatikan yaitu. 1) Pembelajaran terpusat pada siswa 2) Proses pembelajaran dengan suasana berkompetisi 3) Pembelajaran bersifat aktif ( siswa berlomba untuk dapat menyelesaikan persoalan) 4) Pembelajaran diterapkan dengan mengelompokkan siswa menjadi tim-tim 5) Dalam kompetisi diterapkan system point 6) Dalam kompetisi disesuaikan dengan kemampuan siswa atau dikenal kesetaraan dalam kinerja akademik 7) Kemajuan kelompok dapak diikuti oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas yang diterbitkan secara mingguan 8) Dalam pemberian bimbingan guru mengacu pada jurnal 9) Adanya system penghargaan bagi siswa yang memperoleh point banyak[15] Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran TGT Slavin (2008), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:
Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual. Menurut Suarjana (2000:10) dalam Istiqomah (2006), yang merupakan kelebihan dari pembelajaran TGT antara lain: 1) Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas 2) Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu 3) Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam 4) Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa 5) Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain 6) Motivasi belajar lebih tinggi 7) Hasil belajar lebih baik 8) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang bertindak sebagai pemegang kendali teliti dalam menentukan pembagian kelompok waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika guru mampu menguasai kelas secara menyeluruh. Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi kelemahan ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang mempunyai kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan pengetahuannya kepada siswa yang lain.[16] 2.6.4. Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa. Tipe ini dikembangkan oleh Kagen dalam Ibrahim (2000 : 28) dengan melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Spencer Kagen dalam Ibrahim (2000 : 28) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dengan mengecek pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan lansung kepada seluruh kelas, guru menggunakan empat langkah sebagai berikut : (a) Penomoran, (b) Pengajuan pertanyaan, (c) Berpikir bersama, (d) Pemberian jawaban. Menurut Kagan (2007) model pembelajaran NHT ini secara tidak langsung melatih siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif dalam pembelajaran. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Numbered Head Together (NHT) Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan tipe pembelajaran yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Ibrahim dalam Herdian (2009: 7) mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu : 1) Hasil belajar akademik struktural, bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. 2) Pengakuan adanya keragaman, Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang. Tipe pembelajaran ini memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan saling menghargai satu sama lain. 3) Pengembangan keterampilan sosial. Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.[17] Langkah-langkah Pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) Langkah pertama : Guru menjelaskan tentang pembelajaran kooperatif tipe Numbered HeadsTogether (NHT) dan menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa tentang kompetensi dasar yang hendak dicapai. Langkah kedua : Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu sehingga akan diperoleh nilai awal kemampuan siswa. Hal ini berguna agar guru mengetahui kemampuan siswa yang tinggi, sedang, dan rendah. Dengan mengetahui kemampuan siswa, guru akan lebih mudah dalam membentuk kelompok. Langkah ketiga : Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Jumlah kelompok sebaiknya mempertimbangkan jumlah konsep yang dipelajari. Jika jumlah siswa dalam kelas berjumlah 40 siswa dan akan menjadi 5 kelompok swesuai julah konsep yang dipelajari, maka tiap kelompok terdiri dari 8 orang. Langkah keempat : Guru memberikan suatu pertanyaan atau permasalah yang hendak dipecahkan oleh siswa. berikan kesempatan pada tiap-tiap kelompok untuk menemukan jawaban. Pada kesempatan ini siswa akan menyatukan kepala “Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban yang diberikan guru. Langkah kelima : Guru memanggil satu nomer dan siswa yang nomernya sama dari tiap-tiap kelompok akan diberi kesempatan untuk memaparkan jawaban atas pertanyaan yang akan diberikan guru. Hal ini dilakukan terus hingga siswa dengan nomer yang sama dari tiap-tiap kelompok mendapat giliran memaparkan jawaban mereka. Langkah keenam : Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan,dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari. Langkah ketujuh : Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual. Hal ini bertujuan agar guru mengetahui pemahaman tadi. Langkah kedelapan : Guru memberi penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari nilai awal ke nilai kuis berikutnya. Kelemahan dan kelebihan Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) a. Kelebihan Pembelajaran Kooperatif Numbered Head Together (NHT)
b. Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Numbered Head Together (NHT)
2.6.5 Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Strategi think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think pair share (TPS) berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai yang dikutip Arends (1997), menyatakan bahwa think pair share (TPS) merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam think pair share (TPS) dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami. Guru memilih menggunakan think pair share (TPS) untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Langkah-langkah (fase) think pair share (TPS)[19] :
Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah. Siswa membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.
Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan. (Arends, 1997) Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Think Pair Share (TPS)[20] Kelebihan TPS (Think Pair Share) – Memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. – Meningkatkan partisipasi akan cocok untuk tugas sederhana. – Lebih banyak kesempatan untuk konstribusi masing-masing anggota kelompok. – Interaksi lebih mudah. – Lebih mudah dan cepat membentuk kelompoknya. – Seorang siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. – Dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas. – Siswa dapat mengembangkan keterampilan berfikir dan menjawab dalam komunikasi antara satu dengan yang lain, serta bekerja saling membantu dalam kelompok kecil. – Siswa secara langsung dapat memecahkan masalah, memahami suatu materi secara berkelompok dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya, membuat kesimpulan (diskusi) serta mempresentasikan di depan kelas sebagai salah satu langkah evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. – Memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan. – Siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah. – Siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang. – Siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar. – Memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran. – Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas. Penggunaan metode pembelajaran TPS menuntut siswa menggunakan waktunya untuk mengerjakan tugas-tugas atau permasalahan yang diberikan oleh guru di awal pertemuan sehingga diharapkan siswa mampu memahami materi dengan baik sebelum guru menyampaikannya pada pertemuan selanjutnya. – Memperbaiki kehadiran. Tugas yang diberikan oleh guru pada setiap pertemuan selain untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran juga dimaksudkan agar siswa dapat selalu berusaha hadir pada setiap pertemuan. Sebab bagi siswa yang sekali tidak hadir maka siswa tersebut tidak mengerjakan tugas dan hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka. – Angka putus sekolah berkurang. Model pembelajaran TPS diharapkan dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat lebih baik daripada pembelajaran dengan model konvensional. – Sikap apatis berkurang. Sebelum pembelajaran dimulai, kencenderungan siswa merasa malas karena proses belajar di kelas hanya mendengarkan apa yang disampaikan guru dan menjawab semua yang ditanyakan oleh guru. Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar, metode pembelajaran TPS akan lebih menarik dan tidak monoton dibandingkan metode konvensional. – Penerimaan terhadap individu lebih besar. Dalam model pembelajaran konvensional, siswa yang aktif di dalam kelas hanyalah siswa tertentu yang benar-benar rajin dan cepat dalam menerima materi yang disampaikan oleh guru sedangkan siswa lain hanyalah “pendengar” materi yang disampaikan oleh guru. Dengan pembelajaran TPS hal ini dapat diminimalisir sebab semua siswa akan terlibat dengan permasalahan yang diberikan oleh guru. – Hasil belajar lebih mendalam. Parameter dalam PBM adalah hasil belajar yang diraih oleh siswa. Dengan pembelajaran TPS perkembangan hasil belajar siswa dapat diidentifikasi secara bertahap. Sehingga pada akhir pembelajaran hasil yang diperoleh siswa dapat lebih optimal. – Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi. Sistem kerjasama yang diterapkan dalam model pembelajaran TPS menuntut siswa untuk dapat bekerja sama dalam tim, sehingga siswa dituntut untuk dapat belajar berempati, menerima pendapat orang lain atau mengakui secara sportif jika pendapatnya tidak diterima. |