Apakah landasan hukum dan tujuan pekerjaan dari pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum?

Apakah landasan hukum dan tujuan pekerjaan dari pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum?

Oleh : Hotman Sidauruk

Kepala Bidang Perumahan dan Pertanahan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Pembebasan tanah untuk proyek infrastruktur sampai saat ini masih menjadi persoalan utama yang dihadapi dalam percepatan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Hasil kajian Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) menyebutkan masalah pembebasan lahan menempati urutan kedua tertinggi setelah masalah perencanaan dan penyiapan. Meskipun sudah lahir Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah  Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, namun masih banyak masyarakat yang menolak tanahnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Negara didirikan demi kepentingan umum dan hukum adalah sarana utama untuk merealisasikan tujuan itu. Salah satu isu pokok yang sering dipermasalahkan adalah mengenai definisi kepentingan umum. Definisi kepentingan umum dikemukakan oleh Huybers (1982:286) adalah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki ciri-ciri tertentu antara lain menyangkut semua sarana publik bagi berjalannya kehidupan yang beradab.

Terdapat perbedaan pengertian konsep kepentingan umum antara Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sebelumnya menjadi landasan hukum soal pertanahan dengan aturan yang terbaru yakni UU No 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah  Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam UU No.5/1960, konsep kepentingan umum tidak disebutkan secara jelas. Istilah kepentingan umum hanya digunakan sebagai legitimasi tindakan negara untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Hal itu termaktub dalam pasal 18 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

Hal itu berbeda dengan UU No.2/2012 yang menyebutkan secara jelas pengertian kepentingan umum dalam pasal 1 ayat 6 sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk itu, disinilah kita perlu kembali memahami esensi dasar dari kepentingan umum seperti yang termaktub dalam UU No. 22/2012 tersebut.

Konsep Kepentingan Umum

Beragam penafsiran tentang konsep kepentingan umum dalam konteks pembangunan mendorong kita untuk menyatukan persepsi terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum itu sendiri. Secara sederhana kepentingan umum dapat diartikan sebagai untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. Namun pengertian tersebut masih terlalu umum, tidak mampu memberikan suatu batasan yang jelas. Menurut Maria SW Sumardjono dalam Buku Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan Implementasi (2001) dijelaskan bahwa kepentingan umum yang terumuskan dalam UU No.5/1960, UU No.20/1961 Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya dan Inpres No.9/1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, belum menegaskan esensi kriteria kepentingan umum secara konseptual. Kepentingan umum dinyatakan dalam arti “peruntukannya” yaitu kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sedangkan dalam Inpres No.9/1973 kepentingan umum diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut 4 macam kepentingan yaitu kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, kepentingan bersama dan kepentingan pembangunan.

Untuk Pengadaan Tanah, konsep kepentingan umum didefiniskan dalam Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah memberikan klarifikasi dan definisi yang tegas mengenai kepentingan umum yang mencakup 3 ciri yaitu kepentingan seluruh masyarakat, kegiatan pembangunan yang dilakukan dimiliki oleh pemerintah dan tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian interpretasi tentang kegiatan termasuk dalam kategori kepentingan umum dibatasi pada terpenuhinya ketiga unsur tersebut secara kumulatif.

Konsep kepentingan umum dalam Keppres No 55/1993 kemudian diperkuat dalam Perpres no.36/2005 jo Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Rumusan kepentingan umum dalam Perpres tesebut lebih tepat dengan menggunakan rumusan “sebagian besar lapisan masyarakat”. Sebab sarana umum yang dibangun belum tentu dapat dinikmati semua masyarakat.

Kata “sebagian besar” mempunyai arti tidak semua masyarakat namun dapat dianggap untuk semua masyarakat, walaupun dari sebagian besar itu ada sebagian kecil masyarakat yang tidak bisa menikmati hasil atau manfaat dari fasilitas pembangunan kepentingan umum itu sendiri. Atau dengan kata lain kepentingan umum adalah kepentingan yang menyangkut kepentingan negara, bangsa dan sebagian besar masyarakat.

Atas dasar hal-hal yang disebutkan diatas, kepentingan umum dapat didifenisikan sebagai suatu kepentingan yang menyangkut semua lapisan masyarakat tanpa pandang golongan, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Berarti apa yang dikatakan kepentingan umum ini menyangkut hajat hidup orang banyak bahkan termasuk hajat bagi orang yang telah meninggal atau dengan kata lain hajat semua orang, karena yang meninggalpun masih memerlukan tempat pemakaman dan sarana lainnya.

Oleh karena itu,tidak heran jika sarana dan prasarana yang masuk kategori kepentingan umum dalam UU No.2/2012 mencakup : pertahanan dan keamanan nasional; jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, dan terminal; infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; tempat pembuangan dan pengolahan sampah; rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; fasilitas keselamatan umum; tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; cagar alam dan cagar budaya; kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/Desa; penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.

Unsur Memaksa dan Menilai dengan Adil Dalam UU no.2/2012

UU No.2/2012 Tentang Pengadaan Tanah  Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan undang-undang yang dianggap dapat menjawab beberapa persoalan yang muncul terkait permasalahan tanah di Indonesia. Peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini dalam pembentukannya diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana.

Untuk memenuhi harapan yang disebutkan diatas Undang-Undang telah memfasilitasi melalui Ketentuan umum Pasal 1 angka  2 dimana : “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Kalimat “Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.

Walaupun ketentuan diatas merupakan suatu bentuk kemajuan terdapat suatu ambigu pada Pasal 5 dimana menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ambigu yang dimaksud adalah keadilan dan kelayakan atas ganti kerugian

Untuk mencapai suatu keadilan dan kelayakan, penilaian besarnya nilai ganti kerugian yang telah ditentukan oleh Undang – Undang untuk dilakukan oleh penilai tanah (independen) dilakukan atas bidang per bidang tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini dimaksudkan untuk dapatnya memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada bidang tanah yang berdampingan dalam keadaan tertentu yang satu harus dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih rendah. Sehingga dimungkinkan dalam pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan nilainya akan naik, tetapi di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak tersisa atau tersisa sedikit. Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya  akan naik, oleh karena itu nilai ganti ruginya harus lebih rendah daripada  bidang tanah yang tergusur habis.

Pengaturan hal diatas tertuang dalam Undang – Undang pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.

Sehinga dalam pelaksanaannya pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya (setelah penetapan lokasi pembangunan) kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari aksi para “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini adalah sebuah terobosan baru yang belum pernaah disinggung dalam aturan sebelumnya.

Kepentingan Umum Dalam Pemahaman Komprehensif

Potensi untuk merubah pemaknaan “Kepentingan Umum” dalam pengadaan lahan untuk berbagai proyek yang dibutuhkan untuk segera dibangun adalah satu hal yang mendasar yang harus diantisipasi. Pendanaan dengan skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), APBN ataupun menggunakan dana swasta memungkinkan memiliki persinggungan dengan pengertian kepentingan umum yang dimaksud. Misalnya kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan swasta dalam membangun pasar, pembangunan kilang minyak yang dibiayai murni oleh swasta. Dalam pembangunan infrastruktur tersebut muncul pertanyaan dimana letak kepentingan umumnya? Apakah pengadaan lahan untuk kepentingan pembangunan diatas dapat memakai UU No.2/2012 dengan unsur memaksa serta ganti rugi yang layak?

Bila mengacu kepada pengertian kepentingan umum yang tertulis pada Pasal 4 ayat (1) UU No.2/2012 ansich, tentu berpotensi menimbulkan debat dan silang pendapat. Apakah pembangunan pasar yang dibiayai swasta bisa memanfaatkan UU No.2/2012. Apakah pembangunan kereta api komoditi yang dipergunakan oleh industri untuk mengangkut komoditinya ke pelabuhan yang notabene tidak masuk dalam kategori transportasi umum bisa disebut sebagai “kepentingan umum”? Jawabannya adalah “Iya”, karena hal tersebut tercantum sebagai unsur kepentingan umum bila merujuk pada UU No.2/2012 dan juga regulasi/aturan sebelumnya (UU No.5/1960, Keppres No.55/1993, Perpres No.36/2005 jo Perpres No.65/2006, dan UU No.2/2012). Pemaknaan pembangunan kepentingan umum yang unsur-unsur kepentingan umumnya telah jelas disebut dalam pasal 4 ayat 1 harusnya digabung dengan pengertian kepentingan umum yang terdapat dalam Keppres 55/1993 yang definisi kepentingan umum nya disebut adalah sebagai berikut : (1). Kepentingan seluruh masyarakat (pemaknaan kata seluruh adalah sebagian besar sebagaimana disuarakan Prof. Maria SW Sumardjono), (2). Kegiatan pembangunan yang dilakukan dimiliki oleh pemerintah (pemaknaan dimiliki sesuai dengan perkembangan jaman menjadi akan dimiliki); dan (3). Tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan.

Sehingga pembangunan tersebut sudah memenuhi kegiatan dalam unsur-unsur yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 UU Nomor 2/2012 dan juga masuk pada pemaknaan kepentingan umum seperti yang tertuang dalam Keppres 55/1993. Bila dalil hukum ini dapat diterima serta digunakan dengan baik, maka penulis meyakini pemaknaan kata kepentingan umum yang selama ini menjadi bahan perdebatan akan semakin berkurang dan tidak menjadi persoalan lagi.

Ditulis Oleh : Hotman Sidauruk