Aliran filsafat yang tidak mengakui kewenangan weda sebagai ajaran disebut

Aliran filsafat yang tidak mengakui kewenangan weda sebagai ajaran disebut

Oleh: Ida Bagus Wika Krishna

Dalam tradisi intelektual India Darsana merupakan padanan yang paling mendekati istilah filsafat (barat), namun secara esensial ada perbedaan yang sangat mendasar, filsafat (barat) terlepas dari agama sedangkan darsana tetap mengakar pada agama Hindu. Kata darsana berasal dari urat kata ‘drs’ yang berarti melihat (ke dalam) atau mengalami, menjadi kata darsana yang artinya penglihatan atau pandangan tentang realitas. ‘Melihat’ dalam koteks ini bisa bermakna observasi perseptual atau pengalaman intuitif. Secara umum ‘darsan’ berarti eksposisi kritis, survei logis, atau sistem-sistem, yang lebih lanjut menurut Radhakrisnan kata ‘darsana’ menandakan sistem pemikiran yang diperoleh melalui pengalaman intuitif dan dipertahankan, diberlanjutkan melalui argumen logis. Kata darsana sendiri dalam pengertian filsafat pertama kali digunakan dalam Waisesika sutra karya Kanada.

Filsafat Hindu (darsana) merupakan proses rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian integral dari agama Hindu yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan aspek praktis ritual dan darsana memberikan aspek filsafat, metafisika, dan epistemology sehingga antara agama dan darsana sifatnya saling melengkapi. Darsana muncul dari usaha manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang menjadi titik awalnya adalah kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu lahir ?, apa yang menjadi tujuan kelahiran manusia ? dan apa yang hilang ketika manusia mati ?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari darsana.

Filsafat Hindu sering kali dianggap Atman sentris, artinya semuanya dimulai dari Atman dan akhirnya berakhir pada Atman. Dalam proses pembelajarannya selalu mengarahkan pada tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa, semua proses pikiran dan perasaan selalu diarahkan menuju tujuan tersebut. Sehingga filsafat Hindu bukanlah proses pemikiran yang kering dan tanpa tujuan. Realisasi atman menjadi tujuan setiap darsana walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, Sruti menyatakan “ Atma va’re drastavyah “ (Atman agar direalisasikan) atau penyatuan atman dalam diri manusia kepada Brahman sebagai sumber dari roh setiap individu (Sira pinaka jiwa ning dadi kabeh.). Atman merupakan asas inti dari setiap kehidupan sehingga harus dipahami keberadaannya,

Pada intinya secara esensial, dalam konteks agama maupun darsana, terdapat sebuah landasan bahwasannya didalam diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi dalam diri manusia, yaitu atman. Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas materi, atman sebagai entitas yang independent dan kekal selalu bersifat murni terbebas dari berbagai mala (kekotoran). Mengembalikan atman yang sifatnya abadi menuju sumber keabadian (Brahman) inilah yang menjadi tujuan bersama antara darsana dan agama. Atman didalam Bhagawad Gita digambarkan sebagai berikut :

 Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.  Adahya artinya tidak dapat terbakar.  Akledya artinya tak terkeringkan.  Acesyah tak terbasahkan.  Nitya artinya abadi.  Sarwagatah artinya ada dimana mana.  Sthanu artinya tidak berpindah pindah  Acala artinya tidak bergerak.  Sanatama artinya selalu sama.  Awyakta artinya tidak terlahirkan.  Achintya artinya tidak terpikirkan.

 Awikara artinya tidak berubah.

Karena sifat darsana sebagai pandangan yang merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat disadari bahwa ada beberapa pandangan (darsana) dalam tradisi intelektual India, secara umum filsafat India dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :

1.Pandangan yang orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Weda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran filsafat (Sad Darsana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri dari : Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwwa Mimamsa, Wedanta (Uttara Mimamsa).
2.Pandangan yang heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui otoritas Weda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha.

Enam aliran filsafat Hindu (sad darsana) merupakan konsep yang saling berhubungan satu sama lain : 1. Nyaya dan Waiseika, 2. Samkhya dan yoga, 3. Mimamsa dan Wedanta. Waisesika merupakan tambahan dari Nyaya, Yoga merupakan tambahan dari Samkhya, dan Wedanta merupakan satu perluasan dan penyelesaian dari Samkhya.

Wedanta (puncak ajaran Weda) sebagai filsafat yang muncul secara langsung dari teks-teks upanisad merupakan system filsafat yang dianggap paling memuaskan. Dari penafsiran-penafsiran filsafat Wedanta muncul berbagai aliran pemikiran antara lain : konsep adwaita dari Sankaracarya, konsep wisistadwaita dari Ramanujacarya, dan konsep dwaita dari Sri Madhwacarya. Tiap-tiap pemikiran filsafat ini mebicarakan tiga masalah pokok yaitu : mengenai Brahman, Alam, dan atman (roh). Selain ketiga aliran pemikiran yang muncul dari filsafat Wedanta tersebut, masih terdapat beberapa aliran pemikiran lainnya namun sifatnya lebih pada penggabungan dari tiga konsep pemikiran tersebut.

Salah satu yang menjadi perdebatan beberapa kalangan mengenai filsafat India adalah apakah posisi filsafat India itu bisa dikategorikan sebagai aliran filsafat atau tidak. Ini pun berangkat dari sebagian kalangan, terutama barat ada yang tidak menerima kedatangan pemikiran India itu masuk dalam ranah filsafat. Dikatakan demikian sebab melihat latarbelakang munculnya filsafat ini berlandaskan pada mitos atau ritus keagamaan, sedangkan konsep rasionalitas (logika) tidak ditemukan. Oleh sebab itu, filsafat India dianggap sebagai pemikiran yang hanya berbicara masalah keagamaan atau spritula saja, sementara sistematika filsafatnya tidak menonjol. Hal itu pun dilihat dari sistem ajaran Hindu dan Buddha yang di dalamnya memang banyak bicara terkait kedekatan manusia dengan sang pencipta atau dewa-dewa yang diyakini.

Mengamati perkataannya seorang pemikir, Raju mengatakan bahwa filsafat India memiliki metafisika yang sulit dan sangat kompleks, yang seharusnya teori-teori epistimologi dan bahkan metafisika merupakan bagian penting dan esensial filsafat India karena Ia harus menjadi filsafat kehidupan.  Semantara filsafat yang diajarkan dalam pemikirn India itu lebih dekat dengan pandangan hidup (way of live) yang dilaksanakan oleh pengikut pengikutnya.

Terlepas dari itu, menurut penulis sesungguhnya keberadaan peradaban India yang ada bisa dikatakan filsafat kalau kita melihat sisi dari ajaran yang mengedepankan bagaimana seseorang harus menyatu dengan alam. Dari situ kita bisa membaca bahwa landasan filsafat Indian tidak jauh berbeda dengan konsep filsafat yang dibawa oleh Thales. Apalagi kalau kita dengar bahwa dalam ajaran Hindu-Buddha kerap mengangkat unsur-unsur alam yang menyatu dalam diri manusia; tanah, udara, api dan air. Dari sini pula kita melihat kelahiran filsafat India dipengaruhi oleh  letak geografisnya. Jadi wajar saja apabila pemikiran India ini banyak terhubungan dengan masalah keagamaan, terkhusus lagi yang bersifat mistik.

Karena dari sinilah kemudian tak heran jika ada dari pemikir lain yang tidak sepaham dengan penunjukan pemikiran di India sebagai pemikiran yang filosofis. Namun sejauh ini pengamatan penulis tetap menganggap bahwa pemikiran yang ada dalam wilayah India sudah merupakan filsafat. Hanya saja memang memiliki perbedaan dari filsafat-filsafat yang lain. Dimana perbedaan itu pun terlahir karena letak geografis yang berbeda juga sehingga sangat memungkin melahirkan padangan-padangan yang disesuaikan dengan kebudayaan setempat.

Bagaimana perbedaan itu bisa terbaca? Untuk menelaah perbedaan itu kita bisa melihat dari sistematika umum dalam filsafat, yakni pembagian secara ontologis, epistimologis dan aksiologis dari filsafat India. Setelah mendapati perbedaan itu, barulah kita mampu secara subjektif maupun objektif menjustifikasi disebut filsafat atau tidak kah pemikiran India itu.

Filsafat India memiliki dua wilayah, yakni wilayah Hindu dan wilayah Buddha. Dari dua wilayah ini muncul padangan bahwa filsafat India dinilai begitu sangat luas sehingga sangat sulit untuk menemukan sumber asli yang pernah dibuat. Selain itu memang dikatakan bahwa catatan historiografi dan biografi dalam filsafat India yang kurang lengkap dan sehingga menyulitkan untuk menuliskan pemikiran-pemikiran seperti pemikiran filsafat yang sudah berkembang seperti sekarang. Paling tidak, dari pemaparan ini penulis maupun pembaca bisa melihat sendiri sistematika pemikiran India. Dalam hal ini, penulis pun membagi setiap pembahsan menjadi dua wilayah, yakni wilayah menurut Hindu dan wilayah Buddha.

Dalam kepastian yang lain bahwa memang tidak bisa dipungkiri perbedaan sifat-sifat Filsafat India dari filsafat Yunani adalah faktor yang juga ikut dalam memberikan pemahaman berbeda terhadap siklus sebuah filsafat. Sehingga tidak aneh, apabila timbul beberapa asumasi dari kalangan tertentu yang tidak sepaham dengan aliran filsafat India. Apakah sifat-sifat khusus yang membedakan itu? ada beberapa hal yang bisa kita tarik benang merah yang membuat pengamatan orang berbeda terhadap filsafat Yunani dan filsafat India, diantaranya;

  • Suasana dan bakat orang India yang berlainan dengan bakat Yunani misalnya dalam hal bahasa.
  • Seluruh pengetahuan dan fislafat dalam India diabadikan kepada usaha pembebasan atau penebusan, sedangkan Yunani benar-benar mencari sebuah kebenaran yang hakiki.
  • Berpangkal dari buku-buku kuno, Weda yang otoritasnya tidak dapat diganggu gugat, hanya bisa ditafsirkan dan diterangkan lebih lanjut. Sedangkan Yunani tidak terikat oleh aturan itu.
  • Perumusan-perumusan umuny dirasa kurang tajam, tidak tegas, membeda-bedakan antara misalnya; sifat-sifat diri, konkrit-abstarak, hidup tak hidup, kesatuan persamaan, dan sebab-alasan. Dari sini mengakibat filsafat India mendapati sifat samar yang mempersulit pemecahan besar. Karena pengaruh ma-besar dari tulisan-tulisan kuno itu, maka sistem-sistem filsafat sering sukar dibedakan corak-coraknya yang khusus, sering sukar juga untuk mengikuti jalan pikiran dan mencapai sintesis.[1]
  • Dalam sistem ditemukan sejumlah pengertian yang tidak timbul dari padangan filsafat, melainkan merupakan warisan dai zaman kuno dan yang memegang peranan penting dalam semua sistem-sistem itu itu (kecuaili dalam carvaka), misalnya dengan dan kelahiran kembali, mukti, samsara, Atman dan Brahmana. Demikian pula dengan prinsip-prinsip etika (mengusai diri, hormat terhadap hidup dan sebagainya).[2]

Dalam kenyataan yang sangat dekat dengan kita bisa dikatakan bahwa filsafat India memberikan konstribusi besar dalam bidang spritual, etika, agama, moral, kesenian, bahasa, dan ilmu-ilmu pengetahun besar lainnya. Karena itu, filsafat India sejak zaman kuno sudah mengedepankan nilai-nilai nilai-nilai asketisme dan spritualisme daripada materialisme dan peradaban. Dari sini pula, mengapa peradaban India tidak terlalu bisa diteliti secara akurat karena kekurangan bahan literasi yang hendak dituju.

Filsafat India berpangkal pada tulisan-tulisan kuno yang dikenal dengan nama Weda, yang meliputi;

  1. Samphita (Reg-Weda, Sama-Weda, yayur-Weda, Atharva-Weda)
  2. Brahmana (1000-700 sebelum masehi) mengangkat tentang kurban-kurba dan upacara-upacara.
  3. Aranyaka (buku-buku hutan belukar, ajaran rahasia)
  4. Upanishad (periode ke 1. 700- 600 sebelum masehi)

Dalam tulisan-tulisan itu berisikan pemahaman-pemahaman dan sistem-sistem kehidupan India kala itu. terdapat misalnya; unsur-unsur ajaran yang berbau animisme dan dinamisme, monotheisme (dalam prayapati-supreme of all beings atau visnakama= all creator). Khususnya pengertian Brahmana= yang mutlak kekal. Atman= jiwa dan kesatuan mereka (Tattyasi; Brahmana=Atman).[3]

Begitu pun hal-hal yang terkait dengan pengertian jiwa, dunia, perpindahan jiwa dan teori-teori pengetahuan (apa yang benar, tenag sebab-akibat, keindaraan dan akal). Tidak lepas pula hal yang terkait dengan Mukti, Karma, Samsara, dan Yoga. Sehingga pada akhirnya kita mendapati dua aliran, dimana dibedakan menurut sikap terhadapkeberadaan Weda yakni;

  1. Astika (ortodoks) mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi dan mempercayai adanya Tuhan. Dikenal juga dengan Sad Daruana(Nyaya, Yoga, Saykhya, Vaiueuika, dan Mimaysa, Wedanta, dan Mimaysa Wedanta).
  2. Nastika (heterodoks) tidak mengakui adanya Tuhan dan juga tidak mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi. Carvaka (materialis), Buddha dan Jaina. Walaupun Buddha dan Jaina tidak mempercayai adanya Tuhan, mereka percaya dengan adanya spiritual dan keabadian. Buddha dan Jaina muncul sebagai protes terhadap ajaran yang dikembangkan di dalam agama Brahmaoa yang menekankan pada kehidupan ritual.

Sistem heterodoks itu sistem yang tidak mengakui Weda sebagai otoritas teringgi meliputi;

  1. Empat sistem ada di dalam Buddhisme meliputi;
  2. Vaibhasika,
  3. Sautrantika,
  4. Vin-Jñanavàda ,
  5. Madyamika,
  6. Jainisme, dan
  7. Càrvaka.

  1. Nastika
  2. Carvaka. Aliran materialisme menolak Weda, adanya jiwa keabadian, kebajikkan, semuanya berasala dari materi, demikian juga dengan jiwa dan kesadaran.
  3. Buddha dan Buddhaisme

Menurut Buddha hidup adalah kesengsaraan, sebab manusia terikat oleh realitas yang selalu di dalamnya mengikuti hukum karma. Tidak ada yang kekal, semua berubah. Manusia membebaskan diri dari kesengsaran dengan jalan ARYASATA (empat jalan kebenara); Duka-Satya, Tresna-Satya, Nirodha-Satya, dan Marga-Satya. Jalan Buddha bukan masuk dalam ruang lingkup agama yang praktis, melainkan bagaimana cara membedakan diri tentang Tuhan.

Dalm perkembangannya, Buddha pun juga mengalami perubahan sehingga melahirkan beberapa aliran besar seperti;

  1. Ajaran Sunyavana (kekosongan, meneruskan ajaran Buddha sendiri)
  2. Ajaran Tathata oleh Asvaghosa
  3. Yainisme

Timbunya bersamaa dengan Buddhisme oleh Nahavira atau Vardhamana. Dalam ajaran ini mengakat hal yang terkait dengan pengetahuan yang dikemukan relativisme dan idealisme, tak ada yang tetap, semua selalu berubah.

Dalam Bhagavagita dan Mahabrata membahas mengenai pandangan filsafat. Terutama yang diajarkan adalah tentang ‘”Purusha”= jiwa, roh dan “Prakrti”= prinsip kebendaan dan perubahan yang menyatakan diri dalam kombinasi daripada tiga guna (Sattya, Rayas, dan Tamas).

Dalam kacamata Hinduisme

Dalam sistem filsafat India, filsafat disebut sebagai Shad Darsana. Aliran-aliran pemikiran filsafat ini dikembangkan sebagai hasil pengetahuan yang didapatkan dari Weda, Brahmana, Upanishad, dan Purana dalam sejarah pemikiran India. Hal ini dihasilkan dari para pertapa dan orang-orang bijak India melalui kegiatan spritual serta pengamatan mereka terhadap kehidupan yang ada.

Kata Darsana berarti persepsi langsung, pandangan, kontemplatif dan penglihatn spritual. Sedangkan secara filosofis, Darsana berarti pengetahuan tentang Prinsip Tertinggi atau yang berdasarkan kreasi fenomenal dimana terdapat unsur-unsur dan katagori yang membentuknya.

Keenam sistem filsafat ini dirumuskan oleh beberapa Rishis yang melihat Realitas atau kebenaran Tuhan yang sama, namun dari sudut padangan jelas memiliki subjektifitasnya masingmsing dari para Rhisis yang melahirkan aliran filsafat India. Karena sistem aliran filsafat yang beragam ini pula hingga akhirnya membuat sistem filsafat India tak satu pun yang mewakili secara tunggal dan eksklusif seperti aliran filsafat-filsafat yang lain.

Dalam filsafat India, 6 sistem aliran filsafat yang pada masing-masingnya didirikan dan dirumuskan oleh para pemikir India hebat, di antaranya;

  • Filsafat Nyaya: didirikan oleh Gautama
  • Filsafat Vaisheshika: didirikan oleh Kanada
  • Filsafat Samkhya: dirumuskan oleh Kapila
  • Filsafat Yoga: dirumuskan oleh Patanjali
  • Filsafat Purva-Mimamsa: dirumuskan oleh Jaimini
  • Filsafat Vedanta: dirumuskan oleh Vyasa.

Dari ke enam sistem itu, memiliki ciri khasnya masing-masing[4], di antaranya;

  1. Merupakan ajaran logika dan cara berdebat Gautama. Berawal dari penafsiran dan penyelidikan tulisan-tulisan kuno ditentukan suatu cara berpikir (Nyaya). Dimana yang terkenal yaitu uraian tentang ala-alat pengetahuan “Pramana” (pratyasa=pengalaman keinderaan, sabda= tradisi atau kewibawaan, upmana=penalaran. “Anumana”= Syllogisme India.
  2. Vaisheshika, yakni pandangan-pandangan filsafat, lanjutan dari Nyaya. Di dalamnya mengajarkan pembebasan (Liberation). Kebahagian hanya dapat dicapai dengan pengetahuan mengenai keenam kategori; Kualitas (guna), Tindakan (karma), Universalia (samaya), Individualitas (visesha), Hubungan yang niscaya (samavaya), dan Penyangkala atau negasi (abhava).
  3. Kapila mengembangkan ajaran dualisme antara purusha dan prakrti, atheistis, yakni dengan menolak Tuhan.
  4. Yoga, dalam ajarannya hampir sama dengan Samkhya (tentang jiwa, alam, kosmologi, dan tujuan akhir). Hanya saja ada perbedaan bahwa Yoga mengakui adanya Tuhan yang berbeda dari Atman. Di sisi lain memang Yoga lebih menitiberatkan konsepnya dengan meditasi (latihan-latihan)
  5. Purba-Mimamsa. Dikatakan ini bukan sistem filsafat, melainkan hanya berisi penafsiran-penafsiran terhadap teks-teks Weda untuk kepentingan upacara keagamaan dan ritual-ritual pendukung di dalamnya. Upacara itu dibangun berdasarkan asas-asas rasional yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi manusia. Oleh sebab itu, dalam Purba-Mimamsa dibangun sebuah pandangan mengenai tata dalam alam, dan mengenai manusia.
  6. Aliran ini dinggap sebagai perwakilan tertinggi dari filsafat India karena pengaruhnya yang sangat besar. Dalam ajaran ini ada beberapa pembagian, di antaranya;
  7. Vedanta-sutra atau disebut juga Uttara-Uttara Mimamsa, berisi ajaran tentang keagamaan terkait Brahmanaa adalah syarat mutlak.
  8. Monisme dari Sudah mempergunakan logika seperti yang sudah dikembang oleh Buddhisme. Dalam ajaran ini mengatakan bahwa Brahmana adalah satu-satunya kenyataan. Alam semesta dengan perubahan-perubahannya tidak betul ada. Kesatuan Brahmana dan Atman serta membedakan pengetahuan, ada pengetahuan yang lebih tinggi dan ada pula pengetahuan yang lebih rendah. Dimana memandang keragaman sebagai kenyataan.
  9. Aliran Visnuisme. Realisme, Theistis
  10. Yamuna, ajarannya berisi tentang jiwa.menurut ajaran ini, subjek itu mandiri berlawana dengan konsep Budhaisme.
  11. Ramanuja, meneruskan ajaran Yamuna.

Adapun tujuan Darsana adalah Realisasi Àtman adalah merupakan tujuan dari seluruh Darsana untuk melepaskan manusia dari penderitaan (duhkha).

  1. Karma Kanda dan Jnana Kanda

Berdasarkan penafsiran Weda, tadisi India mempunyai dua aspek, yaitu ritual (karma kanda) dan spiritual (jñana kanda). Karma Kanda memahami Weda berdasarkan dharma atau kewajiban atau kerja atau ritual. Sedangkan Jñana Kanda menyangkut pengetahuan spiritual. Penafsiran dua aspek ini selalu mewarnai pembicaraan filsafat India ketika disangkut pautkan ke Weda.

Dalam kaca mata Buddhisme

Buddhisme mengambil beberapa ide-ide dari Hinduisme, namun juga ada yang ditolak. Salah satu dari penolakan itu adalah Buddhisme menerima ide tentang reinkarnasi (samsara) dan hukum sebab-akibat (karma), namun menolak ajaran Hindu yang memberlakukan sistem kasta. Brahmana sebagai Realitas Absolut dan Subtansialitas jiwa manusia. Di India, paham Budhisme berkembang dalam tiga tahapan filosofis;

  1. Sebagai sebuah sistem pluralitas dan realistis dari aliran
  2. Sebagai doktrin dialektis ‘Jalan tengah’ filsafat Madhyamika
  3. Sebagai doktrin monistis ‘Hanya Pikiran’ (Mind Only) dari filsafat Yogacara.

Ajaran Budhisme;

Ajaran Buddha dalam dalam tiga buah kitab suci disebut Tripitaka, yang berarti tiga keranjang pengetahuan. Ketiga kitab suci tersebut adalah :

  1. Vinaya-pitaka yang membahas tata laksana bagi masyarakat umum
  2. Sutta-pitaka yang berisi upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika, moral, dan spiritualitas.
  3. Abhidhamma-Pitaka yang membicarakan tentang kesunyataan terakhir.

Tripitaka juga berisi tentang penjelasan 4 Kesunyataan Mulia dam 8 Jalan Utama untuk mencapai pembebasan. Empat Kesunyataan Mulia itu adalah;

  • Kesunyataan tentang pederitaan (Dukkha)
  • Kesunyataan tentang asalnya penderitaan (Dukkha-Samudaya)
  • Kesunyataan tentang lenyapnya penderitaan (Dukkha-Nirodha)
  • Kesunyataan tentang jalan untuk melenyapkan penderitaan (Dukkha-Nirodha-Gamini-Patipada)
  • Pengertian yang benar (Samma-Ditthi)
  • Pikiran yang benar (Samma-Sankappa)
  • Bicara yang benar (Samma-Vaca)
  • Perbuatan yang benar (Samma-Kammanta)
  • Penghidupan yang benar (Samma-Ajiva)
  • Usaha yang benar (Samma-Vayama)
  • Perhatian yang benar (Samma-Sati)
  • Konsentrasi yang benar (Samma-Samadhi)

Dalam literature Buddhisme Ketiga tanda dikenal dengan Ti-Lakkhanna, yaitu tiga sifat utama dari kehidupan atau corak umum (Panjika N. Perawira, 1993:207)

  • Semu bentuk tidak kekal (Aniccata).
  • Semua bentuk adalah derita (Dukkhata)
  • Semua keadaan yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat adalah tanpa aku dan tidak mempunyai inti yang kekal (Anatta)

Dalam Buddhaisme, sumber utama karma adalah kebodohan (Avidya). Urutan penyebab karma diungkapkan dalam 12 rantai penyebab (Nidanas) yaitu; bermula kebodohan (Avidya), kemudian melahirkan tindakan (Samskara), lalu memunculkan kesadaran (Vijnana), dari kesadaran muncul batin dan jasmani (Nama-Rupa), lalu timbul ke-enam indera (Sadayatana), dari Indera melahirkan sentuhan (Sparsha), muncul sensasi (Vedana), selanjutnya keinginan(Trishna), kemelekatan (Upadana), Perwujudan (Bhava), Kelahiran (Jati) dan terakhir penderitaan (Dukkha).

Aliran Buddhisme

Setelah meninggalnya Buddha, Buddhisme berkembang dan terus dikenal dengan melalui 2 aliran Buddhisme, yakni Hinayana (Theravada) dan Mahayana. Theravada adalah aliran Buddhisme konservatif yang mencoba mempertahankan ajaran serta latihan orodoks Buddhisme tradisional. Mereka menerima kanon Pali sebagai kitab suci utama. Sedangkan Mahayana adalah aliran Buddhisme liberal yang berkembang belakangan dan melakukan tafsir baru terhadap Buddhisme. Mereka tidak menerima kanon Pali sebagai sumber utama, tetapi juga memiliki banyak teks baru dalam bahasa Sanskerta. Kelompok ini juga meyakini tidak hanya satu Buddha, tapi banyak Buddha.

Periodesasi Filsafat India

Radhakrishnan membagi filsafat India menjadi empat tahapan[5], yaitu:

1)Periode Weda (1500-800 SM). Masa ini melahirkan Mantra, Brahmana, Aranyaka, dan Upanishad sebagai bagian-bagian dari Weda (Rg-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda dan Atharva Weda) yang berisi benih-benih pemikiran filsafat mulai dari Mantra hingga Upanishad. Pandangan-pandangan yang ada di dalamnya berupa pandangan filsafat dalam arti yang sebenarnya. Inilah masa lahirnya filsafat India.

2) Periode Epos (600-400 SM). Periode ini meluas hingga perkembangan Upanishad awal dan Darsana. Wiracarita dan epos yang sangat masyhur, yakni Ramayana dan Mahabharata menjadi media bagi penyampaian pesan-pesan moralitas Upanishad dalam ketuhanan dan kemanusiaan. Pesan-pean Upanishad memengaruhi Buddhisme dan Bhagavadgita. Sistem-sistem religius, semacam Buddhisme, Jainisme, Sivaisme muncul pad masa ini.

3) Periode Sutra (300 SM-300 M)25. Periode ini filsafat mulai ditulis dalam bentuk sutra, yakni ungkapan pendek, sederhana, padat dan halus dalam bahasa Sansekerta. Sistematika Darsana juga ditulis dalam bentuk sutra, missal, kerangka filsafat Mimamsa oleh Jaimini ditulis dalam Mimamsa-sutra. Sutra sangat reflektif, bukan sekedar imajinasi konstruktif dan kebebasan spiritual, bahkan sangat kritis. Yoga menerima Sankhya, Vaisesika mengakui Nyaya dan Sankhya. Mimamsa dan Wedanta mengakui eksistensi lainnya. Ini terbukti manakala mencermati tradisi sebelumnya (purva paksa) pada hampir seluruh sistem filsafat, Sankaracharya, misalnya sebelum membangun sistem monoismenya (advaita), terlebih dahulu mengevaluasi dan mencermati sistem-sistem yang telah ada. Kemudian dengan kekuatan intuisi, analisis dan logika, ia mampu membawa sistem advaita melampaui sistem-sistem lainnya.

4) Periode Skolastik (300-1500 M). Periode pemberian komentar dan eksplanasi pada sistematika-sistematika falsafi di India, khususnya terhadap Guadapada (500), Islam (612) dan Shakara (700). Periode ini disebut juga periode lahirnya nama-nama besar seperti Kumarila, Samkara, Ramanuja, Madhva dan lain-lainnya. Masa ini diwarnai dengan perdebatan filsafat dan ilmu logika. Periode ini disebut juga periode skolastik  karena filsafat India berada di bawah pengaruh faylasuf Muslim, seperti: al-Kindi (800- 870), ar-Razi (865- 925), al-Farabi(872-950), Ibnu Sina (980-1037), al-Ghazali (1059-1111) dan Ibnu Arabi (1165-1240). Pada periode ini juga mulai berkembang filsafat Theistik dari Vhaisnavisme dan Shaivisme: Ramanuja (1100), Madhva (1200), Kabir (1440-1518).

5) Periode Kegelapan (1500-1900). Ini adalah periode lahirnya agama Sikh(isme) oleh Guru Nanak (1449-1538) serta pengaruh Akbar (1556-1605) dan Syaikh Ahmad (1564-1624). Periode ini juga periode kolonialisasi di bawah kekuasaan Barat; Ram Mohun Roy (1772-1833), pendiri masyarakat Brahmo; Dayananda Saraswati (1824-1883), pendiri masyarakat Arya dan Ramakrishna (1836-1886)

6) Periode Kontemporer (1850-2000). Pada periode filsafat India mencapai puncak kematangannya. Ini ditandai dengan lahirnya pemikir-pemikir fenomenal seperti: Rabindranath Tagore (1861-1941), Swami Vivekananda28 (1863-1902) Mahandhas Karamchand (Mahatma) Gandhi (1869-1948), Aurobindo Ghose (1872-1950), Muhammad Iqbal (1877-1938), Sarvepalli Radhakrisnan (1888-1975). Puncaknya India meraih kemerdekaannya pada 1947.

Subodh Kapoor juga membagi peradapan India kuno menjadi lima periode, yaitu:

  1. Periode Weda (2000-1400 SM)
  2. Periode Epos (1400-1000 SM)
  3. Periode Rasionalistik (1000-320 SM)
  4. Periode Buddha (320 SM-500 M)
  5. Periode Purana (500-1000 M)

  • Critical View Terhadap Filsafat India

Unsur pengetahun dari diri manusia

Dalam filsafat India, akal budi menjelma menjadi unsur terpenting dalam diri manusia yang merupakan anugerah terbesar dari Tuhan. Hal ini pula yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya sebagai animale rationale atau yang dalam islam dikenal dengan hayawan natiq. Dalam tutur filsafat India klasik, akal budi menjadi kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, yang temporer dengan abadi, fluaktif dengan permanen, dan pluralistik dengan monistik.  Dalam kehidupannya, manusia memfungsikan ini sebagai jalan memahami hidup dan menuju cita-cita.

Nah, dalam perjalanan itu, manusia mengarahkan setiap tujuan itu dengan pengetahuan. Setiap orang berhasrat mencari pengetahuan pada dasarnya berangkat dari keberadaan akal budinya. Dimana menuntutnya untuk bisa mencari kebenaran yang diinginkan karena sifat pengetahuan yang memang merupakan keinginan primordial dari hakikat rasional manusia.

Jika kita bicara mengenai sisi epistimologi dalam filsafat India, kita bisa merujuk pada konsep yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk dibentuk oleh lapisan-lapisan (kosa). Lapisan-lapisan itu memiliki perannya masing-masing bagi manusia. Apa lapisan-lapisan itu?

  1. Lapisan fisik fisik. Pada lapisan ini akan melahirkan pengetahuan empiris
  2. Lapisan rasio. Pada bagian ini, lapisan rasio akan melahirkan pengetahuan intelektual bagi manusia.
  3. Lapisan spritual. Di bagian ini akan melahirkan pengetahuan agama
  4. Lapisan mistik. Di sini akan melahirkan pengetahuan seseorang pada metafisika

Dari keempat lapisan ini, sejatinya tidak bisa saling melepaskan diri. Satu kesatuan di antara mereka memiliki keterikatan. Pengetahuan empiris atau pengetahuan intelektual tidak cukup bisa memberikan penjelasan terhadap apa yang di luarnya. Oleh sebab itu, filsafat India, selain bersifat empiris dan intelektual, juga mesti bersifat spritual dan mistik. Dari keempat unsur inilah nanti akan memberikan pengetahuan kepada manusia menuju kebutuhan yang hendak dicapai. Dimana untuk mencapai tujuan itu harus berdasarkan dharma. Dharma sebetulnya bertindak sebagai pengarah (guiding principles) terhadap langkah manusia hingga nanti menuju puncak tertiggi yakni punya (kebahagian).

Setelah memahami dari beberapa penjelasan mengenai pemikiran Filsafat India dari Weda hingga seluk-beluk sistem filsafat. Sampailah pada ujungnya kita untuk melihat pembagian pemikiran itu dalam tiga kategori sistematika Filsafat; Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi.

Dalam Filsafat ini memang sulit untuk membedakan satu per satu dari sistem filsafat yang ada. Tapi dalam kesempata ini, penulis akan berusaha memberikan sedikit penjesan itu agar bisa memberikan sebuah gambaran yang mungkin bisa membantu melihat ciri khas filsafat India. Dalam hal ini penulis pun hanya mengambil sistem filsafat India yang memang mudah untuk dibahas di antaranya;

Secara ontologis dalam filsafatnya hanya menerima empat elemen alam semesta; bumi, api, air dan tanah yang eksistensinya dapat kita inderai. Pemahaman ini tidak meyakini adanya Roh seperti Atman (Immateri) dalam diri manusia. Roh dan Tuhan itu tidak dapat dibuktikan karena manusia dan Roh dan Tuhan itu berbeda dimensi. Manusia bergelut dengan hal-hal yang materi (benda). Sehingga dari situ, filsafat ini menyatakan bahwa kehidupan manusia setelah kematian tidak dapat dibuktikan karena tidak logis, keberadaan Tuhan juga hanya mitos semata. Dunia ini juga terbentuk oleh keempat elemen yang diyakini oleh pengikut aliran ini, dan bukan dari Tuhan. Itulah sebabnya Carvaka dinilai sebagai Atheis, naturalis, Materialis dan Postivis.

Secara Epistimologis, Carvaka berpandangan bahwa pratyakua (persepsi) adalah satu- satunya sumber pengetahuan yang valid, dan inferensi (pratyakua) sebagai sarana mendapatkan pengetahuan yang valid tidak dapat dipertahankan. Mereka memperlihatkan bahwa semua sumber pengetahuan yang non persepsi atau tak langsung, seperti inferensi, testimony orang lain.

Secara Aksiologi, Tujuan tettinggi dari manusia rasional adalah kenikmatan yang sebesar besarnya di dunia ini. Semua upaya dilakukan untuk menikmati dan mendapatkan kenikmatan duniawi dan untuk menghindari penderitaan melalui akal sehat.

Secara Ontologis, sistem filsafat Vaisiseka dan Nyaya memiliki sistem filsafat yang tidak jauh berbeda. Dimana keduanya menerima pembebasan (moksa) jiwa individu sebagai tujuan akhir. Keduanya pun juga memandang kebodohan dan kegelapan itu adalah sebagai penyebab utama penderitaan. Dan mereka mempercayai bahwa pengetahuan hanya dapat dicapai melalui pengetahuan yang benar tentang realitas.

Secara Ontologis,  Menurut sistem ini, eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan jalan apapun. Kita perlu tidak menerima Tuhan untuk menjelaskan dunia ini, karena Prakrti adalah penyebab yang mencakup terjadinya dunia secara keseluruhan. Tuhan sebagai spirit eternal dan tak berubah tidak dapat menjadi pencipta dunia; karena untuk menghasilkan satu efek, penyebabnya harus berubah dan mentransformasikan dirinya menjadi satu efek. Beberapa pembahas dan penulis Samkhya belakangan mencoba memperlihatkan bahwa sistem ini menerima eksistensi Tuhan sebagai Yang tertinggi yang bertindak sebagai saksi, tetapi bukan sebagai pencipta dunia.

Secara Epistimologis pada aliran ini menerima teori sebab-akibat yang meyakini dualistik tertinggi, Purusha dan Prakrti. Konsep Purusha, yakni prinsip intelegensia dimana kesadaran (caitanya) bukanlah sebuah atribut, tetapi esensisnya. Oleh karena itu, haruslah ada purusha atau roh yang berbeda dan dari Prakrti atau zat pertama, tetapi ia adalah penimat (bhokta) produk- produk Prakrti. Prakrti adalah penyebab utama dunia. Prakrti adalah prinsip ketaksadaran eternal (jada) yang selalu berubah-ubah tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk melayani kepuasan roh- roh. Sattvam, rajas dan tamas adalah konstituen Prakrti yang memegang mereka bersama-sama dalam keadaan istirahat atau seimbang (samyavastha). Ketiganya disebut guna.

Secara Epistimologis, filsafat India yang satu ini lebih memberikan sisi filsafat praktis. Yoga merupakan sebuah praktek yang mencoba menyatukan diri pelaku dengan langkah-langkah spritual untuk mencapai kesempurnaan melalui pengendalian tubuh, indera, pikiran. Dalam hal ini, metodologi ini adalah bentuk untuk membangkitakan kesadaran individu menjadi kesadaran universal. Oleh sebab itu, dalam ajaran India, hal ini sebagai pembudayaan manusia seutuhnya.

Dari penjelasan di atas, bisa kita lihat bahwa aliran-aliran yang berada di dalam filsafat india memiliki konsep yang berbeda-beda dan kadang ada hal-hal yang sulit untuk dibagi dalam 3 kategori itu; epistimologi, ontologi dan aksiologi. Meskipun dengan begitu, tetap saja, ada nilai yang menyatukan konsep secara umum dari pemikiran India, yakni mencapai ksempurnaan.

Mungkin itu saja yang bisa dipaparkan mengenai pemikiran India, yang memang pada dasarnya begitu sangat luas untuk dibahas. Bahkan sulit untuk mengetahui secara spesifik bagaimana pemikiran India, terutama dalam bidang filsafatnya. Hal ini tidak dipungkiri karena Buddha maupun Hindu memiliki sendiri pola ajarannya. Walaupun memang ada yang sama, namun itu skalanya sangat kecil. Oleh sebab itu, sejauh ini, untuk memahami sebuah aliran filsafat dan pemikiran India adalah dengan mempelajari satu bidang saja yang ada dalam pemikiran itu. Karena jika kita memahami sesuatu yang begitu luas (Filsafat India) akan sangat sulit sekali dan seolah-seolah kita sedang terjebak dalam sebuah hutan belantara. Dan ini dirasa kita dapati ketika mempelajari dan membaca pemikiran India yang dikatakan ada nilai filsafatnya dengan sistem aliran yang beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Ach, Dhofir Zuhry, Filsafat timur: Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Madani, Malang, 2013.

Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Bumi Aksara, Jakarta, 2003.

Dr. Matius Ali, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme.

[1] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Bumi Aksara, Jakarta, 2003. Hal.207

[2] Ibid.

[3] Ibid. Hal 210.

[4] Ibid. Hal 214

[5] Ach, Dhofir Zuhry, Filsafat timur: Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Madani, Malang, 2013.