A jelaskan hukuman apa yang tepat bagi para koruptor dengan memperhatikan HAM

A jelaskan hukuman apa yang tepat bagi para koruptor dengan memperhatikan HAM

A jelaskan hukuman apa yang tepat bagi para koruptor dengan memperhatikan HAM
Lihat Foto

KOMPAS.com/TSARINA MAHARANI

Ketua Komnas HAM Taufan Damanik di DPR, Jakarta, Selasa (10/12).

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, tindak pidana korupsi dalam kacamata peraturan internasional tak masuk kategori pelanggaran yang pelakunya bisa dihukum mati.

"Hukuman mati hanya diizinkan pada tindak pidana the most serious crime (pelanggaran HAM berat). Itu ada genosida, kejahatan kemanusiaan, kemudian agresi, dan kejahatan perang. Korupsi, narkoba, dan lain-lain tidak termasuk," ujar Taufik dalam diskusi virtual yang digelar medcom.id, Minggu (21/2/2021).

Ia menanggapi mencuatnya wacana penerapan hukuman mati terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo dan eks Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara.

Baca juga: KPK Periksa Tenaga Ahli DPR hingga Mahasiswa Terkait Kasus Edhy Prabowo

Taufik mengatakaan, aturan di Indonesia memang memberikan ruang penerapan hukuman mati, salah satunya berkaitan dengan kasus narkoba.

Berdasarkan hasil judicial review pada 2007, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Akan tetapi, penerapan hukuman mati di Tanah Air bisa mengundang kontroversi, terutama dari dunia internasional.

Mengingat, dunia internasional saat ini mempunyai kecenderungan supaya hukuman mati dihapuskan.

"Ini belum selaras dengan hukum di tingkat global meskipun masih diberikan peluang negara yang menerapkan hukuman mati boleh diterapkan. Untuk the most serious crime ini jadi persoalan yang penting didiskusikan," ucap Taufik.

Baca juga: Kuasa Hukum Juliari: Hukuman Mati Hanya Ada di Negara Komunis dan Indonesia

Di sisi lain, Taufik mempertanyakan efektivitas pemberantasan korupsi setelah hukuman mati berhasil diterapkan.

Ia mengingatkan supaya diskursus penerapan hukuman mati terhadap Edhy dan Juliari mengedepankan rasionalitas

JawaPos.com–Wacana penerapan hukuman mati bagi para koruptor menuai kontroversi. Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam menyampaikan, wacana hukuman mati selalu menjadi salah satu isu penting dalam politik hak asasi manusia yang bersinggungan dengan berbagai isu yang ada.

”Kalau ditanya kepada kami, Komnas HAM atau berbagai aktivis hak asasi manusia, (hukuman mati) pasti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia,” kata Anam dalam keterangannya, Minggu (28/11).

Anam mempertanyakan efektivitas penerapan hukuman mati dalam menghentikan korupsi. Dia meragukan, penerapan hukuman mati bisa memberikan efek jera atau membersihkan praktik korupsi di Indonesia.

KPK Tempuh Upaya Kasasi Terhadap Vonis Ringan Wali Kota Cimahi

”Apakah iya hukuman mati bisa menghentikan tindak pidana korupsi? Buktinya tidak terjawab,” ujar Anam.

Dia lantas mencontohkan seperti Tiongkok, sebagai salah satu negara yang menerapkan hukuman mati. Tiongkok selama tiga tahun terakhir ini juga masih ada korupsi.

”Jadi ada apa soal korupsi dan hukuman mati? Sebenarnya tidak ada apa-apa kecuali memang untuk kepentingan politik praktis semata-mata. Memberantas korupsi itu bukan dengan hukuman mati, tapi memastikan bahwa setiap proses tata kelola negara dilakukan dengan transparan dan akuntabel,” tegas Anam.

MA Kembalikan Vonis Djoko Tjandra Jadi 4,5 Tahun Penjara

Dia menyebut, hukuman mati bagi koruptor diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Menurut Anam, apabila secara legal normatif masih ada pasal tentang hukuman mati, hal itu tidak perlu diterapkan. “Kalau mengubah undang-undangnya susah, ya tidak usah kita terapkan itu hukuman matinya. Tapi kita pastikan tata kelola negara ini baik,” jelas Anam.

Menurut Anam tata kelola negara yang baik, dimulai dari hal yang paling sederhana untuk memerangi korupsi. Pertama, semua penganggaran negara sampai level yang paling rendah, dibuka kepada publik. Sehingga publik ikut mengawasi secara langsung. Kedua, transaksi tunai dibatasi sehingga pertanggungjawaban mudah dilacak.

Komisi III DPR Apresiasi Vonis Mati Pengedar Narkoba

Ketiga, soal perizinan harus jelas, pembiayaan, dan waktunya. Termasuk budaya di kalangan pejabat yaitu pembatasan penggunaan anggaran publik untuk kepentingan pribadi.

“Tindakan-tindakan sederhana ini kalau bisa kita lakukan itu akan berkontribusi baik,” papar Anam.

Anam menambahkan, hukuman mati jelas melanggar hak asasi manusia dan juga konstitusi. Secara normatif, hukuman mati melanggar hak hidup yang seharusnya dilindungi, bahkan tidak bisa dikurangi dalam bentuk apapun dan oleh siapa pun.

Hakim Vonis Bupati Muara Enim Nonaktif Juarsah 4,5 Tahun Penjara

”Secara esensial, hukuman mati tidak menjawab apapun,” tegas Anam.

Editor : Latu Ratri Mubyarsah

Reporter : Muhammad Ridwan

Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju, misalnya dihukum mati?

Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang siswa SMK Negeri 57 Jakarta bernama Harley Hermansyah kepada Presiden Jokowi di Hari Antikorupsi Sedunia pada Senin (9/12/2019).

Pertanyaan Harley itu kembali membuka perdebatan klasik mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati bagi koruptor. Presiden Jokowi sendiri awalnya tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Ia lalu menjelaskan bahwa undang-undang yang ada saat ini memang tidak mengatur hukuman mati bagi koruptor.  

"Ya, kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati, itu akan dilakukan. Tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati," kata Jokowi. 

Jokowi lalu bertanya ke Menteri Hukum dan HAM yang hadir pada acara tersebut. Yasonna menjelaskan bahwa aturan terkait ancaman hukuman mati saat ini hanya berlaku untuk pelaku korupsi terkait bencana alam. Aturan itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

Selain korupsi dana bencana alam, hukuman mati juga bisa dikenakan pada korupsi pada saat negara krisis moneter atau kepada pelaku korupsi yang berulang kali melakukan perbuatannya. Kendati demikian, sampai saat ini belum ada koruptor yang sampai divonis mati oleh pengadilan.

"Yang sudah ada (aturannya) saja belum pernah diputuskan hukuman mati," lanjut Jokowi. 

Presiden Jokowi kemudian menjelaskan bahwa saat ini pemerintah berupaya membangun sistem pencegahan terhadap praktik korupsi. 

"Agar pejabat-pejabat yang ada itu tidak bisa melakukan korupsi, agar baik semua, agar pagarnya itu bisa menghilangkan korupsi yang ada di negara kita," ujar dia. 

"Tapi apa pun semua butuh proses negara-negara lain juga butuh proses ini, bukan barang gampang," lanjut Jokowi.

Lalu pantaskah sebenarnya koruptor dihukum mati? Apakah hukuman mati untuk para koruptor efektif untuk mencegah praktik korupsi di indonesia? Apakah pemiskinan, pencabutan hak politik, hingga larangan menduduki jabatan strategis lebih menimbulkan efek jera?

Untuk membahasnya sudah hadir di studio, anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan Aktivis Antikorupsi Saor Siagian.

#KoruptorIndonesia #HukumanMatiKoruptor

Penulis : Reny-Mardika

Sumber : Kompas TV

tirto.id - Korupsi merupakan masalah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Jejak korupsi juga merata di hampir seluruh penjuru dunia.

Berdasarkan survei Corruption Index 2017, tidak ada negara yang mendekati nilai sempurna dalam Indeks Persepsi Korupsi 2016. Itu artinya tak ada satu negara di dunia yang benar-benar bebas dari tindak korupsi.

Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa sekitar dua pertiga dari 176 negara di dunia berada pada tingkatan “sangat korup”. Secara keseluruhan, rata-rata skor global untuk korupsi hanya pada angka 43 dari 100. Hal ini mengindikasi bahwa korupsi endemik di sebagian besar negara di dunia.


Bank Dunia menganggap korupsi menjadi tantangan utama dalam mencapai tujuan pengurangan kemiskinan ekstrem pada 2030 mendatang. Ini sekaligus menjadi tantangan besar dalam peningkatan kemakmuran bersama bagi 40 persen orang termiskin di negara-negara berkembang.

Korupsi berdampak besar pada kehidupan orang miskin. Menurut Bank Dunia, korupsi menghambat orang miskin mengakses layanan kesehatan sehingga berdampak pada kesehatan masyarakat. Minimnya akses memaksa mereka harus menyuap agar mendapatkan akses tersebut. Secara konsisten orang miskin menghabiskan 12,6 persen dari pendapatannya untuk menyogok.

Secara global, setiap tahunnya uang untuk menyogok atau menyuap dalam bisnis atau pribadi mencapai 1,5 triliun dolar. Jumlah tersebut setara dengan 2 persen PDB global atau 10 kali lebih besar dari dana bantuan pembangunan luar negeri. Sehingga mengurangi korupsi menjadi tujuan dari Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals.

Dalam melawan korupsi, masing-masing negara memiliki aturannya sendiri yang dapat dilihat dari ragam bentuk penghukuman bagi para koruptor. Cina salah satunya yang sedang berusaha melawan korupsi dengan menetapkan siapapun yang terbukti melakukan korupsi lebih dari 100 ribu yuan atau sekitar Rp194 juta akan dijatuhi hukuman mati.

Pemerintah Cina tak main-main menghukum para koruptor. Salah satu vonis hukuman mati dijatuhkan Xu Maiyong, mantan wakil walikota Hangzhou dan Jiang Renjie, wakil walikota Suzhou pada 2011. Mereka dinyatakan bersalah karena telah melakukan penyuapan masing-masing 100 juta yuan dan 200 juta yuan -- yang jika diakumulasi mencapai 50 juta dolar AS.

Selain itu Menteri Perkeretaapian Cina, Liu Zhijun, juga divonis hukuman mati karena menerima suap dan menyalahgunakan jabatan atau wewenang sejak 1972 hingga 2011. Ia membantu memenangkan tender proyek-proyek pembangunan perusahaan kereta api dan mendapat 13,5 juta dolar AS dari praktik korupsi.

Korupsi menjadi salah satu penyebab utama ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah di Cina. Itulah sebabnya pemerintah pun mengambil langkah tegas kepada koruptor. Ratusan pejabat dihukum setiap tahunnya karena kasus korupsi.

Vietnam juga menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Pada 2014, seorang direktur Vietnam Development Banks dijatuhi hukuman mati setelah ia dan 12 orang lainnya menyetujui sebuah pinjaman palsu sebesar 89 juta dolar AS. Agar ia menyetujui kontrak tersebut, ia disuap dengan sebuah BMW, cincin berlian dan 5,5 juta dolar AS.

Jika Cina dan Vietnam menerapkan hukuman mati, maka di Jerman, siapapun yang menawarkan, membayar atau menerima sogokan dalam transaksi domestik atau asing dapat dikenai hukuman hingga 10 tahun penjara, membayar sejumlah denda dan menyita seluruh hasil dari korupsi, menurut KUHP Jerman (Strafgesetzbuch).

Berbeda lagi dengan yang diberlakukan di Amerika Serikat. Negara maju tersebut juga masih terus bekerja keras melawan korupsi. Di Amerika, praktik korupsi dapat dijatuhi hukuman 5-20 tahun penjara dan denda 100 ribu-5 juta dolar AS untuk setiap pelanggaran.

Singapura juga tak lepas dari praktik korupsi. Di negara tersebut, siapapun yang menerima, memberi suap akan dijerat hukuman tak lebih dari 5 tahun penjara dan membayar denda yang tak lebih dari 100 ribu dolar AS.

Di Jepang, praktik korupsi menjadi ciri khas ledakan ekonomi pascaperang Jepang yang membangun aliansi erat yang dikenal dengan “segitiga besi” antara pebisnis Jepang, politisi dan Partai Demokratik yang berkuasa. Kedekatan yang erat ini mendorong terciptanya kesepakatan rahasia yang berujung pada tindak korupsi.

Dalam pasal 197 KUHP Jepang melarang seorang pejabat publik untuk menerima sogokan atau pada pasal 198 yang melarang menawarkan sogokan. Hukuman untuk yang menerima sogokan adalah dipenjara di bawah 5 tahun serta menyita hasil dari sogokan. Sedangkan pejabat yang menawarkan sogokan diancam dipenjara selama 3 tahun dan membayar denda 2,5 juta yen atau Rp301 juta. Pejabat yang terjerat kasus korupsi di Jepang biasanya akan langsung mengundurkan diri dari jabatannya.

A jelaskan hukuman apa yang tepat bagi para koruptor dengan memperhatikan HAM



Sedangkan di Indonesia, Lembaga swadaya masyarakat bidang pemantauan dan pemberantasan korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, selama semester pertama 2015, hakim rata-rata hanya menjatuhkan vonis hukuman penjara 25 bulan atau dua tahun satu bulan kepada para terdakwa koruptor. Itu belum termasuk remisi yang tentu akan mempersingkat waktu penahanan. Artinya meringankan hukuman koruptor.
Pada periode yang sama di tahun 2014, vonis hakim terhadap terdakwa dengan perkara korupsi rata-rata sekitar dua tahun sembilan bulan, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata vonis hukuman koruptor pada kurun yang sama di tahun 2015.

Korupsi di Indonesia sudah menggurita. Terjadi di berbagai daerah dan di berbagai lapisan mulai dari pejabat negara, politikus, kepala daerah hingga wakil rakyat. Kasus korupsi yang masih hangat adalah megakorupsi e-KTP yang menyeret berbagai pejabat publik hingga wakil rakyat. Ada juga korupsi Alquran yang menegaskan bahwa korupsi menjadi “penyakit kronis” di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan agar dapat menekan korupsi di Indonesia. Namun tak jarang dalam beberapa kasus, terjadi kriminalisasi dan rekayasa kasus terhadap pemimpin dan pagawai KPK, hinggga pelemahan KPK.

Guna memerangi korupsi yang semakin merajalela ini, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi pernah menyebutkan untuk menghukum mati para koruptor agar memberi efek jera seperti yang dilakukan Cina dan Vietnam.

Di sisi lain hukuman mati dianggap melanggar hak asasi manusia. Sehingga menimbulkan dilema. Penjara dan denda pun tak membikin koruptor jera. Lalu hukuman apa yang pantas untuk koruptor?