Yang tidak termasuk dalam Jaring PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

\"...RUU itu berisi mengenai sistem yang terdiri atas pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, serta pemberian fasilitas lender of last resort (LoLR) atau fasilitas yang diberikan oleh BI kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar...\"

Pemerintah saat ini sedang menggodok undang-undang tentang jaring pengaman sektor keuangan. Hanya saja, undang-undang itu berpotensi menciptakan moral hazard. Krisis ekonomi dan moneter 1997 nampaknya sudah sangat membekas di hati para ekonom Indonesia. Hampir semua sektor mengalami kehancuran, termasuk di dalamnya perbankan. Bisa dikatakan, kondisi perbankan Indonesia waktu itu carut-marut. Pasalnya, banyak bank yang ‘sakit’ karena tidak mampu menaikan tingkat kesehatannya alias kesulitan likuiditas. Akibatnya, banyak bank yang ditutup dan melakukan merger. Untung saja Bank Indonesia (BI) cepat turun tangan untuk menangatasi persoalan tersebut. Otoritas moneter dan perbankan itu menelurkan kebijakan yang kontroversial yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Walaupun sempat ditentang oleh banyak kalangan, karena disinyalir hanya menguntungkan pemilik bank, namun BLBI tetap berjasa bagi sektor perbankan Indonesia. Sebab, kalau saja BI waktu itu tidak berani melakukan trobosan tersebut, bisa jadi Indonesia saat ini hidup tanpa bank. Sayangnya niat tulus BI itu disalahgunakan oleh para pemilik bank yang menerima BLBI. Sebagian besar mereka yang menikmati uang rakyat itu menyalahgunakan bantuan tersebut untuk kepentingan pribadi. Maka, trauma itu pun membekas hingga sekarang. “Waktu itu kami tidak mempunyai dasar untuk melakukan suatu tindakan kalau terjadi krisis yang sifatnya sistemik, walaupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan membolehkan kita untuk mengambil dana APBN” kilah Oey Hoey Tiong, Direktur Direktorat Hukum BI kepada hukumonline, di kantornya, Komplek BI, Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (3/5). Tidak mau kembali dibodohi oleh para pengemplang dana BLBI, kali ini bank sentral bersama Departemen Keuangan (Depkeu) sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (RUU JPSK). RUU ini mereka sinyalir sebagai jurus ampuh bagi perbankan jika terjadi krisis seperti tahun 1997. RUU itu berisi mengenai sistem yang terdiri atas pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, serta pemberian fasilitas lender of last resort (LoLR) atau fasilitas yang diberikan oleh BI kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar. Selain itu RUU itu juga berisi tentang program penjaminan simpanan dan manajemen krisis yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan, melalui koordinasi yang efektif antara lembaga yang berwenang. Singkatnya, jika terjadi krisis perbankan dan moneter, bank yang kesulitan likuiditas dan solvabilitas akan memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek atau pembiayaan darurat dari pemerintah. Berbeda dengan BLBI yang terkesan dipaksakan, BI dan Depkeu terkesan ekstra hati-hati dalam merumuskan RUU ini. Buktinya, draf yang dirancang sejak awal 2005 itu hingga saat ini masih bolak-balik dari BI ke Depkeu untuk diselaraskan. Akibat belum tuntasnya RUU ini, kabarnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memasukan RUU tersebut sebagai program legislasi nasional (prolegnas) 2007. Menurut Oey, banyak hal yang harus dipikirkan oleh regulator dalam merumuskan RUU ini. Dia sendiri hingga sekarang belum puas terhadap rumusan itu. “Saya lihat pola pikir yang merancang Undang-Undang ini bukan untuk membentuk suatu jaring pengaman,” cetusnya. Ketidakpuasan Oey ini lantaran RUU tersebut mengatur terlalu ketat. Salah satunya aturan tentang jaminan. Bagi bank yang menerima pendanaan dari pemerintah, maka bank yang bersangkutan harus mengikat jaminan sekurang-kurangnya sama dengan nilai dana yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebagi informasi, waktu BLBI, jaminan yang dikenakan kepada bank penerima dana, maksimal 50 persen dari total pinjaman. Mestinya, kata Oey, tindakan yang pertama kali yang harus dilakukan otoritas moneter, jika terjadi kondisi demikian adalah bagaimana menyalamatkan sistem perbankan. “Kalau terjadi krisis, yang terpikir pertama kali adalah keputusan kita, apakah kita akan melakukan bail out atau tidak. Setelah kita melakukan penyelamatan atau bail out, ya sudah kita lakukan dulu apa yang bisa kita lakukan. Namanya tindakan untuk mengatasi keadaan darurat,” tutur Oey. “Tetapi yang saya lihat dasar pemikiran penyusun rancangan ini adalah kita sudah memutuskan bail out, tetapi nanti dulu, supaya pemerintah tidak merugi, yang mau di bail out harus menyerahkan jaminannya dulu. Itu sama saja dengan orang yang sekarat ditabrak mobil, lalu masuk rumah sakit, sementara rumah sakit meminta uangnya lebih dulu. Ya, akan mati orangnya. Nah, sampai sekarang persepsinya seperti itu,” lanjutnya. Jika rumusan RUU tersebut akan tetap seperti itu, maka menurutnya, lebih baik ditiadakan saja. Sebab, kalau pun terjadi krisis, maka tetap saja peraturan tersebut tidak bisa digunakan. Lebih baik, lanjut Oey, seperti pemerintah Brasil dan Venezuela yang membiarkan banknya mati bila mengalami kesulitan. Berpotensi menciptakan moral hazard Sementara itu beberapa kalangan juga mempermasalahkan RUU ini. Pasalnya, RUU ini bisa jadi menciptakan moral hazard. “Setiap ada klausul jaminan, pasti akan menciptakan moral hazard bagi orang-orang yang mau mengkadali peraturan itu,” cetus selah seorang pengamat ekonomi yang tidak mau disebutkan namanya itu. Tentang moral hazard ini, Oey punya pendapat lain. Dia berkeyakinan kalau RUU ini tidak akan menciptakan moral hazard. Sebab, kata dia, RUU ini tidak memberikan hak kepada sesorang, tetapi memberikan wewenang kepada pemerintah. Pemerintah yang dimaksud Oey dalam hal ini Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua, serta Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) masing-masing menjabat sebagai anggota. “Jadi, yang menentukan bank itu layak ditolong atau tidak kan ada di pemerintah, bukan di orang yang menerima bantuan,” imbuhnya. Sementara itu, sejumlah Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyambut positif rencana Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU itu. Meski begitu, dewan meminta kejelasan parameter yang bakal diatur dalam regulasi tersebut. “Saya pribadi merespons positif, meski belum menjadi sikap fraksi. Melalui (Rancangan) Undang-Undang ini, seluruh stakeholders lebih siap menghadapi krisis. Tak kalah pentingnya adalah mengetahui langkah apa yang harus dilakukan jika terjadi krisis,” ujar salah seorang anggota komisi XI DPR Maruarar Sirait. Maruarar mengatakan, meskipun menyambut positif RUU JPSK, namun harus ada kejelasan parameter di dalamnya, sehingga ada persamaan persepsi setiap pihak dan tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan di dalam pelaksanaannya nanti. Kejelasan parameter tersebut mencakup kewenangan BI sebagai otoritas moneter, pemerintah sebagai pemegang fiskal dan dewan. Selain parameter, kata Maruarar, RUU JPSK harus memiliki orientasi yang harus tercapai. Salah satunya adalah menggerakkan sektor riil dalam rangka menyejahterakan masyarakat. “Hal semacam ini, tidak pernah ada dalam penyusunan regulasi yang menyangkut ekonomi maupun moneter,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan ini. “Harus diingat, tujuan akhir setiap lembaga negara berbeda. Contohnya, BI selalu menilai keberhasilan dalam stabilitas moneter nasional dan pemerintah adalah terkendalinya kondisi makroekonomi. Seharusnya, tujuan akhir adalah untuk rakyat,” lanjutnya. Sumber : Hukum Online, 4/5/07 ys

PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 2008

TENTANG

JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.

bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis;

b.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan;

Mengingat

:

1.

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 3467);

3.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 3790);

4.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 3477);

5. Undang-Undang . . .

5.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 3608);

6.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4901);

7.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4236);

8.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4286);

9.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4355);

10.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4420), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4902);

11.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4867);

12.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4852);

                     MEMUTUSKAN: 

Menetapkan 

:

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN. 

BAB I 

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.        Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari Krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan Krisis.

2.        Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional.

3.        Lembaga Keuangan Bukan Bank, yang selanjutnya disebut LKBB, adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, lembaga penjaminan, dan perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

4.        Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank, LKBB, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.

5.        Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak Sistemik dan berpotensi Krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas.

6.        Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN, adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara.

7.        Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia.

8.        Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

9.        Bank Gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

BAB II

TUJUAN  DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Jaring Pengaman Sistem Keuangan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan Krisis.

Pasal 3

Ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan Krisis.

Pasal 4

(1)  Pencegahan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi tindakan mengatasi permasalahan:

a.     Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak Sistemik;

b.     Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan pelunasan FPD yang Berdampak Sistemik; dan

c.      LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas yang Berdampak Sistemik.

 (2)   Penanganan . . .

(2)  Penanganan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi tindakan mengatasi permasalahan:

a.      Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau solvabilitas yang secara individu Berdampak Sistemik atau bank yang secara individu tidak Berdampak Sistemik tetapi secara bersama-sama dengan bank lain Berdampak Sistemik, pada kondisi Krisis; dan

b.      LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang Berdampak Sistemik.

BAB III

KOMITE STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Bagian Kesatu

Pembentukan

Pasal 5

Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut KSSK yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota.

Bagian Kedua

Fungsi dan Tugas

Pasal 6

KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis.

Pasal 7

Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan pencegahan dan penanganan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, KSSK mempunyai tugas:

a.     mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai Berdampak Sistemik;

 b.  menetapkan . . .

b.     menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/LKBB Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik; dan

c.      menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis.

Pasal 8

(1)  Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, KSSK dibantu oleh sekretariat.

(2)  Anggaran sekretariat dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Bank Indonesia, dan/atau LPS.

(3)  Struktur organisasi dan tugas sekretariat ditetapkan dengan keputusan KSSK.

Pasal 9

KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan Krisis kepada Presiden.

Bagian Ketiga

Mekanisme Rapat KSSK

Pasal 10

(1)  Rapat KSSK diselenggarakan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun.

(2)  Pengambilan keputusan dalam rapat KSSK dilakukan berdasarkan mufakat.

(3)  Dalam hal tidak tercapai mufakat, Ketua KSSK menetapkan keputusan.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme rapat KSSK ditetapkan dengan keputusan KSSK.

BAB IV . . .

(1)   Dalam hal terdapat bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh Bank Indonesia, KSSK memutuskan kondisi bank tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik.

(2)    Dalam hal bank diputuskan Berdampak Sistemik, KSSK memutuskan pemberian FPD oleh Bank Indonesia kepada bank, penetapan pagu, jangka waktu, suku bunga, dan kriteria umum agunan FPD, berdasarkan rekomendasi Gubernur Bank Indonesia.

(3)    Pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada bank yang mengajukan permohonan FPD dan memenuhi kriteria solvabilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia.

(4)    Jangka waktu pemberian FPD paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak penandatanganan perjanjian pemberian FPD dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender.

(5)    Dalam hal KSSK memutuskan bank yang mengalami kesulitan likuiditas tidak Berdampak Sistemik, atau Berdampak Sistemik namun tidak mengajukan permohonan FPD, Bank Indonesia menetapkan bank dimaksud sebagai Bank Gagal.

Dengan diberikannya FPD kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Bank Indonesia berwenang:

a.     mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti sebagian atau seluruh direksi dan komisaris bank;

b.     menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia sebagai direksi dan/atau komisaris bank; dan

c.      menempatkan bank dimaksud dalam status pengawasan khusus.

(1)  Pemberian FPD dituangkan dalam perjanjian antara bank dan Bank Indonesia yang dilengkapi dengan:

a.        daftar aset bank dengan nilai taksasi sementara yang menjadi agunan FPD; dan

b.       rencana kerja bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

(2)  Pengikatan aset bank yang menjadi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan Bank Indonesia setelah dokumen agunan lengkap.

(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FPD termasuk kriteria aset bank yang dapat menjadi agunan FPD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 14

Bank penerima FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilarang membagikan dividen dan manfaat finansial lainnya kepada pemegang saham sebelum bank melunasi FPD.

Pasal 15

(1)    Menteri Keuangan atas nama Pemerintah memberikan jaminan secara tertulis atas FPD yang diberikan oleh Bank Indonesia.

(2)    Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penggantian dana FPD yang belum dilunasi oleh bank kepada Bank Indonesia dalam hal:

a.         bank tidak melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK; atau

b.         bank dinyatakan sebagai Bank Gagal sebelum berakhirnya jangka waktu FPD.

Pasal 16

Apabila bank tidak dapat melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK, Bank Indonesia menyatakan bank dimaksud sebagai Bank Gagal dan meminta KSSK untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Gagal dimaksud.


(1)       Dalam hal terdapat LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh Departemen Keuangan, KSSK memutuskan kondisi LKBB tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik.

(2)       Dalam hal LKBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan Berdampak Sistemik, KSSK memutuskan kebijakan penanganan LKBB dimaksud.

(3)       Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan tata cara penanganan kesulitan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas LKBB yang Berdampak Sistemik diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

(1)       Dalam hal terjadi keadaan yang dinilai membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, KSSK menetapkan:

a.        langkah-langkah penanganan Krisis termasuk perkiraan kebutuhan biaya penanganan Krisis;

b.       pemberian FPD kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas oleh Bank Indonesia yang pembiayaannya dari Pemerintah;

c.        pemberian bantuan likuiditas kepada LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas oleh Pemerintah; dan

d.       penambahan modal berupa penyertaan modal sementara kepada bank/LKBB yang mengalami masalah solvabilitas yang pelaksanaannya dilakukan oleh LPS/Pemerintah.

(2)       Pendanaan untuk pelaksanaan penanganan Krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menjadi beban Pemerintah.

Pasal 21 . . .

Pasal 21

(1)      Pemberian FPD kepada bank Berdampak Sistemik dalam kondisi Krisis dituangkan dalam perjanjian antara bank dan Bank Indonesia yang bertindak   untuk dan atas nama Pemerintah, yang dilengkapi dengan:

a.         daftar aset bank dengan nilai taksasi sementara yang menjadi agunan FPD;  dan

b.        rencana kerja bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

(2)       Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pemberian FPD.

(3)       Pengikatan aset bank yang menjadi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan oleh Bank Indonesia setelah dokumen agunan lengkap.

Pasal 22

Bank penerima FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, dilarang membagikan dividen dan manfaat finansial lainnya kepada pemegang saham sebelum bank melunasi FPD.

Pasal 23

Apabila bank tidak dapat melunasi FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK, Bank Indonesia menyatakan bank dimaksud sebagai Bank Gagal dan meminta KSSK untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Gagal dimaksud.

Pasal 24

(1)   Dalam hal menurut penilaian KSSK kondisi Krisis dapat membahayakan perekonomian nasional, apabila diperlukan, KSSK berdasarkan rekomendasi Gubernur Bank Indonesia mengusulkan kepada Presiden membentuk badan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-Undang tentang Perbankan.

(2) Pelaksanaan . . .

(2)   Pelaksanaan penambahan modal berupa penyertaan modal sementara kepada bank/LKBB yang mengalami masalah solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d dapat dilakukan oleh badan khusus berdasarkan penunjukan KSSK.

Pasal 25

LPS dan/atau badan khusus untuk dan atas nama Pemerintah  menjual saham dari penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d sesuai dengan  jangka waktu yang ditetapkan KSSK.

BAB VI

INSENTIF DAN FASILITAS

UNTUK PENANGANAN SEKTOR PRIVAT

Pasal 26

Pemerintah dan Bank Indonesia dapat memberikan insentif dan/atau fasilitas dalam rangka mempercepat penyelesaian masalah likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang Berdampak Sistemik yang dilakukan oleh sektor privat yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VII

SUMBER PENDANAAN

Pasal 27

(1)  Sumber pendanaan Pemerintah untuk pencegahan dan penanganan Krisis berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui penerbitan SBN atau tunai.

(2)  Menteri . . .

(2)  Menteri Keuangan menetapkan ketentuan dan persyaratan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil rapat antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan mempertimbangkan sustainabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat kesehatan neraca Bank Indonesia, dan efektivitas kebijakan moneter.

(3)  Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi pagu yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan yang selanjutnya diusulkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan dan/atau disampaikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.

(4)  Penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan tujuan penerbitan surat berharga syariah negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara.

(5)  Bank Indonesia dapat membeli SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di pasar primer dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis.

(6)  Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pencegahan dan penanganan Krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

(7)  Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 30 hari kalender sejak penerbitan SBN.

BAB VIII . . .

BAB VIII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 28

Pasal 29


BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai atau terkait dengan FPD dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

Pasal 31

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 15 Oktober 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 15 Oktober 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

                    REPUBLIK INDONESIA,

                                      ttd

                       ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 149

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

SETIO SAPTO NUGROHO

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 2008

TENTANG

JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

I.   UMUM

Dalam rangka menghadapi ancaman Krisis keuangan global yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, perlu dibuat suatu landasan hukum yang kuat sehingga mekanisme koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu, efisien dan efektif.

Landasan hukum dimaksud ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Adapun tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diatur mengenai ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan kesulitan likuiditas dan penanganan masalah solvabilitas dari bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu antara lain dengan  memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, pencegahan krisis dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa penyertaan modal sementara terhadap bank dan LKBB yang mengalami masalah solvabilitas.

Penanganan Krisis pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama seperti pencegahan Krisis,  namun penanganan Krisis dilakukan pada saat kondisi sistem keuangan  dalam keadaan Krisis yang membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.

Dalam  . . .

Dalam rangka pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis di sistem keuangan.

Sumber pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diberikan Pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau secara tunai. Untuk memberikan fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau ditangani segera, penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. Bertindak sebagai pembeli SBN di pasar primer adalah Bank Indonesia. Dalam rangka akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

II.  PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

       Cukup jelas.

     Pasal 2

Jaring Pengaman Sistem Keuangan secara umum ditujukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, program penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan Krisis. Namun demikian, mengingat pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, serta program penjaminan simpanan telah diatur dalam Undang-Undang tersendiri maka Undang-Undang ini hanya mengatur masalah pencegahan dan penanganan Krisis.

     Pasal 3

Pencegahan dan penanganan Krisis meliputi penanganan kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas bank dan LKBB yang Berdampak Sistemik.

Pasal 4 . . .

     Pasal 4

   Cukup jelas.

    Pasal 5

Keanggotaan Menteri Keuangan dalam KSSK adalah dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai otoritas fiskal dan menjaga stabilitas ekonomi. Sedangkan keanggotaan Gubernur Bank Indonesia dalam KSSK adalah dalam rangka menjalankan fungsinya menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.

     Pasal 6

          Cukup jelas.     

     Pasal 7

Yang dimaksud dengan langkah-langkah dalam rangka pencegahan krisis antara lain melonggarkan peraturan sistem keuangan seperti penurunan giro wajib minimum dan ketentuan pelaksanaan  buyback oleh perusahaan go public.

Yang dimaksud dengan langkah-langkah dalam rangka penanganan krisis antara lain melakukan komunikasi mengenai langkah yang telah dan akan diambil oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, dan perumusan regulasi yang diperlukan untuk penanganan Krisis.

     Pasal 8

          Ayat (1)

            Cukup jelas.

          Ayat (2)

            Cukup jelas.

          Ayat (3)

Dalam keputusan KSSK diatur juga mengenai keanggotaan sekretariat yang berasal dari Departemen Keuangan, Bank Indonesia, LPS, dan kalangan profesional sesuai kebutuhan.

     Pasal 9

Laporan oleh KSSK antara lain meliputi kondisi stabilitas sistem keuangan dan tindakan yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. 

Pasal 10 . . .

Pasal 10

          Ayat (1)

Rapat KSSK diselenggarakan secara rutin untuk melakukan pembahasan perkembangan kondisi stabilitas sistem keuangan. Dalam kondisi tertentu, rapat dapat diselenggarakan sewaktu-waktu atas permintaan dari Menteri Keuangan atau Gubernur Bank Indonesia.

          Ayat (2)

            Cukup jelas.

          Ayat (3)

            Cukup jelas.

          Ayat (4)

            Cukup jelas.

     Pasal 11

          Ayat (1)

Dalam rapat KSSK untuk memutuskan kondisi bank Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik, Bank Indonesia menyampaikan informasi mengenai permasalahan likuiditas bank dan tindakan yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan kesulitan likuiditas tersebut oleh bank sebagaimana diminta oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah.

          Ayat (2)

Pagu FPD tidak harus didasarkan pada nilai taksasi agunan yang diajukan oleh bank, mengingat FPD diberikan untuk mengatasi dampak sistemik sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai normal lending. Suku bunga FPD ditetapkan sebesar BI Rate ditambah dengan margin tertentu yang ditetapkan oleh KSSK.

          Ayat (3)

            Cukup jelas.

          Ayat (4)

            Cukup jelas.

          Ayat (5)

            Cukup jelas.

Pasal 12 . . .

     Pasal 12

          Huruf a

Pengambilalihan hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kepemilikan bank namun hanya untuk RUPS penggantian direksi dan komisaris saja.

          Huruf b

Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain seperti profesional yang memiliki kompetensi pengelolaan bank penerima FPD dimaksud.

          Huruf c

            Cukup jelas.

   Pasal 13

       Ayat (1)

Perjanjian pemberian FPD adalah perjanjian utang piutang antara bank dengan Bank Indonesia yang mengatur syarat dan ketentuan pemberian dan pelunasan FPD.

               Ayat (2)

          Cukup jelas.

       Ayat (3)

          Cukup jelas.

       Cukup jelas.

       Ayat (1)

Nilai jaminan Pemerintah terhadap FPD yang diberikan oleh Bank Indonesia sebesar adalah pokok dan bunga FPD.

       Ayat (2)

          Cukup jelas.

             Cukup jelas.

       Cukup jelas.

   Pasal 18

       Cukup jelas.

Pasal 19 . . .

   Pasal 19

        Cukup jelas.

   Pasal 20

       Cukup jelas.

            Ayat (1)

          Cukup jelas.

            Ayat (2)

Penyampaian rencana kerja dapat dilakukan setelah pemberian FPD agar penanganan masalah bank segera teratasi.

            Ayat (3)

Pengikatan agunan dapat dilakukan terhadap sebagian aset yang sudah lengkap dokumennya tanpa harus menunggu kelengkapan dokumen seluruh agunan.

             Cukup jelas.

        Cukup jelas.

       Cukup jelas.

  Cukup jelas.

Yang dimaksud dengan penyelesaian oleh sektor privat (private sector solution) adalah penanganan penyelesaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait atau tidak terkait dengan usaha kegiatan bank/LKBB dimaksud termasuk antara lain badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta. 

Insentif yang dimaksud pada ayat ini antara lain insentif fiskal dan fasilitas relaksasi peraturan perundangan.

       Ayat (1)

          Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

       Ayat (2)

          Cukup jelas.

       Ayat (3)

          Cukup jelas.

       Ayat (4)

          Cukup jelas.

       Ayat (5)

Pembelian SBN di pasar primer oleh Bank Indonesia adalah ditujukan untuk membiayai kebijakan pencegahan dan penanganan Krisis melalui:

a.        Pemberian FPD;

b.        Pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS; dan/atau

c.         Pemberian pinjaman atau penyertaan modal sementara Pemerintah kepada LKBB.

       Ayat (6)

          Cukup jelas.

       Ayat (7)

          Cukup jelas.

       Cukup jelas.

       Cukup jelas.

       Cukup jelas.

       Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4907