Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah

SIAPA yang tidak ingin memiliki anak yang pintar. Namun, ada kalanya anak malas belajar, apalagi mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Padahal PR sangat penting dalam proses belajar.

PR merupakan salah satu instrumen yang dipergunakan guru dalam pembelajaran. PR membantu siswa untuk mengetahui, memiliki keterampilan, dan pemahaman tentang apa yang sedang mereka pelajari. Melalui pemberian PR kepada siswa diharapkan proses pencapaian tujuan pembelajaran berjalan dua arah yaitu di sekolah dan di rumah.

Sebenarnya, PR yang diberikan bermanfaat untuk anak agar dapat berlatih mempunyai rasa tanggung jawab terhadap suatu tugas. PR akan mematangkan konsep anak atas pelajaran yang sudah diperoleh di sekolah. Itu sebabnya, PR biasanya berupa latihan soal atau prakarya sederhana.

PR juga sangat bermanfaat terutama saat ada waktu sekolah yang terpotong hari libur nasional, studi wisata, maupun kejadian rutin lain di sekolah. Sementara di satu sisi, tuntutan kurikulum terus berjalan. Itu sebabnya, dari sudut pandang seorang guru, mau tak mau harus mengikuti sistem agar kurikulum yang sudah ditetapkan bisa sesuai.

Untuk mencermati efektivitas sebuah PR bagi para siswa ada beberapa hal yang penting diperhatikan. Marzano,R.J & dkk pada 2001 dalam bukunya yang berjudul “Classroom Instruction that Works” menunjukkan bahwa setidaknya ada empat hal penting yang perlu diperhatikan ketika guru memberikan PR kepada siswa.

Pertama, banyaknya pekerjaan rumah sebaiknya berbeda untuk setiap levelnya. Banyaknya PR bagi siswa Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak perlu sebanyak dan seberat dengan PR yang diberikan kepada siswa Sekolah Menegah Atas (SMA) misalnya.

Kedua, keterlibatan orangtua diusahakan seminimal mungkin. Peran orangtua lebih bersifat fasilitator sejauh itu dibutuhkan anak. Ketiga, tujuan setiap PR harus jelas dan dapat diterjemahkan secara konkret. Marzano mengingatkan, setiap bentuk PR adalah berbeda. Tujuan PR yang berbeda mestinya dicapai dengan bentuk soal dan masalah yang berbeda.Tujuan pemberian PR biasanya meliputi dua hal, yakni bersifat praktis persiapan dan untuk sebuah elaborasi atau persiapan materi baru.

Dan keempat, guru mesti memberikan umpan balik (feedback) atas setiap PR yang diberikan. Dalam riset yang dilakukan Marzano, efektivitas dan efisiensi sebuah PR sangat bergantung pada sejauh mana umpan balik yang diberikan guru tersebut. PR yang tidak pernah mendapatkan umpan balik memiliki ”pengaruh” yang lebih rendah daripada yang senantiasa mendapatkan umpan balik.

Para pendidik di Amerika Serikat masih mendebatkan manfaat dari pemberian PR. Namun, Prof. Harris Cooper dari Duke University seperti dilaporkan The Washington Post, yang pernah mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara pencapaian akademis dengan PR, selain membaca, pada murid SD, kini mulai mengubah pola pikirnya. Kali ini Cooper mengatakan hal yang berbeda.

Dia menyatakan, ada bukti-bukti yang menunjukkan pelajar kelas 2 hingga 5 SD lebih baik terhadap tes, saat mereka mengerjakan PR dengan kemampuan dasar yang berkaitan secara langsung dengan tes. Cooper yang juga seorang psikolog dan Direktur Duke’s Program in Education mengatakan, pelajar sekolah menengah sebaiknya tidak menghabiskan lebih dari dua jam setiap malam berkutat dengan buku.

Sementara murid di kelas pertengahan sebaiknya menghentikannya saat sudah belajar selama 90 menit. Rata-rata anak SD mengerjakan PR 15-60 menit. Sementara murid sekolah menengah menyelesaikan PR bisa sampai hitungan jam dalam satu malam.

“Selain bermanfaat bagi anak, PR juga menjadi media perekat antara orangtua dan anak. Setiap akhir minggu, orangtua dapat memanfaatkan PR untuk kembali menjalin tali kasih yang sempat renggang selama seminggu karena kesibukan bekerja,” katanya.

Lalu bagaimana cara orangtua agar anak mau mengerjakan PR dengan nyaman dan mudah? Menurut Psikolog Marie Hartwell Walker, Ed.D, orangtua perlu terus memberi pengawasan. Untuk membantu anak secara efektif, orangtua perlu berkomitmen terhadap proses. Kalau saat masih anak-anak, Anda menjadi pelajar yang berhasil, tak ada salahnya menyalurkan antusiasme yang lama terhadap tugas anak.

Namun, bila Anda mengalami masa sulit di sekolah dan tidak menyukai PR, perlihatkan perubahan perilaku yang Anda alami terhadap anak. Berikan kesempatan kedua pada anak bila dia mengalami hal yang sama.

“Dengan bantuan Anda, anak dapat meraih pengalaman berbeda secara keseluruhan dengan sekolah Anda dulu,” tuturnya.

Lalu, lanjut dia, sediakan waktu tenang. Cobalah menciptakan waktu tersebut setiap hari. Namun, pertimbangkan pula kebutuhan anak. Beberapa anak merasa lebih baik mengerjakan PR begitu tiba di rumah, karena masih bisa mengikuti ritme sekolah. Ada pula yang perlu waktu cukup lama sebeium ia mampu berkonsentrasi pada PR.

“Yang penting adalah mengatur dan mempertahankan waktu rutin itu. Katakanlah, dari pukul 19.00 sampai 20.30 malam menjadi waktu tenang bagi setiap anggota keluarga. Tidak ada siaran televisi, telepon, video games, dan lain-lain,” ujar Marie.

Selain itu, Marie meminta orangtua untuk menjadi panutan. Anak-anak belajar melalui contoh. Selama waktu tenang, orangtua bisa melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan di kantor. Salah satunya, menyiapkan bahan presentasi. Kalau anak sedang tidak ada PR, dorong dia untuk membaca buku, baik sendiri maupun bersama-sama.

Orangtua juga harus menemani anak membuat PR. Tak cukup hanya berkoar-koar meminta anak menyelesaikan PR-nya. Anda sebaiknya ada di samping anak saat dia membuat PR.

“Orangtua bisa membantu atau menemani anak saat mengerjakan PR. Sah-sah saja kalau anak menginginkan Anda melihat PR-nya setiap beberapa menit. Setiap anak ingin bahwa apa yang dia lakukan juga penting bagi orangtuanya,” terangnya.

Meski menemani, dia menegaskan orangtua jangan menyelesaikan semua PR anak. Tidak akan banyak membantu bila orangtua terlalu menolong anak mengerjakan seluruh PR. Guru juga perlu tahu apa yang dikerjakan anak dan apa yang tidak diketahui anak.

Mereka hanya bisa mengetahuinya bila melihat hasil kerja dan mengoreksi saat terjadi kesalahan. Bisa jadi, sebagai orangtua, Anda ingin membantu anak untuk mendapat nilai yang baik.

“Namun, percayalah, membantu anak secara berlebihan tidak akan menolong mereka mempelajari materi tersebut,” imbuh Marie.

(ftr)

Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah

By: AnnVP on DeviantArt

Bisa dibayangkan, kalau ada anak SD yang “nyasar” ke sini, senyuman ­kiyut-nya pasti muncul. Hehe…

Sungguh, tulisan ini tak berangkat dari pengalaman burukku tentang PR di masa SD dulu. Malah, daku tak terlalu ingat. Hanya saja, kebetulan dua keponakanku merupakan murid Sekolah Dasar.

Daku kadang tercenung ketika mereka asyik bermain, lalu orang tuanya datang tergopoh-gopoh, hanya untuk mewartakan kalau mereka masih memiliki PR yang musti dikerjakan. Walau masih anak-anak, tapi mereka juga tentu saja sudah memiliki yang namanya mood atau suasana hati. Retaklah selera bermain mereka kala itu. Duh!

Kita, orang yang lebih dewasa, secara tidak langsung sudah merenggut HAA aka Hak Azasi Anak, bukan? Untuk bermain, maksudnya.

~

Setelah searching, daku “bertemu” dengan Harris Coopers. Beliau mengklaim sudah melakukan penelitian mendalam terhadap PR selama 25 tahun lamanya. Beliau juga sudah menerbitkan buku terkait, dengan judul “The Battle over Homework: Common Ground for Administrators, Teachers, and Parents”. Hasilnya tentu terurai panjang, ya. Tapi intinya;

“PR itu meluluhlantakkan siswa, khususnya yang masih SD.”

Penemuan Pak Coopers memang anti-mainstream. Pasti ada pengajar, pendidik, atau orang tua yang kontra. Namun tidak dengan seorang profesor pendidikan di Universitas Arizona, Etta Kralovec. Beliau juga bilang,

Baca Juga :  5 Amalan Puasa Untuk Wanita Haid, Sudah Jangan Sedih...

“PR itu ndak ada untungnya bagi siswa SD.”

Baiklah… daku juga penasaran, kenapa PR itu bisa berdampak kurang baik sama anak SD, ya? Jom!

#1. Pandangan Anak Sama Sekolah Jadi Negatif

Namanya juga anak-anak, sekolah tentu masih menjadi hal yang cukup asing. Mereka perlu pendekatan dan adaptasi agar bisa menerima atau menyukai hal-ihwal sekolah. Kalau bisa, guru mustinya menanamkan kesan menyenangkan. Hal tersebut bisa diciptakan dengan proses belajar-mengajar yang fun.

Sayangnya, PR kadang membuat mereka stress atau terbebani. Jadinya mereka akan sedikit kesulitan untuk mencintai sekolah. Mereka menganggap kalau sekolah itu enggak asyik dan bikin pusing. Bahkan, bukan tidak mungkin kalau anak justeru akan balik membenci, memusuhi, bahkan melawan.

#2. Mengancam Hubungan Anak dan PR di Masa Depan

Pekerjaan Rumah mulai menunjukkan manfaatnya ketika level pendidikan meningkat. Jadi kalau anak SD tidak memerlukan PR, anak SMP atau SMA justeru mesti membawa “oleh-oleh sekolah” tersebut. Namun kalau sejak SD saja sudah kurang suka dengan PR dan sekolah, bagaimana nantinya?

#3. PR Sebelum Tidur? No!

Sebagian orang tua memberi keleluasaan bermain pada anak-anaknya. Hanya saja ketika malam tiba, mereka akan menjadi “alarm PR”. Anak-anak yang pulang mengaji, yang sudah menguap, yang pengin dibacakan dongeng, bahkan yang sedang sikat gigi pun akan dihalang-halangi waktu tidurnya sebelum mengerjakan PR. Padahal, apa iya PR adalah sesuatu yang mereka pengin sebelum beristirahat? Sepertinya tidak, ya?! Seperti halnya orang dewasa, anak-anak pun perlu relaksasi di malam hari.

Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah

Via: kidspot.com.au

#4. Tujuan untuk Bersikap “Tanggung Jawab” Bisa Lenyap

Menugaskan PR itu bermanfaat agar anak belajar bertanggung jawab. Hal ini lebih berlaku untuk siswa dengan level pendidikan lebih tinggi dari SD, ya. Kalau sudah bicara tentang PR, anak-anak SD lebih sering diingatkan bahkan “diancam” orang tua, ketimbang dengan mengerjakannya karena panggilan jiwa. Mereka lebih fokus pada bermain, yang memang sudah menjadi haknya. Lagipula, mereka sudah biasa dengan orang tua yang suka mengingatkan PR, khususnya di malam hari sebelum tidur.

#5. Anak Terancam Merasakan “Masa Kecil Kurang Bahagia”

Sumber kebahagiaan manusia memang banyak ragamnya. Namun bagi anak-anak, kebahagiaan itu masih sangat simpel. Beberapa dari sekian sumber kebahagiaan itu adalah… mereka bisa bermain, melakukan aktivitas fisik, bersama teman-teman, dan berada di luar. Selain having fun, mereka juga memang memerlukan “pelampiasan” energi yang masih berapi-api. Olahraga juga, bukan? Kalau momen-momen tersebut terusik karena kehadiran PR, alangkah malangnya..!

Baca Juga :  7 Alasan Kenapa Minum Kopi Bisa Bikin Panjang Umur

#6. Anak-anak Harus Istirahat

Selain sekolah, seyogyanya anak-anak itu menikmati waktu dengan bermain dan mulai mengembangkan proses bersosial. Aktivitas itu saja sudah membuat mereka lelah. Karenanya, mereka berhak untuk beristirahat dengan baik.

Sementara itu, kebiasaan mengerjakan PR di malam hari membiasakan mereka untuk tidur agak larut. Apalagi kalau orang tua menerapkan aturan “pokoknya selesaikan PR dulu!” terhadap mereka. Padahal besoknya mereka musti berangkat dan menghadapi serangkaian aktivitas sekolah lagi. Belum lagi kalau yang anaknya sudah aktif dengan aneka kegiatan les juga? Tentunya mereka semakin butuh akan rehat yang berkualitas, ya?

Well, tentu saja, guru dan orang tua memiliki niat baik ketika memberikan PR pada anak. Namun kadang kita luput dengan kenyataan, kalau anak-anak SD masih dalam tahap “penjajakan” dengan dunia sekolah. Alangkah baiknya mereka dipupuk dengan kesan menyenangkan, dan pastikan kalau masa kanak-kanaknya benar-benar dinikmati dengan bijak. 6 Alasan Kenapa Pemberian PR itu Kurang Baik Bagi Siswa SD. #RD

  • Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah
  • Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah
  • Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah
  • Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah
  • Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah
  • Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah
  • Tujuan memberikan PR kepada siswa pada zaman dahulu adalah