Tujuan dari tes shuttle run lari ambil shuttlecock adalah

PENGARUH LATIHAN SHUTTLE RUN DAN LARI ZIG-ZAG TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN GERAK SHADOW 6 TITIK ATLET BULUTANGKIS USIA 11-13 TAHUN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Fajar Wicaksono NIM. 10602241011 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA JURUSAN PENDIDIKAN KEPELATIHAN FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

ii

iii

iv

MOTTO Sukses tak akan datang bagi mereka yang hanya menunggu dan tak berbuat apa-apa, tapi sukses akan datang bagi mereka yang selalu berusaha mewujudkan mimpinya. Selalu berusaha maksimal dan berdoa, karena tidak ada skenario terindah kecuali skenario ALLAH SWT. v

PERSEMBAHAN Karya kecil ini kupersembahkan untuk: Kedua orang tuaku yang tercinta, Bapak Sukardi dan Ibu Tutik Widi Lestari yang dengan segenap jiwa raga selalu menyayangi, mencintai, mendo akan, menjaga serta memberikan motivasi dan pengorbanan yang tak ternilai. Teman-teman serta sahabatku yang telah membantu terselesaikannya karya ini. Almameterku sebagai tempat untukku meraih pendidikan S1 vi

PENGARUH LATIHAN SHUTTLE RUN DAN LARI ZIG-ZAG TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN GERAK SHADOW 6 TITIK ATLET BULUTANGKIS USIA 11-13 TAHUN Oleh: Fajar Wicaksono 10602241011 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan shuttle run dan lari zig-zag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun, mengetahui perbedaan pengaruh latihan shuttle run dan lari zig-zag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik, serta untuk mengetahui metode latihan manakah yang lebih efektif untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan desain penelitian two group pretest-posttest design. Populasi dalam penelitian ini adalah atlet PB Rajawali tahun 2013 yang berjumlah 37 atlet. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan purposive sample dan sampel berjumlah 26 atlet. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan tes rangkaian olah kaki yang dikemukakan oleh Tohar. Teknik analisis data menggunakan uji normalitas dan uji homogenitas, sedangkan uji hipotesis mengunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: ada pengaruh latihan shuttle run terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun. Hal itu dibuktikan dengan diperolehnya nilai t sebesar 9,461 dengan signifikansi hitung sebesar 0,000 < 0,05 pada uji paired samples t test terhadap data pretest dan posttest shadow 6 titik pada kelompok shuttle run. Ada pengaruh latihan lari zig-zag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun. Hal itu dibuktikan dengan diperolehnya nilai t sebesar 3,593 dengan signifikansi 0,004 < 0,05 pada uji paired sample t test terhadap data pretest dan posttest shadow 6 titik pada kelompok lari zig-zag. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pengaruh latihan shuttle run dengan latihan lari zig-zag dalam peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun. Hal itu dibuktikan dengan diperolehnya nilai t sebesar 3,005 dan signifikansi 0,006 < 0,05 pada uji independent sample t test, serta latihan shuttle run lebih efektif dari pada latihan lari zig-zag dalam upaya meningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun. Hal itu dibuktikan dengan diperolehnya data peningkatan kelompok shuttle run memiliki mean sebesar 2.54, dan peningkatan kelompok lari zig-zag memiliki mean sebesar 1.23, atau (2.54 >1.23). Kata kunci: Shuttle run, Lari Zig-Zag, Shadow 6 Titik, Bulutangkis vii

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kasih dan rahmat-nya sehingga penyusunan tugas akhir skripsi dengan judul Pengaruh Latihan Shuttle Run Dan Lari Zig-Zag Terhadap Peningkatan Kelincahan Gerak Shadow 6 Titik Atlet Bulutangkis Usia 11-13 Tahun dapat diselesaikan dengan lancar. Selesainya penyusunan tugas akhir skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A., yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk belajar di FIK Universitas Negeri Yogyakarta. 2. Bapak Drs. Rumpis Agus Sudarko, M.S, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian. 3. Ibu Dra. Endang Rini Sukamti, M.S, Ketua Jurusan PKL, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta. 4. Bapak Tri Hadi Karyono, M.Or Penasehat Akademik. 5. Ibu Ch. Fajar Sriwahyuniati M.Or Pembimbing skripsi, yang telah dengan ikhlas memberikan ilmu, tenaga, dan waktunya untuk selalu memberikan yang terbaik dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. viii

ix

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Identifikasi Masalah... 4 C. Batasan Masalah... 5 D. Rumusan Masalah... 5 E. Tujuan Penelitian... 6 F. Manfaat Penelitian... 6 BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori... 7 1. Hakikat Latihan... 7 2. Prinsip-Prinsip Latihan... 11 3. Hakikat Shuttle Run... 12 4. Hakikat Lari Zig-Zag... 14 5. Hakikat Kelincahan... 15 6. Hakikat Shadow... 17 7. Hakikat Bulutangkis... 18 8. Karakteristik Anak Usia 11-13 Tahun... 21 B. Penelitian Yang Relevan... 26 C. Kerangka Berfikir... 28 D. Hipotesis... 30 x

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian... 31 B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 32 C. Populasi dan Sampel Penelitian... 37 D. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data... 39 E. Teknik Analisis Data... 42 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Tempat, Waktu, dan Subjek Penelitian... 44 B. Deskripsi Data Penelitian... 45 C. Uji Prasyarat Penelitian... 50 D. Uji Hipotesis Penelitian... 53 E. Pembahasan... 59 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 66 B. Implikasi Hasil Penelitian... 67 C. Keterbatasan Hasil Penelitian... 68 D. Saran-Saran... 68 DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN... 72 xi

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Ordinal Pairing... 38 Tabel 2. Data Hasil Penelitian Pada Kelompok Shuttle Run... 46 Tabel 3. Analisis Statistik Data Hasil Penelitian Pada Kelompok Shuttle Run... 47 Tabel 4. Data Hasil Penelitian Pada Kelompok Lari Zig-Zag... 48 Tabel 5. Analisis Statistik Data Hasil Penelitian Pada Kelompok Lari Zig-Zag... 49 Tabel 6. Hasil Uji Normalitas... 51 Tabel 7. Hasil Uji Homogenitas... 52 Tabel 8 Hasil Penghitungan Paired Sample t Test Pretest-Posttest Kelompok Shuttle Run dan Kelompok Lari Zig-Zag 54 Tabel 9. Hasil Penghitungan Independent Sample t Test Data Peningkatan Kelompok Shuttle Run dengan Data Peningkatan Kelompok Lari Zig-zag... 57 xii

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Desain Penelitian... 31 Gambar 2. Bidang Sasaran Tes Rangkaian Olah Kaki... 41 Gambar 3. Diagram Data Batang Rata-Rata Hasil Shadow 6 Titik Pretest dan Posttest Shadow 6 Titik Pada Kelompok Shuttle Run. 47 Gambar 4. Diagram Batang Data Rata-Rata Hasil Shadow 6 Titik Pretest dan Posttest Shadow 6 Titik Pada Kelompok Lari Zig-Zag... 50 xiii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Surat Permohonan Ijin Penelitian... 73 Lampiran 2 Tabel Data Hasil Pre-test dan Post-test Shadow 6 Titik... 74 Lampiran 3. Tabel Data Hasil Pre-test dan Post-test Shadow 6 Titik Kelompok Shuttle Run... 75 Lampiran 4. Tabel Data Hasil Pre-test dan Post-test Shadow 6 Titik Kelompok Lari Zig-Zag... 76 Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas... 77 Lampiran 6. Hasil Paired Samples t Test... 80 Lampiran 7. Hasil Penghitungan Independent Samples t Test... 82 Lampiran 8. Daftar Hadir Atlet Mengikuti Treatment... 83 Lampiran 9. Surat Kalibrasi Stopwatch... 84 Lampiran10. Dokumentasi Penelitian... 85 Lampiran 11. Sesi Latihan... 90 xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bulutangkis merupakan permainan yang kompleks. Pemain yang bagus atau pun hebat harus memiliki penguasaan fisik, teknik dan taktik yang baik sebagai penunjang performanya dalam bertanding agar dapat memenangkan suatu pertandingan. Pada permainan bulutangkis ada beberapa faktor yang sangat mendukung terwujudnya kemampuan bermain yang bagus, baik itu faktor fisik, teknik maupun faktor taktik seperti yang telah dikatakan di atas. Faktor fisik sangat dominan dan penting sebagai unsur dasar yang harus dimiliki dengan baik oleh seorang pemain. Namun hal ini kontradiksi dengan apa yang ada, banyak pelatih dan pemain kurang memperhatikan fisik, hanya mengedepankan latihan teknik dan taktik saja. Banyak orang beranggapan bahwa latihan fisik hanya membuat lelah dan membosankan, sehingga para pemain bulutangkis rata-rata lemah dalam fisik, kurang agresif, dan kurang lincah (http:// journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel) Menurut Djoko Pekik Irianto (2002: 65) Prestasi merupakan akumulasi dari kualitas fisik, teknik, taktik, dan kematangan psikis atau mental, sehingga aspek tersebut perlu dipersiapkan secara menyeluruh, sebab satu aspek akan menentukan aspek lainnya. Menurut Sukadiyanto (2005: 1) pada prinsipnya latihan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas fisik, kemampuan 1

fungsional peralatan tubuh, dan kualitas psikis anak latih, begitu pula pada cabang olahraga bulutangkis, prestasi dapat tercapai apabila atlet telah menguasai beberapa faktor, yaitu kondisi fisik, teknik, taktik, dan mental. Prinsip dasar dalam bermain bulutangkis adalah memukul shuttlecock melewati atas net dan masuk ke dalam lapangan permainan lawan. Pada saat memukul shuttlecock harus diusahakan agar menyulitkan lawan dalam pengembaliannya. Untuk mempersulit lawan dalam memukul shuttlecock, ada beberapa teknik dasar yaitu lob forehand dan lob backhand, drop shot, smash, netting, dan service. Adapun penggunaan taktik dalam permainan bulutangkis yaitu bertahan dan menyerang atau kombinasi dari kedua-duanya. Untuk itu taktik dasar bermain bulutangkis adalah menghindari terjadinya kesalahan yang dilakukan sendiri, seperti memukul shuttlecock keluar dari daerah permainan atau memukul shuttlecock menyangkut di net, dengan demikian agar atlet dapat menerapkan teknik dan taktik dengan baik, maka diperlukan kondisi fisik yang bagus, adapun kondisi fisik yang diperlukan oleh atlet bulutangkis yaitu daya tahan, kecepatan, kekuatan, fleksibilitas dan koordinasi. Karakteristik dari permainan bulutangkis adalah permainan dengan mengejar dan menjangkau shuttlecock kemanapun arahnya dan berusaha untuk memukul shuttlecock supaya tidak jatuh di daerah permainan sendiri. Dengan demikian pemain harus bergerak dengan cepat dan lincah untuk mengejar dan menjangkau shuttlecock, sehingga shuttlecock dapat dipukul dengan sempurna dan jatuh di daerah permainan lawan. Dengan 2

demikian faktor kelincahan sangat penting dalam permainan bulutangkis, karena kelincahan sangat diperlukan untuk menguasai teknik dan taktik yang lebih komplek yang dapat dilihat dalam situasi permainan bulutangkis antara lain bergerak cepat dan lincah untuk menjangkau shuttlecock agar diperoleh pukulan yang baik dan akurat, adapun cara untuk meningkatkan kelincahan seorang atlet menurut Djoko Pekik Irianto,dkk (2009: 69) yaitu shuttle run, lari zig-zag, kompas run, floor speed (duduk dan berdiri), dan obstacle run. Latihan kelincahan bertujuan untuk meningkatkan gerakan shadow pada permainan bulutangkis. Gerakan shadow merupakan gerakan yang sangat penting dalam permainan bulutangkis, karena gerakan ini digunakan untuk menjangkau dan memukul shuttlecock dengan sempurna yang berada di daerah permainan sendiri. Saat ini seorang pelatih jarang menggunakan variasi latihan untuk meningkatkan kelincahan atlet dalam melakukan gerak shadow. Berdasarkan hasil dari pengamatan yang telah dilakukan pada tanggal 15 Februari hingga 3 Mei 2013 di klub bulutangkis PB. Rajawali Yogyakarta, model latihan untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik menggunakan jenis lari sprint yang dikombinasikan dengan lari mundur, shuttle run dan lari zig-zag. Akan tetapi, jenis latihan yang paling sering dilakukan yaitu lari sprint yang dikombinasikan dengan lari mundur, sedangkan jenis latihan shuttle run dan lari zig-zag jarang dilatihkan oleh 3

pelatih, sehingga latihan untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik di PB. Rajawali terlihat kurang variatif. Berdasarkan fakta di atas, maka akan menyebabkan: (1) atlet merasa jenuh dengan bentuk latihan yang sering dilakukan, (2) berdampak pada cara latihan yang kurang serius, serta (3) atlet kurang lincah dalam melakukan gerak shadow 6 titik. Berdasarkan kenyataan yang terjadi di PB. Rajawali, maka penelitian ini perlu dilakukan agar dapat diketahui model latihan yang paling efektif antara shuttle run dan lari zig-zag dalam upaya meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis untuk usia 11-13 tahun di PB. Rajawali Yogyakarta. Oleh sebab itu, penting untuk diuji dan dicari solusinya dengan penelitian yang berjudul Pengaruh Latihan Shuttle Run dan Lari Zig-Zag Terhadap Peningkatan Kelincahan Gerak Shadow 6 Titik Atlet Bulutangkis Usia 11-13 Tahun. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat di identifikasikan sebagai berikut: 1. Model latihan shuttle run dan lari zig-zag jarang dilatihkan. 2. Atlet merasa jenuh dengan model latihan yang sering diberikan. 3. Latihan untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik di PB. Rajawali kurang variatif. 4

4. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, atlet di PB. Rajawali kurang lincah dalam melakukan gerak shadow 6 titik. C. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, serta untuk menghindari salah penafsiran dalam penelitian ini, maka dibuat batasan permasalahan. Permasalahan dalam penelitian ini hanya membahas pengaruh latihan shuttle run dan lari zigzag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun D. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah di atas, penulis akan mengajukan perumusan masalah yang nantinya akan terjawab melalui penelitian yang akan penulis lakukan. Adapun perumusan yang penulis ajukan adalah: 1. Adakah pengaruh latihan shuttle run terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun di PB. Rajawali? 2. Adakah pengaruh latihan lari zig-zag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun? 3. Adakah perbedaan pengaruh latihan shuttle run dan lari zig-zag dalam peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik serta metode latihan manakah yang lebih efektif untuk meningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun? 5

E. Tujuan Penelitian ini: Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh latihan shuttle run terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun 2. Untuk mengetahui pengaruh latihan lari zig-zag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun 3. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh latihan shuttle run dan lari zig-zag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik, serta untuk mengetahui metode latihan manakah yang lebih efektif untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun F. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengetahui metode latihan manakah yang lebih efektif antara shuttle run dan lari zig-zag untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet usia 11-13 tahun, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para pelatih untuk melatih fisik atlet terutama untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik. 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Hakikat Latihan Latihan sangat penting dilakukan dalam membantu meningkatan kemampuan melakukan aktifitas olahraga. Untuk meningkatan prestasi, latihan haruslah berpedoman pada latihan. Menurut Bompa (1994: 5) latihan adalah suatu aktifitas olahraga yang dilakukan secara sistematis dalam watu yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual mengarah kepada ciri- ciri fungsi fisiologis dan psikologis untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Menurut Djoko Pekik Irianto, dkk (2009: 1) latihan adalah proses sistematis untuk menyempurnakan kualitas kinerja atlet berupa : kebugaran, keterampilan, dan kapasitas energi. Menurut Sukadiyanto (2002: 5) Istilah latihan berasal dari kata dalam baha inggris yang dapat mengandung beberapa makna seperti : practice, exercises, dan training. Dalam istilah bahasa Indonesia kata-kata tersebut semuanya mempunyai arti yang sama yaitu latihan. Namun, dalam bahasa inggris kenyataannya setiap kata tersebut memiliki maksud yang berbedabeda. Dari beberapa istilah tersebut, setelah diapliksikan di lapangan memang nmpak sama kegiatannya, yaitu aktivitas fisik. 7

Harsono (1988: 101) berpendapat bahwa training sebagai proses sistematis dari berlatih atau bekerja yang dilaukan secara berulangulang dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan atau pekerjaannya. Menurut Bompa (1994: 4) latihan adalah upaya seseorang mempersiapkan dirinya untuk tujuan tertentu. Menurut Sukadiyanto (2002: 6) Pengertian latihan yang berasal dari kata practice adalah aktivitas untuk meningkatkan keterampilan (kemahiran) berolahraga dengan menggunakan berbagai pralatan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan cabang olahraganya. Artinya, selama dalam proses kegiatan berlatih melatih agar dapat menguasai keterampilan gerak cabang olahraganya selalu dibantu dengan menggunakan berbagai peralatan pendukung. Sebagai contoh, apabila seorang petenis agar dapat melakukan ground-strokes secara akurat dan tepat pada sasaran yang diinginkan, maka diperlukan practice dalam memukul bola secara konsisten pada target. Untuk itu diperlukan alat bantu seperti kaleng bekas tempat bola yang diletakkan pada target berjarak 1 meter dari garis tunggal dan 1 meter dari garis belakang. Pemain tersebut berusaha memukul bola yang diumpan pelatih atau rally dengan temannya jatuh pada target yang ditentukan. Dalam proses berlatih melatih practice sifatnya sebagai bagian dari proses latihan yang berasal dari kata exercises. Artinya, dalam setiap proses latihan yang berasal dari kata exercises pasti ada bentuk latihan practice. 8

Pengertian latihan yang berasal dari kata exercises menurut Sukadiyanto (2002: 6) adalah perangkat utama dalam proses latihan harian untuk meningkatakan kualitas fungsi system organ tubuh manusia, sehingga memudahkan olahragawan dalam menyempurnaan geraknya. Latihan exercises merupakan materi latihan yang dirancang dan disusun oleh pelatih untuk satu sesi latihan atau satu kali tatap muka dalam latihan. Misalnya, susunan materi latihan dalam satu kali tatap muka pada umumnya berisikan materi yang antara lain: (1) Pembukaan/pengantar latihan. (2) Pemanasan (warming up). (3) Latihan inti. (4) Latihan tambahan (suplemen), dan (5) cooling down. Menurut Sukadiyanto (2002: 7) latihan yang berasal dari kata training adalah suatu proses penyempurnaan kemampuan berolahraga yang berisikan meteri teori dan praktek, menggunakan metode, dan aturan pelaksanaan dengan pendekatan ilmiah, memakai prinsip pendidikan yang terencana dan teratur, sehingga tujuan latihan dapat tercapai tepat pada waktunya. Berdasarkan uraian tentang pengertian latihan yang meliputi practice, exercises, dan training, maka latihan selalu memiliki ciri-ciri. Menurut Sukadiyanto (2002: 8-9) proses latihan selalu bercirikan antara lain: (1) Suatu proses untuk mencapai tingkat kemampuan yang lebih baik dalam berolahrga, yang memerlukan waktu tertentu (pentahapan), serta memerlukan perencanaan yang tepat dan cermat. (2) Proses latihan harus teratur dan bersifat progresif. Teratur 9

maksudnya latihan harus dilakukan secara ajeg, maju, dan berkelanjutan (kontinyu). Sedang bersifat progresif maksudnya materi latihan diberikan dari yang mudah ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang lebih sulit (komplek), dan dari yang ringan ke yang lebih berat. (3) Pada setiap satu kali tatap muka (satu sesi/satu unit latihan) harus memiliki tujuan dan sasaran. (4) Materi latihan harus berisikan materi teori dan praktek, agar pemahaman dan penguasaan keterampilan menjadi relatif permanen. (5) Menggunakan metode atau model-model latihan tertentu, yaitu cara paling efektif yang direncanakan secara bertahap dengan memperhitungkan faktor kesulitan, kompleksitas gerak, dan penekanan pada sasaran latihan. Adapun sasaran dan tujuan latihan menurut Sukadiyanto (2002: 10) antara lain untuk (1) meningkatkan kualitas fisik dasar secara umum dan menyeluruh, (2) mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik yang khusus, (3) menambah dan menyempurnakan teknik, (4) meningktkan kualitas dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding. Menurut Djoko Pekik Irianto, dkk (2009: 2) sasaran latihan meliputi (1) perkembangan fisik multilateral, (2) perkembangan fisik khusus cabang olahraga, (3) faktor teknik, (4) faktor taktik, (5) aspek psikologis, (6) faktor kesehatan, (5) pencegahan cedera 10

Sudradjat Prawirasaputra (2000: 5) berpendapat bahwa tujuan utama latihan adalah untuk mengembangkan keterampilan dan performa atlet, sedangkan tujuan umum latihan disamping memperhatihan faktor keselamatan (pencegahan cedera) dan keselamatan, mencakup pengembangan dan penyempurnaan: (1) fisik secara multilateral, (2) fisik secara khusus sesuai dengan tuntutan kebutuhan cabang olahraganya, (3) teknik cabang olahraganya, (4) taktik/strategi yang dibutuhkan, (5) kualitas kesiapan bertanding, (6) persiapan optimal olahraga beregu, (7) keadaan kesehatan atlet, (8) pengetahuan atlet tentang fisiologi, psikologi, rencana program, nutrisi, serta masa regenerasi 2. Prinsip - Prinsip Latihan Prinsip latihan adalah landasan konseptual yang merupakan suatu acuan. Latihan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan memiliki tujuan tertentu. Prinsip latihan merupakan landasan konseptual sebagai acuan untuk merancang, melaksanakan dan mengendalikan suatu proses berlatih melatih. Adapun prinsip latihan tersebut menurut Sukadiyanto (2002: 14) meliputi prinsipprinsip: (1) individual, (2) adaptasi (3) beban lebih (overload), (4) beban bersifat progresif, (5) spesifikasi (kekhususan), (6) bervariasi, (7) pemanasan dan pendinginan (warm-up dan cooling down), (8) periodisasi, (9) beban moderat (tidak berlebihan), dan (10) latihan harus sistematis. 11

Menurut Djoko Pekik Irianto, dkk (2009: 7) prinsip latihan meliputi (1) partisipasi aktif, (2) perkembangan multilateral, (3) individual, (4) overload, (5) spesifikasi, (6) kembali asal (revesible), (7) variasi. Menurut Bompa (1994: 29-48) prinsip latihan sebagai berikut: (1) prinsip partisipasi aktif mengikuti latihan, (2) prinsip perkembangan menyeluruh, (3) spesialisasi, (4) prinsip individual, (5) prinsip variasi, (6) model dalam proses latihan, (7) prinsip peningkatan beban. Sudradjat Prawirasaputra, dkk (2000: 16-17) berpendapat bahwa proses pembinaan latihan adalah garapan yang palig penting bagi seorang pelatih dalam mempersiapkan atlet binaannya yang handal dan menentukan tinggi rendahnya prestasi yang dicapainya kelak. Dalam pelaksanaan proses latihan tersebut, salah satu hal yang harus dipegang secara teguh oleh seorang pelatih yaitu pengetahuan tentang prinsipprinsip latihan. Bila prinsip latihan tersebut dilaksanakan dengan konsekwen maka prestasi optimal bukan tidakmungkin akan lebih lancer tercapai 3. Hakikat Shuttle Run Menurut Remmy Muchtar (1992: 91) salah satu bentuk latihan untuk meningkatkan kemampuan kelincahan yaitu shuttle run atau lari bolak-balik. Bentuk shuttle run atau lari bolak-balik secepat-cepatnya dimulai dari satu titik ke titik lainnya menempuh jarak tertentu.unsur gerak dalam latihan shuttle run yaitu lari dengan mengubah arah dan 12

posisi tubuh, kecepatan, keseimbangan merupakan komponen gerak kelincahan sehingga latihan ini dapat digunakan untuk meningkatkan kelincahan. Kelebihan latihan shuttle run adalah latihan ini berorientasi pada footwork, speed (kecepatan) banyak mendapat porsi dalam latihan ini. Menurut Harsono (1988: 172) yang perlu diperhatikan bahwa dalam latihan shuttle run, yaitu: a) Jarak antara kedua titik jangan terlalu jauh, misalnya 10 m, maka ada kemungkinan bahwa setelah lari beberapa kali bolak balik dia tidak mampu lagi untuk melanjutkan larinya, dan atau membalikkan badannya dengan cepat disebabkan karena faktor kelelahan. Dan kalau kelelahan mempengaruhi kecepatan larinya, maka latihan tersebut sudah tidak sahih (valid) lagi untuk digunakan sebagai latihan kelincahan. b) Jumlah ulangan lari bolak balik jangan terlalu banyak, sehingga menyebabkan atlet lelah. Kalau ulangan larinya terlalu banyak maka menyebabkan seperti di atas. Faktor kelelahan akan mempengaruhi apa yang sebetulnya ingin dilatih yaitu kelincahan. Menurut Harsono (1988: 172) keuntungan dari shuttle run yaitu, secara psikis gerakan shuttle run lebih mudah di ingat sehingga memungkinkan atlet dapat berkonsentrasi penuh pada kecepatan lari, serta bila dilakukan terus menerus atlet terbiasa dengan sudut belok yang tajam (180 derajat), lebih tajam di banding dengan sudut belok 13

lari zig-zag (45 dan 90 derajat), sedangkan kerugian dari shuttle run adalah pada waktu melakukan latihan, kemungkinan atlet cidera otot lebih besar karena shuttle run menuntut kekuatan otot untuk berhenti secara mendadak lalu berbelok arah untuk berlari kearah yang berlawanan, serta banyak membutuhkan konsentrasi pada saat berbalik arah. Hal ini dikarenakan sering terjadi kehilangan keseimbangan. 4. Hakikat Lari Zig-Zag Menurut Siswantoyo (2003: 20) zig-zag run adalah gerakan lari berkelok-kelok mengikuti lintasan. Latihan zig-zag run dapat digunakan untuk meningkatkan kelincahan karena unsur gerak yang terkandung dalam latihan zig-zag run merupakan komponen gerak kelincahan yaitu lari dengan mengubah arah dan posisi tubuh, kecepatan, keseimbangan yang juga merupakan komponen gerak kelincahan. Pada (http:// journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel) lari zig-zag adalah lari dengan cara berbelok-belok mengikuti lintasan (menghindari rintangan baik itu dari kun maupun slop shuttlecock) Menurut Remmy Muchtar (1992: 91) salah satu bentuk latihan untuk meningkatkan kelincahan yaitu lari zig-zag atau lari berkelokkelok. Dalam permainan bulutangkis kecepatan lari dan mengubah arah dengan cepat sangat diperlukan dalam bermain bulutangkis karena permainan bulutangkis identik dengan permainan yang cepat dan terutama permainan tunggal harus sangat menguasai ke enam sudut lapangan tersebut. 14

Bentuk zig-zag run atau lari berkelok-kelok secepatnya melewati rintangan dengan mengejar waktu yang sesingkat-singkatnya menempuh jarak tertentu. Latihan zig-zag run dapat digunakan untuk meningkatkan kelincahan karena unsur gerak yang terkandung dalam latihan zig-zag run merupakan komponen gerak kelincahan yaitu lari dengan mengubah arah, mengubah posisi tubuh, kecepatan dan keseimbangan (http:// journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel). Menurut Harsono (1988: 172) keuntungan zig-zag run yaitu, kemungkinan cidera lebih kecil karena sudut ketajaman karena sudut ketajaman berkelok arah lebih kecil (40 derajat dan 90 derajat), serta banyak membutuhkan koordinasi gerak tubuh, sedangkan kerugian zigzag run adalah secara psikis arah lari perlu pengingatan lebih, serta atlet tidak terbiasa dengan ketajaman sudut lari yang besar. 5. Hakikat Kelincahan Salah satu unsur kondisi fisik yang perlu dikembangkan dalam bulutangkis adalah kelincahan (agility). Menurut Sukadiyanto (2002: 111) kelincahan (agility) adalah kemampuan seseorang utuk berlari cepat dengan mengubah-ubah arahnya. Apabila seorang pemain bulutangkis memiliki kelincahan bagus, maka akan mempermudah pemain untuk mengejar dan menjakau shuttlecock dengan posisi yang benar saat memukul shuttlecock. 15

Menurut Djoko Pekik Irianto, dkk (2009: 68) ketangkasan (kelincahan) adalah keterampilan untuk mengubah arah gerakan tubuh atau bagian tubuh secara tiba-tiba. Kelincahan adalah kemampuan untuk mengubah arah dan posisi tubuh dengan cepat dan tepat pada waktu sedang bergerak, tanpa kehilangan keseimbangan dan kesadaran akan posisi tubuh (Harsono, 2001: 50). Kelincahan menuntut seseorang untuk bisa merubah arah dan posisi tubuh dengan cepat tanpa mengalami gangguan keseimbangan, maka dari itu kelincahan juga tergantung pada keadaan tubuh seseorang, seperti tinggi tubuh, masa tubuh atau berat tubuh, umur, jenis kelamin yang sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kelincahan sangat dibutuhkan oleh seorang pemain bulutangkis. Pemain yang lincah sangat efisien dan mudah untuk mengejar shuttlecock di lapangan bahkan pemain yang lincah juga dapat mengurangi timbulnya cedera. Dalam bulutangkis kelincahan dapat dilihat pada saat atlet bergerak mengejar shuttlecock, lari ke depan ke arah kanan dan kiri, lari ke samping ke arah kanan dan kiri, lari ke belakang ke arah kanan dan kiri yang membutuhkan pergerakan yang sangat cepat dalam merubah arah, akurat tanpa mengurangi keseimbangan tubuhnya agar tidak terjadi keterlambatan saat memukul shuttlecock dan sebelum lawan akan mengembalikan pukulan pemain sudah siap berada di posisi tengah. Gerakan-gerakan lincah atlet 16

tersebut perlu dilatih dengan metode yang benar dan sesuai agar dapat meningkatkan kelincahan atlet dengan baik. 6. Hakikat Shadow Shadow adalah gerakan langkah kaki atau footwork ke sudutsudut lapangan bulutangkis. Shadow adalah salah satu teknik latihan footwork yang sangat efektif tanpa menggunakan shuttlecock. Dalam kamus istilah olahraga dari disebutkan bahwa footwork adalah gerak kaki yang berubah dalam mengatur keseimbangan. Selanjutnya footwork adalah gerakan-gerakan langkah kaki yang mengatur badan untuk menempatkan posisi badan sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam melakukan gerakan memukul kok sesuai dengan posisinya. Sapta Kunta (2010: 26) berpendapat bahwa: Prinsip dasar footwork dalam permainan bulutangkis adalah kaki yang sesuai dengan tangan yang digunakan untuk memegang raket saat memukul selalu berakhir sesuai arah tangan tersebut. Misalnya tangan memukul ke arah depan net, maka langkah akhir kaki yang sesuai tangannya juga di depan, demikian pula saat memukul bola didaerah belakang maka langkah akhir kaki yang sesuai tangannya juga dibelakang. Tujuan dari gerakan kaki atau footwork yang baik ialah agar dapat berpindah tempat atau bergerak seefisien mungkin kesemua bagian lapangan permainan. Menurut Subardjah (2000:27) bahwa footwork adalah gerakan-gerakan langkah kaki yang mengatur badan untuk menempatkan posisi badan sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam melakukan gerakan memukul shuttlecock sesuai dengan 17

posisinya. Agar tujuan dari footwork tercapai, maka diperlukan adanya dukungan dari komponen fisik yang salah satunya adalah kelincahan. Footwork atau langkah kaki merupakan dasar untuk bisa menghasilkan pukulan berkualitas apabila dilakukan dalam posisi baik. Untuk bisa memukul dengan posisi baik, seorang atlet harus memiliki kecepatan gerak ke depan, ke samping, serta ke belakang. Kecepatan gerak kaki tidak bisa dicapai kalau footwork tidak teratur. Adapun keuntungan seorang atlet memiliki footwork bagus antara lain: (1) mampu menghasilkan pukulan berkualitas, (2) sudah berada di tengah lapangan sebelum lawan memukul shuttlecock, (3) cepat berada pada posisi memukul sebelum lawan kembali ke tengah. 7. Hakikat Bulutangkis Menurut Herman Subardjah (2000:13) permainan bulutangkis merupakan permainan yang bersifat individual yang dapat dilakukan dengan cara satu orang melawan satu orang atau dua orang melawan dua orang. Permainan ini menggunakan raket sebagai alat pemukul dan kok (shuttlecock) sebagai objek pukul, lapangan permainan berbentuk segi emapat dan dibatasi oleh net untuk memisahkan antara daerah permainan sendiri dengan daerah permainan lawan. Tujuan permainan bulutangkis adalah berusaha untuk menjatuhkan kok (shuttlecock) di daerah permaianan lawan dan berusaha agar lawan tidak dapat memukul kok (shuttlecock) dan menjatuhkannya di daerah permainan sendiri. 18

Menurut Herman Subardjah (2000: 14) dilihat dari rumpun gerak dan jenis keterampilannya, seluruh gerakan yang ada dalam bulutangkis bersumber dari tiga keterampilan dasar, yaitu lokomotor, non-lokomotor dan manipulatif. Dalam rumpun lokomotor misalnya gerakkan menggeser, melangkah, berlari, memutar badan, dan melompat. Rumpun gerak non-lokomotor misalnya terlihat dari sikap berdiri saat servis atau menerima servis, gerak melenting, menjangkau, atau merubah berbagai posisi badan. Sedangkan untuk rumpun gerak manipulatif terwakili oleh adanya gerakan memukul kok (shuttlecock) dengan raket dari berbagai posisi. Adapun peralatan yang digunakan di dalam permainan bulutangkis yaitu: 1. Net dan Tiang Net atau jaring merupakan pembatas berupa jaring yang membentang antara dua bidang permainan dan diikatkan pada tiang. Menurut Herman Subardjah (2000: 51) net terbuat dari tali halus dan berwarna gelap, lubang-lubangnya berjarak antara 15-20 milimeter. Panjang net disesuaikan dengan lebar lapangan bulutangkis yaitu 6,10 meter, dan lebar net 76 centimeter dengan bagian atasnya memiliki pinggiran pita putih selebar 7,5 centimeter. Tiang net dipancangkan tepat pada titik tengah ujung garis samping bagian lapangan untuk permaianan ganda dengan tinggi tiang 155 centimeter. Net dipasang pada tiang yang 19

tingginya 155 cm dari permukaan lantai. Tinggi net di bagian tengah lapangan berjarak 1,524 m dari permukaan lantai, sedangkan tinggi net di bagian tepi lapangan berjarak 1,55 m di atas garis tepi permaian ganda. 2. Kok (Shuttlecock) Menurut Herman Subardjah (2000:53) shuttlecock harus mempunyai 16 lembar bulu yang ditancapkan pada dasar shuttlecock atau gabus yang dilapisi kaon atau kulit. Panjang bulu shuttlecock antara 64-70 milimeter. Pinggiran bulu-bulu shuttlecock mempunyai lingkaran dengan diameter antara 58-68 milimeter, sedang gabusnya berbentuk bulat bagian bawahnya dengan diameter 25 milimeter. Berat shuttlecock berkisar antara 73-85 grains (4,74-5,50 gram). 3. Raket Menurut Herman Subardjah (2000: 54) raket bulutangkis harus berukuran panjang tidak lebih dari 68 cm. Kepala raket mempunyai panjang 23 cm. Permukaan raket yang dipasang senar berkuran panjang 28 cm dan lebar 22 cm, sedangkan untuk pegangan raket tidak mempunyai ukuran tertentu, tetapi disesuaikan dengan keinginan orang yang menggunakannya. 4. Lapangan 20

Menurut Syahri Alhusin (2007: 15-17) lapangan bulutangkis dapat dibuat diberbagai tempat, bisa di atas tanah, atau saat ini kebanyakan diatas lantai semen atau ubin. Garis-garis batas pada lapangan dibuat dengan warna putih dan warna lainnya. Lebar garis batas lapangan adalah 40 mm (1½). Lapangan bulutangkis berukuran 610 x 1340 cm. Dalam pertandingan bulutangkis mempertandingkan beberapa nomor pertandingn yaitu, tunggal (single), ganda (double), dan ganda campuran (mixed double). Menurut Herman Subardjah (2000: 10-11) kejuaraan tingkat dunia dalam bulutangkis yang diselenggarakan oleh IBF (International Badminton Federation) diantaranya adalah Thomas Cup (beregu putra), Uber Cup (beregu putri), Sudirman Cup (beregu campuran), Kejuaraan Dunia Perorangan (World Badminton Championship) dan Kejuaraan Dunia Yunior (World Badminton Junior of Bimantara Championship). Sedangkan kejuaraan dunia yang di selenggarakan oleh negara tertentu seperti, All England, Japan Open, Indonesia Open, Malaysia Open, Swedia Open, Thailand Open, China Open dan beberapa kejuaraan lainnya. 8. Karakterisitik Anak Usia 11-13 Tahun Pada peraturan pertandingan bulutangkis di Indonesia, anak usia 11-13 tahun masuk dalam kelompok atlet anak-anak dan pemula. Para ahli umumnya sependapat bahwa rentangan masa remaja berlangsung dari sekitar 11-13 tahun sampai 18-20 tahun, Husdarta (2000: 57). 21

Menurut Harold Albert dalam Husdarta (2000: 57) menyatakan bahwa, periode masa remaja itu didefinisikan sebagai suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang semenjak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya awal masa dewasa. Husdarta (2000: 61-62) berpendapat bahwa: Proses perkembangan perilaku dan pribadi individu manusia dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor pembawaan (heridty), kematangan (maturation), dan lingkungan (environment). Termasuk faktor latihan dan mengajar, (training and lerning). Ketiga faktor dominan diatas, senantiasa bervariasi, adanya hal-hal yang menguntungkan, namun juga adanya hal-hal yang menghambat, atau membatasi terhadap lajunya perkembangan individu yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dalam perjalanan awal masa remaja hingga menjelang dewasa, tidak selau berjalan dengan mulus dan lurus. Kemungkinan sebaliknya sangat berliku-liku, tergantung kepada variasi-variasi : salah satu atau dua, atau ketiga faktor dominan tersebut menjadikan masalah ekstrim yang tidak mudah diatasi. Tidak mudah diatasi dalam arti oleh individu yang bersangkutan, oleh para ahli, atau oleh masyarakat secara keseluruhan. Adapun masalah-masalah yang timbul pada masa remaja menurut Husdarta (2000: 62-65) antara lain sebagai berikut: 1. Masalah yang berkenaan denga fisik dan psikomotorik a. Adanya variasi yang sangat mencolok, dalam tempo dan irama kepesatan laju perkembangan fisik antara individu atau kelompok (perempuan lebih cepat satu atau dua tahun dari laki-laki). Hal ini dapat menimbulkan kecanggungan baru dalam pergaulan sehari-hari satu dengan lainnya. b. Perkembangan ukuran-ukuran tinggi dan berat badam yang kurang proporsional, yang akan menimbulkan ekses psikologi terhadap remaja yang bersangkutan. Munculnya suatu cemoohan, seperti: congkarang, si gendut dan sebagainya. Akibat yag lebih jauh atas hal tersebut diatas dapat membawa kearah self rejection (penolakan diri) 22

karena body image (gambaran diri) tidak sesuai dengan self picture yang diharapkan. c. Perubahan suara pada (laki-laki) dan peristiwa menstruasi (pada anak perempuan), dapat juga menimbulkan gejalagejala emosional tertentu, seperi perasaan malu. d. Kematangan organ reproduktif, pada dasarnya membutuhkan pemuasan biologis. Oleh karena itu bila tidak terbimbing oleh norma-norma tertentu, mendorong remaja melakukan mastrubasi, homoseksual, atau mencoba pula heteroseksual, yang mungkin berakibat lebih jauh lagi: berkembang penyakit kelamin disamping melakukan pelanggaran atas norma kesusilaan. 2. Masalah yang berkenaan dengan bahasa dan perilaku kognitif a. Bagi individu remaja tertentu, mempelajari bahasa asing bukanlah hal yang menyenangkan. Kelemahan dalam fonetif remaja dapat menjadi bahan cemoohan, sehingga mengakibatkan sikap negatif terhadap pelajaran atau guru bahasa asing yang bersangkutan. Ia benci terhadap pelajarannya juga gurunya. b. Intelegensi (kecerdasan) juga merupakan kapasitas dasar belajar. Bagi remaja yang dianugerahi kapasitas IQ yang tinggi (very superior genius), atau IQ-nya dibawah ratarata (below average) bila kurang bimbingan dan pengarahannya kurang memadai, keadaan itu akan menjadi underachiever (prestasinya dibawah kapasitasnya). Hal tersebut mungkin disebabkan malas atau nakal, inferior complex (rasa rendah diri) karena tidak pernah mencapai hasil yang diharapkan. c. Terkadang tidak selarasnya bakat dan minat ang dimiliki remaja yang bersangkutan.. Hal ini sering mendapat kesulitan dalam memilih program studinya atau jurusan yang akan dimasukinya. Kegagalan studi antara lain disebabkan pemilihan jurusan yang taidak tepat atau kurang tepat. 3. Masalah yang berkenaan dengan: Perilaku sosial, moralitas dan religius a. Keterikatan hudup remaja dalam gang ( peer group ) yang tidak terbimbing mengarah kepada timbulnya juvenile deliquency (kenakalan remaja) yang berbentuk: perkelahian antar kelompok, pencurian, perampokan, prostitusi, dan bentuk-bentuk perilaku a-sosial lainnya. b. Konflik dengan orang tua, yang mungkin berakibat tidak senang tinggal dirumah, bahkan kemungkinan minggat (melarikan diri dari rumah). 23

c. Melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma masyarakat atau agama, seperti mengisap ganja, shabu-shabu, atau jenis psiko-tropika lainnya. 4. Masalah yang berkenaan dengan perilaku: afektif, konatif dan kepribadian. a. Mudah sekali digerakkan untuk melakukan kegiatan destruktif yang spontan untuk melampiaskan ketegangan institusi emosionalnya meskipun tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari tindakan-tindakannya itu. Keadaan itu mudah terlibat kegiatan masa remaja. b. Ketidakmampuan menegakkan kata-hatinya, mengakibatkan sukar terintegrasikan dan sintesa fungsi psiko fisiknya, dan berlanjut akan sukar menemukan identitas pribadinya. Ia akan hidup dalam suasana adolescentisme (remaja yang berkepanjangan), meskipun usianya sudah menginjak dewasa. Menurut Endang Rini Sukamti (2007: 65) bahwa pada usia ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang drastis, kenaikan sikresi hormone testosteron untuk laki-laki dan progesterone untuk wanita. Pada usia ini, pertumbuhan anak merupakan puncak pertumbuhan otot dan tulang, terjadi gangguan keseimbangan. Ditegaskannya lagi oleh Endang Rini Sukamti (2007: 65) bahwa pada masa ini latihan ditujukan untuk meningkatkan kekuatan otot dan kebugaran paru jantung. Latihan ketahanan dapat meningkatkan masukan oksigen 33% atau lebih baik. Latihan keterampilan yang bervariasi serta teknik yang benar, mulai dilatihkan pada atlet yang dipersiapkan untuk latihan yang lebih berat. 24

Menurut Sukintaka (1992: 45) siswa yang berumur 13-15 mempunyai karakteristik sebagai barikut: 1. Jasmani a. Membutuhkan pengaturan istirahat yang baik b. Sering menempilkan hubungan dan koordinasi yang kurang baik c. Merasa mempunyai ketahanan dan sumber energi tidak terbatas d. Mudah lelah tidak dihiraukan e. Anak laki-laki mempunyai kecepatan dan kekuatan otot lebih baik dari pada putri f. Keseimbangan dan kematangan untuk keterampilan bermain menjadi baik 2. Psikis atau Mental a. Banyak mengeluarkan energi untuk fantasinya b. Ingin menetapkan pandangan hidup c. Mudah gelisah karena keadaan lemah 3. Sosial a. Ingin tetap diakui oleh kelompoknya b. Mengetehui moral etik dari kehidupan c. Persekawanan yang tetap makin berkembang 25

B. Penelitian Yang Relevan Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini sangat diperlukan guna mendukung kajian teoritis yang telah digunakan sebagai landasan pada penyusunan karangka berpikir, adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: 1. Hasil penelitian dari Nuraini Hardiyanti (2012) dengan judul: Efektifitas Latihan Hexagon Drill Dan Zig-Zag Run Terhadap Kelincahan Atlet Bulutangkis Putri Usia 10-12 Tahun Di PB. PWS Dan PB. Pancing Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan efektifitas latihan hexagon drill dan zig-zag run terhadap kelincahan atlet bulutangkis putri usia 10-12 tahun di PB. PWS dan PB. Pancing Sleman. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dalam bentuk two-group pretest- posttest. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan purposive sample dari jumlah populasi atlet bulutangkis putri usia 10-12 tahun PB. PWS dan PB. Pancing Sleman. Subjek penelitian ini adalah 16 atlet putri PB. PWS dan 16 atlet putri PB.Pancing Sleman. Teknik pengambilan data menggunakan tes dan pengukuran kelincahan menggunakan shuttle run. Analisis data menggunakan uji t dua sampel berkorelasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa metode latihan hexagon drill dan zig-zag run berpengaruh pada peningkatan kelincahan 26

atlet bulutangkis putri usia 10-12 tahun di PB. PWS dan PB. Pancing Sleman dimana latihan hexagon drill kurang efektif dibanding latihan zig-zag run dalam meningkatkan kelincahan atlet bulutangkis. Hal ini terlihat dari peningkatan rata-rata kelincahan sebesar 1,25 dengan probabilitas 0,000 < 0,05 yang berarti signifikan pada kelompok hexagon drill. Peningkatan ratarata kemampuan kelincahan pada kelompok zig-zag run sebesar 1,69 dengan probabilitas 0,000 < 0,05 yang berarti signifikan. Uji t untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari kedua metode menunjukan probabilitas 0,027 < 0,05 yang berarti signifikan latihan zig-zag run lebih efektif dibanding latihanhexagon drill dalam meningkatkan kelincahan atlet bulutangkis. 2. Hasil penelitian dari Eko Anugrahanto (2012) dengan judul : Pengaruh Latihan Skipping Dan Shuttle Run Terhadap Footwork Bulutangkis Usia 11-13 Tahun PB. Surya Tidar Magelang. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan dua variabel bebas, yaitu latihan skipping (X 1 ), latihan shuttle run (X 2 ), dan satu variable terikat, yaitu kemampuan footwork bulutangkis (Y). Populasi yang juga digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah pemain bulutangkis putra berusia 11-13 tahun di PB. Surya Tidar Magelang tahun 2012 berjumlah 18 orang. Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan tes dan pengukuran, yaitu dengan instrument 27

footwork test menurut Tohar dengan pembagian kelas menggunakan ordinal pairing. Teknik analisis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu uji prasyarat dan uji hipotesis. Uji prasyarat dalam penelitian ini terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas, sedangkan uji hipotesis mengunakan uji t. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Terdapat pengaruh latihan skipping dengan nilai t sebesar 6,708 dengan signifikasi hitung sebesar 0,001<0,05, (2) Terdapat pengaruh latihan shuttle run dengan nilai t sebesar 9,220 dengan signifikasi hitung sebesar 0,000<0,05, dan (3) Terdapat perbedaan pengaruh latihan skipping dan shuttle run dengan nilai t sebesar 3,508 dan signifikasi hitung sebesar 0,006<0,05, berdasarkan analisis statistik, diketahui bahwa rata-rata (mean) peningkatan kelompok shuttle run lebih besar dari pada peningkatan kelompok skipping (2.83>1.50), sehingga dapat disimpulkan bahwa latihan shuttle run lebih berpengaruh dari pada latihan skipping. C. Kerangka Berfikir Permainan bulutangkis sarat dengan berbagai kemampuan dan keterampilan gerak yang kompleks. Dalam permaianan bulutangkis dapat diamati bahwa pemain harus melakukan gerakan-gerakan seperti lari cepat, berhenti dengan tiba-tiba dan segera bergerak lagi, gerak meloncat, menjangkau, memutar badan dengan cepat, melakukan langkah lebar tanpa 28

pernah kehilangan keseimbangan tubuh. Sehingga ketahanan kondisi fisik sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan fisik lainnya seperti kelincahan, koordinasi, kecepatan gerak, kelentukan, keseimbangan dan stamina. Untuk mengembangkan kemampuan kelincahan dapat menggunakan metode shuttle run, lari zig-zag, boomerang, kompas run, floor speed (duduk dan berdiri), obstacle run dan hexagon drill. Fungsi kelincahan dalam bulutangkis yaitu untuk mempermudah pemain untuk mengejar, menjakau, dan memukul shuttlecock dengan posisi yang benar. Dengan demikian kelincahan dalam bulutangkis merupakan kemampuan pemain untuk bergerak cepat dengan posisi yang benar dan memberikan landasan yang kokoh saat memukul shuttlecock, kerena pengembalian shuttlecock dari lawan sulit diprediksi arah dan tempat jatuhnya, sehingga menuntut kelincahan pemain untuk dapat mengejar shuttlecock ke segala arah baik di depan, di samping dan di belakang. Mengembangkan kelincahan dengan menggunakan shuttle run dan lari zig-zag merupakan tujuan dari penelitian untuk diadaptasikan dengan kelincahan shadow 6 titik dalam bulutangkis. Sehingga dengan menggunakan metode shuttle run dan lari zig-zag, diharapkan pemain dapat berkembang kelincahannya dalam bermain bulutangkis. 29

D. Hipotesis Berdasarkan kerangka berfikir di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada pengaruh latihan shuttle run terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet usia 11-13 tahun di PB. Rajawali Yogyakarta 2. Ada pengaruh latihan lari zig-zag terhadap peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet usia 11-13 tahun di PB. Rajawali Yogyakarta 3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pengaruh latihan shuttle run dengan latihan lari zig-zag dalam peningkatan kelincahan gerak shadow 6 titik serta latihan shuttle run lebih efektif untuk meningkatkan kelincahan gerak shadow 6 titik atlet bulutangkis usia 11-13 tahun. 30

BAB III Metode Penelitian A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan desain penelitian two-group pretest-posttest design dengan membagi menjadi dua kelompok yakni satu kelompok diberi perlakuan latihan shuttle run dan kelompok lain diberi perlakuan zig-zag run. Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 272) penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari suatu yang dikenakan pada subyek selidik. Kelompok dalam penelitian ini diberi pre-test dan post-test. Kelompok 1 diberi perlakuan (treatment) shuttle run dan kelompok 2 diberi perlakuan (treatment) lari zig-zag. Adapun desain penelitian dituangkan dalam bentuk gambar sebagai berikut : T1 P S pretest Postest T2 Gambar1: Desain Penelitian Keterangan: Pre-test : Test awal dengan shadow 6 titik yang dilakukan dengan menginjakkan kaki ke 6 kotak yang berada di sudut-sudut lapangan bulutangkis selama 30 detik yang dilakukan sebelum subyek mendapatkan perlakuan (treatment) 31

T1 : Perlakuan (treatment) pertama yang menggunakan metode shuttle run T2 : Perlakuan (treatment) kedua yang menggunakan metode lari zig-zag Post-test : Tes akhir dilakukan dengan shadow 6 titik yang dilakukan dengan menginjakkan kaki ke 6 kotak yang berada di sudut-sudut lapangan bulutangkis selama 30 detik yang dilakukan setelah subyek mendapat perlakuan eksperimen. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Menurut Sugiyono (2011: 38) mendefinisikan variabel penelitian pada dasarnya adalah sesuatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dinamakan variabel karena ada variasinya. Misalnya berat badan dapat dikatakan variabel, karena berat badan sekelompok orang itu bervariasi antara satu orang dengan yang lain. Adapun jenis variabel menurut Sugiyono (2011: 39) yaitu Variabel Independen dan Variabel Dependen. Variabel Independen sering disebut sebagai variabel stimulus, predictor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagi variabel bebas. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel Dependen (terikat). Sedangkan Variabel Dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa 32