Sikap kaitannya dengan kebebasan berpendapat sebagai bentuk implementasi kedaulatan rakyat

Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”

Narasumber : Kenny Santiadi – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Pembahasan mengenai kebebasan menyampaikan pendapat akan dibagi menjadi 2 (dua) sudut pandang, yaitu sudut pandang konstitusional dan sudut pandang peraturan perundang-undangan. Sudut pandang hukum nasional akan dikaitkan dengan kebebasan berpendapat sebagai hak. Hak kebebasan berpendapat ini bisa memiliki berbagai macam tujuan, tapi dalam tulisan ini akan difokuskan dengan penggunaan hak kebebasan berpendapat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mencerdasarkan kehidupan bangsa, dapat diupayakan dengan perlindungan kebebasan berpendapat.

Secara teoritik untuk menjelaskan hak kebebasan berpendapat (freedom of speech), bisa merujuk pendapat dari Frederick Schauer. Schauer berpendapat,[1]

“…when a free speech is accepted, there is a principle according to which speech is less subject to regulation (within a political theory) than other forms of conduct having the same or equivalent effects. Under a free speech principle, any govermental action to achieve a goal, whether that goal be positive or negative, must provide stronger justification when the attainment of that goal…”

(…ketika kebebasan berpendapat diterima, ada prinsip yang menyatakan bahwa pendapat kurang tunduk pada regulasi (dalam teori politik) daripada bentuk perilaku lain yang memiliki efek yang sama atau setara. Berdasarkan prinsip kebebasan berbicara, setiap tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan, apakah tujuan itu positif atau negatif, harus memberikan justifikasi yang lebih kuat ketika pencapaian tujuan itu …)

Penjelasan di atas tepat untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, sebab Schauer menjelaskan bahwa kebebasan berpendapat berkaitan dengan pendapat yang tidak penuh pada aturan tertentu, bisa digunakan untuk tindakan pemerintah, dan memiliki tujuan tertentu. Menimbang beberapa ciri yang disampaikan untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, maka penting untuk melihat kesamaannya sesuai dengan regulasi di Indonesia. Kesamaan tersebut untuk mencari tahu terkait dengan tujuan dari penggunaan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Pengaturan hukum di Indonesia mengenai hak kebebasan berpendapat terdapat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (selanjutnya disingkat UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum). Jaminan perlindungan hak kebebasan meyampaikan pendapat ini diatur secara umum dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut. Perlindungan kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.**)”

Kemerdekaan pendapat termasuk hak yang sangat dasar, sebab hak kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia. Tujuan kebebasan menyampaikan pendapat berdasarkan bagian menimbang pada UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum untuk mewujudkan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perwujudan kebebasan menyampaikan pendapat dibagi menjadi berbagai macam bentuk, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu:

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Kemerdekaan menyampaikan pendapat yang bisa diungkapkan dengan berbagai bentuk mengindikasikan bahwa pendapat bisa disampaikan tidak hanya dengan lisan dan tulisan saja. Pendapat yang disampaikan tentu membutuhkan ruang sebagai sarana ekspresi dari pendapat yang hendak disampaikan. Pendapat yang hendak diekspresikan bisa disampaikan dalam ruang publik, Pasal 1 angka 2 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan,

“Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang didatangi dan atau dilihat setiap orang.”

Ruang publik yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat menjadi penting, sebab dengan pendapat yang disampaikan di ruang publik bisa memenuhi dua aspek ontologis (berkaitan dengan keadaan). Aspek ontologis pertama yang bisa dipenuhi berkenaan dengan ekspresi kemanusiaan (express themselves) dan keunikan identitas (unique identity). Pemenuhan dua aspek ontologis ini sangat penting, mengacu pada pendapat Arendt,[2]

“Grounding speech as a distinctive characteristic of human beings that express themselves publicly might provide a non-consequentialist aspect to the theory of personal development. In an Arendtian sense, one might attribute to speech an existential signifiance: only by way of speech do human being express their unique identity among others in the public realm.”

(Sebagai ciri khas manusia yang mengekspresikan diri secara terbuka dapat memberikan aspek non-konsekuensialis pada teori pengembangan pribadi. pengertian Arendtian, orang mungkin mengaitkan ucapan dengan makna eksistensial: hanya dengan cara bicara manusia mengekspresikan identitas unik mereka di antara yang lain di ranah publik.)

Pendapat yang dikemukakan oleh Arendt bisa menjembatani tentang hak kebebasan berpendapat dengan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Arendt mengkategorikan kebebasan berpendapat terkait dengan eksistensi manusia yang signifikan untuk mengungkapkan keunikan identitasnya. Pendapat tersebut jika ditarik lebih jauh bisa ditafsirkan bahwa pembatasan kebebasan berpendapat secara sewenang-wenang atau pelarangan kebebasan berpendapat secara mutlak, berdampak manusia tidak dapat mewujudkan eksistensinya. Keterbatasan dalam perwujudan eksistensi manusia, sama halnya dengan membatasi juga upaya untuk membuat manusia lebih cerdas. Hasil akhir dari berbagai macam pembatasan kebebasan berpendapat, tanpa menimbang eksistensi manusia dapat berakhir dengan komunitas yang eksklusif, jauh dari kata inklusif.

Pendapat dari Arendt, diakui juga dalam Pasal 4 huruf c UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,

“Mewujudkan iklim yang kondusif bagi partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.”

Kreativitas dan partisipasi merupakan bagian dari iklim demokrasi. Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat termasuk hal yang penting. Pengabaian terhadap perlindungan hak kebebasan berpendapat bisa menyebabkan menurutnya tingkat partisipasi dan kreativitas dari warga negara. Cara untuk menyampaikan pendapat juga aspek yang tidak boleh dilupakan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Arendt berpendapat ruang tersebut dinamakan sebagai ruang penampakan (ersheinungsraum),[3]

“Ruang penampakan terjadi di tempat orang-orang saling berinteraksi dengan bertindak dan berbicara; ruang itulah yang menjadi dasar pendirian dan bentuk negara…Ruang itu ada secara potensial pada setiap himpunan orang, memang hanya secara potensial; ia tidak secara niscaya diaktualisasi di dalam himpunan itu dan juga tidak dipastikan untuk selamanya atau untuk waktu tertentu…”

Partisipasi dan kreativitas ini tidak jarang dibungkam, padahal dengan terwujudnya kedua hal ini bisa mendorong upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kejadian paling baru terjadi teror kepada Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (CLS FH UGM). Pembicara di CLS FH UGM yang berjudul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sitem Ketatanegaraan”. Pembicara diskusi tersebut Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum mendapat teror dari tanggal 28 Mei 2020 hingga 29 Mei 2020, selain pembicara yang mendapat teror, moderator dan narahubung juga diteror.[4] Meskipun pelaku teror belum terungkap, kejadian itu menunjukan bahwa diskusi ilmiah tidak bebas dari teror pihak-pihak tertentu.

Simpulan yang dapat diberikan atas paparan di atas terkait dengan hak kebebasan menyampaikan pendapat sebagai upaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan hal yang patut diperhatikan. Perhatian yang diberikan terhadap hak menyampaikan pendapat bisa digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kreativitas dan partisipasi publik yang pada akhirnya berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan tidak hanya diukur dengan seberapa banyak warga negara bisa menikmati sistem pendidikan konvensional, melainkan tingginya atensi partisipasi publik merupakan hal yang harus diperhatikan.

Tersedia di
Spotify

Anchor

Google Podcast

Referensi:

[1] Schauer, Frederick. 1982. Free Speech: A Philosophical Inquiry. New York: Cambridge University Press.

[2] Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition. Chicago: Chicago University Press.

[3] Hardiman, F. Budi. 2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.

[4] Pradito Rida Pertana, UGM Ungkap Teror Gegara Diskusi: Ojol ‘Serbu’ Rumah, Ancaman Pembunuhan, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5034266/ugm-ungkap-teror-gegara-diskusi-ojol-serbu-rumah-ancaman-pembunuhan (diakses pada tanggal 27 Juli 2020).

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Kabar Latuharhary - Komnas HAM berada pada posisi mendukung revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) demi melindungi hak atas kebebasan dan berekspresi. Selayaknya, seluruh kebijakan harus mengadopsi prinsip-prinsip HAM. Kajian mendalam sedang dilakukan dengan merujuk pada standar HAM yang telah dirumuskan dalam SNP (Standar Norma Pengaturan) hak atas bebebasan berpendapat dan berekspresi. SNP hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa menjadi acuan dalam proses revisi UU ITE.

Demikian disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, saat menjadi salah satu narasumber dalam FGD Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Rabu (17/03/2021). Dalam FGD yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia ini, Sandra mengungkapkan bahwa Komnas HAM saat ini terfokus pada pembahasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Komnas HAM pada 2020 menerima 22 aduan terkait serangan digital dan Undang-Undang ITE.

Lebih lanjut, Sandra menyampaikan bahwa pada 2020, Komnas HAM juga melakukan survey dibantu oleh Litbang Kompas dengan 1.200 responden yang tersebar di wilayah Indonesia. “Sebanyak 36,2% dari total 1.200 responden itu merasa tidak bebas dan tidak aman menyampaikan ekspresinya di media sosial dan internet,” jelasnya.

Sikap kaitannya dengan kebebasan berpendapat sebagai bentuk implementasi kedaulatan rakyat

Sandra kemudian mengungkapkan pentingnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pertama, bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat sehingga kehendak rakyat yang disampaikan melalui pendapat dan ekspresinya, harus menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, kebebasan berpendapat dan berekspresi diperlukan sebagai bentuk pengawasan, kritik dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis. Ketiga, bahwa negara memiliki kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi HAM khususnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.Standar Norma dan Pengaturan (SNP) hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi ini masuk dalam program Prioritas Nasional (PN) yang bisa menjadi pedoman bagi aparat negara untuk memastikan tidak ada kebijakan dan tindakan pembatasan atau pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu, bisa menjadi pedoman bagi publik (baik individu atau kelompok) agar memahami tindakan pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk memastikan hak asasinya terlindungi dan tidak melakukan tindakan diskriminatif serta sebagai pedoman kepada aktor non negara untuk menghindari tindakan yang membatasi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, jelas Sandra. 

Ketika disinggung terkait apa saja good practices dari negara lain maupun Komisi HAM Internasional juga produk-produk hukum yang bisa dijadikan contoh untuk membantu proses revisi UU ITE, Sandra menyampaikan komitmennya. Komnas HAM akan membantu mengumpulkan beberapa good practices dari negara lain, terutama dari National Human Rights Institutions (NHRIs). Ia pun berharap semoga bisa berkontribusi bagi proses revisi UU ITE.

Ketua Komisi Kejaksaan RI, Dr. Barita Simanjuntak, yang juga hadir dalam FGD mengungkapkan kegamangan aparat hukum yang diuji karena tidak ada satu pegangan yang kuat untuk menentukan apakah satu kasus berkaitan dengan UU ITE bertolak belakang penyelesaiannya dengan prinsip HAM. Menurutnya, masih perlu dicari formula paling tepat yang tidak hanya bisa diselesaikan elemen masyarakat.Menanggapinya, Sandra menjelaskan soal solusi jangka pendek dan jangka panjang. Komnas HAM mendorong aparat penegak hukum agar memahami SNP yang akan disahkan awal April nanti. Apabila bisa dijadikan norma, hal itu bisa jadi solusi jangka pendek untuk dijadikan pegangan bagi aparat penegak hukum menangani kasus-kasus UU ITE atau kebebasan berpendapat dan berekspresi. Untuk solusi jangka panjangnya, bisa dengan melakukaan proses revisi UU ITE secara partisipatif dengan mengutamakan prinsip HAM.Sandra pun menjelaskan cakupan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, antara lain pidato dan ekspresi politik; ekspresi keagamaan, seni dan simbolis; hak atas perlindungan data pribadi; kebebasan pers; hak atas internet; hak atas informasi dan informasi publik; kebebasan akademik; ekspresi dan keamanan nasional serta hak-hak keistimewaan.Lanjut Sandra, kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat dibatasi. Namun, pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dalam dan untuk kondisi tertentu. Bahwa pembatasan tersebut harus diatur berdasarkan hukum; diperlukan dalam masyarakat demokratis; serta untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik serta hak dan kebebasan orang lain.“Negara dalam melakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi tidak bisa sewenang-wenang, harus dilakukan secara legal berdasar regulasi. Perlu ada pengaturan secara jelas agar pembatasan sesuai prinsip HAM dan merujuk pada konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, juga berdasar prinsip non diskriminatif, akuntabel dan bisa diuji oleh publik,” pungkas Sandra. (Utari/LY)